BIOGRAFI 4 IMAM MAZHAB
BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH
A.
Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal
di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun
dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir,
daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi, walaupun akalnya terus tembus dan
ingin mengetahui apa yang belum diketahui, istimewa akal ulama yang terus
mencari tambahan. Apa yang dikemukakan di masa Amawi adalah lebih banyak yang
dikemukakan di masa Abbasi.
Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah.
Ayah beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum
beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan
keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab)
dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga berbangsa Persia.
Bapak Abu Hanifah dilahirkan dalam Islam. Bapaknya adalah seorang
pedagang, dan satu keturunan dengan saudara Rasulullah. Neneknya Zauta adalah
suku (bani) Tamim. Sedangkan ibu Hanifah tidak dikenal dikalangan ahli-ahli
sejarah tapi walau bagaimanapun juga ia menghormati dan sangat taat kepada
ibunya.
Dia pernah membawa ibunya ke majlis-majlis atau perhimpunan ilmu
pengetahuan. Dia pernah bertanya dalam suatu masalah atau tentang hukum
bagaimana memenuhi panggilan ibu. Beliau berpendapat taat kepada kedua orang
tua adalah suatu sebab mendapat petunjuk dan sebaliknya bisa membawa kepada
kesesatan.
Pada masa beliau dilahirkan, pemerintah Islam sedang di tangan kekuasaan
Abdul Malik bin Marwan (raja Bani Umayah yang ke V) dan beliau meninggal dunia
pada masa Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur.
Abu Hanifah mempunyai beberapa orang putra, diantaranya ada yang dinamakan
Hanifah, maka karena itu beliau diberi gelar oleh banyak orang dengan Abu Hanifah.
Ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain: sebab beliau mendapat
gelar Abu Hanifah karena beliau adalah seseorang yang rajin melakukan ibadah kepada
Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban dalam agama. Karena perkataan
“hanif” dalam bahasa arab artinya “cenderung atau condong” kepada agama yang
benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah
lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan “hanifah”
menurut lughot Irak, artinya “dawat atau tinta”. Yakni beliau dimana-mana
senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh
oleh para guru beliau atau lainnya. Dengan demikian beliau mendapat gelar
dengan Abu Hanifah.
Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar, dan terkenal disegenap
kota-kota besar, serta terkenal di sekitar Jazirah Arabiyah pada umumnya, maka
beliau dikenal pula dengan gelar: Imam Abu Hanifah. Setelah ijtihad dan buah
penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui serta diikut oleh
banyak orang dengan sebutan “Mazhab Imam Hanafi”.
Ciri-ciri Abu Hanifah yaitu dia berperawakan sedang dan termasuk orang
yang mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus
suaranya saat bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada
orang-orang yang diinginkannya (menurut pendapat Abu Yusuf). Abu Hanifah
berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak
banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu dia tidak
mau mencampuri persoalan yang bukan urusannya (menurut Hamdan putranya). Abu
Hanifah suka berpakaian yang baik-baik serta bersih, senang memakai bau-bauan
yang harum dan suka duduk ditempat duduk yang baik. Lantaran dari kesukaannya
dengan bau- bauan yang harum, hingga dikenal oleh orang ramai tentang baunya,
sebelum mereka melihat kepadanya. Abu Hanifah juga amat suka bergaul dengan saudara-saudaranya
dan para kawan-kawannya yang baik-baik, tetapi tidak suka bergaul dengan
sembarangan orang. Berani menyatakan sesuatu hal yang terkandung didalam hati
sanubarinya, dan berani pula menyatakan kebenaran kepada siapa pun juga, tidak
takut di cela ataupun dibenci orang, dan tidak pula gentar menghadapi bahaya
bagaimanapun keadaannya.
Diantara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk
menarik simpatinya. Sering ada orang lewat, ikut duduk di majlisnya tanpa
sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, ia segera menghampirinya dan
bertanya tentang kebutuhannya. Jika dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan
memberinya. Kalau sakit, maka akan ia antarkan. Jika memiliki utang, maka ia
akan membayarkannya sehingga terjalinlah hubungan baik antara keduanya.
B.
Pendidikan Imam Abu Hanifah
Pada mulanya Abu Hanifah adalah seorang pedagang, karena ayahnya adalah
seorang pedagang besar dan pernah bertemu dengan Ali ibn Abi Thalib. Pada waktu
itu Abu Hanifah belum memusatkan perhatian kepada ilmu, turut berdagang di
pasar, menjual kain sutra. Di samping berniaga ia tekun menghapal al-Quran dan
amat gemar membacanya.
Kecerdasan otaknya menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya,
karena asy-Sya’bi menganjurkan supaya Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya
kepada ilmu. Dengan anjuran asy-Sya’bi mulailah Abu Hanifah terjun ke lapangan
ilmu. Namun demikian Abu Hanifah tidak melepas usahanya sama sekali. Imam Abu
Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at, hadits, nahwu, sastra, sya’ir,
teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Diantara ilmu-ilmu
yang dicintainya adalah ilmu teologi, sehingga beliau salah seorang tokoh yang
terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, beliau sanggup menangkis
serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah yang pada waktu
itu merupakan pusat perhatian para ulama fiqh yang cenderung rasional. Di Irak
terdapat Madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah ibn Mas’ud (wafat 63 H/682
M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha’i,
lalu Muhammad ibn Abi Sulaiman al- Asy’ari (wafat 120 H). Hammad ibn Sulaiman
adalah salah seorang Imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari ‘Alqamah
ibn Qais dan al-Qadhi Syuri’ah, keduanya adalah tokoh dan fakar fiqh yang
terkenal di Kufah dari golongan tabi’in. Dari Hamdan ibn Sulaiman itulah Abu
Hanifah belajar fiqh dan hadits. Selain itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke
Hijjaz untuk mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambahan dari apa yang
diperoleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat
mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan
banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar
utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Kufah dimasa itu adalah suatu kota besar, tempat tumbuh aneka rupa
ilmu, tempat berkembang kebudayaan lama. Disana diajarkan filsafah Yunani,
Persia dan disana pula sebelum Islam timbul beberapa mazhab Nasrani
memperdebatkan masalah-masalah aqidah, serta didiami oleh aneka bangsa.
Masalah-masalah politik, dasar-dasar aqidah di Kufahlah tumbuhnya. Disini hidup
golongan Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, sebagaimana disana pula lahir ahli-ahli
ijtihad terkenal. Di Kufah dikala itu terdapat halaqah ulama: pertama, halaqah
untuk mengkaji (mudzakarah) bidang akidah. Kedua, halaqah untuk bermudzakarah
dalam bidang fiqh. Dan Abu Hanifah berkonsentrasi kepada bidang fiqh.
Abu Hanifah tidak menjauhi bidang-bidang lain. Ia menguasai bidang
qiraat, bidang arabiyah, bidang ilmu kalam. Dia turut berdiskusi dalam bidang kalam
dan menghadapi partai-partai keagamaan yang tumbuh pada waktu itu. Pada
akhirnya ia menghadapi fiqh dan menggunakan segala daya akal untuk fiqh dan
perkembangannya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kufah dan Basrah, Abu Hanifah
pergi ke Makkah dan Madinah sebagai pusat dari ajaran agama Islam. Lalu
bergabung sebagai murid dari Ulama terkenal Atha’ bin Abi Rabah.
Abu Hanifah pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi yang masih hidup
pada masa itu. Sahabat Nabi itu itu di antaranya: Anas bin Malik, Abdullah bin
Harist, Abdullah bin Abi Aufah, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar,
Abdullah bin Anis, Abu Thufail (‘Amir bin Watsilah).
Guru Abu Hanifah kebanyakan dari kalangan “tabi’in” (golongan yang
hidup pada masa kemudian para sahabat Nabi). Diantara mereka itu ialah Imam
Atha bin Abi Raba’ah (wafat pada tahun 114 H), Imam Nafi’ Muala Ibnu Umar
(wafat pada tahun 117 H), dan lain-lain lagi. Adapun orang alim ahli fiqh yang
menjadi guru beliau yang paling masyhur ialah Imam Hamdan bin Abu Sulaiman
(wafat pada tahun 120 H), Imam Hanafi berguru kepada beliau sekitar 18 tahun.
Di antara orang yang pernah menjadi guru Abu Hanifah ialah Imam Muhammad
al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdur Rahman bin Harmaz, Imam Amr bin
Dinar, Imam Manshur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin
Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah bin Abi Abdur Rahman,
dan lain-lainnya dari Ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.
Adapun faktor-faktor Abu Hanifah mencapai ketinggian ilmu dan yang
mengarahkannya ialah:
1)
Sifat-sifat kepribadiannya, baik yang merupakan tabiatnya ataupun
yang diusahakan, kemudian menjadi suatu melekat padanya. Ringkasnya sifat-
sifat yang mengarahkan jalan pikirannya dan kecenderungannya.
2)
Guru-guru yang mengarahkannya dan menggariskan jalan yang dilaluinya,
atau menampakkan kepadanya aneka rupa jalan, kemudian Abu Hanifah mengambil
salah satunya.
3)
Kehidupan pribadinya, pengalaman-pengalaman dan penderitaan-
penderitaan-nya yang menyebabkan dia menempuh jalan itu hingga keujungnya.
4)
Masa yang mempengaruhinya dan lingkungannya yang dihayatinya yang mempengaruhi
sifat-sifat pribadinya.
Sifat-sifat yang dimiliki Abu Hanifah itu di
antaranya :
1)
Seorang yang teguh pendirian, yang tidak dapat diombang ambingkan
1) pengaruh-pengaruh luar.
2)
Berani mengatakan salah terhadap yang salah, walaupun yang
disalahkan itu seorang besar. Pernah dia mengatakan Hasan al-Bisri.
3)
Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang
lain. Hal ini telah disarankan oleh gurunya Hamdan.
4)
Suka meneliti suatu hal yang dihadapi, tidak berhenti pada
kulit-kulit saja, tetapi terus mendalami isinya.
5)
Mempunyai daya tangkap luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.
Abu Hanifah belajar kepada Imam Amir
Syarahil asy-Syu’bi (wafat pada tahun 104 H), asy-Syu’bi ini telah melihat dan
memperlihatkan keadaan pribadi beliau dan kecerdasan akalnya, lalu menasehati
supaya rajin belajar ilmu pengetahuan, dan supaya mengambil tempat belajar yang
tertentu(khusus) di majlis-majlis para Ulama, para cerdik pandai yang ternama
waktu itu.
Nasehat baik ini diterima oleh
Abu Hanifah dan memperlihatkan kesungguhannya, lalu dimasukkan kedalam hati dan
sanubarinya, dan selanjutnya beliau mengerjakan dengan benar-benar. Yakni,
sejak itulah beliau rajin belajar dan giat menuntut pengetahuan yang bertalian
dengan keagamaan dan seluas-luasnya.
Pada awalnya Abu Hanifah mempelajari ilmu
pengetahuan yang bersangkut paut dengan hukum-hukum keagamaan, kemudian
mempelajari pengetahuan tentang kepercayaan kepada tuhan atau sekarang disebut
“ilmu kalam” dengan sedalam-dalamnya. Oleh karena itu beliau termasuk seorang yang
amat luas mempelajarinya dan sangat rajin membahas dan membicarakannya.
Sehingga beliau sering bertukar fikiran atau berdebat masalah ini, baik dengan
kawan maupun dengan lawan. Abu Hanifah berpendapat “ilmu kalam” adalah salah
satunya ilmu paling tinggi dan amat besar kegunaannya dalam lingkup keagamaan
dan ilmu ini termasuk dalam bahagian pokok agama (ushuluddin).
Kemudian Abu Hanifah memiliki
pandangan lain, yakni hati sanubari beliau tertarik mempelajari ilmu “fiqh”, ialah
ilmu agama yang didalamnya hanya selalu membicarakan atau membahas soal-soal
yang berkenaan dengan hukumannya, baik yang berkenaan dengan urusan ibadah
maupun berkenaan dengan urusan mu’amalat atau masyarakat.
Sebagai bukti, bahwa beliau
seorang yang pandai tentang ilmu fiqh, ialah sebagaimana pengakuan dan pernyataan
para cerdik pandai, dan alim ulama dikala itu. Antara lain Imam Muhammad Abi
Sulaiman, seorang guru mbeliau yang paling lama, setelah mengetahui kepandaian
beliau tentang ilmu fiqh, maka sewaktu-waktu ini beliau pergi keluar kota atau
daerah lain, terutama dikala beliau pergi ke Basrah dalam waktu yang lama, maka
beliau (Hanafi) lah yang disuruh untuk mengganti atau mewakili kedudukan
beliau, seperti memberi fatwa tentang hukum-hukum agama dan memberi pelajaran kepada
murid beliau.
Imam Abu Hanifah dikenal karena
kecerdasannya. Suatu ketika ia menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama
beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada
mereka dan berkata, “Tahukah kalian, siapa dia?”. Mereka menjawab “Tidak”. Ia berkata,”
Dialah Nu’man bin Tsabit. Seandainya ia berkata bahwa tiang Mesjid itu emas,
niscaya perkataannya dipakai sebagai agrumen.” Imam Malik tidaklah berlebihan
dalam menggambarkan diri Abu Hanifah. Sebab, ia memang memiliki kekuatan dalam
berargumen, daya tangkap yang cepat, cerdas dan tajam wawasannya.
Kecerdasannya Imam Abu Hanifah
bukan hanya mengenai hukum Islam tapi menurut satu riwayat beliau juga terkenal
orang yang pertama kali memiliki pengetahuan tentang cara membuat baju ubin.
Benteng-benteng di kota Baghdad pada masa pemerintahan Al-Mansur, seluruh
dindingnya terbuat dari batu ubin yang dibuat oleh Abu Hanifah.
C.
Guru-guru Imam Abu Hanifa
Menurut kebanyakan guru-guru beliau pada waktu itu ialah para
ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in diantaranya ialah:
1)
Abdullah bin Mas’ud (Kufah)
2)
Ali bin Abi Thalib (Kufah)
3)
Ibrahim al-Nakhai (wafat 95 H)
4)
Amir bin Syarahil al-Sya’bi (wafat 104 H)
5)
Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau adalah
orang alim ahli fiqh yang paling masyhur pada masa itu Imam Hanafi berguru
kepadanya dalam tempo kurang lebih 18 tahun lamanya.
6)
Imam Atha bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H)
7)
Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H)
8)
Imam Salamah bin Kuhail
9)
Imam Qatadah
10)Imam Rabi’ah bin Abdurrahman dan
masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya.
Adapun silsilah guru-guru dan
murid-murid Imam Hanafi adalah sebagai berikut:
Guru dan murid Imam Abu Hanifah.
Abu Yusuf |
Zufar |
Hammad Ibn Sulaiman (w. 120 H) |
Abu Hanifah Al- Nu’man (w. 150 H) |
Muhammad Ibn Al-Hasan |
‘Amir Ibn Syarahil Al-
Sya’bi (w. 104 H) |
Ibrahim Al- Nakha’i (w. 95 H) |
Masyruq Ibn Al- Adja Al-Hamdani (w. 63
H) |
Al-Aswad
Ibn Yazid Al- Nakha’i (w. 104 H) |
Ali Ibn Thalib (Kufah) |
Abdullah Ibn Mas’ud (Kufah) |
‘Alqamah
Ibn Qais Al- Nakha’i (w. 62 H) |
Syiraih Ibn Al-Hrits (w. 95 H) |
D.
Murid-murid Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah adalah seorang yang cerdas, karya-karyanya sangat
terkenal dan mengagumkan bagi setiap pembacanya, maka banyak diantara
murid-muridnya yang belajar kepadanya hingga mereka dapat terkenal kepandaiannya
dan diakui oleh dunia Islam.
Murid-murid Imam Abu Hanifah yang paling terkenal yang pernah belajar
dengannya di antaranya ialah:
1)
Imam Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dilahirkan pada
tahun 113 H. Beliau ini setelah dewasa lalu belajar macam-macam ilmu pengetahuan
yang bersangkut paut dengan urusan keagamaan, kemudian belajar menghimpun atau
mengumpulkan hadits dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah asy-Syaibani,
Atha bin as-Saib dan lainnya. Imam Abu Yusuf termasuk golongan Ulama ahli
hadits yang terkemuka. Beliau wafat pada tahun 183 H.
2)
Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, dilahirkan dikota
Irak pada tahun 132 H. Beliau sejak kecil semula bertempat tinggal dikota Kufah,
lalu pindah kekota Baghdad dan berdiam disana. Beliaulah seorang alim yang bergaul rapat dengan kepala
Negara Harun ar-Rasyid di Baghdad.
Beliau wafat pada tahun 189 H dikota Ryi.
3)
Imam Zafar bin Hudzail bin Qais al-Kufi, dilahirkan pada tahun 110
H. Mula-mula beliau ini belajar dan rajin menuntut ilmu hadits, kemudian berbalik
pendirian amat suka mempelajari ilmu akal atau ra’yi. Sekalipun demikian,
beliau tetap menjadi seorang yang suka belajar dan mengajar,maka akhirnya
beliau kelihatan menjadi seorang dari murid Imam Abu Hanifah yang terkenal ahli
qiyas. Beliau wafat lebih dahulu dari lainnya pada tahun 158 H.
4)
Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau ini seorang murid Imam Hanafi
yang terkenal seorang alim besar ahli fiqh. Beliau wafat pada tahun 204 H.
Empat orang itulah sahabat dan murid
Imam Hanafi yang akhirnya menyiarkan dan mengembangkan aliran dan buah ijtihad
beliau yang utama, dan mereka itulah yang mempunyai kelebihan besar dalam
memecahkan atau mengupas soal-soal hukum yang bertalian dengan agama.
E.
Karya-karya Imam Abu Hanifah
Sebagian ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Imam
Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah fikiran. Sebagian ide dan buah fikirannya
ditulisnya dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya
untuk kemudian dibukukan. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:
1)
Al-Fara’id: yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya
menurut hukum Islam.
2)
Asy-Syurut: yang membahas tentang perjanjian.
3)
Al-Fiqh al-Akbar: yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi
syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu
al-Muntaha al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Maghnisawi.
Jumlah kitab yang ditulis oleh
murid-muridnya cukup banyak, didalamnya terhimpun ide dan buah fikiran Abu
Hanifah. Semua kitab itu kemudian jadi pegangan pengikut mazhab Imam Hanafi.
Ulama mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu kepada tiga tingkatan.
Pertama, tingkat al-Ushul
(masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah langsung
yang diriwayatkan Imam Hanafi dan sahabatnya kitab dalam kategori ini disebut
juga Zahir ar-Riwayah (teks riwayat) yang terdiri atas enam kitab yaitu:
1)
Al-Mabsuth: (Syamsudin Al-Syarkhasi)
2)
Al-Jami’ As-Shagir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
3)
Al-Jami’ Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
4)
As-Sair As-Saghir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
5)
As-Sair Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
Kedua tingkat Masail an-Nawazir (masalah
yang diberikan sebagai nazar), kitab-kitab yang termasuk dalam kategori yang
kedua ini adalah:
1)
Harun an-Niyah: (niat yang murni)
2)
Jurj an-Niyah: (rusaknya niat)
3)
Qais an-Niyah: (kadar niat)
Ketiga, tingkat al-Fatwa Wa
al-Faqi’at, (fatwa-fatwa dalam permasalahan) yaitu kitab-kitab yang berisi
masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath (pengambilan hukum dan
penetapannya) ini adalah kitab-kitab an-Nawazil (bencana), dari Imam Abdul Lais
as-Samarqandi.
Adapun ciri khas fiqh Imam Abu
Hanifah adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling
besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam
pandangan syari’at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian manusia sangat
ekstrim menilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari
Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun, disisi lain ada yang
berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah
keluar dari agama.
Perbedaan pendapat yang ekstrim dan bertolak
belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana Imam Abu Hanifah
hidup. Orang- orang pada waktu itu menilai beliau berdasarkan perjuangan,
prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontrovensional, yakni beliau mengajarkan
untuk menggunakan akal secara maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak
peduli dengan pandangan orang lain23. Imam Abu Hanifah wafat didalam penjara
ketika berusia 70 tahun tepatnya pada bulan rajab tahun 150H (767 M).
F.
Metode Istinbath Hukum Imam Abu
Hanifah
Pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu
sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak
terlepas dari sumber hukum yang ada. Abu Hanifah dikenal sebagai Ulama al-Ra’yi.
Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang di istinbathkan dari al-Quran ataupun
hadits, beliau banyak menggunakan nalar.
Dari keterangan diatas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan
hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy menggunakan ra’yu.
Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di
Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah
SAW.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh diatas, Imam Abu Hanifah berijtihad
untuk mengistinbathkan hukum, apabila sebuah masalah tidak terdapat hukum yang
qath’iy (tetap dan jelas hukumnya dalam al-Quran dan hadits), atau masih
bersifat zhanny dengan menggunakan beberapa cara atau
metode yang Imam Abu
Hanifah gunakan dalam mengistinbathkan hokum adalah dengan berpedoman pada:
1)
Al-Quran
Al-Quran al-Karim adalah sumber hukum yang paling utama. Yang
dimaksud dengan al-Quran adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW tertulis dalam mushaf bahasa arab, yang sampai kepada kita dengan
jalan mutawatir, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimula dengan surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa al-Quran merupakan sendi al-Syariah
dan tali Allah yang kokoh, ia adalah yang umum yang kembali kepadanya seluruh
hukum-hukumnya, al-Kitab sumbernya, dan tidak ada satu sumber hukum melainkan
harus tunduk padanya.
2)
Al-Sunnah
Kata سنة berasal dari kata etimologi secara سن – یسن – سنة
berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara adalah sesuatu yang baik,
atau yang buruk. Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah segala yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan
dan sifat Nabi. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah sifat hukum
bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang
tidak pasti dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
berdosa orang yang tidak melakukannya.
Menurut Imam Abu Hanifh al-Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan
perinci kandungan al-Kitab yang mujmal sebagaimana fungsi Nabi SAW menyampaikan
wahyu yang diturunkan padanya, menjelaskan dan mengajarkan.
3)
Fatwa-Fatwa (Aqwal) Sahabat
Fatwa-fatwa sahabat dijadikan Imam Abu Hanifah sebagai sumber pengambilan
atau penetapan hukum dan ia tidak mengambil fatwa dari kalangan tabi’in. Hal
ini disebabkan adanya dugaan terhadap pendapat ulama tabi’in atau masuk dalam
pendapat sahabat, sedangkan pendapat para sahabat diperoleh dari talaqqy dengan
Rasulullah SAW, bukan hanya dengan berdasarkan ijtihad semata, tetapi diduga
para sahabat tidak mengatakan itu sebagai sabda Nabi, khawatir salah berarti
berdusta atas Nabi.
Perlu ditambahkan bahwa dalam kitab-kitab Mazhab Imam Hanafi terdapat
beberapa perkataan (aqwal), yakni qaul Imam Abu Hanifah sendiri, Imam Abu
Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Zafar bun Hudzail. Karena Imam Abu
Hanifah melarang para muridnya untuk taqlid meskipun bertentangan dengan
pendapatnya.
4)
Qiyas
Secara etimologi, kata qiyas berarti قدر artinya mengukur, membandingkan
sesuatu dengan semisalnya. Sedangkan tentang arti qiyas menurut terminologi
terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan maknanya. Salah satunya
adalah pendapat Abu Zahrah yaitu : “Menghubungkan
(menyamakan) hukum perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dengan hukum
perkara yang sudah ada ketentuan nashnya berdasarkan persamaan ‘illat hukum
keduanya”.
Dari definisi di atas, maka para ulama ushul menetapkan rukun qiyas
yang terdiri dari 4 macam, yaitu:
i.
Ashal, yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan.
Ashal ini harus berupa ayat al-Quran atau sunnah, serta mengandung ‘illat
hukum.
ii.
Far’u, yaitu cabang atau sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yaitu
yang diqiyaskan, yang disyaratkan tidak memiliki hukum sendiri, memiliki ‘illat
hukum sama dengan ‘illat hukum yang ada pada ashal, tidal lebih dahulu dari
ashal, dan memiliki hukum yang sama dengan ashal.
iii.
Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada ashal kemudian
menjadi hukum pula pada far’u (cabang). Yang disyaratkan bersifat hukum amaliyah,
pensyariatkannya rasional (dapat dipahami), bukan hukum yang khusus (seperti
khusus untuk Nabi), dan hukum ashal masih berlaku.
iv.
‘Illat hukum, yang sifat nyata dan tertentu yang berkaitan dengan
ada dan tidak adanya hukum. ‘Illat hukum disyaratkan dapat diketahui dengan
jelas adanya ‘illat, dapat dipastikan terdapatnya ‘illat tersebutpada far’u,
‘illat merupakan penerapan hukum untuk mendapat Maqasid al-Syari’iyyah dan
‘illat tidak berlawanan dengan nash.
5)
Istihsan
Dari segi bahasa kata istihsan adalah bentuk mashdarnya –استحسن نا استحسا – یستحسن artinya menganggap sesuatu lebih
baik, adanya sesuatu itu lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah
syara’ adalah penetapan hukum dari seorang mujahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah- masalah yang
serupa, karena alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukan penyimpangan
itu.
6)
Ijma’
Secara bahasa ijma’ berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk mashdarnya
عا اجما – یجمع – اجمع secara bahasa memiliki beberapa
arti, di antaranya: pertama, ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan
sesuatu. Kedua, sepakat. Sedangkan secara istilah syara’ adalah kesepakatan
para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syara’
yang bersifat praktis (amaly)38. Para ulama telah sepakat tidak terkecuali Imam
Abu Hanifah bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan
hukum syara’.
7)
‘Urf (Adat Yang Berlaku Didalam
Masyarakat Umat Islam)
Dilihat dari segi bahasa kata ‘urf berasal dari bahasa arab mashdarnya
عرفا یعرف –عرف sering diartikan dengan sesuatu
yang dikenal. Contohnya dalam kalimat عرفا فلان من اولى احمد Ahmad lebih dikenal dari yang lainnya.
Sedangkan menurut istilah syara’ adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
manusia dalam pergaulannya dan sudah mantap dan melekat dalam urusan-urusan
mereka.
Para ulama sepakat apabila ‘urf bertolak belakang atau bertentangan
dengan al-Quran dan sunnah maka ‘urf tersebut bertolak (tidak bisa diterima).
G.
Penilaian para Ulama terhadap Abu
Hanifah
Berikut ini beberapa
penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, di antaranya :
1.
Al-Futhail bin Iyadh berkata,”Abu Hanifah adalah seorang yang ahli
fiqh dan terkenal dengan keilmuannya itu, selain itu dia juga terkenal dengan kewaraannya,
banyak harta, sangat memuliakan dan menghormati orang- orang disekitarnya sabar
dan menuntut ilmu siang dan malam, banyak bangun dimalam hari, tidak banyak
berbicara kecuali ketika harus menjelaskan kepada masyarakat tentang halal dan
haramnya suatu perkara. Dia sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran dan tidak
suka dengan harta para penguasa.
2.
Abdullah Ibnul Mubarok berkata, “kalaulah Allah SWT tidak menolong
saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti
orang biasa”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan
Ats-Tsauri, “wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghaib adalah Abu Hanifah, saya
tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya, kemudian
beliau menimpali “Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan
kebaikannya dengan perbuatan ghibah”. Beliau juga berkata, “Aku akan datang
kekota Kufah, aku bertanya siapakah orangyang paling wara’ dikota Kufah? maka
mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “apabila
atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam Malik berpendapat,
Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus
pendapatnya adalah Abu Hanifah. Dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3.
Al-Qodhi Abi Yusuf berkata,
“Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits
kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga
berkata, “saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits
dan tempat-tempat pengambilan faqih hadits dari Abu Hanifah”.
4.
Imam Syafi’i berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu
seluas lautan) dalam masalah faqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”.
5.
Faudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang
faqih, terkenal dengan wara’nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar
dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang
baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal
serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
Beberapa penilaian negatif yang ditunjukkan
kepada Abu Hanifah, selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari
beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditunjukkan
kepada beliau, di antaranya:
1.
Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Shahibur
ra’yi Mudhtarib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2.
Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib an-Nasa’i berkata, “Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3.
Abdullah ibnu Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin
3. didalam hadits”.
4.
Sebagian Ahlul Ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah
dalam memahami masalah iman, yaitu pernyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada
dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu
Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari sya’air iman, dan yang
berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur al-Maturidi dan
mengasi pendapat ini adalah Ahlil Hadits. Dan telah dinukil pula dari Abu
Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran didalam hati dan penetapan dengan
lisan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksud dengan “tidak
bertambah dan berkurang” adalah jumhur dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat,
dan hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi
kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan ada
yang samar.
Sebagian ahlul ilmi yang lainnya
memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat al-Quran itu
makhluk. Padahal telah dinukil dari beliau bahwa al-Quran itu adalah kalamullah
dan pengucapan kita dengan al-Quran adalah makhluk. Dan ini merupakan ahlul
haq.
BIOGRAFI IMAM MALIK
A.
Riwayat Imam Malik
Imam Malik adalah imam kedua dari imam empat dalam islam dari segi
umur beliau lahir 13 tahun sesudah Abu Hanifah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail
bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi. Beliau merupakan imam dari Al-Hijrah.
Nenek moyang mereka berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik
adalah saudara Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah. Beliau
lahir di Madinah tahun 93 H, beliau berasal dari keturunan bangsa Himyar,
jajahan Negeri Yaman.
Ayah Imam Malik adalah Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Abi
Al-Haris Ibn Sa’ad Ibn Auf Ibn Ady Ibn Malik Ibn Jazid. Ibunya bernama Siti
Aliyah binti Syuraik Ibn Abdul Rahman Ibn
Syuraik Al-Azdiyah. Ada
riwayat yang mengatakan bahwa
Imam Malik berada dalam kandungan ibunya selama 2 tahun ada pula yang mengatakan
sampai 3 tahun.
Imam Malik Ibn Anas
dilahirkan saat menjelang periode
sahabat Nabi SAW di Madinah. Tidak berbeda
dengan Abu Hanifah, beliau
juga termasuk ulama zaman, ia lahir pada
masa Bani Umayyah
tepat pada pemerintahan
Alwalid Abdul Malik ( setelah Umar ibn Abdul Aziz) dan meninggal pada
zaman Bani Abbas, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Rasyud (179 H).
Imam Malik menikah dengan
seorang hamba yang melahirkan
3 anak laki-laki (Muhammad,
Hammad dan Yahya)
dan seorang anak
perempuan (Fatimah yang mendapat
julukan Umm al-Mu’minin).
Menurut Abu Umar, Fatimah
temasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun
mempelajari dan hafal dengan baik
Kitab al-Muwatta’.
B.
Kehidupan Imam Malik
Setelah ditinggal orang yang menjamin kehidupannya, Imam Malik
harus mampu membiayai barang
daganganya seharga 400
dinar yang merupakan warisan dari
ayahnya, tetapi karena
perhatian beliau hanya
tercurah kepada masalah-masalah keilmuan
saja sehingga beliau
tidak memikirkan usahadagangnya, akhirnya
belaiu mengalami kebangkrutan
dan kehidupan bersama keluarganya pun semakin menderita.
Selama menuntut ilmu
Imam Malik dikenal
sangat sabar, tidak
jarang beliau menemui kesulitan
dan penderitaan. Ibnu
Al-Qasyim pernah mengatakan “Pendritaan Malik
selama menuntut ilmu
sedemikian rupa sampai-sampai
ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual
di pasar.
Setelah Imam Malik
tidak dapat lagi
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya kecuali dengan mengorbankan
tekad menuntut ilmu, mulailah Imam Malik
menyatakan seruannya kepada
penguasa, agar para
ahli dijamin dapat mencurahkan waktu dan tenaga untuk
menekuni ilmu yaitu dengan memberi gaji atau penghasilan lain untuk menjamin
kehidupan mereka.
Namun tak ada seorang pun pengusaha yang menghiraukan seruan Imam Malik. Karena
pada saat itu
Daulah Umayyah sedang
sibuk memperkokoh dan menetapkan kekuasannya, mereka sedang menarik
simpati para ilmuan yang tua bukan yang muda.
Hingga akhirnya secara
kebetulan Imam Malik
bertemu dengan pemuda dari mesir yang juga menuntut ilmu,
pemuda itu bernama Al-Layts Ibn Sa’ad dan keduanya saling
mengagumi kecerdasan masing-masing. Hingga
timbulah semangat persaudaran atas dasar saling menghormati.
Meskipun Imam Malik
senantiasa menutupi kemiskinan
dan penderitaannya dengan selalu
berpakaian baik, rapi
dan bersih serta
memakai wangi-wangian, tetapi Al-Layts ibn Sa’ad mengetahui kondisi Imam
Malik yang sebenarnya, sehingga sepulangnya
kenegerinya, Al-Layts tetap
mengirimkan hadia uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu khalifah
yang berkuasa menyambut baik seruan
Imam Malik agar
penguasa memberikan gaai atau penghasilan kepada para ahli ilmu.
C.
Pendidikan Imam Malik
Imam Malik terdidik dikota Madinah pada masa
pemerintahan Khalifah Sulaiman Ibn
Abdul Malik dari
Bani Umayyah, pada
masa itu masih
terdapat beberapa golongan pendukung
islam antara lain
sahabat Anshar dan
Muhajirin. Pelajaran pertama yang
diterimanya adalah al-Qur’an
yakni bagaiman cara membacanya, memahami makna dan
tafsirnya. Beliau juga hapal al-Qur’an diluar kepala. Salain
itu beliau juga
mempelajari hadits Nabi SAW, Sehingga
belaiau dapat julukan sebagai ahli Hadits.
Sejak masa kanak-kanak Imam Malik sudah terkenal sebagai
ulam dan guru dalam
pengajaran islam. Kakeknya
yang senama dengannya,
merupakan ulama hadits yang terkenal dan dipandang sebagai perawi hadits
yang hidup samapi Imam Malik berusia 10
tahun. Dan pada saat itupun Imam
Malik sudah mulai bersekolah, dan
hingga dewasa belaiu terus menuntut ilmu.
Imam Malik mempelajari bermacam-macam bidang
ilmu pengetahuan seperti ilmu Hadits,
Al-Rad al-Ahlil Ahwa Fatwa, fatwa dari para sahabat-sahabat dan ilmu fiqih ahli
ra’yu (fikir). Selain itu sejak kecil beliau juga telah hafal al-Qur’an. Hal
itu beliau lakukan
karena senantiasa beliau
mandapatkan dorongan dari
ibundanya agar senantiasa giat menuntut ilmu.
D.
Guru-Guru Imam Malik
Saat menuntut ilmu Imam
Malik mempunyai banyak guru.
Dalam kitab “Tahdzibul Asma
wa Lughat” mengatakan
bahwa Imam Malik pernah belajar kepada 900
syeikh, 300 diantaranya
dari golongan tabi’in
dan 600 lagi
dari golongan tabi’i tabi’in.
Guru-guru Imam Malik
adalah Orang-orang yang
dia pilih, dan
pilihan imam didasarkan kepada
ketaatannya beragama, ilmu
fikihnya, cara meriwayatkan hadits,
syarat-syarat meriwayatkan dan mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya.
Imam Malik meninggalkan perawi yang banyak mempunyai hutang dan suka
mendamaikan yang mana riwayat-riwayat mereka tidak dikenal.
Adz-Dzahabi berkata, “untuk
pertama kalinya malik
mencari ilmu pada yahun
120 Hijriyah, yaitu
tahun dimana Hasan
Al-Basri meninggal. Malik mengambil hadits dari nafi’
yaitu orang yang tidak
bisa ditinggalkannya dalam periwayata. Dan diantara guru-gurunya
yang terkenal diantaranya:
1.
Abu Radih Nafi Bin Abd Al-Rahaman
Dalam bidang
Al-Qur’an, Imam Malik
belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an sesuai dengan
prinsip-prinsip ilmu tajwid yang baku dari ulma yang terkenal, Abu Radih Nafi
Bin Abd Al-Rahaman yang sangat terkenal dalam bidang ini hingga masa sekarang.
2.
Nafi’
Nafi’ merupakan seorang ulam hadits
yang besar pada masa awal kehidupan imam
malik. Nafi’ mempelajari ini dari gurunya yang mashur ( Abdullah
ibn Umar) karena
Nafi” pada mulanya adalah
seorang budak yang dimerdekakannya setelah
30 tahun melayaninya.
Orang yang mengetahui kedudukan
Abdullah ibn Umar
dalam khasanah hadits
niscaya akan memahami
betapa beruntungnya Nafi’
dapat belajar dari tokoh yang sedemikian besar.
3.
Rabiah Bin Abdul Rahman (Rabiah Al-Ray)
Beliau berguru kepadanya ketika
masah kecil. Imam Malik banyak mendengarkan
hadits-hadits nabi dari
belau. Selain itu
beliau juga merupakan guru Imam
Malik dalam bidang hukum islam.
4.
Muhammad Bin Yahya Al-Anshari
Beliau merupakan
guru Imam Malik yang lain.
Termasuk juga kedalam kelompok
tabi’in dia biasa
mengajar di masjid
Nabawi Madinah. Sedangkan
guru-guru beliau yang
lain adalah ja’far
ash-Shadiq, Abu Hazim Salmah bin
Nidar, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id dan lain-lain.
E.
Murid-Murid Imam Malik
Imam Malik mempunya banyak sekali murid yang terdiri dari para
ulama’. Qodhi Ilyad menyebutkan
bahwa lebih dari
1000 orang ulama’
terkenal yang menjadi murid Imam
Malik, diantaranya: Muhammad
bin Nuskim al-Auhri, Rabi’ah bin
Abdurrahman, Yahya bin zaid al-Anshori,
Muhammad bin Ajlal, Salim bin Abi Umayah, Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad bin Ishaq dan
Sulaiman bin Mahram al-Amasi.
Imam Malik terkenal dengan
sikapnya yang berpegang
kuat kepada As-Sunnah,
amalan ahli Madinah, al-Mashali al-Mursalah, pendapat
sahabat (qaul sahabi) jika
sah sanadnya dan
al-istihsan. Murid-murid
Imam Malik ada yang datang dari mesir, Afrika Utara, dan
Spanyol. Tujuh orang yang termasyhur dari mesir adalah:
1.
Abu Abdullah, Abdurrahman ibnu Qasim (meninggal di mesir pada
tahun 191 H). Dia belajar ilmu fiqih dari Imam Malik selama 20 tahun dan Al-Laits bin
Sa’ad seorang ahli
fiqih Mesir (meninggal
tahun 175 H).
Abu abdullah adalah seorang
mujtahid mutlak. Yahya
bin yahya menganggapnya sebagai
seorang seseorang yang paling alim tentang ilmu Imam Malik dikalangan
sahabatnya, dan orang yang paling amah terhadap ilmu Imam Malik.
2.
Abu Muhammad, Abdullah bin Wahb bin Muslim (dilahirkan pada tahun 125
H dan meninggal tahun 197). Dia belajar dari Imam Malik selama 20 tahun.
Setelah itu, dia mengembang madzhab Maliki di Mesir. Dia telah melakukan usaha
yang serius untuk membukukan madzhab Maliki. Imam Malik pernah menulis
surat kepadanya dengan
menyebut gelar “Fiqih Mesir” dan “abu Muhammad al-Mufti”.
Dai juga pernah belajar ilmu fiqih dari
Al-Laits bin Sa’ad.
Dia juga seorang
ahli hadits yang
dipercaya dan mendapat julukan
“Diwan Ilmu”.
3.
Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi, dilahirkan pada tahun yang sama
dengan imam syafi’i, yaitu pada tahun 150 H, dan meninggal pada tahun 204 H. Kelahirannya terpaut
sembilan belas hari
setelah imam Syafi’i
lahir. Dia telah mempelajari ilmu
fiqih dari Imam Malik dan Al-Laits bin Sa’ad.
4.
Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam. Meninggal pada tahun 214 H.
Dia merupakan orang yang paling alim tentang pendapat Imam Malik. Dia menjadi
pemimpin madzhab Maliki setelah Asyhab.
5.
Asbagh ibnu Farj
al-Umawi. Didinisbahkan kepada
bani Umayyah karena ada
hubungan hamba sahaya.
Dia meninggal pada
tahun 225 H. Dia belajar fiqih kepada Ibnul Qasim, Ibnu
Wahb, dan Asyhab.
6.
Muhammad bin Abdullah ibnu Hakam. Dia meninggal pada tahun 268 H. Dia menuntut
ilmu, khususnya fiqih
kepada ayahnya dan
juga kepada ulama madzhab
Maliki pada zamannya,
dia juga belajar
kepada imam Syafi’i.
7.
Muhammad bin Ibrahim Al-Askandari bin ziyad yang terkenal dengan
ibnu Mawaz (meninggal pada
tahun 269 H).
Dia belajar ilmu
fiqih kepada ulama semasanya
sehingga dia mumpuni
dalam bidang fiqih dan
fatwa. Kitab al-Nawwaziyyah merupakan
kitab yang agung yang
pernah dihasilkan oleh madzhab
Maliki. Ia mengandungi
masalah hukum yang paling
shahih, bahasanya mudah
dan pembahasannya menyeluruh.
Cara kitab ini menyelesaikan
masalah-masalah cabang ialah
dengan menyandarkan kepada ushul (asas dan dasar).
Banyak sekali para penuntut ilmu
meriwayatkan hadits dari Imam Malik ketika beliau masih muda belia. Disini kita
kategorikan beberapa kelompok yang meriwayatkan hadits dari beliau,
diantaranya; Guru-guru beliau yang meriwayatkan dari Imam Malik, diantaranya;
a.
Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zahrani
b.
Yahya bin Sa’id Al-Anshari
c.
Paman beliau, Abu Sahl Nafi’ bin Malik
Dari kalangan teman sejawat beliau adalah;
a.
Ma’mar bin Rasyid
b.
Abdul Malik bin Juraij
c.
Imam Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit
d.
Syu’bah bin Al-Hajaj
e.
Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri
f.
Al-Laits bin Sa’d
Orang-orang yang meriwayatkan dari Imam Malik
setelah mereka adalah;
a.
Yahya Bin Sa’id Al-Qaththan
b.
Abdullah bin Al-Mubarak
c.
Abdurrahman bin Mahdi
d.
Waki’ bin al Jarrah
e.
Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Sedangkan yang meriwayatkan Al Muwaththa`
banyak sekali, diantaranya;
a.
Abdullah bin Yusuf At Tunisi
b.
Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi
c.
Abdullah bin Wahb al Mishri
d.
Yahya bin Yahya Al Laitsi
e.
Abu Mush’ab Az Zuhri
Sedang yang seangkatan adalah
sufyan bin said al-sauri, lais bin saad al-Misri, al-auza’i,
Hamad bin Zaid,
Sufyan bin Uyaynah,
Hammad bin Salamah, Abu
Hanifah dan Putranya
Hammad, Qodhi Abu
Yusuf, Qodhi Syuraik
bin Abdullah dan Syafi’i, Abdullah bin Mubarok, Muhammad bin hasan.
F.
Karya Imam Malik
Di antara karya Imam
Malik adalah kitab Al-Muwatha’ yang ditulus pada tahun 144 H. Atas anjuran khalifah
Ja’far Al-Mansyur, menurut peneliti Abu Bakar
Al-Abhary atsar Rasulullah
SAW, para sahabat
dan tabi’in yang tercamtum dalam kitab al-Muwatha’
sejumlah 1.720 orang.
Pendapat Imam Malik bisa sampai pada kita melalui 2 buah kitab,
yaitu Al-Muwatha’ dan Al-Mudawwanah al-Kubro. Kitab al-Muwatha’ mengandung dua aspek yaitu
aspek hadits dan
aspek fiqih. Adanya
aspek hadits karena Al-Muwatha’ banyak
mengandung hadits yang
berasal Rasulullah SAW
atau dari sahabat atau tabi’in.
Hadits itu diperoleh dari 95 orang yang kesemuaannya dari penduduk
Madinah, kecuali 6
orang diantaranya: Abu
Al-zubair (Makkah), Humaid Al-Ta’wil
dan Ayyub Al-Sahtiyang (basrah),
Atha’ bin Abdullah (khurasan), Abdul Karim (jazirah),
Ibrahim ibn Abi Abiah (syam).
Sedangkan yang dimaksud
aspek fiqih adalah
kaena kitab Al-Muwatha’ disusun berdasarkan
sistematika dengan bab-bab
pembahasan layaknya kitab fiqih. Ada bab thaharah, sholat, zakat,
nikah, dan lain-lain.
Kitab lain karangan Imam
Malik adalah kitab Mudawwanah
Al-Kubro yang merupakan kumpulan risalah yang memuat kurang lebih 1.036
masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh As’ad bin Al-furaid
Al-Naisabury yang berasal dari tunis yang pernah menjadi murid Imam Malik.
G.
Metode Istimbat Hukum Imam Malik
Imam Malik merupkan imam
mazhab yang memiliki
perbedaan Istimbat hukum dengan imam mazhab lainnya. Imam Malik
sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar
fiqhiyah yang menjadikan
pijakan dalam berijtihad,
tetapi pemuka-pemuka maszhab ini,
murid-murid Imam Malik dan generasi
yang muncul sesudah itu, mengumpulkan dasar-dasar
fiqhiyah Imam Malik kemudian menulisnya.
Dasar-dasar fiqhiyah itu kendatipun tidak ditulis sendiri oleh Imam Malik, akan
tetapi mempunyai kesinambungan pemikiran, paling tidak beberapa isyarat itu
dapat dijumpai dalam
fatwa-fatwa Imam Malik dalam bukunya “Almuwatha’ ”. dan dalam Almuawatha’
, secara jelas Imam Malik menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang
Madinah” sebagai salah satu sumber hukum
setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan
ia mengambil hadis Munqathi’ dan Mursal selama tidak
bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.
Mengenai metode istimbath Imam Malik telah dijelaskan oleh Al-qadi
iyat dalam Al-Madarik dar Al
-Rasyid, dan juga
salah seorang fuqaha
malikiyah. Kemudian dalam kitab Al-Bahjah yang di simpulkan oleh
pengarang kitab Tarikh Al-Madzhabil Islamiyah disebutkan sebagai berikut: ”kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh
kedua ulama ini dan yang lainya bahwasanya metode ijtihad imam Darul Hijriyah
itu adalah apabila beliau tidak mendapat
suatu nash didalamnya
maka dia mencarinya
di dalam sunnah,
dan menurut beliau yang masih tergolong kategori sunnah perkataan
Rasulullah saw, fatwa-fatwa sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan
penduduk Madinah. Setelah sunnah dengan berbagai cabangnya berulah datang (dipakai)
qiyas”.
Walaupun para ulama
hadits yang ditemui oleh Imam
Malik termasuk kelompok ulama tradisional yang menolak pemakaian akal
dalam kajian hukum, namun pengaruh Rabi’ah
bin yahya bin
Sa’id tetap kuat
pada corak kajian fiqihnya. Hal
ini dapat dilihat
pada metodologi kajian
hukum madzhab Malik yang
bersumber pada: Al-Qur’an, Hadits,
tradisi masyarakat Madinah, fatwa sahabat, qiyas, maslahah mursalah,
istihsan, sadd al-dzara’i.
Sedangkan menurut Hasbi
Ash-Shiedieqy mengatakan
Imam Malik bin Anas mendasarkan
fatwanya kepada kitabullah,
sunnah yang beliau pandang shahih, amal ahli Madinah, qiyas,
istihsan.
Menurut As-Satibi dalam
kitab Al-Muwafaqot menyimpulkan
dasar-dasar Imam Malik ada empat
yaitu al-Qur’an, Hadits, ijma’,
ra’yu. Sedangkan fatwa sahabat
dan amal ahli Madinah
digolongkan dalam sunnah.
Ro’yu meliputi masalahah
mursalah, sadd al zara’i, adat (urf), istihsan dan istishab. Secara garis
besar, dasar-dasar Imam Malik
dalam menetapkan suatu hukum dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an
Ialah kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab yang di
riwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf. Dalam mengambil hukum di
dalam al-Qur’an beliau berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur’an atau keumumannya,
meliputi mahfum al-muwafaqoh dan
mahfum aula dengan memperhatikan illatnya.
2.
Sunnah (Hadits)
Ialah segala
perakataan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan) Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan
hukum. Dalam mengambil hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukan dalam
mengambil hukum di dalam al-Qur’an. Beliau
lebih mengutamakan makna
yang terkandung dalam sunnah dari pada dhahir sunnah ( sunnah Mutawatir atau
masyhur).
3.
Amal Ahli Madinah
Mazhab maliki memberikan
kedudukan yang penting
bagi perbuatan orang-orang
Madinah, sehingga kadang-kadang mengenyampingkan hadits
ahad, karena amalan
ahli Madinah merupakan
pemberitaan oleh jama’ah sedangkan hadits ahad merupakan pemberitaan
perorangan. Apabila pekerjaan
itu bertentangan dengan pekerjaan
orang Madinah, menurut pandangannya
sama kedudukannya dengan yang diriwayatkan mereka, dimana mereka
mewarisi pekerjaan tersebut
dari nenek moyang mereka secara berurutan sampai kepada
para sahabat.
Imam Malik menggunakan
dasar amal ahli Madinah karena mereka paling
banyak mendengar dan
menerima hadits. Amal Ahli Madinah yang digunakan
sebagai dasar hukum
merupakan hasil mencontoh Rasulullah
SAW bukan dari
Ijtihad ahli Madinah, serta amal ahli Madinah sebelum terbunuhnya
Usman Bin Affan.
4.
Fatwa Sahabat
Fatwa sahabat merupakan
fatwa yang berasal
sahabat besar yang didasarkan pada
al-naql. Dan fatwa
sahabat itu berwujud hadits yang wajib diamalkan,
karena menurut Imam Malik sahabat
tersebut tidak akan memberikan
fatwa kecuali atas
dasar apa yang
dipahami dari rasulullah SAW,
dalam hal ini Imam
Malik mensyaratkan fatwa sahabat
tersebut harus tidak bertentangan dengan hadits marfu’.
5.
Qiyas Isthisan
Qiyas merupakan menghubungkan
suatu kejadian yang
tidak ada nash kepada kejadian
lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh
nashnya karena adanya
kesamaan dua kejadian
itu didalam “illat hukum’.
Dan qiyas ini
merupakan pintu awal
dalam ijtihad untuk menentukan hukum yang tidak ada nashnya baik dalam al-Qur’an
atau sunnah.
6.
Maslaha Mursalah
Maslahah Mursalah yaitu
memilihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang
menolak mahluk. Sedangkan isthisan adalah
menurut hukum dengan
mengambil maslahah yang merupakan bagian
dalam dari dalil
yaitu bersipat kulli
(menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-mursal dari pada
qiyas, sebab menggunakan isthisan
itu, bukan berarti
hanya mendasarkan pada pertimbangan
perasaan semata, melainkan
mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara
keseluruhan.
Dalam hal ini, ketika Imam Malik menemui sebuah kasus dan tidak menemukan
pemecahanya pada al-Qur’an, sunnah, serta ijma’ sahabat Madinah. Barulah ia
mengqiyaskan kasus yang baru itu dengan kasus yang mirip
yang pernah terjadi.
Jika pada dua
kasus terjadi banyak illat (sebab, alasan) yang serupa atau
hampir serupa. Akan tetapi jika hasil pengqiyasan itu
ternyata berlawanan dengan
kemaslahatan umum, baginya lebih
baik menetapkan keputusan
hukumnya atas dasar prinsip
kemaslahatan umum.
Imam Malik menggunakan maslahah
mursalah pada kepentingan yang sesuai dengan semangat
syariah dan tidak bertentangan dengan salah
satu sumbernya serta
pada kepentingan yang
bersipat dharury (meliputi
pemiliharaan agama, kehidupan,
akal, keturunan dan kekayaan).
7.
Istihsan
Selanjutnya metode Istihsan
hukum yang digunakan Imam Malik adalah Maslahah yang bersifat umum bukan sekedar
Maslahah yang hanya berlaku untuk orang
tertentu. Selain itu maslahah tersebut juga tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan
Nash (baik al-Quran maupun Sunnah).
8.
Zadd Al-Zarai’
Imam Malik menggunakan zadd al-zarai’ sebagai landasan dalam menetapkan
hukum, karena menurutnya semua jalan atau sebab yang menuju kepada
yang haram atau
larangan, hukumnya haram.
Dan semua jalan atau
sebab yang menuju
kepada yang halal,
halal pula hukumnya
BAB I
SEJARAH SINGKAT IMAM SYAFI'I
1.
Putra Kelahiran Palestina
Imam Syafi'i dilahirkan pada 150
Hijriyah, bertepatan dengan wafatnya imam Abu Hanifah, guru para ahli fiqih
Irak dan imam metode qiyas. Mayoritas
riwayat menyatakan bahwa Syafi'i dilahirkan di Gaza, Palestina, seperti yang
diriwayatkan oleh hakim melalui Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Al-Hakam. Ia
berkata, "kudengar Syafi'i bertutur, 'aku dilahirkan di Ghaza, kemudian
ibuku memboyong ku ke Asqalan.'"
2.
Nasab Yang Mulia
Nama lengkap imam Syafi'i adalah
abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Al-Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi' Ibn Al-Sa’ib
Ibn ‘Ubaid Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibnu Muthallib Ibn Abdi Manaf. Akar nasab
Syafi'i bertemu dengan akar nasab Nabi SAW., Tepatnya di moyangnya yang bernama
abdi Manaf.
Abdi Manaf adalah moyang Nabi
SAW. Yang memiliki empat putra: Hasyim, darinya terlahir Nabi SAW,: Muthalib,
darinya terlahir imam Syafi'i; Naufal, kakek dari Jabir Ibn Muth'im; dan Abd
Syams, kakek moyang Bani Umayyah. Dengan demikian, nasab keluarga Muhammad Ibn
Idris Ibn Abdullah Al-Syafi'i bertemu dengan nasab Nabi, tepatnya di Abdi Manaf
sebagai kakek moyang Nabi SAW.
Ada satu syair tentang nasab nya
ini:
Nasabnya seakan di sinari mentari
pagi
Dan menjadi tiang bagi lentera
Didalamnya hanya para pemuka
Dan putra para pemuka
Yang terhormat, mulia, dan
bertakwa.
3.
Keluarga Arab Murni
Muththalib
ibn Abdi Manaf
Muththalib ibn Abdi Manaf adalah
Paman Abdul Muthalib, kakek Nabi SAW. Ada yang berpendapat bahwa Abdul Muthalib
dipanggil dengan nama "Abd" karena dia dirawat oleh Muthalib Ibn Abdi
Manaf. Pada zaman jahiliyah, seorang anak yatim disebut "Abd" bagi
orang yang merawatnya.
Abdul Muthalib hidup bersama
pamannya, Muthalib, hingga sang Paman meninggal dunia. Ketika itu Bani Muthalib
merupakan sekutu Bani Hasyim, baik pada zaman jahiliyah maupun pada zaman Islam.
Tatkala kaum Quraisy memboikot keluarga Bani Hasyim karena mereka melindungi
Nabi, Bani Muthalib-lah yang selalu mendampingi Bani Hasyim. Mereka rela
tinggal di tenda-tenda pengungsian dan menerima segala perlakuan yang diterima
oleh Bani Hasyim. Karena itu, Nabi SAW. Sangat menghargai peran dan jasa
mereka. Beliau membagi 2/5 jatah harta rampasan perang yang diperuntukkan bagi
kerabat beliau untuk Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Hal ini mendorong Bani
Umayyah dan Bani Naufal meminta jatah seperti mereka.
Jabir Ibnu Muth'im menuturkan,
"ketika Rasulullah membagikan hasil pampasan perang khaibar yang menjadi
jatah kerabatnya kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, aku dan Utsman bin
Affan menghadap beliau. Kataku, "wahai Rasulullah, mereka adalah saudara-saudaramu
dari Bani Hasyim yang keutamaan mereka tak diragukan, karena Allah telah
memilihmu dari kalangan mereka. Akan tetapi, engkau memberi jatah Abdul
Muthalib, sementara kami kau abaikan. Padahal kami dan mereka sama saja.'
Mendengar hal ini, beliau
menjawab, "mereka tidak pernah meninggalkan kami pada masa jahiliyah dan
pada masa Islam. Bani Hasyim dan Bani Muthalib itu sama." Rasulullah
mengucapkan hal itu sambil mencengkram jari-jari tangannya.
Hasyim Ibn
Abdul Muthalib dan keturunannya
Hasyim Ibn Abdul Muthalib adalah
ayah Abdul Muthalib, kakek Nabi. Karena kedekatan dan kecintaan Muthalib kepada
Hasyim, Hasyim pun menamakan putranya dengan nama Abdul Muthalib. Abdu Yazid
Ibn Hasyim punya nama lain: Abu Rukanah. Ia memiliki 4 putra yang pertama
Rukana, ‘Ujair, ‘Umair, dan ‘Ubaid. Ibunda 'Ubaid Ibn Yazid sendiri bernama Al-Sifa' binti Al-Arqam
Ibnu Nadhalah.
Putra ‘Ubaid yang bernama
Al-Sa'ib tadinya adalah seorang musyrik. Ia bertugas sebagai pengusung Panji
Bani Hasyim pada perang badar. Tetapi ia ditawan, kemudian menebus dirinya
sendiri. Setelah itu ia masuk Islam. Ketika ditanya kenapa tak masuk Islam
sebelum menebus dirinya sendiri, ia menjawab, "Aku tidak mau menghalangi
kaum mukmin membalas sikapku terhadap mereka".
Saat Al-Sa’ib dan Abbas, paman
Rasulullah, dibawa menghadap beliau sebagai dua orang tawanan, Rasulullah SAW.
Bersabda tentang Al-Sa’ib, "Dia saudaraku dan aku saudaranya." Konon,
Al-Sa’ib ini sangat mirip dengan Nabi SAW.
Suatu ketika, Al-Sa’ib sakit.
Umar berkata kepada para sahabatnya, "Mari kita menjenguk Al-Sa’ib Ibn
‘Ubaid karena ia orang Quraisy pilihan."
Syafi'i Ibn
Al-Sa’ib dan Keturunannya
Syafi'i Ibn Al- Sa’ib
Ia adalah kakek dari kakek Imam
Syafi'i. Nama Imam Syafi'i dinisbahkan kepadanya. Ia termasuk sahabat
Rasulullah generasi terakhir. Semua riwayat sepakat bahwa ia pernah bertemu
dengan Nabi saat ia dewasa. Tentangnya, ada satu hadis yang diriwayatkan oleh
hakim dari Anas bahwa suatu hari Nabi SAW. Tengah berada di Fusthath. Tiba-tiba
beliau didatangi oleh Al-Sa’ib Ibn Ubaid sambil membawa putranya yang masih
belia, Syafi'i Ibn Al-Sa’ib. Nabi SAW pun memandang sang putra, lalu bersabda,
"termasuk kebahagiaan seseorang jika ia mirip dengan bapaknya."
Syafi'i memiliki saudara bernama
Abdullah yang pernah menjadi gubernur Mekah, seperti diriwayatkan Hakim.
Utsman Ibn Syafi'i
Ia adalah ayah kakek Imam
Syafi'i. Ia hidup hingga masa
kekhalifahan Abi Al- Abbas As-Saffah, salah seorang khalifah dinasti Abbasiyah.
Namanya pernah disebut dalam kisah Bani Muthalib. Ketika Al-Saffah ingin
menyisihkan Bani Muthalib dari jatah seperlima pampasan perang yang sudah
ditentukan Allah dan mengkhususkannya untuk Bani Hasyim saja, maka Utsman
menentangnya dan meluruskan kondisinya hingga seperti pada zaman Nabi.
Al-Abbas Ibn Utsman
Ia adalah kakek Imam Syafi'i. Ia
banyak meriwayatkan hadis dan banyak hadis diriwayatkan darinya. Al-Khajraji
menyebut namanya dalam kitab Khalashah.
Disebut bahwa Abbas meriwayatkan hadits dari Umar Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abi
Thalib r.a.
Idris Ibn Abbas
Ayah Imam Syafi'i adalah Idris
Ibn Abbas. Ia berasal dari Tabalah (bagian dari negeri Tahamah yang terkenal).
Tadinya ia bermukim di Madinah, tetapi di sana ia banyak menemui hal yang tidak
menyenangkan. Akhirnya ia hijrah ke Asqalan (kota di Palestina). Ia pun menetap
di sana hingga wafat. Ketika itu Imam Syafi'i masih dalam buaian sang ibu.
Idris hidup miskin.
4.
Ibunda Sang Pembimbing
Ibunda
Imam Syafi'i berasal dari Azad, salah satu kabilah Arab yang masih murni. Ia
tidak termasuk kabilah Quraisy, meskipun sekelompok orang fanatik terhadap Imam
Syafi'i mengaku-ngaku bahwa ibunda Syafi'i berasal dari kaum Quraisy Alawi.
Pendapat yang benar adalah ia berasal dari kaum Azad karena riwayat-riwayat
yang bersumber dari Syafi'i menegaskan bahwa ibunya berasal dari Azad. Para ulama pun sepakat akan keabsahan
riwayat tersebut.
Seorang ibu yang
sadar adalah ibu yang mendidik putra-putrinya dengan kebaikan dan keutamaan.
Ibunda Imam Syafi'i merupakan sosok ibu yang memiliki andil besar dalam
membentuk dan membina kepribadiannya. Ibunda Imam Syafi'i berasal dari kabilah
Azad, satu kabilah Arab yang masih murni.
Ahli Ibadah
Yang Cerdas
Ibunda Imam Syafi'i taat
beribadah dan berakhlak mulia. Diantara hal menarik tentang kecerdasannya adalah
saat ia menjadi salah seorang saksi di hadapan pengadilan Mekkah bersama
seorang saksi perempuan lain dan seorang saksi laki-laki. ketika itu hakim
ingin memisahkan antara kesaksian 2 orang perempuan tersebut. Akan tetapi,
ibunda Imam Syafi'i berseru, "kau tidak layak melakukan hal itu karena
Allah telah berfirman, Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantara kalian). Jika tak ada
dua orang lelaki maka (boleh seorang lelaki dan 2 perempuan dari saksi-saksi
yang kalian ridhai, supaya jika seseorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya (Al-Baqarah: 282). "Akhirnya
sang hakim menarik kembali pendapatnya.
Belakangan, sosok seorang ibu
seperti dirinya memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk kepribadian
Imam Syafi'i.
5.
Hidup Miskin
Syafi'i terlahir dari seorang
bapak keturunan Quraisy. Bapaknya meninggal dunia saat Syafi’i masih dalam
buaian ibunya. Syafi'i hidup sebagai anak yatim dan miskin, sementara nasabnya
sangat mulia. Jika kemiskinan disandingkan dengan keturunan yang mulia maka
orang yang dibina dalam kondisi ini akan tumbuh baik, memiliki akhlak yang
lurus, dan menempuh jalur yang mulia. Karena, ketinggian masa mendorong seorang
anak untuk memiliki nilai-nilai mulia dan menjauhi hal-hal yang hina sejak
kecil selain itu hakikat "pertumbuhan" sendiri selalu bergerak ke
arah ketinggian dan nilai-nilai baik. Kemiskinan yang disertai dengan
ketinggian nasab inilah yang membuat Syafi'i kecil dekat dengan masyarakat dan
ikut merasakan penderitaan mereka. Syafi'i sering berbaur dengan mereka dan
merasakan apa yang mereka rasakan.
Syafi'i
Pindah Ke Mekah
Nilai-nilai luhur telah tertanam
dalam diri Syafi'i. Ibunya selalu membimbing Syafi'i untuk terus meraihnya
dengan mengirim Syafi'i dari Gaza ke Mekkah. Hal ini ia lakukan agar Syafi'i
bisa hidup tidak jauh dari pusat ilmu kala itu. Sang ibu juga takut Syafi’i
kehilangan garis nasabnya di sana. Al-Baghdadi meriwayatkan, dalam tarikh Baghdad,dengan sanad yang
tersambung hingga Syafi'i bahwa Syafei ber pernah berkata, "Aku dilahirkan
di desa Yaman (desa di Palestina). Ibuku khawatir aku tersia-siakan. Ia
berpesan kepadaku, 'carilah garis nasab keluargamu agar kau menjadi seperti
mereka. Aku takut garis nasabmu hilang'. Kemudian ibuku mempersiapkan segalanya
untuk perjalananku ke Mekah. Aku pun berangkat ke sana. Ketika itu aku masih
berumur sekitar 10 tahun. Aku menetap di rumah salah seorang kerabat ku dan
mulai menuntut ilmu di sana."
BAB II
PERJALANAN MENUNTUT ILMU
1.
Awal Menuntut Ilmu
Syafi'i mulai membuka mata dan hatinya
di negeri kelahiran moyangnya. Negeri yang merupakan tumpuan hati dan harapan
seluruhkaum Muslim di dunia dan tempat turunnya wahyu islam, Mekkah. Syafi'i
mulai beradaptasi dengan lingkungan ini untuk mengukuhkan posisinya di tengah
para ulama dan orang-orang terhormat. Adakah jalan untuk ini selain dengan
menuntut ilmu?
Ibunda yang cerdik ingin membawa
Syafi'i kecil ke tempat seorang guru untuk memintanya mengajari Syafi'i membaca
Al-Qur’an dan menulis layaknya anak-anak saat mulai belajar. Sayangnya, sang
ibu tidak memiliki apa-apa untuk diberikan sebagai upah kepada guru. Tentang
hal ini, Syafi'i menuturkan, "Aku seorang yatim yang diasuh ibuku. Ia
tidak memiliki apa-apa untuk biaya pendidikan ku."
2.
Anak Yang Matang Dan Cerdas
Suatu hari guru Syafi'i terlambat datang ke
majelisnya. Dengan nekat Syafi’i berdiri menggantikan gurunya mengajar
anak-anak yang lain. Sejak itu, sang guru tahu bahwa Syafi'i bukan anak biasa.
Ia pun mulai memerhatikan Syafi'i dan memutuskan untuk membebaskannya dari
biaya pendidikan asal Syafi'i mau mengajari anak-anak lain jika ia terlambat
atau berhalangan hadir.
Dengan penuturan Syafi’i,
"Saat membaca buku, Aku dengar guruku tengah mengajari seorang anak
tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Aku pun memulai menghafalnya. Ketika guru selesai
mendiktekan semua ayat untuk murid-muridnya, biasanya aku sudah menghafalnya
terlebih dahulu. Suatu hari guruku pernah berkata, 'tak layak bagiku untuk
memungut bayaran sepeser pun darimu'".
Hal ini terus berlangsung sampai
Syafi'i menghafal seluruh Al-Qur’an, padahal ketika itu ia baru menginjak usia
7 tahun.
3.
Masa Muda Tanpa Gejala Pubertas
Syafi'i mulai masuk ke masjid dan
berkumpul dengan para ulama. Ia banyak mendengarkan pelajaran dari mereka
dengan mengerahkan segenap kemampuan otak dan semangatnya. Setelah rampung
menghafal Al-Qur’an, Syafi'i mulai tertarik menghafal hadits. Antusiasnya
terhadap hadis sangat tinggi. Saking banyaknya ia mendengarkan para Muhaddits menyampaikan hadis, Ia
berhasil menghafal banyak hadits dengan hanya mendengar. Kadang ia
menuliskannya di atas tembikar atau di atas kulit.
Ia biasa pergi ke perpustakaan
tempat catatan-catatan atau manuskrip-manuskrip disimpan. Di sana ia meminta
beberapa lembar manuskrip dan menulis catatan di bagian yang belum ada catatannya.
Pada fase ini ia berhasil menghafal Al-Muwaththa'
karya besar Imam Malik, bahkan sebelum ia bertemu dengan sang imam.
Al-Muzanni meriwayatkan dari
Syafi’i, katanya, "Aku telah menghafal Al-Qur’an saat aku berumur 7 tahun,
dan berhasil menghafal Al-Muwaththa'
saat aku berumur 10 tahun".
Pada masa mudanya Syafi'i belum
pernah menikmati indahnya masa muda atau mengalami gejala pubertas seperti
kebanyakan anak seusianya. Syafi'i lebih menyibukkan diri dengan menuntut ilmu
dan menjadikannya sebagai tujuan.
Tentang kebiasaan menulis ini,
Syafi'i mencatat pesannya dalam satu bait syair:
Ilmu buruan dan catatan adalah
pengikatnya
Ikatlah buruan mu dengan tali
yang kuat
Sungguh bodoh jika kau berhasil
memburu rusa
Namun kau biarkan ia terlepas di
tengah makhluk lain
Imam Syafi'i menjelaskan bahwa
nilai manusia terletak pada ilmunya, bukan pada pakaian atau penampilannya. Ia
berkata,
Aku mengenakan pakaian yang jika
semuanya kujual niscaya menghasilkan uang yang banyak
Dalam pakaian itu ada satu napas
jika dibandingkan dengan napas-napas yang berpenyakit paru-paru maka ia lebih
besar
Merusak sarung pedang takkan
merusak ketajaman pedangnya
Meski pedang itu patah sepanjang
sarungnya.
Tentang keutamaan ilmu, Syafi'i berkata,
Belajarlah! Seseorang tidak dilahirkan
sebagai seorang alim
Pemilik ilmu tidak seperti orang
bodoh
pemimpin satu kaum yang tidak
memiliki ilmu terlihat kecil jika dikelilingi oleh pasukannya
Orang yang kecil di tengah satu
kaum jika berilmu, ia terlihat besar di tengah masyarakat.
BAB III
PETUALANG CILIK
1.
Syafi'i Di Dusun
Saat semangat dan kegigihannya
masih kuat pada waktu kecil, Syafi'i mulai mendalami bahasa Arab untuk
menghindari kesalahan-kesalahan dalam melafalkannya. Kala itu kesalahan dalam
pelafalan banyak dialami orang Arab akibat pencampuran mereka dengan
bangsa-bangsa non-arab, khususnya terjadi di kota-kota besar. Selain itu,
Syafi'i terdorong mendalami bahasa Arab karena begitu yakin bahwa bahasa adalah
kunci ilmu pengetahuan.
Cara terbaik mempelajari bahasa
Arab, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW., adalah dengan mempelajari
kesusastraan terlebih dahulu. Rasulullah pernah diasuh di perkampungan Bani
Sa’ad, suku Arab terfasih pada zamannya. Demikian pula halnya Syafi'i: ia
memilih tinggal di dusun kaum Hudzail, kaum yang terkenal memiliki jati diri
kearah ban yang kuat dan mahir di bidang ilmu bayan dan syair.
Kaum Hudzail adalah suku Arab yang paling fasih dan andal di
bidang syair. Mereka banyak memiliki karya syair yang berkualitas tinggi. Semua
bernuansa romantis dan menyentuh. Syafi'i menetap di tengah kau Hudzail untuk
belajar bahasa dan sejarah Arab. Di sana ia juga mempelajari ilmu nasab dan
syair selama 17 tahun (ada yang berpendapat 10 tahun).
Menghafal
Syair dan Sejarah
Tentang hal ini, Syafi'i
bertutur, "Aku mengembara ke Mekah. Di sana Aku menetap di dusun Bani
Hudzail untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat mereka. Bani Hudzail adalah
suku Arab yang bahasanya paling fasih. Aku selalu turut serta dalam setiap
pengembaraan mereka, kemana saja. Ketika kembali ke Mekah, aku pun mulai mahir
melantunkan syair-syair, mengurut nasab-nasab, dan menyampaikan sejarah atau
berita-berita bangsa terdahulu."
Seperti itulah Syafi’i
mempelajari berita-berita tentang ihwal orang-orang dusun dan menghafal
syair-syairnya. Namun, Syafi'i lebih memfokuskan perhatiannya pada syair-syair
Hudzail hingga ia sangat mahir dalam hal itu. Bahkan Al-Ashmu'i, perawi beragam
peninggalan sastra jahiliyah dan Islam, mengakui kepiawaian Syafi'i dalam hal
itu. Ia menuturkan, "Aku men-tashhih
syair-syair Huzail di tangan seorang pemuda Quraisy, Muhammad Ibn Idris.”
2.
Latihan Militer
Di dusun, Syafi'i tidak hanya
belajar sejarah, sastra, dan menghafal syair-syair. Ia juga mempelajari tradisi
dan adat istiadat mereka yang dianggapnya baik, khususnya di bidang ketangkasan
perang. Didusun Huzail, Syafi’i belajar teknik memanah dan ia sangat menyukai
hingga sangat piawai dalam melakukannya. Bahkan, jika Syafi'i melesatkan 10
anak panah, tak satu pun dari anak panah tersebut yang meleset dari sasaran.
Syafi'i pernah berkata kepada
murid-muridnya, "Hobiku ada dua: memanah dan menuntut ilmu. Di bidang
teknik memanah, aku sangat mahir. Setiap 10 anak panah yang ku luncurkan,
semuanya tepat mengenai sasaran." Namun di bidang ilmu, Syafi'i terdiam.
Lantas para hadirin berseru, "Demi Allah, di bidang ilmu, kemampuanmu
lebih hebat dibandingkan kemampuanmu dalam memanah."
Air Zam-Zam
Syafi'i menuturkan, "Aku
meminum air zam-zam untuk tiga hal: pertama, untuk memanah. Tingkat ketepatan ku
dalam memanah mencapai 90 hingga 100%. Kedua, Aku mau minum zam-zam untuk ilmu.
Di bidang ini, aku seperti yang kalian saksikan. Ketiga, Aku mau minum zam-zam
untuk meraih surga."
Syafi'i juga pernah berkata,
"Aku selalu berlatih memanah hingga seorang dokter pernah berkata
kepadaku, 'Aku khawatir kau terkena penyakit kulit karena kau terlalu sering
berpanas-panasan di bawah terik matahari."
Penunggang
Kuda Yang Tidak Tertandingi
Di antara keterampilan yang
dipelajari dan diperdalam oleh Syafi'i di dusun adalah teknik menunggang kuda.
Tak heran jika Syafi’i menjadi seorang penunggang kuda yang tak tertandingi.
Al-Rabi'menuturkan, "Syafi'i adalah orang yang paling berani dan paling
mahir dalam menunggang kuda. Saat menunggang kuda, ia biasa memegang talinya
sendiri dengan satu tangan, sementara tangan yang satu lagi memegang telinga
kudanya. Dan kuda itu terus berlari kencang." Ini menunjukkan kemahiran
Syafi'i dalam menunggang kuda.
Itulah pendidikan awal yang
didapat Syafi'i. Tipe pendidikan Arab ideal yang mesti didapat setiap pemuda
pada waktu itu: menghafal Al-Qur’an, mencari hadis, memperdalam bahasa,
berlatih menunggang kuda, mendalami sejarah, dan mengikuti perkembangan
orang-orang kota dan desa.
3.
Kembali Sebagai Seorang Penyair
Setelah menguasai ilmu bahasa,
Syafi'i pulang ke Mekah. Hafal Al-Qur’an dan kitab Al-Muwaththa-nya tetapi ia jaga, tapi ia belum tergolong orang yang
alim. Ia lebih dikenal sebagai penyair dan sastrawan. Ketika itu, para penyair
dan sastrawan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di kalangan orang Arab.
Syafi'i memiliki majelis-majelis khusus untuk melantunkan syair-syairnya,
menuturkan kisah-kisah, dan berita-berita Arab, serta ragam sastranya. Banyak
orang menyukai majelis-majelis seni sastra seperti ini. Sejak itulah mereka mulai
sering berkumpul di sekeliling Syafi'i.
4.
Syafi'i Berangkat Ke Madinah
Dalam perjalanannya ke Madinah,
ada satu kisah menarik yang cukup terkenal. Kisah ini dituturkan sendiri oleh
Syafi'i seperti berikut:
"Setelah itu, aku pergi dari
kota Mekah dan memilih tinggal di dusun Bani Hudzail. Di sana Aku mempelajari
bahasa dan adat istiadat mereka. Suku Hudzail adalah suku Arab yang bahasanya
paling fasih dan paling murni. Aku tinggal bersama mereka selama 17 tahun. Aku
biasa turut berpergian dengan mereka ke mana saja. Setelah kembali ke Mekkah,
aku sering melantunkan syair-syair, sastra, dan berita-berita Arab terdahulu.
Tiba-tiba seorang laki-laki dari Bani Zubair, keluarga pamanku, berkata
kepadaku, "wahai Abu Abdullah, aku sangat menyayangkan jika kepastian
bahasa dan kecerdasanmu ini tidak disertai dengan ilmu fiqih. Dengan fiqih, kau akan memimpin semua
generasi zaman mu.'
Lalu aku bertanya, 'Kalau begitu,
siapa yang harus ku tuju untuk belajar?'
'Malik Ibn Anas, pemuka kaum
muslim, 'jawabnya"
Syafei kembali menuturkan,
"Muncul keinginan untuk
belajar fiqih dalam hatiku. Aku pun segera mencari kitab Al-Muwaththa'. Kitab itu akhirnya aku pinjam dari seorang di Mekah.
Aku langsung menghafal dalam 9 malam. Setelah itu, aku berangkat menemui
Gubernur Mekah. Darinya aku mengambil dua pucuk surat rekomendasi: Satu
ditujukan kepada Gubernur Madinah, yang satu ditujukan kepada Malik Ibn Anas.
Aku langsung berangkat menuju
Madinah. Sampai di sana, ku antarkan surat itu kepada gubernur. Setelah membaca
isi surat tersebut ia bergumam, 'Perjalananku dari Madinah ke Mekah tanpa
sandal kurasa lebih ringan dari pada aku harus mendatangi Malik Ibnu Anas. Aku
tidak berani, bahkan untuk berdiri di depan pintu rumahnya.’ Gubernur Madinah
merasa rendah di hadapan imam kaum muslim, Malik Ibnu Anas.
Aku lalu berkata kepadanya,
'Semoga Allah memperbaiki kondisi Baginda! Sudilah kiranya Baginda mengirim
surat untuk memanggil Imam Malik?'
Gubernur menjawab, 'Mustahil!
Sepertinya, untuk mendapatkan apa yang kami inginkan, aku dan orang-orang ku
harus diterpa debu terlebih dahulu agar bisa diterima di tempat Imam Malik.'
Menurut gubernur, Imam Malik mungkin akan terketuk hatinya saat melihat
gubernur dan para pengawalnya berjalan kaki ke tempatnya.
Syafi melanjutkan, "Akhirnya
kami berjanji untuk berkumpul selepas shalat ashar. Kami berangkat bersama-sama
menuju kediaman Imam Malik. Apa yang dikatakan gubernur benar. Di tengah jalan
kami diterpa debu. Setiba di sana, salah seorang dari kami maju ke depan pintu
dan mengetuknya. Seorang budak perempuan hitam keluar dari dalam.
Gubernur berkata kepadanya,
'Katakan kepada tuanmu, aku ada di depan pintunya!' Budak itu pun masuk, agak
lama, kemudian ia keluar lagi.
Ia berkata, 'Tuanku menyampaikan
salam kepadamu. Ia berpesan, jika engkau ada satu pertanyaan, tulislah
pertanyaanmu, dan ia akan memberikan jawabannya. jika engkau datang untuk
meminta hadits Rasulullah maka engkau pun sudah tahu jadwal majelisnya.
Datanglah ke majelis itu pada waktunya!'
Gubernur itu berkata kepada si
Budak, 'Katakan padanya, aku membuat surat dari Gubernur Mekah untuknya. Isinya
sangat penting!'
BudaK itu lalu masuk dan
membawakan satu kursi. Ia mempersilahkan gubernur untuk duduk. Setelah itu
Malik keluar. Penampilan yang sangat gagah dan berwibawa. Ia adalah orang tua
yang berpostur tinggi dan berjenggot lebat. Ia lantas duduk.
Setelah itu gubernur menyampaikan
surat kepadanya. Malik pun membacanya. Ketika ia sampai pada paragraf ini adalah seorang laki-laki yang sangat
berbakat.... Ajari ia hadits dan lakukan
apa saja terhadapnya...(dalam surat itu tercatat pesan Gubernur Mekah agar
Imam Malik Sudi mengajari Syafi'i). Imam Malik pun melemparkan surat tersebut.
Ia marah dan berkata, 'Subhanallah,
apakah ilmu Rasulullah dipelajari dengan perantara seperti ini?"
Syafi’i kembali menuturkan,
"Aku melihat gubernur ketakutan dan tak kuasa berbicara dengannya. Aku pun
maju dan memberanikan diri untuk berbicara. Ku katakan kepadanya, 'Semoga Allah
memperbaiki keadaanmu. Aku ini seorang dari Bani Muthalib...' Aku pun lantas
menjelaskan latar belakang ku dan tujuanku dalam menuntut ilmu.
Setelah mendengar penuturanku,
Imam Malik memandangiku. Ia pun memen-dam firasat khusus tentang aku.
'Siapa namamu?' tanyanya
kepadaku.
‘Muhammad,’ jawabku.
Lalu ia berkata, 'Muhammad, bertakwalah
kepada Allah dan jauhi maksiat. Karena itu, kelak kau menjadi orang besar.
Allah telah menurunkan cahaya di hatimu maka jangan kau padamkan cahaya itu
dengan maksiat. Esok, datanglah kemari!"
Syafi'i melanjutkan, "Pada
pagi hari, aku datang ke tempatnya. Aku mulai membaca kitab Al-muwaththa'
dihadapannya, sementara kitab tersebut kupegang. Sesekali kuperhatikan Malik,
dan aku menghentikan bacaan ku. Ia kagum akan bacaan dan kemampuan meng-i'rab (mengeja kata kata secara
gramatikal) kata perkata.
Kemudian Imam Malik berkata
kepadaku, tambah lagi wahai anak muda!'
Aku pun melanjutkan bacaanku
hingga aku berhasil merampungkan kitab Al-Muwaththa’
dalam beberapa hari saja. Sejak itu, aku tinggal di Madinah sampai Malik Ibn
Anas wafat."
5.
Murid Imam Malik
Syafi'i berguru langsung kepada
syekh para ahli fiqih, bahkan ulama kaum Muslim terbesar pada zamannya, yaitu
Imam Malik. Ia tumbuh di bawah bimbingannya, memperdalam ilmu fiqih, dan
mempelajari masalah-masalah yang telah di fatwakan olehnya. Ketika itu, usia
Syafi'i telah matang.
Selama tinggal bersama Malik,
sesekali Syafi'i melakukan perjalanan ke negeri-negeri Islam untuk mencari ilmu
mempelajari adat-istiadat penduduknya, serta mendalami sejarah dan kondisi
sosial mereka. Ia juga sering pergi ke Mekkah untuk menjenguk ibunya dan
meminta nasihat darinya. Ibunda Syafi'i merupakan sosok muslimah yang mulia dan
berakhlak tinggi. Ia sangat memahami kondisi Syafi'i yang sibuk menuntut ilmu.
Masa belajar Syafi'i di tempat Imam Malik tidak menghambatnya untuk mengembara
dan mencari pengalaman pribadi dari berbagai pelosok negeri.
Syafi'i orang yang cerdas,
tanggap, dan mudah menghafal. Ia banyak menimba ilmu dari Imam Malik, selain
dari ulama-ulama yang lain. Yang membuat Syafi'i cepat menguasai ilmu fiqih dan
mengalahkan orang-orang pada zamannya adalah dua hal: kecerdasan dan kemampuan
hafalannya yang luar biasa, serta tingkat kefasihan dan kemahirannya dalam
bahasa.
Manfaat
Pengembaraan
Syafi'i sangat menganjurkan
mengembara dan menuntut ilmu. Tentang hal ini ia menulis syair:
Orang yang berakal dan berbudaya
takkan tenang berdiam di satu tempat
Karena itu, tinggalkanlah kampung
halaman dan mengembaralah!
Pergilah, niscaya kau akan menemukan
ganti dari orang yang kau tinggalkan
Dan berusahalah karena kenikmatan
hidup ada dalam usaha
Aku melihat genangan air dapat
merusak air tersebut
Sekiranya air itu mengalir,
niscaya ia menjadi baik, jika ia diam maka ia menjadi rusak
Seekor singa, jika tidak
meninggalkan hutan, ia tidak akan menjadi buas
Anak panah, jika tidak
meninggalkan busur, ia tidak akan mengenai sasaran
jika matahari selamanya tetap
pada orbitnya niscaya orang Arab dan non Arab akan bosan melihatnya
Emas itu seperti tanah jika dibiarkan
di tempat aslinya
Dahan yang jatuh ketanah hanya
akan menjadi kayu bakar
Jika seseorang mengembara maka
pencariannya akan mulia
Jika ia mengembara maka ia akan
mulia seperti emas.
BAB IV
KEPRIBADIAN SYAFI'I
1. Fisik Syafi'i
Ibn Shalah berkata."
Postur tubuh Syafi'i tinggi dan pipinya agak cekung. Lehernya panjang, demikian
pula tulang paha, betis, dan lengannya, kulitnya coklat dan rahangnya tidak
terlalu lebar. Syafi'i selalu mengecat janggutnya dengan henna (daun pacar)
berwarna merah tua. Suaranya merdu dan enak didengar. Keningnya lebar, wajahnya
tampan dan berwibawa, serta ucapannya fasih. Ia adalah orang yang paling sopan
dalam bertutur kata."
Ibn Shalah
berkata." Postur tubuh Syafi'i tinggi dan pipinya agak cekung. Lehernya
panjang, demikian pula tulang paha, betis, dan lengannya,kulitnya coklat dan
rahangnya tidak terlalu lebar. Syafi'i selalu mengecat janggutnya dengan henna
(daun pacar) berwarna merah tua. Suaranya merdu dan enak didengar. Keningnya
lebar, wajahnya tampan dan berwibawa, serta ucapannya fasih.iya adalah orang
yang paling sopan dalam bertutur kata."
Ibn Shalah
melanjutkan, "Syafi'i adalah orang yang sering sakit. Diceritakan bahwa ia
memiliki hidung yang lancip. Di hidungnya terdapat bekas cacar, di antara bibir
bawahnya dan dagu ada sejumput bulu-bulu halus. Wajahnya berseri, giginya
sangat rapi dan putih berseri."
Baihaqi
meriwayatkan dari Yunus Ibn Abd Al-A'la, Ia berkata," Syafi'i memiliki
postur tubuh yang sedang, kening lebar dan kulit lembut berwarna kecoklatan.
Rahangnya tidak terlalu lebar."
Dalam kitab
Al-Wafi' Al-Shafadi berkata," syafi'i bertubuh langsing, berahang tipis
dengan janggut yang selalu diwarnai henna."
Al-Muzanni
berkata, 'Aku tidak pernah melihat wajah sebaik wajah Syafi'i. Jika ia
menggenggam semua jenggotnya maka jenggot itu tidak melebihi genggaman
tangannya."
2. Suara Yang Merdu Dan Berkesan
Dalam
berbicara, suara Syafi'i terkenal enak didengar. Saat membaca, suaranya merdu.
Jika ia membaca Al-Qur’an, orang-orang akan berkerumunan disampingnya hanya
untuk mendengar indahnya lantunan suara dan bacaannya. Saat membaca Al-Quran
pun ia sangat menghayati bacaannya sehingga orang-orang turut tenggelam dalam
kelembutan suara yang merdu. Melalui bacaan Syafi'i, mereka bisa mengambil
ibrah sambil menangis tersedu-sedu.
Bahar Ibn
Shakhr berkata, "jika kami ingin menangis, kami saling menyarankan untuk
pergi ke tempat pemuda Muthalib (Syafi'i) dan mendengarkannya melantunkan
Al-Qur’an. Jika kami datang ke tempat Syafi'i, ia pun mulai membaca Al-Quran.
Tak pelak, orang-orang terhanyut dan tangis mereka tak terbendung karena
mendengar merdunya suara Syafi'i. Jika sudah melihat apa yang mereka alami,
Syafi'i segera menghentikan bacaannya".
3. Pakaian Syafi'i
Rabi' ibn
Sulaiman ditanya, "Bagaimana dengan pakaian syafi'i?"ia menjawab,
"pakaiannya sangat sederhana. Ia tidak pernah memakai pakaian mewah dan
mahal. Ia hanya mengenakan kain katun Baghdad. Kadangkala ia mengenakan penutup
kepala yang tidak terlalu mahal harganya. Ia banyak mengenakan sorban dan
sepatu bot."
Dalam kitab
Al-Intiqa' disebut, "Syafi'i selalu mengenakan imamah ( penutup kepala)
seperti orang Arab Badui."
Adapun
cincinnya, Rabi' menuturkan, " Syafi'i mengenakan cincin di jari kirinya.
Di cincin itu terukir kalimat kafa billahi tsiqatan Li Muhammad ibn Idris
(cukuplah Allah sebagai Tuhan yang dipercaya oleh Muhammad Ibn Idris)" .
Dalam
riwayat ibn Abi Hatim al-razi disebutkan, "tulisan yang terukir di cincin
nya adalah Allah tsiqatu Muhammad Ibn Idris (Allah adalah Tuhan yang
dipercayakan Muhammad Ibn Idris)."
4. Keluarga Syafi'i
Istri Syafi'i
Ahmad ibn
Muhammad, cicit Syafi’i, ia menuturkan, "istri Syafi'i yang menjadi ibu
bagi anak-anaknya adalah Hamdah binti nafi' Ibn anbasah Ibn Amr ibn Utsman.
Putra Pertama Syafi’i
Putra
pertama Syafi’i adalah abu Usman Muhammad Ibn Muhammad ibn Idris. Iya seorang
yang rajin menuntut ilmu, banyak mendengarkan dari ayahnya, Sufyan ibn
'Uyainah, Abdurraziq, dan Ahmad ibn Hanbal. Abu Utsman menjabat hakim di
jazirah dan menjadi penyampai hadis disana. Ia juga pernah menjabat hakim di
kota Halab, Syam, dan menetap di sana selama beberapa tahun.
Ahman ibn
Hanbal berkata kepada Abu Utsman, "Aku mencintaimu karena tiga hal: karena
kau adalah putra dari Abu Abdullah, seorang dari kaum Quraisy, dan kau termasuk
ahli Sunnah."
Ketika
ayahnya, Syafi'i, meninggal dunia, Abu Utsman telah dewasa dan ia tengah
bermukim di Mekah. Dari Abu Utsman, Syafi'i dikaruniai 3 orang cucu: Al-Abbas
ibn Muhammad Ibn Muhammad ibn Idris, Abu Hasan (meninggal saat masih bayi), dan
Fatimah.
Putra Kedua Syafi'i
Syafi'i juga
memiliki anak laki-laki lain yang bernama Muhammad. Julukannya adalah Abu
Al-Hasan. Anak ini dilahirkan oleh salah satu istri Syafi'i, dananir.
Sayangnya, Abu Hasan meninggal saat masih kecil.
Muhammad ibn
Abdullah ibn Al Hakam berkata," aku mendengar Syafi'i berkata,'
orang-orang banyak yang mengunggulkan air Irak, padahal di dunia ini tak ada
air untuk laki-laki seperti air Mesir. Aku sendiri pernah pergi ke Mesir, dan
aku contohnya."
Putri Syafi'i
Dari
istrinya yang berasal dari keluarga Utsmaniah, Syafi'i dikaruniai dua orang
putri: Fatimah dan Zainab. Zainab inilah yang melahirkan Ahmad ibn Muhammad Ibn
Abdullah yang terkenal dengan ibn binti Al-Syafi'i. Al-nawawi menuturkan,
"Ia adalah seorang imam terkenal, tak ada seorang pun dari keturunan
Syafi'i sehebat dirinya. Pada dirinya mengalir berkah kakeknya."
BAGIAN II BAKAT DAN KEISTIMEWAAN
BAB V
BAKAT KHUSUS
1. Firasat Dan Naluri Syafi'i
Firasat
adalah kemampuan mengenali sosok dan kepribadian seseorang hanya dengan melihat
wajah atau tanda-tanda yang tampak pada dirinya. Syafi'i tertarik mempelajari
ilmu firasat ini, berujicoba dengannya, bahkan ia sampai pandai
mempraktikkannya. Syafi'i mendapatkan ilmu ini sejak kecil, saat ia masih
tinggal di dusun. Sementara buku-buku tentang ilmu firasat ia peroleh dari
Yaman.
Kisah
Menarik Tentang Firasat Syafi'i
Syafi'i
memiliki banyak kisah dan pengalaman yang menarik tentang firasatnya. Yang
paling unik adalah kisah yang diriwayatkan oleh Al-Humaidi bahwa Muhammad Ibn
Idris menuturkan, "aku berpergian ke daerah zaman mencari buku-buku
tentang ilmu firasat agar aku dapat menulis dan menyusunnya. Di tengah jalan,
aku bertemu dengan seorang laki-laki yang tengah duduk di depan rumahnya.
Matanya biru, dahinya lebar, dan ia tak berjenggot.
'Apa disini
tempat persinggahan?'tanyaku padanya.
'Ia',
jawabnya".
Syafi’i
melanjutkan, "kulihat di wajahnya tanda-tanda kehinaan (ini adalah tanda
terburuk dalam ilmu firasat). Ia lalu mempersilahkanku menginap di rumahnya. Sungguh,
ia terlihat begitu baik padaku. Ia menghidangkan makan malam, memberiku
wewangian, dan menyediakan rumput untuk kuda tungganganku. Selain itu, ia juga
menyiapkan kasur lengkap dengan selimutnya untukku. Malam itu, aku tidur sangat
lelap.
'Apa gunanya
buku-buku firasat ini? 'pikirku dalam hati, demi melihat sosok laki-laki yang
begitu baik padaku kendati tampangnya hina dan bengis.
'Firasatku
salah tentang laki-laki ini, 'gumamku. Keesokan harinya, aku meminta budak
untuk melepaskan tali kekang kuda ku. Akupun menaikinya dan bersiap untuk
berangkat. Saat aku melewati laki-laki itu, aku berpesan kepadanya, 'jika kau
berpergian ke Mekah dan melewati daerah Dzi Thawa, tanyakan pada orang-orang,
di mana rumah Muhammad Ibn Idris Al-Syafi'i. Mampirlah ke rumahku itu!'
Orang itu
malah menjawab, 'memangnya, aku ini budak bapak?!'
'Apa
maksudmu?' tanyaku kepadanya.
Ia menjawab,
'perlu kau ketahui, aku membelikan untukmu makanan dengan 2 dirham, wewangian 3
dirham, rumput 2 dirham, harga sewa kasur dan selimut harga sewa kasur dan
selimut nya 2 dirham.'
Mendengar
hal ini, aku kaget. Kuperintahkan asistenku untuk memberi-nya uang sejumlah
yang ia sebutkan.
'Ada lagi
yang lain? 'tanyaku pada laki-laki itu. Ia menjawab, 'harga sewa rumah karena
aku telah membuatmu tidur nyaman, sementara aku rela bersempit sempit untukmu'.
akupun
merasa bahagia karena buku-buku firasat yang semula ku juga sia-sia, ternyata
bermanfaat juga. Buku-buku firasat itu ternyata tidak salah.
Setelah itu
aku bertanya lagi, 'ada lagi biaya lain?'
Ia menjawab
dengan ketus, 'pergilah, semoga Allah menghinakanmu. Aku tidak pernah melihat
orang seburuk dirimu.'"
Peristiwa Yang Menakjubkan
Syafi'i pernah mengalami satu
peristiwa yang menakjubkan tentang kemampuannya dalam berfirasat ini. Seperti
kisah yang diriwayatkan oleh Al-Muzanni berikut: "Aku tengah bersama
Syafi’i di Masjidil haram. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk dan berjalan
berkeliling di antara orang-orang yang tidur di sana. Syafi'i lantas berkata
kepada Al-Rabi', 'katakan pada orang itu, apa ia telah kehilangan seorang
budaknya yang berkulit hitam dan salah satu matanya cacat?’
Al-Rabi' pun bangkit dan
menyampaikan pesan Syafi'i kepada orang itu. Kemudian orang itu menjawab,'ya,
seperti itulah budakku!'
Al-Rabi' lalu berkata kepada orang
itu, 'mari temui Syafi'i!'
Ia pun mendatangi Syafi'i.
'Ia, seperti itulah bundaku!'
katanya kepada Syafi'i
Syafi'i lantas berkata kepadanya,
'carilah ia di tengah kerumunan orang itu'.
Ia pun menuruti petunjuk Syafi'i.
Ia mulai mencari-cari budaknya di tengah kerumunan orang. Akhirnya Budak itu ia
temukan disana."
Al-Rabi melanjutkan penuturannya,
"melihat hal ini, aku tercengang, dan ku tanyakan pada Syafi'i, katakan
pada kami, bagaimana kau bisa menebaknya? Kau telah membuat kami heran.'
'Baiklah, 'jawab Syafi’i.
'Tadi aku melihat seseorang masuk
melalui pintu masjid, lalu ia berkeliling di antara orang-orang yang tidur.
Disini, aku menduga tengah mencari seseorang yang kabur darinya. Kulihat orang
itu mencari-cari di antara orang-orang hitam yang tengah tidur. Aku
berkesimpulan bahwa ia mencari seorang budak hitam. Ia lalu memeriksa mata
kanan orang-orang itu. Menurut dugaanku, berarti ia tengah mencari budak yang
salah satu matanya cacat, 'lanjut Syafi'i.
Kami lalu bertanya kepadanya,
'lantas mengapa kau suruh ia pergi ketempat kerumunan?'
Syafi'i menjawab,'dalam hal ini,
Aku menakwilkan hadits Rasulullah, 'tak ada kebaikan sama sekali dalam
kerumunan orang. Jika mereka lapar, mereka akan mencuri, dan jika mereka
kenyang, mereka akan meminum minuman keras dan berzina. Dari sini aku berpikir
bahwa BudaK orang itu telah melakukan salah satu dari kedua hal di atas,
'rupanya firasat Syafi'i benar."
Firasat Syafi'i Tentang Muridnya
Firasat Syafi'i yang lain
diriwayatkan dari Al rabi' ibn Sulaiman. Ia berkata,'"kami menemui Syafi'i
sebelum ia meninggal dunia. Ketika itu kami berempat: aku, Al-Buwaithi,
Al-Muzani, dan Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abdul Hakam. Syafi'i menatap kami
sesaat. Ia terus menatap kami satu persatu. Engkau, wahai abu Yakub, akan mati
di balik jeruji besi mu. Engkau, wahai Muzani, di Mesir kau akan sejahtera dan
damai. Kau akan menemukan satu masa dimana engkau menjadi orang yang paling
ahli dibidang qiyas. Sedangkan engkau, wahai Rabbi'akan menjadi orang yang
paling berguna bagi ku dalam menyebarkan buku-buku ajaranku. Syafi'i berpaling
ke arah Abu Yakub, ia berkata kepadanya, 'bangkitlah kau, wahai abu Yakub,
isilah halaqah majelisku !"
Al-Rabbi menuturkan, 'ternyata
apa yang diprediksikan Syafi'i benar-benar terjadi."
Saat seseorang mengiklaskan
jiwanya kepada Allah maka Allah akan menerangi pandangan dan hatinya,
membukakan pintu makrifat yang dapat mencengangkan akal. Keikhlasan Syafii
dalam ilmu dan amal membuatnya dapat meraih segala macam ilmu pada zamannya. Ia
menjadi orang yang paling berilmu kala itu. Selain itu, Syafi'i juga memiliki
firasat yang kuat, jarang sekali firasatnya salah.
Mata Hati Yang Terbuka
Selain hal-hal di atas, Syafi'i
juga memiliki mata hati yang terbuka dan firasat yang kuat seperti gurunya,
Malik. Sifat seperti ini harus ada pada diri seorang ahli debat dan dialog agar
ia dapat menaklukkan lawan-lawannya. Sifat ini juga harus ada pada diri seorang
guru agar ia bisa mengetahui kondisi murid-muridnya, sehingga ia mendapatkan
kemudahan dalam mengajarkan ilmunya kepada mereka berdasarkan kemampuan
masing-masing. Guru semacam ini dapat menyeimbangkan antara kemampuan murid
dalam memahami ilmu dan kemampuan mereka dalam menjelaskannya. Sifat-sifat yang
tersimpan dalam diri Syafi'i, ditambah daya nalarnya, membuat banyak
dikelilingi murid-murid dan sahabat.
Peka Dan Tanggap
Dengan daya hafal yang kuat,
kepekaan, dan sikap tanggap maka segala makna dapat dieksplorasi dengan mudah
saat dibutuhkan. Orang yang memiliki kelebihan seperti ini, pikirannya tidak
akan terkukung dan cakrawalanya tidak tertutup terhadap segala hal. Seperti
itulah Syafi'i. Dengan pikiran yang terbuka ini, Syafi'i selalu memberikan
pencerahan kepada murid-muridnya melalui ide-ide dan pemikirannya sendiri. Di
tangannya, segala hakikatnya dapat terkuat dan logika pun menjadi lurus dan
tetap pada jalurnya.
2. Ilmu Falak
Diriwayatkan
dari Al-Rabi ibn Sulaiman, ia berkata ,"Syafi'i berkata, 'Allah berfirman,
Dialah yang menjadikan bintang-bintang
bagi kalian agar kalian menjadikannya sebagai petunjuk dalam kegelapan di darat
dan di laut. Sesungguhnya kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (kami)
kepada orang-orang yang mengetahui (Al-An'am 6 : 97).
Allah juga
berfirman, Dia ciptakan tanda-tanda
(penunjuk jalan).Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk
(An-Nahl 16 :16)
Kata
Syafi'i, diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah gunung-gunung, malam,
siang, hembusan angin yang berbeda-beda, matahari, bulan, dan bintang yang
orbitnya telah diketahui melalui ilmu Falak. Manusia dituntut berijtihad
mencari arah Masjidil haram melalui petunjuk dan tanda-tanda tersebut."
Pandangan Tajam
Ahmad Ibn
Muhammad, cucu Syafi'i berkata, "aku mendengar bapakku berkata, saat
Syafi'i kecil, ia selalu memperhatikan bintang-bintang (mempelajari ilmu
Falak). Setiap kali memerhatikan sesuatu, pasti ia langsung ingat dan
memahaminya. Syafi'i memiliki seorang teman yang istrinya tengah hamil. Syafi'i
meramalkan istri temannya itu dengan berkata, '27 hari lagi ia akan melahirkan
seorang anak yang di paha kirinya ada tanda hitam. Anak itu akan hidup selama
24 hari, kemudian meninggal dunia, ternyata, apa yang diprediksikan Syafi’i
benar-benar terjadi. Setelah 24 hari, anak itu meninggal. Akibatnya, Syafi’i membakar buku-buku ilmu Falak dan
perbintangan tersebut. Ia tidak mau lagi mempelajarinya.
Syafi'i
mempelajari ilmu nujum. Ia selalu memperhatikan bintang-bintang. Setiap apa
yang dilihatnya, ia langsung menghafal dan memahaminya. Setelah itu, Syafi'i
berhenti menekuninya dan membakar semua buku-bukunya.
Syafi'i
melantunkan syair yang mengecam para ahli nujum:
Sampaikan pesanku kepada para ahli nujum
Bahwa aku menyaksikan apa yang diputuskan bintang-bintang
Mereka menyangka tahu apa yang telah dan akan terjadi
Padahal putusan Tuhan yang maha menguasai itulah yang pasti
terjadi.
3. Dokter Yang Cerdas
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa firasat adalah kemampuan untuk mengenali sosok dan
kepribadian seseorang hanya dengan melihat wajah atau tanda-tanda yang tampak
pada dirinya. Syafi’i yg pernah tertarik untuk mempelajari ilmu firasat ini,
beruji coba dengannya, bahkan ia mahir dalam mempraktikkannya. Syafi'i
mendapatkan ilmu ini sejak kecil saat ia masih tinggal di dusun. Buku-buku
tentang ilmu firasat ini ia peroleh dari Yaman.
Ilmu Kedokteran
Harmalah
berkata, '"aku mendengar Syafi'i berkata, 'ada dua hal yang banyak
diabaikan manusia: kedokteran dan bahasa Arab, "Syafi'i sangat menyesalkan
dan menyayangkan sikap kaum muslim yang menyepelekan masalah kedokteran.
Diriwayatkan
dari harmalah Ibn Yahya, "Syafi'i sangat kecewa atas sikap kaum muslim
yang mengabaikan dunia kedokteran. Menurutnya, dengan begitu mereka telah
meninggalkan sepertiga ilmu dan menyerahkan kepada orang-orang lain."
Debat Kedokteran
Selain
ilmu-ilmu yang dimiliki Syafi'i di atas, ia juga memiliki wawasan cukup luas di
bidang kedokteran. Diriwayatkan dari Abi Al-Husain Al-mashri, ia menuturkan,
"Aku mendengar ada seorang dokter di Mesir". Ia menambahkan,
"Syafi'i datang ke Mesir, lalu mampir di tempatku. Di sana ia berdiskusi
denganku tentang kedokteran hingga aku mengira seorang dokter Irak telah datang
ke negeri kami. Kataku kepada Syafi'i, 'apa engkau mau aku bacakan buku
hipokrates-seorang tokoh dan bapak kedokteran Eropa-kepadamu?'
Syafi'i
lantas menunjuk buku itu dan berkata dengan lirih,'mereka tidak merelakan aku
untuk mempelajarinya!"
Maksudnya,
murid-murid Syafi’i di masjid tidak memberinya kesempatan untuk dapat
memperdalam ilmu kedokteran.
Anjuran Memperdalam Ilmu
Kedokteran
Syafi’i ini
sangat menganjurkan kaum muslim mempelajari dan mendalami bidang kedokteran.
Al-Rabi bin Sulaiman bertutur, "aku mendengar Syafi'i berkata, 'ilmu itu
ada 2: ilmu fiqih atau ilmu agama dan ilmu medis fisiologis."
Syafi'i juga
berkata, "ilmu agama yang paling utama adalah ilmu fiqih dan ilmu dunia
yang paling utama adalah ilmu kedokteran."
Dalam
riwayat Muhammad Ibn Abdullah Ibn abd Al-Hakam disebutkan bahwa Syafi'i
berkata, "ilmu fiqih untuk agama, ilmu kedokteran untuk tubuh, selain
keduanya hanyalah khazanah pemikiran".
Al-rabi' Ibn
Sulaiman menuturkan, "Syafi'i berkata,'jika kau masuk ke satu wilayah dan
di sana tak kau dapati seorang penguasa yang adil, air yang mengalir, seorang
dokter yang bersahabat maka jangan tinggal di wilayah itu!'".
Obat Untuk Yang Tidak Punya Obat
Ibnu Abdul
Hakam berkata, "aku mendengar Syafi'i menuturkan, 'ada tiga hal yang tidak
bisa diobati oleh seorang dokter: kebodohan, wabah, dan pikun.
Diriwayatkan
dari Yunus Ibnu Abdul a'la, ia berkata, "Syafi'i berkata kepadaku,"
Aku tidak pernah mandi junub, pada musim dingin atau musim panas, kecuali
dengan air panas.'"
Pakar Ilmu Gizi
Ada beberapa
riwayat tentang kepiawaian Syafi'i di bidang kedokteran, diantaranya: riwayat
Yunus Ibnu Abdul a'la, ia berkata, " Syafi'i berkata, aku tidak melihat
hal yang lebih bermanfaat untuk mengobati wajah dari minyak bunga violet.
Seseorang yang terserang wabah bisa meminum minyak violet atau melumuri
tubuhnya."
Riwayat
Al-Rabi Ibnu Sulaiman, ia berkata, "abu Utsman Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu
Idris Al-Syafi'i berkata, 'jika terserang demam, ayahku meminta tumbuhan serai
(citron) untuk diperas dan diminum airnya karena ia takut lisannya
cacat.'"
Harmalah
berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata, 'jangan kau makan telur rebus
pada malam hari karena orang yang memakan sering terserang penyakit."
Harmala juga
berkata, "aku mendengar Syafi'i melarang memakan terung pada waktu
malam."
Muhammad
Ibnu Abdullah Ibnu Abdul Hakam, "aku mendengar Syafi’i berkomentar, aneh
sekali orang yang keluar dari pemandian lalu tidak makan. Bagaimana ia
menjalani hidup yang sehat?"
Al-Rabbi
Ibnu Sulaiman berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata, ada tiga hal yang
menjadi obat bagi penyakit yang tidak ada obatnya serta dokter tak sanggup
mengobatinya; anggur, susu unta, dan tebu."
Sarapan Pagi
Al-Rabi Ibnu
Sulaiman berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata,'Harun ar-rasyid berkata
kepadaku, wahai Muhammad, aku mendengar bahwa kau selalu sarapan pagi?!'
'Ia, wahai
Amirul mukminin, 'jawab ku.
'Mengapa kau
lakukan itu?'tanyanya.
Aku menjawab,'wahai
Amirul mukminin, Aku melakukan karena 4 hal.'
Apa itu?
Tanya al-rasyid penasaran.
'Karena air
masih dingin, udara masih segar, lalat masih sedikit, dan sarapan pagi dapat
menekan hasratku terhadap makanan orang lain.'
Al-Rasyid berkomentar,'sungguh,
ini adalah syair yang indah.
Akal Sehat Terdapat Pada Tubuh
Sehat
Syafi'i
berkata, "akal tidak tersimpan dengan baik dalam tubuh yang gemuk,
"tentang hal ini, ada satu kisah yang menarik. Syafi'i berkata,
"dahulu kala ada seorang raja yang bertubuh sangat gemuk hingga tidak bisa
menggerakkan tubuhnya. Ia pun mengumpulkan seluruh dokter. Perintahnya kepada
para dokter, 'berikan aku obat yang dapat mengurangi tumpukan dagingku
ini!" Namun para dokter tak ada yang sanggup mengobatinya."
Syafi'i
melanjutkan, "kemudian seseorang memberitahu sang raja bahwa ada seorang
laki-laki pintar dan sastrawan yang mahir di bidang kedokteran. Raja pun
memanggil orang tersebut.' obati aku. Jika kau berhasil menyem-buhkanku, akan
kuberikan apa saja untukmu! 'ujar sang raja kepadanya.
Orang pintar
dan bijak itu berkata, 'semoga Allah menyembuhkan Baginda. Aku adalah seorang
dokter dan ahli nujum. Malam ini, biar ku periksa penyakit kegemukan Baginda
dan kucarikan obatnya.'
Keesokan
harinya, orang bijak itu berkata kepada sang raja,' wahai Baginda, Aku meminta
jaminan keamanan darimu!'
Raja
menjawab, 'baiklah, kau aman!'
Orang itu
lantas berkata, 'dengan melihat keadaanmu seperti ini, kukira umurmu tinggal
sebulan lagi. Jika kau mau, aku akan mengobati mu. Jika kau ingin meminta
pembuktian lebih lanjut, tahanlah Aku di tempatmu hingga masa sebulan itu.
Apabila ucapanku benar, bebaskan Aku. Jika tidak, hukumlah aku!'
Akhirnya
orang bijak itu ditahan raja. Mendengar prediksi orang bijak itu, raja mulai
meninggalkan kebiasaannya berhura-hura. Ia memilih menyendiri dan menjauhi
manusia. Dalam keadaan sedih, ia merenung dan tak pernah sekalipun mengangkat
kepala sambil terus menghitung hari. Setiap hari bertambah, kesedihannya
semakin memuncak hingga tak disadari ia menjadi kurus karena memikirkan hal
tersebut. Hari pun telah berlalu selama 28 hari. Akhirnya, raja mengeluarkan
orang bijak itu dari penjara nya. Raja ingin mempertanyakan ramalannya dahulu.
Ia berkata,'bagaimana menurutmu?'
Orang bijak
itu menjawab,'semoga Allah memperkuat Baginda. Aku ini sangat kecil di mata
Allah untuk mengetahui hal-hal gaib. Aku tidak tahu batas usia ku. Bagaimana
mungkin aku bisa tahu batas usia mu? Menurutku, tak ada obat untuk penyakit
kegemukan yang kau derita, kecuali kesedihan. Dengan begitu kau tidak akan
makan. Aku tak bisa membuatmu bersedih kecuali dengan cara ini. Oleh karena
itu, kuberitahu padamu bahwa kau akan mati setelah 1 bulan. Dampaknya, semua
lemak dan daging di tubuhmu menjadi akhirnya raja itu membebaskannya, bahkan
sangat menghargai usahanya."
Akal dan
pemahaman yang dimiliki Syafi'i ini? Selain ilmu-ilmu yang telah dikuasai, ia
juga sangat ahli di bidang kedokteran. Bahkan, ia sering berdebat dengan para
dokter sehingga mereka mengira bahwa Syafi’i tidak mendalami ilmu selain
kedokteran.
4. Ilmu Nasab
Diantara
ilmu yang dipelajari Syafi'i sejak kecil adalah ilmu nasab. Ia banyak mengambil
ilmu ini saat masih tinggal di dusun. Ia sering mencatat segala macam nasab,
bertanya-tanya kepada orang orang Arab, dan mendengarkan penuturan penuturan
mereka. Walhasil, ia menjadi mahir dalam sejarah Arab dan
keturunan-keturunannya. Selain itu juga ia hafal syair dan sastranya.
Al-Muzanni
berkata, "Syafi'i datang kepada kami. Ketika itu di Mesir ada Ibnu Hisyam,
pengarang kitab Al-Maghazi. Ibnu Hisyam adalah ulama Mesir di bidang syair dan
bahasa. Seseorang berkata kepadanya, "temuilah Syafi'i!' ia menolak untuk
datang. Setelah diyakinkan oleh banyak orang bahwa Syafi'i memiliki
keistimewaan dan bakat khusus, Ibnu Hisyam pun mau datang kepadanya. Di sana,
Ibnu Hisyam mulai berdiskusi dan saling bertukar pikiran tentang nasab
tokoh-tokoh Arab dari laki-laki dengan Syafi'i. Setelah keduanya saling
menunjukkan kebolehan, Syafi'i berkata, 'tinggalkan nasab kaum laki-laki karena
kau dan aku pasti sama dalam hal itu. Sekarang mari kita membahas tentang nasab
tokoh-tokoh perempuan.' Setelah semua yang hadir sepakat, Syafi'i pun dengan
lancar memaparkan nasab nasab itu. Ibnu Hisyam hanya diam. Ia tidak banyak
mengetahui nasab tokoh-tokoh perempuan. Setelah itu ia bergumam, aku tidak
mengira bahwa Allah menciptakan makhluk seperti dia', ia sangat terkagum-kagum
dengan tingkat ilmu yang dicapai Syafi'i".
5. Memori Dan Pemikiran
Allah
menganugerahi Syafi’i bakat dan sifat-sifat khusus yang telah mengangkat
derajatnya di bidang ilmu, akhlak, dan agama. Allah menjadikannya sebagai
pionir pemikiran dan pemimpin para ahli rakyu (kaum intelektual). Syafi’i ini
memiliki daya nalar yang sangat tajam dan memori yang kuat. Ia membaca
Al-Muwaththa dan langsung menghafalnya. Ia mampu memaparkan diluar kepala.
Pemikiran Yang Mendalam
Syafi'i
memiliki pemikiran yang mendalam. Dalam segala hal, ia tidak cukup mempelajari
luarnya saja, tapi ia menyelami sampai ke akarnya. Pemahamannya berdimensi jauh
dan tidak terbatas pada satu titik. Ia selalu ingin mencapai hakikat secara
sempurna. Dalam mengamati segala peristiwa, ia tidak menyimpulkan secara
parsial, tapi melihatnya secara global. Buahnya, Syafi'i memelopori peletakan
pondasi awal ilmu Ushul fiqih.
BAB VI
KETELADANAN IMAM SYAFI'I
1. Ibadah Dan Keimanan
Selain
sebagai imam di bidang ijtihad dan fiqih, Syafi'i juga seorang imam di bidang
keimanan dan ketakwaan, warak dan ibadah. Al-Buwaithi menuturkan, "aku
banyak melihat bermacam manusia. Demi Allah, aku tidak melihat seorangpun
seperti Syafi'i dan tak ada yang menandinginya di bidang ilmu. Demi Allah,
bagiku, Syafi'i lebih warak dari pada orang yang terkenal kewarakannya".
Syafi'i Membagi Malamnya
Al-Rabbi Ibnu Sulaiman berkata,
"Syafi'i membagi malamnya ke dalam tiga bagian; sepertiga untuk menulis,
sepertiga untuk salat, dan sepertiganya lagi untuk tidur".
Ia juga berkata, "aku
menginap di rumah Syafi’i untuk beberapa malam. Kulihat Syafi'i tidak tidur
pada malam hari kecuali hanya sedikit."
Bahar Ibnu Nashar berkata,
"pada zaman Syafi'i, Aku tidak pernah melihat dan mendengar ada orang yang
lebih bertakwa dan warak dari Syafi'i, tidak pula yang lebih baik suaranya
dalam melantunkan Al-Quran daripada Syafi’i."
Antara Rasa Takut Dan Harap
Al-Karabis menuturkan, "aku
menginap di tempat Syafi'i selama 80 malam. Ia selalu shalat sepertiga malam,
dan aku tidak melihatnya membaca Al-Quran lebih dari 50 ayat. Jika ia menambah
nya, ia hanya membaca sampai 100 ayat. Setiap yang membaca ayat Rahmat, ia
langsung memohon kepada Allah untuk dirinya dan kaum mukmin. Ia tidak membaca
ayat azab kecuali ia bergegas meminta perlindungan kepada Allah darinya,
memohon keselamatan untuk dirinya dan kaum mukmin. Seakan ia menghimpun rasa
takut dan harap pada dirinya secara seimbang dan beriringan."
Kejernihan Dan Keikhlasan
Bersamaan dengan itu, Syafi'i
memiliki jiwa yang bersih dari kotoran dunia, ikhlas dalam mencari kebenaran
dan tidak menghendaki selainnya. Dalam negeri timur disebutkan, "ketulusan
dalam mencari hakikat dapat menyalakan cahaya makrifat dalam hati. Dalam jiwa
kenapa kejernihan yang dapat mengungkap semua hakikat, sehingga akan dapat
mengetahuinya, daya pikir menjadi lurus, dan semua ungkapan menjadi turus dalam
menggambarkan makna yang benar. Dengan begitu, pendapat pun akan lurus dan
ungkapan akan benar."
Keikhlasan
Syafi'i dalam mencari hakikat selalu dijaganya dalam setiap fase hidupnya. Ia
selalu mencari kebenaran dimanapun. Jika keikhlasannya terpaksa berseberangan
dengan pendapat-pendapat orang lain, maka dengan berani ia mengemukakan
pendapatnya. Ia juga adalah seorang yang tulus dan berbakti kepada
guru-gurunya. Akan tetapi, ketulusannya tidak menghambatnya untuk menyampaikan
kebenaran jika terpaksa harus berseberangan dengan mereka. Ia pernah
berseberangan dengan imam Malik dalam beberapa pendapat yang ia anggap benar,
khususnya setelah ia melihat orang-orang di Andalusia yang meminum air dengan
menggunakan kopiah imam Malik. Melihat kenyataan itu, Syafi'i menegaskan kepada
mereka, bahwa bagaimanapun imam Malik adalah seorang manusia biasa yang bisa salah
dan bisa juga benar.
2. Syafi'i Seorang Zahid
Syafi'i
berkata, "mencari dunia adalah sebentuk hukuman yang Allah timpakan kepada
ahli tauhid."
Syafi'i
berkata, "sekiranya dunia adalah sebentuk barang yang dijual di pasar,
niscaya aku tidak akan membeli atau menukarnya dengan sepotong roti karena
bahaya yang terkandung di dalamnya."
Al-Muzanni
berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata, 'siapa yang dikalah-kan oleh
nafsunya karena mencintai dunia maka ia telah tunduk kepada penghuni dunia.
Siapa yang bersikap qanaah maka ketundukan itu sirna."
Al-Rabbi
Ibnu Sulaiman berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata,'kebaikan dunia dan
akhirat tersimpan dalam lima perkara: jiwa yang kayak, diri yang terjaga dari
berbuat zalim, mencari yang halal, ketakwaan, dan percaya sepenuhnya kepada
Allah dalam segala keadaan."
Al-rabi'
juga berkata, "Syafi'i berkata kepadaku, wahai Rabbi, zuhudlah karena ke
zuhudan lebih baik dari perhiasan yang dikenakan seorang perempuan yang
berpayudara besar."
Kaya Jiwa
Syafi'i melantunkan syair tentang
sifat kaya jiwa,
Jika kau mau hidup kaya maka jangan puas dengan satu keadaan
Kecuali jika kau puas dengan yang lebih rendah darinya
Syafi'i berpesan kepada
orang-orang yang tamak dan diperbudak dunia,
Wahai orang yang memeluk dunia yang tak abadi
Di dunianya, ia selalu berpetualang pagi dan petang
Tinggalkanlah orang-orang yang memeluk dunia
Agar di surga firdaus kau bisa memeluk para bidadari
Jika kau mencari surga keabadian untuk kau huni
Maka seharusnya kau tidak merasa aman dari api neraka
Berpisah Dengan Dunia
Syafi'i juga
mengingatkan kita bahwa orang bijak adalah orang yang rela berpisah dengan
dunia dan menyucikan dirinya untuk akhirat. Syafi'i melantunkan syair,
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas dan sadar
Mereka rela berpisah dengan dunia dan takut akan fitnah
Mereka melihat ke dalamnya dan saat mereka tahu bahwa dunia
bukanlah negeri untuk kehidupan
Mereka pun menjadikannya hanya sebagai perairan luas
Mereka mulai melakukan amal sholeh dan menjadikannya sebagai
bahtera di atasnya
Dunia bukan tempat dan negeri yang nyaman bagi siapapun. Orang yang
berakal adalah orang yang berbekal diri untuk akhiratnya, iya tak pernah
bergantung pada kehidupan dunia.
Membangkitkan Sifat Qana'ah
Syafi’i yg memiliki syair-syair
indah yang disebut dengan syair zuhud;
Aku mematikan hasratku hingga aku membuat nyaman jiwaku
Karena, selagi jiwa tetap tamak, ia akan menjadi hina
Aku menghidupkan sikap qana'ah yang tadinya telah mati
Karena, dengan menghidupkannya kehormatan ku tetap terjaga
Jika ketamakan merasuki hati seorang hamba
Maka kehinaan akan menimpanya dan kenistaan berada di atasnya
Kaya Tanpa Harta
Syafi'i
berbicara tentang makna zuhud di dunia, sikap rela dengan ketetapan Allah,
sabar menanti kemenangan dari Allah, prinsip tidak berharap kepada manusia, dan
tidak bergantung kepada orang-orang yang memiliki harta, serta tidak iri
padanya. Syafi'i berkata,
Aku menguji anak-anak dunia, dan aku tidak melihat di tengah
mereka
Kecuali seisi tubuhnya diliputi kebakhilan
Aku terhempas dari selubung qanaah dengan keras
Keputusan harapanku dari mereka dengan segala petaka nya
Tidak ada orang yang melihatku tengah menghalangi jalannya
Tidak pula yang melihatku duduk di pintunya
Kaya itu tanpa harta, kaya itu berarti tidak membutuhkan manusia
Kekayaan itu bukan dengan sesuatu, tetapi kekayaan itu tidak
membutuhkan sesuatu
Jika seorang zalim menganggap baik kedzalimannya
Dan bersikeras serta bersikap sombong dengan perbuatan buruknya
Serakah dirinya kepada pergantian malam karena ia dapat menimpanya
dengan hal yang tidak ia duga
Berapa banyak orang yang zalim menjadi keras kepala
Yang dengan sombong menganggap bintang seakan di bawah pijakan
kakinya
Dalam kelalaiannya ia sering tak sadar
Mengundang bermacam peristiwa di pintu rumahnya
Sehingga ia menjadi tidak berharta dan berkehormatan yang bisa
diharapkan
Tidak pula kebaikan yang dipetik dari sejarah hidupnya
Ia dibalas dengan hal yang pernah ia lakukan
Dan Allah akan menimpanya dengan cemeti azab-Nya.
Kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa, tidak bergantung pada uluran
tangan manusia, dan yakin bahwa segala keadaan pasti akan berubah.
Misteri Kegaiban
Syafi'i berkata,
Orang yang lelah hidup akan pergi ke suatu negeri
Sementara kematian terus mengintai nya dari negeri itu
Orang yang tertawa padahal kematian melihatnya dari atas kepala
Sekiranya ia tahu hal ghaib, ia akan mati karena kesedihannya
Siapa yang tidak diberi pengetahuan tentang hari esok
Apa yang ia pikirkan tentang rezeki esok yang masih jauh?
3. Mulia Dan Murah Hati
Dalam hal
kemurahan hati, imam Syafi'i tiada tandingannya walau hidupnya diliputi
kemiskinan, bahkan ia sering tidak memiliki bekal makanan untuk 1 hari. Jika
mendapatkan sedikit rezeki, ia langsung menyedekahkannya.
Syafi'i Menyedekahkan Semuanya
Al-rabi Ibnu
Sulaiman berkata, "aku mendengar Al-Humaidi menuturkan, "Syafi'i
datang dari Shan'a ke Mekkah membawa 10000 Dinar dalam sapu tangannya. Ia lalu
membuka sapu tangan tersebut di satu tempat di luar kota Mekah. Orang-orang
banyak berdatangan ke tempatnya, hingga uang itu langsung habis ia
bagikan."
Bayarkan Kepadanya!
Diriwayatkan
juga dari Al-rabi ia berkata, "Syafi'i tengah menunggang seekor keledai.
Ia berjalan melewati pasar tempat para pembuat sepatu. Cambuknya terjatuh dari
tangannya. Tiba-tiba seorang pemuda melompat dan langsung meraih cambuk itu. Ia
mengusapnya dengan kain dan memberikannya kembali kepada Syafi'i. Kemudian
Syafi'i berkata kepada budaknya, 'berikanlah dina-dinar itu kepada pemuda
ini!"
Al-rabi
menuturkan, "Aku tidak tahu pasti. Mungkin jumlah uang itu ada 7 atau 9
Dinar."
Pada lain
kesempatan, Al-rabi' berkata, "kami tengah bersama Syafi'i. Ketika itu, ia
baru keluar dari masjid di Mesir. Tiba-tiba tali sandalnya putus. kemudian
seorang laki-laki membetulkan tali sandalnya dan menyerahkannya kembali kepada
Syafi'i. Syafi’i lantas berkata kepada Al-rabi', 'apa masih ada sisa biaya
perjalanan kita ditanganmu?'
Aku
menjawab,'Ia'
'Ada berapa?
'tanya Syafi'i.
"7
Dinar,'jawab ku.
Syafi'i lalu
berkata,"berikan semuanya kepadanya!"
Berapa Kau Bayar Maharnya?
Ketika
al-rabi' ibn Sulaiman menikah, Syafi'i bertanya kepadanya, " berapa mahar
yang kau berikan kepada calon istri mu?" Al-rabi' menjawab , " 30
Dinar."
Syafi'i
lantas bertanya lagi, " berapa uang mukanya?'
Al-rabi''
menjawab, "6 Dinar."
Syafi'i lalu
naik keatas rumahnya. Dari sana ia mengambil bungkusan berisi 24 Dinar dan
memberikannya kepada al-rabi'.
4. Akhlak Yang Tinggi
Tidak Berdebat Dengan Orang Bodoh
Imam Syafi'i
memiliki beberapa bait syair tentang toleransi dan akhlak yang baik, serta
etika bergaul dengan manusia, diantaranya:
Seorang bodoh berbicara kepadaku tentang segala keburukan
Aku tidak suka meladeninya
Dengan begitu, ia hanya akan bertambah bodoh dan aku semakin
menjadi penyabar
Seperti sebatang kayu, jika dibakar maka wanginya akan bertambah
harum
Syafi'i juga berkata,
Jika seorang bodoh berbicara, jangan kau jawab
Jawaban yang paling baik baginya adalah diam
Jika kau ajak ia bicara, berarti kau telah melapangkan nya
Tapi jika kau biarkan ia binasa maka ia akan mati
Diam Pada Tempatnya
Syafi'i melantunkan,
Jika seseorang hina menghinaku maka aku semakin tinggi
Tak ada celah bagiku kecuali jika aku kembali menghinanya
Jika jiwaku tidak terhormat bagiku
Niscaya akan ku biarkan ia membalas perlakuan orang hina itu
Meskipun aku mencari manfaat untukku, kau tetap temukan diriku
banyak bersabar dan perlahan dalam mencari apa yang kucari
Akan tetapi aku mencari manfaat untuk temanku
sungguh celah bagi seorang yang kenyang sementara temannya
kelaparan
5. Etika Berdebat
Imam Syafi'i
selalu menjaga agar tetap bersikap santun saat berdebat. Ia adalah orang yang
cerdas dan pandai berargumen, hingga usai berdebat dengannya, tak ada orang
yang keluar, kecuali dengan rasa puas dengan perdebatannya bersama Syafi'i. Di
sisi lain, Syafi'i adalah orang yang selalu menjaga etika dalam berdialog.
Tentang hal ini, putranya, Muhammad abu Utsman, menuturkan, "Aku tidak
pernah mendengar ayahku berdebat dengan
seseorang sambil mengeraskan suaranya ."
Tujuan Yang Mulia
Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah berbicara
dengan seseorang, kecuali aku ingin agar orang itu mendapat bimbingan dan
bantuan.” Berbeda halnya dengan manusia sekarang, mereka cenderung mau menang
sendiri dan mengharap lawan bicaranya salah dan kalah.”
Syafi’i
berkata, "Aku tidak pernah mendebat seseorang karena ingin agar ia salah
dan kalah."
Ia juga
berkata, "Aku tidak pernah mendebat seseorang kecuali untuk memberinya
nasihat, dan aku tidak pernah mendebat seseorang dengan maksud ingin
mengalahkannya."
Betapa indah
akhlak dan etika seperti ini. Betapa baik akhlak para imam itu untuk kita
ikuti. Hendaknya tujuan kita dalam berdebat adalah mencapai kebenaran, bukan
menyalahkan orang lain dan berharap ia salah.
Etika yang
disertai kecerdasan dan argumentasi yang kuat merupakan sifat-sifat Syafi'i
dalam debat dan dialog. Syafi'i tidak pernah mengeraskan suaranya dalam satu
perdebatan pun, dan ia tidak berdebat dengan seseorang kecuali dengan maksud
menyampaikan nasihat .
Tentang
etika berdebat ini, Syafi'i melantunkan syairnya,
Jika kau memiliki kemuliaan dan ilmu yang berbeda dengan
orang-orang dahulu atau yang sekarang
Maka berdebatlah dengan tenang bersama orang yang kau ajak
berdebat
Sabar dan tidak memaksa pendapat serta tidak sombong
Akan bermanfaat bagimu tanpa perlu mengharap pamrih apapun
Jika ia mendapat manfaat dari humor-humor santun dan hal-hal yang
asing baginya
Sekali-kali jangan berkumpul dengan orang-orang yang menganggap
dirinya menang, kata orang yang menyombongkan diri
Keburukan akan datang setelah semua sikap itu
Dan akan berakibat pada terputusnya silaturahmi dan sikap saling
menjauhi
Berfatwa Seperti Dalam Hadis
Syafi'i tidak pernah yakin
dirinya telah mengetahui dan menguasai seluruh sunnah dan hadits Rasulullah. Ia
menganjurkan para sahabatnya mencari hadis. Jika mereka menemukan hadis sahih
yang bertentangan dengan apa yang di fatwakan Syafi'i, Syafi'i menyuruh mereka
untuk menolak pendapatnya dan memilih hadits.
Dalam Mu'jam
yaqut diriwayatkan dengan sanad yang sampai pada Al-Rabbi Ibnu Sulaiman, ia
berkata, "Aku mendengar Syafi'i ditanya oleh seorang laki-laki tentang
satu masalah. Syafi'i lantas menjawab, 'diriwayatkan dari nabi SAW. Bahwa
beliau bersabda begini dan begitu....'
Orang itu
selalu bertanya kepada Syafi'i, 'wahai Abdullah, apa kau yakin dengan apa yang
kau ucapkan?'atau, apakah kau berfatwa persis seperti yang tertera dalam
hadits?'
Syafi'i
gemetar dan raut wajahnya jadi merah. Ia lalu berkata,'bumi mana tempat ku
berpijak dan langit apa yang memayungi ku ini jika ada riwayat Rasulullah dan
aku tidak menyampaikannya? Tentu saja aku berfatwa seperti yang ada dalam
hadis.'"
Al-Rabbi Ibnu
Sulaiman berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata,'kendati orang telah
melupakan sunnah Rasulullah, apapun yang ku ucapkan atau apapun yang menjadi
dasar pendapatku, jika hal itu bertentangan dengan sabda Rasulullah, maka yang
benar adalah sabda Rasulullah. Itulah yang akan menjadi pendapatku.’ Syafi'i
terus mengulang-ulang ucapannya ini."
Selera Humor Syafi'i
Diantara
humornya yang menarik, Syafi'i mendengar satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Al-Aliya Al-Riyahi (sang angin). Dalam hadis itu tercatat, “ Bagi orang yang
tertawa, ia harus berwudhu.” Kemudian Syafi'i ditanya tentang hadits ini, ia
menjawab, "hadis Al- Riyahi (sang angin) ini seperti angin (tidak ada
nilainya)."
Syafi'i juga
mendengar satu hadits palsu dari haram Ibnu Utsman. Syafi'i lantas berkomentar,
"hadits haram ini hukumnya seperti nama perawinya, yaitu haram."
BAB VII
SASTRAWAN DAN AHLI BAHASA
1. Syafi'i Adalah Bahasa
Sebelum
berbicara tentang imam Syafi'i sebagai ahli fiqih, terlebih dahulu kita
melongok sedikit tentang Syafi'i sebagai ahli bahasa. Syafi'i adalah seorang
Arab dari suku Quraisy. Kenyataan ini cukup membuat Syafi'i fasih dan baik
dalam berbicara bahasa Arab. Dahulu, para pemuka dan pemimpin orang-orang Arab,
khususnya orang-orang Quraisy, berusaha menjaga orisinalitas bahasa mereka
karena mereka takut bahasa tersebut menjadi rusak. Ini terjadi pada abad ke-2
Hijriyah, terutama setelah masa dinasti Umayyah.
Syafi'i
tidak hanya ingin menjaga bahasanya saja, tetapi juga memilih mengembara di
tempat kaum Hudzail, kaum yang paling fasih seperti yang telah kita paparkan.
Hal ini tak lain untuk menjaga kebersihan bahasanya serta menambah
pengetahuannya tentang bahasa tersebut. Walhasil, Syafi'i seakan menjadi salah
seorang anggota kaum Hudzail. Kaum Hudzail mengakui keunggulan bahasa Syafi'i.
Bahkan, Syafi'i terbiasa berargumen dengan menggunakan bahasa mereka.
Abu Al-Walid
Ibnu Abi Al-Jarud berkata, "banyak orang mengatakan bahwa Muhammad Ibnu
Idris Al-Syafi'i adalah bahasa. Ucapannya menjadi sandaran dan dianggap bagian
dari kemurnian bahasa Arab."
Kemampuan Bayan Syafi’i
Syafi'i
memiliki kemampuan berorasi yang ulung dan retorika yang tegas. ia mampu
mengekspresikan buah pikirannya dengan kefasihan lisan, kepiawaian sastrawi,
serta kekuatan pikiran. Dengan suara yang dalam dan berwibawa, Syafi'i
mengalunkan ucapannya dan menjelaskan buah pikirannya.
Karena suara
Syafi'i yang dalam dan berwibawa inilah, imam Malik ingin mendengarkan bacaan
Syafi'i terhadap kitab Al-Muwaththa' miliknya. Bahkan, karena kepiawaiannya di
bidang orasi ini, Ibnu Rahawiyah menjuluki Syafi'i dengan "Juru bicara
para ulama"
Saling Berbalas Syair
Mush'ab
zubairi berkata, "bapakku dan Syafi'i saling berbalas syair. Syafi'i
melantunkan syair kaum Hudzail yang telah ia hafal. Ia berkata, "jangan
kau beritahu seorang ahli hadis pun tentang hal ini karena mereka tidak akan
sanggup mendengarnya.'"
Kelak
Syafi'i menggunakan syair-syair ini
untuk menuntaskan masalah-masalah fiqih, keimanan, dan akhlak. Makna yang
terkandung dalam syair-syair tersebut sangat dalam dan orisinal. Kedalaman
bahasa Syafi’i mendukung dan memudahkannya dalam mendalami ilmu tafsir. Syafi'i
menjadi salah seorang yang cukup andal di bidang ilmu tafsir. Karena, pada
dasarnya, memahami Al-Quran dan hadis Rasulullah SAW. Harus dilandasi dengan
kemampuan berbahasa Arab yang baik.
2. Kesaksian Para Tokoh Sastra Arab
Kesaksian
Al-Ashmu'i
Al Ashmu'i
adalah seorang ulama sastra Arab, pengarang, dan perawi terpercaya di bidang
bahasa, syair, serta hal-hal aneh dalam masalah bahasa. Biasanya, jika
masalah-masalah bahasa atau nama-nama ahli bahasa dibahas dan disebutkan, maka
nama sekali ber sibaweih dan al-asmu'i akan disebut. Al-Ashmu'i berkata,
"aku telah membacakan syair syanfari dihadapan seorang alim di Mekah,
Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi'i. Ia lalu melantunkan syair milik 30 penyair.
Penyair yang paling tinggi adalah' Amr'"
Al-Ashmu'i
juga pernah berkata, "aku telah mentashhih syair Hudzail dengan bantuan
seorang pemuda Quraisy di Mekah, Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi'i,"
Syafi’i tidak
hanya menghafal syair-syair Hudzail, tetapi juga banyak menghafal syair-syair
lainnya. Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Al-Hakam berkata, "aku mendengar
Syafi'i berkata,' aku meriwayatkan hadits dari 300 penyair.'
Kesaksian Al-Ahizh
Syafi’i
sangat menguasai bahasa Arab. Ia telah menggunakan bahasa yang kuat ini dalam
memahami Al-Quran dan sunnah. Dalam menafsirkan hadis-hadis, Syafi'i juga
menggunakan media bahasa Arab dan syair-syairnya. Ia menduduki puncak tertinggi
di bidang bahasa dan fikih. Akal yang agung, jiwa yang besar, hati yang baik,
dan syair yang orisinal berkumpul dalam diri Imam Syafi'i. Hal ini membuat para
pendukung dan penentang Syafi’i mengakui kehebatannya di bidang bahasa. Berikut
ini adalah kesaksian seorang yang tak ada tandingannya di bidang bahasa,
Al-Jahizh: "Aku menelaah karya orang-orang hebat di bidang ilmu. Aku tidak
menemukan karya yang lebih baik dari pada karya al-Muththalibi (Syafi’i),
seakan ia adalah mulut yang memuntahkan mutiara demi mutiara." Syafi’i bak
untaian mutiara dalam kalung.
Akal dan hati yang besar, jiwa yang baik, dan syair yang orisinal
terhimpun dalam diri Syafi’i Hal ini membuat para pendukung dan penentang
Syafi'i mengakui kehebatannya. Kemahiran Syafi’i juga mendapatkan pengakuan
banyak ulama bahasa.
Kesaksian Ibn Hisyam
Mari kita
dengarkan kesaksian imam besar, ahli bahasa dan sejarah, Abdul Malik ibn
Hisyam, penulis Sastra Ibn Hisyam, yang juga sahabat Syafi'i saat di Mesir. Ia
menuturkan tingkat kemampuan balaghah dan bayan Syafi’i dengan berkata, Pergaulan
kami bersama Muhammad ibn Idris al-Syafi'i berlangsung cukup lama. Aku tidak
pernah mendengar kesalahan sedikit pun dari Syafi'i dalam ungkapan, tidak juga
mendengar satu kalimat yang lebih baik dari "ungkapan-ungkapan Syafi’i.”
Jika Ibn
Hisyam meragukan satu hal dalam masalah bahasa, ia langsung bertanya kepada
Syafi'i untuk mengetahui jawabannya.
Abu al-Abbas
al-Mubarrad, pemilik sekolah bahasa di Bashrah, menuturkan, "Allah
merahmati Syafi'i. Ia termasuk seorang penyair dan sastrawan yang paling andal
serta paling tahu berbagai macam qiraat (bacaan).”
Segala ungkapan dan perkataan Syafi’i bak untaian mutiara. Syafi’i
pandai memilih kata dan kalimat, sehingga setiap pendengar tidak mendapatkan
kalimat yang lebih Indah dari kalimatnya. Para ahli bahasa banyak bertanya
kepada Syafi’i dalam hal-hal yang berhubungan dengan bahasa.
Kesaksian Para Tokoh
Abu Utsman
al-Mazi, seorang tokoh sezaman dengan Syafi’i, berkata, "Syafi'i bagi kami
adalah hujjah dan pakar di bidang ilmu nahu.”
Al-Za'farani
berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih fasih dan alim
dari pada Syafi'i. la adalah manusia yang paling alim dan paling fasih. Setiap
syair-syair dibacakan di hadapannya, ia langsung mengenalinya."
Al-Rabi ibn
Sulaiman menuturkan, "Syafi'i memiliki jiwa dan lisan Arab."
Tidak mudah bagi seseorang untuk mengakui kelebihan orang lain,
kecuali jika orang itu memang layak untuk dipuji. Demikianlah halnya Syafi’i:
ia seorang pakar nahu dan bahasa. Setiap syair yang dibacakan di hadapannya,
langsung ia mengenal seluk beluknya.
3. Pemimpin Di Bidang Bahasa
Keluasan Ilmu Syafi'i Bak Samudra
Manshur al-Azhari, salah seorang tokoh dan
pemimpin di bidang bahasa, menuturkan, "Aku banyak menelaah karya para
ulama di negeri ini. Kudapati karya Syafi'i lebih luas dan lebih banyak
kandungan ilmunya. la adalah orang yang paling fasih berbahasa dan paling luas
cakrawala ilmunya."
Al-Rabi' ibn
Sulaiman, pelayan, sahabat sekaligus murid Syafi'i, mengingatkan kita akan
keluasan ilmu bahasa Syafi'i. la bertutur, "jika kulihat Syafi'i dan
keindahan bayan serta kefasihannya, aku sangat terkagum-kagum. Sekiranya ia
menuliskan buku-bukunya menggunakan bahasa Arab yang sering ia gunakan dalam
berdebat dan berdialog, maka kemungkinan besar tak seorang pun dapat membaca
dan memahami buku-buku itu karena di dalamnya terkandung bahasa yang fasih dan
ungkapan-ungkapan yang asing di kalangan bangsa Arab. Akan tetapi, dalam
menulis karya-karyanya, Syafi'i berusaha menggunakan bahasa yang mudah dipahami
orang awam." Tulisan Syafi'i lebih ringan dan lebih mudah dipahami
ketimbang ucapan-ucapannya. Hal ini ia pilih agar buku-bukunya bisa dibaca oleh
orang awam.
Sekiranya Syafi’i merulis karya-karyanya dengan bahasa Arab yang ia
kuasai maka hanya sedikit orang yang dapat membaca dan memahaminya. Akan
tetapi, Syafi'i berusaha memilih kata-kata yang sederhana agar mudah dipahami
orang awam.
Syafi'i Memiliki Beberapa Majelis
Para ahli
bahasa Arab sering menghadiri majelis Syafi'i untuk mendengar dan mengambil
ilmu bahasa darinya. Al-Hasan ibn Muhammad al-Zafarani berkata, "Ada satu
kaum ahli bahasa yang hadir di majelis Syafi'i bersama kami. Namun, mereka
duduk secara terpisah di satu sudut. Aku katakan kepada pemimpin mereka, Kalian
ke sini bukan untuk menuntut ilmu. Mengapa kalian duduk terpisah dari kami?' la
menjawab, Kami ke sini hanya ingin mendengar ucapan dan bahasa Syafı’i".
Al-Karabis
menuturkan, Aku tidak pernah melihat satu majelis yang lebih mulia dari majelis
Syafi’i yang selalu dihadiri oleh ahli hadis, ahli fikih, dan ahli syair.
Majelisnya sering didatangi oleh ahli bahasa dan syair. Setiap orang mengutip
bahasa dan ucapan Syafi'i"
Kesaksian Ibn Hanbal
Adalagi
kesaksian besar dari seorang ulama yang menjadi rujukan sejarah Islam, yaitu
Imam Ahmad ibn Hanbal. Ia adalah salah seorang murid Imam Syaf'i yang sangat
dicintai. Imam Ahmad menggambarkan ilmu gurunya, "Syafi'i adalah seorang
filsuf dalam empat hal: bahasa, sosial, ilmu makna, dan fikih". Yang
dimaksud filsuf adalah guru yang hebat. la juga berkata, "Syafi'i termasuk
manusia yang paling fasih bahasanya."
Ilmu Syafi’i tidak terbatas pada satu bidang, tapi mencakup ilmu
bahasa, sosial, ilmu makna, dan fikih.
Syafi'i Bagaikan Gula
Yunus ibn
Abdul A’la berkata, "jika Syafi'i berbicara bahasa Arab, kukatakan bahwa
ia paling ahli dalam hal ini. Jika ia berbicara tentang syair, kutegaskan bahwa
ia paling ahli di bidang ini. Jika ia berbicara tentang fikih, kukatakan bahwa
ia paling pakar dalam ilmu ini".
Al-Walid ibn
Abi al-Jarud menuturkan, "Aku tidak pernah melihat orang yang buku-bukunya
lebih besar dari sosok penulisnya, kecuali Syafi'i. Dan lisan Syafi'i lebih
hebat lagi dari bukunya. "Yunus ibn Abdul A’la berkata,
"Kalimat-kalimat yang dilontarkan Syafi'i bagaikan gula"
Bagaimana Keadaanmu Pagi Ini?
Di antara
kelembutan Syafi’i, seperti dikisahkan, ia jatuh sakit lalu menemui al-Rabi ibn
Sulaiman, pembantunya. Al-Rabi bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaanmu
pada pagi ini?" Ia menjawab, "Aku sangat lemah"
"Semoga
Allah menguatkan kelemahanmu,” jawab al-Rabi"
Syafi'i pun
tersenyum dan berkata, "Jika Allah menguatkan kelemahanku, berarti Allah
telah membunuhku. Katakanlah, "Semoga Allah menguatkanmu untuk mengalahkan
kelemahanmu!.”
4. Syair-Syair Akhlak
Awalnya
syair adalah bakat kemudian menjadi ilmu terapan. Jika keduanya ada pada
seseorang, niscaya orang itu akan menjadi penyair mulia. Bakat dan ilmu terapan
bertemu dalam diri Syafi’i. Meski begitu, karena tipe keilmuannya, Syafi'i
ingin syair-syairnya lebih bernapaskan akhlak dan budaya. Ia lebih memfokuskan
syair-syairnya hanya tentang akhlak, keimanan, dan hubungan sosial yang luhur.
Walhasil, syair Syafi’i tidak seperti syair-syair lainnya. Biasanya para
penyair terlalu berlebihan dalam menulis syairnya agar mengugugah jiwa. Menurut
mereka, syair yang paling nikmat didengar adalah yang paling banyak dustanya.
Syair Syafi'i tidak berlebihan seperti ini.
Bahkan, syairnya lebih beraliran realistis dan bersifat efektif agar
nilai-nilai keimanan dan akhlak yang terkandung di dalamnya bisa diambil
manfaatnya oleh masyarakat. Syafi'i menolak dikatakan sebagai seorang penyair.
la mengorientasikan syairnya untuk kemajuan ilmu. Oleh karena itu, banyak orang
menilai Syafi’i, "Jika bukan karena metode seperti ini, niscaya Syafi'i
menjadi penyair yang paling andal.”
Tentang dirinya, Syafi’i
menuturkan,
Sekiranya syair tidak mencela
para pembesar
Niscaya hari ini aku menjadi
lebih ahli syair dari pada seorang peryair
Pengakuan
ini dibuktikan dengan kemampuan Syafi'i yang dengan mudah menyusun syair-syair
dan memasukkan unsur seni dalam ucapan-ucapannya. Tetapi Syafi’i tidak pernah
mau berlebihan dalam hal ini.
Ia berkata,
Aku memiliki permata syair dan mutiaranya
Pada diriku tergantung untaian kalam dan mahkotanya
BAB VIII
PENYAIR BERBAKAT
1. Syair Tentang Ilmu
Yang Muda Yang Belajar
Di antara
hikmah yang diajarkan Syafi'i kepada murid-muridnya dan para penuntut ilmu
adalah tuntutan bersabar dalam menuntut ilmu. Syafi'i melantunkan syair di
bawah ini,
Bersabarlah menghadapi sikap keras seorang guru
Karena kegagalan itu disebabkan oleh ketidak sabaran murid dalam
menghadapinya
Siapa yarg tidak pernah merasakan pahitnya belajar satu saat
saja
Niscaya ia akan menderita sepanjang hidupnya karena kebodohan
Siapa yang tidak belajar pada masa mudanya
Maka dirikanlah shalat empat takbir atas kematiannya
Demi Allah, hidup seorang pemuda dengan ilmu dan ketakwaan
Jika keduanya tidak ada maka pribadinya tak bernilai
Syafi'i menyimpulkan untuk kita bahwa kesuksesan menuntut ilmu tidak
bisa dicapai kecuali dengan bersabar dalam menghadapi sikap keras guru, mulai
belajar pada masa muda, dan menyertai ilmunya dengan ketakwaan. Jika tidak maka
pribadinya tak berguna sama sekali.
Menuntu Ilmu
Syafi’i sangat haus ilmu. Ia mengajarkan
kepada kita syarat-syarat menuntut ilmu. Ia mengajarkan syarat-syarat tersebut
kepada semua generasi dan menyimpulkannya dalam dua bait syair,
Saudaraku, kau tidak akan mendapat ilmu kecuali dengan enam
perkara
Aku akan menjelaskannya kepadamu dengan rinci
Kecerdasan, ambisi, kesabaran, biaya, bimbingan guru, dan waktu
yang lama
Syafi'i mengajarkan kita bahwa di antara syarat menuntut ilmu adalah
harus ada bimbingan guru, mendengarkan ilmu darinya, ambisi, sabar, dan
berusaha memahami semua yang diajarkannya
Hilangnya Ilmu Adalah Petaka
Syafi'i
mengisyaratkan satu hal penting, yaitu bahwa ilmu harus disertai ketakwaan
kepada Allah, akhlak mulia, dan perilaku yang baik. Syaf'i berkata,
Jika ilmu seorang pemuda tidak menambah hidayah di hatinya
Atau tidak membuat hiduprya merjadi larus dan akhlakrya nenjadi
baik
Beritakan kepadanya barwa Allan akan merimpakan petaka kepadanya
Ia akan ditimpa petaka seperti orang-orang yang menyembah berhala
Jika hidup seorang penuntut ilmu tidak seperti kasturi yang
mencerminkan ilmunya maka ilmu itu akan berubah menjadi petaka baginya.
Pemilik Ilmu
Imam Syafi'i
sangat mencintai ilmu dan sangat ambisius dalam mencarinya. Sepanjang hidupnya
ia menuntut ilmu sambil mendorong orang lain untuk mencarinya. Ia berkata,
Kulihat seorang yang berilmu itu mulia
Walaupun ia dilahirkan oleh seorang bapak yang hina
Ilmu akan terus mengangkatnya dan
Semua kaum yang mulia akan membesarkan derajatnya
Mereka akan selalu mengikutinya di setiap saat Seperti penggembala
kambing yung dikauti oleh gembalanya
Tanpa ilmu, orang-orang tidak akan bahagia
Yang halal dan yang haram pun tak dapat dikenali
Ilmu dapat meninggikan rumah yang tak bertiang, sementara kebodohan
dapat menghancurkan rumah yang kokoh sekalipun.
Buruknya Hafalan
Syafi'i
ingin mencari teman dalam perjuangan menuntut ilmu. la menemukan seorang
bernama Waki ibn al-Jarrah. Syafi'i selalu meminta pertimbangan darinya dan
Waki' senantiasa menasihati Syafi'i. Hafalan Imam Syaf'i sangat kuat. Setiap
kali ia mendapatkan sesuatu, ia langsung menghafalnya. Walau demikian, ia terus
mengeluhkan kelemahan daya hafalnya kepada Waki.’ Waki memberinya tips dan obat untuk
mengurangi penyakit ini.
Syafi'i menuturkan,
Aku mengadukan perihal lemahnya hafalanku kepada Waki’
la membimbingku agar akau meninggalkan maksiat la berkata,
"Ketahuilah bahwa ilmu itu karunia Dan karunia Allah tidak diberikan
kepada seorang pemaksiat”
Ia juga berkata, "Ketahullah bahwa ilmu
itu cahaya
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada seorang pemaksiat
Syafi'i
sangat membenci sikap hura-hura dan kecenderungan menyia-nyiakan waktu. Suatu
hari ia melewati sekelompok orang yang tengah bermain dadu. la berkata,
"Aku membenci orang yang sibuk melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat
bagi agama dan dunianya.”
Cela Bagi Kita
Syafi'i
mencela orang-orang yang menyerah dan mengembalikan kekurangan dan aib diri
kepada waktu. Ia berkata,
Kita mencela zaman padahal aib itu ada pada kita Sendiri
Zaman kita tidak memilki aib kecuali pada diri kita sendiri
Kita mencela dan meryalahkan zantan tanpa kesalahan dan dosa
darinya
Sekiranya zaman dapat berbicara, niscaya ia akan mencela dan
menyalahkan kita
Semuanya adalah kalimat-kalimat yang perlu dicatat dengan tinta
emas. Kalimat ini mengingatkan sikap kita yang selalu menganggap zaman dan
waktu sebagai penyebab kegagalan kita. Sekiranya zaman dapat berbicara, niscaya
kitalah sebenarnya yang menjadi objek hinaan zaman.
Lautan Ilmu Sangat Dalam
Syafi'i
menasihati kita agar memfokuskan perhatian pada satu bidang ilmu. Kita tidak
dilarang memiliki wawasan luas, tapi kita dituntut menjadi pakar dan spesialis
di satu bidang ilmu.
la berkata,
Seseorang tidak akan mendapatkan semua ilmu
Walaupun ia mencoba mencarinya selama seribu tahun
Lautan ilmu itu sangat dalam
Maka, ambillah yang terbalk saja dari semua hal
Menuntut ilmu hukumnya wajib. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam mencarinya. Imam Syaf'i telah menyimpulkan dan menjelaskan
kepada murid-muridnya dan kepada siapa saja yang ingin menuntut ilmu. la
menegaskan bahwa lautan ilmu sangat dalam. Tak akan ada yang bisa menyelaminya
kecuali penyelam yang sangat mahir.
Ilmu
Al-Rabi' ibn
Sulaiman berkata, "Aku mendengar Syafi’i berkata, Perumpamaan orang yang
menuntut ilmu tanpa nalar dan kemampuan berargumen seperti seorang pencari kayu
bakar pada malam hari. la membawa seikat kayu bakar dan tak menyadari bahwa di
dalamnya terdapat seekor ular yang siap menyengat nya.”
Diriwayatkan
dari al-Muzanni, la berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, ‘Siapa yang
tidak mencintai ilmu maka tak ada kebaikan padanya. Kau tidak layak berkenalan
dan berteman dengannya.”
Diriwayatkan
dari al-Rabi' ibn Sulaiman, ia berkata, "Aku mendengar Syafi'i menyatakan,
Hiasan para ulama adalah ketakwaan, pakaiannya adalah akhlak baik, dan
ketampanannya adalah jiwa yang mulia."
Ia juga
berkata, "Aku mendengar Syafi’i berkata, Ilmu tidak akan baik dan indah
kecuali dengan tiga perkara: takwa kepada Allah, menjalankan sunnah, dan takut
kepada-Nya.”
Keindahan ilmu, takwa, dan rasa takut kepada Allah adalah perhiasan
ulama. Barang siapa tidak mencintai ilmu maka tak ada kebaikan padanya. Kita
tidak perlu berteman dan bergaul dengannya.
Ilmu Yang Berguna
Abu Bakar
al-Khallal berkata, "Aku mendengar Syafi’i menuturkan, Ilmu itu bukan yang
dihafal, melainkan yang berguna.”
Al-Rabi'
berkata, Aku mendengar Syafi'i berkata, Perdebatan dalam ilmu dapat mengeraskan
hati dan menyisakan kedengkian."
Ia juga
berkata, "Kudengar Syafi'i berkata, "Jika para ahli fikih dan orang
yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah maka Allah tidak memiliki wali.”
Diriwayatikan
dari al-Muzanni, ia berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, "Ilmu
adalah kehormatan bagi orang yang tidak memiliki kehormatan.”
Para ahli fikih yang mengamalkan ilmunya adalah wali-wali Allah.
Ilmu yang bermanfaat adalah sumber kehormatan bagi orang yang tidak memiliki
kehormatan, selama la tidak di perdebatkan.
2. Seni Membangun Hubungan
Hubungan yang Benar
Syafi'i
telah mencicipi asam-garam kehidupan dan menemui berbagai model manusia. la
ingin mencari teman yang bisa menghiburnya. Sayangnya, pencarian itu membuatnya
lelah. Ia menuturkan,
Teman yang tidak berguna saat petaka melanda
Ia hampir sama dengan musuh
Seorang teman tak bisa diharapkan dalam setiap masa
Demikian pula saudara, kecuali untuk hiburan
Aku mengenal banyak manusia karena aku terus mencari
Saudara yang terpercaya, hingga pencarianku membuatku lelah
Semua negeri menghindariku,
hingga seakan para penduduknya bukan manusia
Mencari teman sejati tidak mudah. Jika kau menghabiskan hidupmu
untuk mencarinya, jarang sekali kaudapatkan teman sejati.
Saat seorang
temannya jatuh sakit, Syafi'i menjenguknya. Syafi'i ikut merasakan derita dan
sakit temannya. Sepulang dari sana, Syafi'i menulis dua bait syair yang indah
Kekasih jatuh sakit dan aku menjenguknya
Aku ikut merasakan deritanya karena perhatianku padanya
Seorang kekasih datang merjengukku
Hingga aku sembuh setelah memandang wajahnya
Saudara Yang Tulus
Kemudian
Syafi'i mengingatkan kita akan sahabat yang harus menjadi teman setia. la
berkata,
Aku mencintai setiap saudara yang menutup matanya
Dan mengabaikan kesalahan-kesalahanku
Yang selalu sepakat denganku dalam segala hal yang ku mau
Dan menjagaku saat aku hidup atau setelah aku mati
Siapakah yang mau menjadi teman seperti ini?
Andai aku menemukannya
Maka akan Kubagi hartaku kepadanya dan segala kebaikan
Aku akan menyalami semua saudaraka
Dan dari sekian banyak saudara Sangat sedikit yang dapat dipercaya
Rahasia Pergaulan
Di antara
syair Syafi'i yang sarat nilai dan mengajarkan kita cara hidup bahagia dalam
pergaulan yang Baik adalah sebagai berikut:
Jagalah jiwa dan bawalah ia kepada hal yang akan menghiasinya
Niscaya kau hidup selamat dan reputasimu menjadi baik
Jika hanya berbasa-basi dalam mempergauli manusia
Maka masa akan menjauh atau teman akan bersikap keras kepadamu
Jika rezeki hari ini sedikit maka bersabarlah hingga hari esok
Semoga petaka zaman akan hilang darimu
Tak ada kebaikan dalam mencintai seseorang yang banyak tingkah
Kemana angin bertiup, ia akan ikut ke sana
Berapa baryak saudara saat Kau hitung
Akan tetapi saat kau tertimpa petaka, mereka tampak sedikit
Bergaul dengan manusia memerlukan latihan dan kesabaran yang besar.
Saat kau sejahtera, kau akan melihat banyak teman dan saudara. Tetapi saat
musibah menimpa, mereka menjadi sedikit.
Lebih Baik Sendiri
Jika kau
tidak menemukan seorang sahabat maka menyendiri lebih baik bagimu. Syafi'i
melantunkan bait syair,
Jika aku tidak menemukan seorang teman yang bertakwa
Maka kesendirianku lebih nikmat dari pada teman buruk yang
kutemani
Duduk sendiri bisa lebih selamat dari hal-hal bodoh
Mataku akan senang karena aku bisa menghindari seorang teman yang
harus kujauhi
Saudara yang paling baik adalah yang bertakwa, memberi nasihat,
menemani saat derita, dan menjaga citra kita saat hidup atau mati. Jika orang
seperti ini tidak ditemukan maka hidup sendiri lebih baik.
Bait Syair Syafi'i yang Paling
Populer
Bagi orang
yang meneliti tingkat balaghah Syafi'i dan syairnya, ia harus mengkaji bait
syair yang sarat hikmah di bawah ini. Dengan bahasa yang indah, syair tersebut
layak menjadi rujukan utama dan hiasan hati manusia. Selain itu, syairnya
mengingatkan kita akan qadha dan qadar Allah. Syafi'i melantunkan,
Biarkan hari-hari melaukan apa yang ia mau
Dan lembutkan jiwamu jika ketetapan Allah berlaku
Jargan panik menghadapi peristiwa-peristiwa malam
Karena segala peristiwa dunia ini tidak abadi
Jadilah laki-laki yang perkasa menghadapi petaka
Dan milikilah sifat pemaaf dan jujur
Jika cela dan aibmu nampak banyak di mata makhluk
Maka berbahagialah karena masih ada penutupnya
Tutuplah dirimu dengan kemurahan hati
Karena setiap aib dapat ditutupi dengan kemurahan hati, seperti
kata orang
Jangan kau tampakkan kehinaanmu di depan musuh
Karena kebahagiaan musuh
saat melihatmu menderita akan merjadi petaka bagimu
Jangan kau berharap maaf dari seorang yang bakhil
Karena di neraka tak ada air bagi orang yang kehausan
Rezekimu takkan berkurang dengan sikap tenangnu
Dan perjuanganmu belum tentu dapat menambah rezekimu
Tak ada kesedihan yang abadi, tidak pula kebahagiaan
Tidak petaka, tidak pula kesejahteraan
Jika kau memiliki hati yang qanaah
Maka kau serupa dengan raja-raja penguasa dunia
Siapa yang serambinya didatangi kematian
Maka takkan ada bumi dan langit yang dapat melindunginya
Tanah Allah sangat luas akan tetapi jika ketetapan-Nya turun maka
semuanya akan menjadi sempit
Biarkan hari terus berkhianat setiap saat
Karena obat takkan dapat meryembunkan kematian
3. Kasidah-Kasidah Keimanan
Panah Malam
Apakah kau meremehkan doa dan menghinakannya
Kau tak tahu apa yang bisa dilakukan sebuah doa
Panah malam tidak akan meleset akan tetapi
Ia hanya memiliki masa dan masa pasti akan habis
Doa adalah panah yang tak pernah meleset dari sasaran. Jika kita
mencoba panah ini maka kita akan takjub karenanya.
Kelapangan Setelah Kesempitan
Berapa baryak musibah yang membuat seorang pemuda tertekan
Padahal di sisi Allah ada jalan keluanya
Musibah membuat sempit dan saat rentetannya terjadi
Maka ia akan semakin lapang, tadinya kukira ia tidak akan
dilapangkan
Jangan Pernah Putus Asa Dari
Rahmat Allah
Jika kau tak henti melakukan dosa
Dan tetap takut akan ancaman hari yang dijanjikan
Maka telah datang kepadamu maaf Tuhan Yang Mata Menguasai
Yang telah melimpahkan semua karunia-Nya kepadamu
Jangan putus asa dari kebaikan Tuhanmu
Sejak kau masih di perut ibumu berupa segumpal daging dan janin
Jika Allah berkehendak agar kau menetap abadi di neraka jahanam
Niscaya Allah tidak akan mengilhami hatimu dengan tauhid
Menyerah Pada Kehendak Allah
Jika aku memilki makanan untuk hariku ini
Maka jauhkan kesedihan dariku, wahai Tuhan Pemberi Kebahagiaan
Jangan kautimpakan kesedihan esok di pintuku
Karena jika esok tiba, Dia tetap memiliki rezeki baru
Aku hanya pasrah jika Allah menghendaki satu perkara
Aku serahkan apa yang ku mau berdasarkan apa yang Dia Mau
Takwa Kepada Allah Dan Harapan
Orang ingin harapanınya terwujudkan
Akan tetapi Allah menolaknya kecuali apa yang dikehendaki-Nya
Seseorang berkata, "Ini adalah peran dan hartaku”
Padahal ketakwaan kepada Allah adalah sebaik-baik peran dan
hartanya
Zikir kepada Allah
Hatiku bergantung kepada rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Memiliki
kelembutan
Dalam keadan tersembunyi, nyata, pagi, dan petang
Aku tak pernah bolak-balik saat tidur dan kantukku
Kecuali zikir kepada-Mu menyela napas-napasku
Kau anugerahi hatiku dengan makrifat
Bahwa Engkau adalah Allah Tuhan Yang Memiliki karuania dan
kesucian
Aku telah melakukan dosa dan Kau pun mengetahuinya
Kau tidak pernah membongkarnya dengan sesuatu yang buruk
Anugerahi aku nama baik orang-orang saleh
Jangan berikan kebimbangan kepadaku dalam agamaku
Sertailah aku selama di dunia dan akhiratku
Hari kiamat saat aku dihimpun dan saat semua berwajah masam atas
petaka yang kau turunkan
Jalan Keselamatan
Wahai penasihat manusia, apa yang telaht kaulakukan
Wahai orang yang menghitung umurnya berdasarkan bilangan napasnya
Jaganlah ubanmu dari aib yang akan mengotorinya
Karena warna putih itu jarang membawa kepada kotoran
Seperti seseorang yang membawa pakaian orang-orang untuk dicucinya
Sementara pakaiannya sendiri berlumur kotoran dan najis
Kau berharap keselamatan sementara kau tidak menempuh jalannya
Sesunguhnya perahu itu tidak berlayar di atas daratan
Keranda mayat yang kau naiki membuatmu lupa akan
Pergalamanmu menunggang keledai atau unta
Pada hari kiamat tak ada harta dan anak
Pelukan alam kubur dapat melupakan malampergantinmu
Tunduk pada Allah
Di tempat hina di bawah keagungan-Mu
Di tempat rahasia yang tak kuketahui
Dengan menundukkan kepalaku, aku mengakui kehinaanku
Dengan mengangkat tanganku, aku memohon kebaikan dan rahmat-Mu
Dengan nama-Mu yang menyebut sebagiannya saja
Membutuhkan paparan prosa dan syair yang panjang
Dengan janji lama-Mu, bahwa kata-Mu, “Bukankah Aku Tuhanmu?"
Dengan orang yang tidak dikenal, lalu la dikenal dengan nama-Nya
Buatlah kami merasakan minuman kelembutan, wahai
Tuhan Yangjtika Kau memberi minuman kepada seorang yang
mencintai-Mu, niscaya orang itu takan pernah merasa kenyang dan haus
Tingalkan Kesedihan
Mata terjaga dan mata tertidur
Karena banyak perkara yang terjadi atau tidak terjadi
Hilangkan kesedihan dari jiwamu, semampumu
Memendam kesedihan adalah kegilaan
Sesungguhnya Tuhan telah mencukupimu kemarin
Dan Dia juga akan mencukupinu esok hari
BAB IX
ORANG BIJAK
1. Etika Bergaul
Yunus ibn
Abdul A’la berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, "Temanilah
orang-orang mulia, niscaya kau hidup mulia. Jangan pergauli orang hina sehingga
kau ikut menjadi hina.”
Al-Muzanni
menuturkan, "Kudengar Syafi’i berkata, Pelaku zalim terhadap diri sendiri
adalah orang yang tunduk kepada seseorang yang tidak ia hormati, ingin dicintai
oleh orang yang tidak berguna baginya, atau suka menerima pujian dari orang
yang tidak mengenalnya"
Diriwayatkan
dari al-Rabi ibn Sulaiman, Ia berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata,
‘Menemani orang yang tidak takut cela akan mendatangkan cela pada hari
kiamat." Darinya juga diriwayatkan bahwa Syafi’i berkata, "Sandaramu
bukanlah orang yang perlu kau puji atau kau raih simpatinya."
Perbatikan
hikmah dan prinsip pergaulan yang diberikan Syafi'i kepada kita:
·
Jangan bergaul dengan orang yang tidak takut aib!
·
Pergaulilah orang-orang mulia!
·
Jangan menzalimi diri sendiri dengan tunduk kepada orang yang
tidak memuliakanmu. Jika untuk mendapatkan saudara kau harus memuji seseorang
terlebih dahulu, berarti ia bukan saudaramu
Persaudaraan Yang Tulus
Al-Rabi' ibn Sulaiman menuturkan,
“Aku mendengar Syafi'i berkata, Orang yang tulus dalam bersaudara akan menerima
kekurangan saudaranya, mengabaikan kelemahannya, dan memaafkan kesalahan-kesalahannya."
Syafi’i berkata, "Tak ada
kebahagiaan yang setara dengan persaudaraan dan tak ada kesedihan yang setara
dengan perpisahan dengan saudara"
Diriwayatkan dari al-Muzanni
bahwa Syafi'i berkata, "Orang yang menasihati saudaranya secara tertutup,
berarti ia telah berbuat baik kepadanya dan menghargainya. Dan orang yang
menasihatinya secara terbuka, berarti ia telah membongkar keburukannya dan
menghinanya.”
Yunus ibn Abdul A’la bertutur,
"Aku mendengar Syafi'i berkata, 'Sikap rendah hati merupakan akhlak orang-orang mulia, dan sikap sombong
adalah sifat orang yang tercela"
Ia juga berkata, "Aku
mendengar Syafi'i berpesan, "Orang
yang paling tinggi kedudukannya adalah orang
yang tidak melihat ketinggian derajatnya. Orang yang paling mulia adalah
orang yang tidak menganggap dirinya mulia"
Bersandar Pada Teman
Di antara nasihat Syaf'i yang
agung adalah ucapannya kepada Yunus ibn Abdul A’la, "Wahai Yunus, jika kau memiliki teman maka eratkan tanganmu
dengannya (jagalah ia) karena mencari teman itu sulit dan berpisah dengannya
sangat mudah".
Syafi'i juga berkata, "Siapa
yang rela mengadu domba orang lain untukmu maka ia akan berani mengadudombamu.
Dan siapa yang suka menyampaikan segala hal kepadamu, ia pasti akan
menyampaikan apa saja tentangmu. Siapa yang kau relakan maka ia akan mengucapkan apa yang tidak ada padamu. Barang siapa
kau marahi maka ia akan berbicara tentangmu dengan hal-hal yang tidak ada
padamu".
2. Seni Menyempurnakan Kepribadian
Kesempurnaan Seorang Laki-Laki
Syafi'i
berkata, "Orang yang mempelajari Al-Quran maka nilainya akan bertambah
besar, dan orang yang mendalami fikih derajatnya akan bertambah mulia. Orang
yang mencatat hadis argumentasinya semakin kuat, dan orang yang mendalami ilmu
bahasa tabiatnya akan melembut. Orang yang belajar ilmu hisab pendapatnya akan
banyak, dan orang yang tidak menjaga diri sendiri ilmunya tidak akan bermanfaat
baginya."
Al-Buwaithi
berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, Seorang laki-laki tidak akan
sempurna di dunia kecuali dengan empat perkara: agama, sifat amanah, menjaga
diri, dan sikap tenang".
Syafi'i
berkata, "Amal yang paling berat ada tiga: murah hati saat miskin,
bersikap warak saat sendiri, dan mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang
ditakuti.”
Imam Syafi'i adalah sosok ahli di bidang kehidupan. la telah
merasakan pahit getir kehidupan dan mengenal beragam tabiat manusia. la adalah
orang yang berpandangan luas dan berperasaan halus. Dari sini, ia banyak
mendapatkan hikmah dan pengalaman sangat berharga yang ia ajarkan kepada kita.
3. Seni Membina Hubungan
Imam Syafl'i
orang yang cerdas dan kreatif. la memiliki perasaan yang lembut dan pandangan
yang luas. la pakar dalam kehidupan. Ia hidup sebagai seorang yatim sekaligus
miskin, kemudian bersinar terang menjadi matahari yang menyinari bumi. la
banyak mengembara ke negeri-negeri Islam dan mengenal bermacam ras dan jenis
manusia. Walhasil, ia mendapatkan wawasan yang luas hingga ia memancarkan
hikmah yang berlimpah. Salah satunya adalah riwayat al-Rabi' bahwa Syafi'i
berkata, "Wahai Rabi, jangan berbicara tentang sesuatu yang tidak berguna.
Jika kau mengatakan satu kalimat maka kalimat itu akan menguasaimu dan kau
takkan bisa menguasainya.”
Al-Muzanni
menuturkan, "Aku mendengar Syafi'i berkata, 'Setiap orang pasti dicintai
atau dibenci. Jika demikian, jadikanlah orang-orang yang taat kepada Allah
sebagai rujukan.
Yunus ibn
Abdul A’la berkata, "Syafi’i berpesan, Wahai Abu Musa, jika kau berusaha
sekuat tenaga untuk mendapatkan keridhaan manusia maka kau tidak akan pernah
mendapatkannya. Maka, ikhlaslah dalam beramal dan tuluskan niatmu karena
Allah.”
Hikmah-hikmah
ini mengajarkan kita agar tidak berbicara satu kalimat kecuali pada tempatnya
dan tidak banyak memedulikan pendapat orang lain tentang kita. Syafi'i berpesan
agar kita menjadikan orang-orang yang saleh sebagai contoh dan teladan.
Syafi'i
berkata kepada Yunus ibn Abdul A’la, "Wahai Yunus, sikap menutup diri dari
orang lain dapat menimbulkan permusuhan, dan sikap terlalu toleran dapat
mendatangkan teman-teman yang buruk. Karena itu, bersikaplah sedang-sedang
saja."
Syafi'i
meminta murid-muridnya untuk tidak sibuk mencari keridaan manusia. Yunus
menuturkan, “Syafi’i berkata kepadaku, Keridaan manusia adalah tujuan yang tak
bisa dicapai. Tidak ada jalan untuk selamat dari mereka. Karena itu, kau harus
melakukan apa yang bermanfaat bagimu."
Syafi'i berkata, "Aku tidak pernah
memuliakan seseorang secara berlebihan, Aku juga tidak mengurangi rasa hormatku
kepadanya secara berlebihan. la juga berkata, "Tidak ada loyalitas kepada
seorang hamba, tidak ada ucapan terima kasih kepada orang yang hina, dan tidak
ada kebaikan bagi orang yang keji.”
Menikah Dengan Orang Jauh
Syafi'i
berbicara tentang satu hikmah sosial yang banyak diabaikan oleh manusia,
"Kaum mana saja yang perempuannya tidak menikah dengan laki-laki di luar
kaumnya, atau laki-lakinya tidak menikah dengan perempuan kaum lainnya, maka
anak-anak yang dilahirkan akan menjadi bodoh.
Keridaan
Al-Rabi
berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, Orang yang dimintai keridaan-nya
lalu ia tidak rida maka ia adalah setan.”
Hikmah ini
banyak diabaikan orang. Satu kaum yang laki-lakinya tidak menikah dengan
perempuan kaum lain, ata perempuannya tidak menikah dengan laki-laki kaum lain,
maka anak-anaknya akan terlahir dalam keadaan bodoh. Sungguh ini adalah hikmah
yang sangat tinggi. Betapa Syafi'i seorang imam yang hebat!.
4. Memahami Agama
Mencela Sikap Bergantung pada
Orang Lain
Syafi'i
mencela orang yang masuk dunia sufi sehingga cenderung pasif, tidak mau bekerja,
dan membebankan biaya hidupnya pada kaum muslim. Orang seperti ini tidak
menunaikan kewajiban sosial mereka, tidak sibuk menuntut ilmu, dan tidak mau
beribadah. Syafi'i berkata, "Jika seorang laki-laki menjadi sufi di awal
siang maka waktu zuhur tidak datang kepadanya kecuali kau temukan Ia dalam
keadaan bodoh"
"Aku
tidak pernah melihat seorang sufi pun yang berakal kecuali seorang muslim
Khawash,” demikian kata Syafi'i.
Dengan nada
mencibir, Syafi'i juga berkata, "Seorang sufi tidak menjadi sufi sebelum
empat sifat ada pada dirinya: malas, banyak makan, banyak tidur, dan usil.”
Muhammad ibn
Muhammad ibn Idris as-Syafi'i berkata, "Aku mendengar ayahku berkata, Aku
menemani kaum sufi selama sepuluh tahun, dan aku tidak mengambil manfaat
apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat: waktu
adalah pedang dan termasuk Kesucian
jika kau tidak dihargai"
5. Akhlak Yang Luhur
Kehormatan Yang Hampir Hilang
Al-Rabi' ibn
Sulaiman menuturkan, "Aku mendengar Syafi'i berkata, 'Kehormatan memiliki
empat rukun: akhlak yang baik, kedermawanan, sikap rendah hati, dan ibadah.”
Syafi'i
mencela anaknya, Utsman. Di antara ucapannya kepada anaknya adalah:
"Wahai
Anakku, jika kutahu bahwa air dingin dapat mengikis kehormatanku, aku hanya
akan minum air panas.”
Dalam satu
riwayat terdapat tambahan, "Sekiranya hari ini aku termasuk orang yang
suka mengucapkan syair, niscaya aku telah merusak kehormatan.”
Syafi'i berkata. "Kehormatan diraih
dengan melindungi diri dari hal-hal tak berguna."
Diriwayatkan dari al-Rabi ibn Sulaiman bahwa
Syafi'i berkata, "Para pemilik kehormatan itu selalu letih."
Syafi’i
berkata, "Memberi syafa'at (membantu) adalah zakat kehormatan."
Kehormatan mungkin tidak lagi dipedulikan pada zaman sekarang. Akan
tetapi, Syafi’i sangat menjaga kehormatannya hingga jika ia tahu bahwa air
dingin dapat mengikis kehormatannya, niscaya la lebih rela minum dengan air
panas.
Jangan Marah
Selain
sifat-sifat agung itu, Syafi'i juga tidak pernah marah saat berdebat. la tidak
pernah berkata keras saat berdialog karena ia hanya mencari kebenaran dengan
dialognya dan tidak ingin merasa lebih unggul. Kezuhudannya di bidang ilmu dan
keikhlasannya dalam mencari kebenaran sampai pada tingkatan di mana ia berharap
semua orang mengambil manfaat dari ilmunya tanpa harus mengenang jasa-jasanya.
Dalam kitab Tarikh Ibni Katsir disebutkan bahwa Syafi'i berkata, "Aku
ingin manusia mempelajari ilmu ini dan tidak menisbahkannya sedikit pun
kepadaku agar keburukanku tidak disebutkan. Dan kalian jangan memujiku."
Kehormatan Syafi’i Melarangnya
Dengan
akhlak yang mulia ini Syafi'i mencapai puncak tertinggi yang bisa dicapai oleh
orang yang ikhlas, yaitu kekuatan jiwa, kecerdasan, kemuliaan, dan kesucian
tujuan dari hal-hal yang tidak layak dimiliki oleh seorang laki-laki yang
sempurna. Hingga Yahya ibn Mu'in pernah berkata tentangnya, "Seandainya
berbohong itu dibolehkan maka kehormatan Syafi'i pasti akan tetap melarangnya
untuk berbohong.”
Allah
merahmati Imam Syafi'i karena ia selalu melaksanakan apa yang harus dilakukan
untuk memenuhi panggilan hati dan fitrahnya, tidak sekadar ingin melaksanakan
perintah atau menjauhi larangan semata.
Allah telah
menganugerahi Syaf'i sifat dan bakat vang dapat meninggikan derajatnya dalam
agama dan menempatkannya di puncak tertinggi. Syafi'i menjadi orang yang
memiliki kekuatan menghafal, sikap tanggap, nalar yang kuat, kekuatan bayan,
kefasihan, kesucian jiwa, dan ketulusan dalam mencari kebenaran.
Toleran Dan Santun
Syafi'i
adalah seorang imam agung di antara imam-imam kaum muslim lainnya. la juga
ulama. Kita tahu kadar keilmuannya, pemahaman, dan kecerdasannya. Ilmu Syafi’i
ini tidak bertentangan dengan sikap toleransi, kesantunan, dan selera humornya.
Sebalikanya, seorang alim dituntut harus selalu toleran dan santun. Ia tidak
boleh lancang dan kasar agar orang-orang tidak menghindarinya. Nabi SAW. adalah
seorang Rasul yang alim dan sesekali bergurau. Tetapi, dalam gurauannya, beliau
tidak berdusta. Demikian pula Syafi’i. la memiliki selera humor dan canda yang
segar, mulia, dan santun.
Toleransi dan kelembutan seorang alim membuatnya dicintai, diterima,
dan didengar. Demikian pula Syafi'i. la sangat dekat dengan masyarakat,
dicintai, dan disayangi oleh para muridnya.
Kecerdasan Seekor Serigala
Di antara
kisah-kisah menarik yang diriwayatkan Syafi'i adalah kisah tentang kecerdasan
seekor serigala. la menuturkan, "Kami tengah berjalan-jalan di daerah
Yaman. Di satu tempat, kami beristirahat dan menurunkan seluruh perbekalan
untuk menyiapkan makan malam. Setelah makanan telah disiapkan, kami memilih
melaksanakan shalat maghrib terlebih dahulu. Ketika itu, makanan kami adalah
dua ekor ayam. Saat kami shalat, tiba-tiba seekor serigala datang. Ia mengambil
seekor ayam santapan kami dan kabur. Seusai shalat, kami merasa kehilangan
seekor ayam santapan. Kami bergumam satu sama lain. "Sekarang makanan kita
telah diambil," ujar salah seorang dari kami. Saat kami menyesali apa yang
terjadi, serigala itu datang lagi. Di mulutnya tampak seekor ayam yang
diambilnya. la lalu meletakkannya jauh dari tempat kami dan memerhatikan kami
dari kejauhan. Kami pun menyerang serigala itu, namun ia lari menjauh. Saat
kami berhasil mendekati tempat persembunyiannya, serigala itu tengah
menyamarkan dirinya dari kami. Ia melipat tubuhnya membentuk seekor ayam. Saat
kami tertawa melihatnya, serigala itu lari sambil membawa ayam kedua. Ia
berhasil menipu kami, padahal kami adalah para ulama besar.
Berfatwa Dengan Syair
Kadang
Syafi'i berfatwa dengan syair. Pelayan dan muridnya, al-Rabi, menuturkan,
"Suatu hari kami tengah berada di tempat Syafi'i. Tiba-tiba seorang pemuda
datang membawa selembar kertas dan menyerahkannya kepada Syafi'i Saat
melihatnya, Syafi'i tersenyum. Ia lalu menuliskan sesuatu di atas kertas itu
dan memberikannya kembali kepada pemuda tadi. Orang-Orang mengira bahwa pemuda
itu ingin bertanya masalah fikih kepada Syafi'i. Mereka pun ingin tahu dan
mengejar pemuda tadi. Mereka terus mengejarnya untuk memintanya memberikan
lembar kertas yang tadi ditulis Syafi'i. Ternyata, di dalam kertas itu terdapat
pertanyaan tentang masalah cinta. Di atas kertas itu sang pemuda menulis sebait
syair,
Tanyakan kepada mufti Makkah, dosakah dua orang yang saling
merindu
Untuk saling mengunjungi dan berpelukan?
Dalam kertas itu pula Syafi'i
menjawab,
Na'udzu billah, jika keterikatan hati kepada perempuan
Dapat menghilangkan ketakwaan pada diri seseorang
Membaca jawaban ini, mereka terkagum-kagum.
Di lain kesempatan pemuda itu datang lagi untuk bertanya,
Tanyakan kepada mufti Makkah yang
berasal dari keluarga Hasyim
Jika rasa cinta terhadap
seseorang semakin besar, apa yang harus dilakukannya?
Syafi’i menjawab pertanyaan,
la harus mengobati hawa nafsurya dan menutupi cintanya
Serta bersabar dalam segala hal dan pasrah
Di lain waktu pemuda itu kembali
datang dan bertanya,
Bagaimana caranya mengobati hawa nafsu, padahal ia adalah peryakit
yang dapat membunuh pemuda?
Setiap hari ia menjadi sesuatu yang menyumbat tengorokannya hingga
ia menderita karenanya
Syafi’i pun menjawab,
Jika ia tidak bersabar atas apa yang ia alami
Maka tak ada yang lebih bermanfaat baginya dari kematian
Seluruh
murid Syafi'i kagum melihat jawaban gurunya ini. Salah seorang dari mereka
bertanya kepada Syafi'i, “Bagaimana bisa engkau berfatwa seperti ini?”
Syafi’i
menjawab, “Ia seorang pemuda yang baru menikah. Akan tetapi keluarga istrinya
menunda-nunda pesta pernikahannya. Ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan ini tak
lain berkenaan dengan hubungannya bersama istrinya. Karena itulah Syafi’i
menjawab, "Tidak masalah (ia boleh melakukan keinginannya).”
Ini adalah
fatwa khusus yang berhubungan dengan pribadi seseorang, bukan fatwa umum untuk
masyarakat. Syafi’i tahu benar kisah dan latar belakang pemuda tersebut karena
itu ia menjawabnya dengan jawaban yang sesuai dengan keadaannya.
Kehormatan dan wibawa tidak akan tercipta dengan tabiat dan sikap
yang keras. Sebaliknya, dengan wibawa, kehormatan, dan ilmu yang dimilikinya
Syafi’i menjadi orang yang sangat santun, toleren, humoris, dan suka canda. Ini
adalah akhlak Rasulullah SAW. Beliau sesekali bersenda gurau dan tidak
mengucapkan kecuali yang benar.
BAGIAN III PUNCAK KETENARAN SYAFI'I
BAB X
SEORANG ULAMA DARI YAMAN DAN IRAK
1. Perjalanan Ke Mekah
Syafi'i
tinggal di Madinah sampai gurunya, Imam Malik, meninggal dunia. Terkadang ia
sangat merindukan kota Makkah, tempatnya tumbuh dan berkembang yang merupakan
negeri para leluhurnya. Di sana sang ibu tinggal dan tak henti memberinya
bimbingan dan nasihat. Di sana pula ada guru-gurunya yang sangat ia hormati dan
tak pernah ia lupakan jasa-jasa mereka.
Syafi'i
hidup miskin. Ketika Imam Malik meninggal, Syafi'i ingin bekerja untuk mencari
rezeki dan mencukupi kebutuhannya. Ia memilih kembali ke Makkah, tapi di sana
ia tidak menemukan pekerjaan. Orang-orang Quraisy lalu membawa Syafi'i kepada
seorang Gubernur Yaman yang ketika itu tengah berada di Makah. Mereka meminta
Gubernur untuk membawa Syafi'i ke Yaman, siapa tahu di sana ia mendapatkan
pekerjaan. Syafi'i pun berangkat ke Yaman.
2. Berangkat Ke Yaman
Syafi'i
menuturkan kisah kepergiannya ke Yaman, "Seorang Gubernur Yaman datang ke
Hijaz. Beberapa orang Quraisy memintanya untuk membawaku ke Yaman. Sementara
itu, ibuku tak memiliki apa-apa untuk bekalku ke sana. Akhirnya ia menggadaikan
rumah, dan uangnya kujadikan bekal. Setibanya kami di Yaman, sang Gubernur
mengangkatku sebagai pejabatnya. Aku pun menunaikan tugasku dengan baik hingga
ia menambah tugas-tugasku"
Kendaraan Yang Sulit
Dalam tugas
ini muncullah bakat dan kecerdasan Syafi'i. Ia mulai dikenal khalayak sebagai
seorang yang adil dan istimewa. Kemudian Syafi'i ditugaskan di daerah Najran.
Di sana la menegakkan keadilan dan menyebarkan panji-panjinya. Ketika itu para
penduduk Najran terkenal suka menjilat dan berkolusi dengan para pejabat dan
hakim. Mereka menghadapi Syafi'i sebagai sosok yang adil dan bersih sehingga
tak bisa menemukan jalan untuk menjilat atau menyuapnya.
Syafi’i
menggambarkan kondisi ini dengan berkata, "Aku menjadi hakim di Najran. Di
sana Bani al-Haris ibn al-Madan tinggal bersama para budak dari Tsaqif. Jika
seoramg péjabat datang mereka berpura-pura menghormatinya dan mulai
menjilatnya. Mereka juga ingin melakukan hal yang sama kepadaku, tapi mereka
tak bisa melakukannya."
Dengan
sikapnya ini, Syafi'i menutup pintu kolusi dan nepotisme. Semua langkahnya
bertujuan hanya untuk menegakkan keadilan. Sayangnya, keadilan selalu menjadi
kendaraan yang sangat sulit dan tak bisa dikendalikan kecuali oleh orang-orang
yang bertekad baja. Orang semacam ini selalu diterpa kerasnya zaman dan diuji
oleh sikap para perusak. Itulah yang dialami Syafi'i saat menjadi pejabat.
3. Tuduhan Yang Berbahaya
Syafi'i
mengisahkan, "Aku berangkat ke Yaman, dan di sana aku mendapatkan tempat.
Di Yaman ada seorang gubernur yang loyal kepada Khalifah Harun al-Rasyid.
Gubernur ini sangat zalim dan bertindak sewenang-wenang. Aku berusaha
mencegahnya dan membendung kezalimannya. Akhirnya gubernur itu menulis surat
kepada khalifah. Di dalamnya ia menulis, "Ada sembilan orang Alawi yang
mulai bergerak. Ada indikasi bahwa orang-orang akan melakukan pergerakan dan
pemberontakan di bawah pimpinan sembilan orang keturunan Ali ibn Abi Thalib.
Aku takut mereka benar-benar melaksanakan rencananya. Di sini juga ada seorang
putra dari Syafi’ al-Muththalibi, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa
terhadapnya. Dengan lisannya, ia bisa melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan
seorang pejuang dengan pedangnya. Ia menuduh Syafi'i menggerakkan pemberontakan
dengan ucapan-ucapannya, dan ini dianggap lebih dahsyat dari sekadar orang yang
memberontak dengan pedangnya.
Orang-orang dari Dinasti Abbasiyah menganggap
musuh mereka yang paling kuat adalah dari kalangan keluarga Alawi karena mereka
mengaku memiliki nasab yang sama dengan keluarga Abbasiyah. Bahkan, mereka
memiliki nasab dan ikatan keluarga dengan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh
orang-orang Abbasiyah. Karena itu, jika melihat propaganda dari pihak keluarga
Alawi, keluarga Abbasiyah akan bergegas menumpasnya. Gubernur zalim ini pun
menghadap pemerintah Dinasti Abbasiyah dengan menggunakan kesempatan kelemahan
mereka. la menuduh Syafi'i telah sekongkol dengan keluarga ‘Alawi. Akhirnya,
Khalifah Harun al-Rasyid mengutus orang untuk menyeret kesembilan orang ‘Alawi
tadi termasuk Syafi’i.
4. Syafi'i Keirak
Karena
tuduhan yang disebarkan oleh gubernur tersebut, Syafi'i dibawa ke Irak dalam
keadaan terbelenggu besi. Ini adalah kunjungan pertama Syafi'i kesana pada
tahun 184 Hijriah. Saat itu umurnya baru 34 tahun.
Ketika
dibawa menghadap Harun al-Rasyid, ia bisa menyelamatkan diri dengan kefasihan,
kemampuan bahasa, dan kekuatan argumentasinya. Saat al-Rasyid mempertanyakan
tuduhan yang ditujukan kepadanya, Syafi'i menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, apa
pendapatmu tentang dua orang yang salah satunya menganggapku sebagai saudara,
sementara yang lain menganggapku sebagai budaknya. Manakah di antara keduanya
yang paling kucintai?”
Harun
al-Rasyid menjawab, “Tentu yang menganggapmu sebagai saudaranya.”
Syafi'i
berkata, ”Itulah engkau, wahai Amirul Mukminin. Kalian adalah keturunan Abbas,
mereka keturunan Ali, sementara kami termasuk Bani Muththalib. Kalian,
keturunan Abbas, melibat kami sebagai saudara kalian, sementara keturunan Ali
menganggap kami sebagai budak mereka.” Dengan kata lain, nasab Syafi’i lebih
dekat kepada orang-orang Abbasiyah ketimbang kepada keluarga ‘Alawi. Lantas,
bagaimana mungkin Syafi'i mendukung orang-orang ‘Alawi menentang orang-orang
Abbasiyah?
Tentang hal ini Syafi'i
melantukan syair,
Orang-orang berharap aku mati
Jika aku mati, itulah jalan yang tidak kutempuh sendiri
Kematian orang-orang yang mati sebelumku tidak menjadi pemusnahku
Kehidupan orang-orang yang hidup sesudahku tidak pula menjadikanku
abadi
Mungkin orang yang mengharap kebinasaanku
Sebelum matiku, dialah yang akan binasa
5. Syafi'i Selamat
Di antara
hal yang membuat Syafi’i selamat dari ancaman hukuman sang Khalifah adalah
kesaksian Muhammad ibn al-Hasan atas kasusnya itu. Muhammad adalah murid Imam
Abu Hanifah. Sepertinya Muhammad pernah bertemu Syafi'i di majelis Imam Malik.
Muhammad ibn
al-Hasan berkata kepada Khalifah al-Rasyid, Ia memililki ilmu yang sangat luas.
Apa yang dituduhkan orang kepadanya tidak sesuai dengan kepribadiannya.”
Al-Rasyid
lantas berkata kepada Muhammad ibn al-Hasan, "Bawalah ia ke tempatmu, biar
kupertimbangkan masalahnya.” Dengan ucapan Muhammad ini, Syafi'i pun selamat.
"
Karena
tuduhan dan penghinaan yang dialami Syafi’i ini, Harun al-Rasyid memberinya
ganti rugi dengan uang yang dibawa dengan seekor kuda. Syafi’i menuturkan,
"Baru saja aku keluar dari tempat para penjaga Amirul Mukminin, satu kabar
datang ke telinga Harun al-Rasyid bahwa aku tidak gila harta. Kemudian ikrimah,
teman Harun al-Rasyid, mengejarku bersama para penjaganya. Ia berkata,
"Terimalah uang ini dariku!? Aku menjawab, Aku tidak mengambil pemberian
dari orang yang lebih rendah dariku. Aku mengambilnya hanya dari orang yang
lebih tinggi dariku.”
Syafi’i
melanjutkan, "Aku pun keluar dan tidak sepeser pun uang mereka yang aku
ambil"
6. Murid Imam Abu Hanifah
Setelah
keluar dari istana Khalifah al-Rasyid, Syafi’i mampir di rumah seorang alim
dari mazhab Hanafi, Muhammad ibn al-Hasan. Di sana Syafi'i mulai membaca
buku-buka yang ditulis Muhammad tentang fikih peduduk Irak. la mempelajari
kitab ini langsung darinya. Cobaan yang ia alami berubah menjadi nikmat. Dengan
demikian, pada dirinya terkumpul fikih Hijaz dan fikih Irak. Ia menguasai fikih
yang ada pada zamannya. Ibn Hajar berkata, "Kepemimpinan bidang fikih di
Madinah berada di tangan Malik ibn Anas. Kemudian Syafi'i mendatanginya dan
belajar darinya. Kepemimpinan fikih di Irak berada di tangan Abu Hanifah.
Syafi’i pun belajar dan menuntut ilmu dari murid sang Imam, yaitu Muhammad ibn
al-Hasan. Pada diri Muhammad tak ada ilmu kecuali yang ia dengar langsung dari
Iman Abu Hanifah. Dengan begitu, ilmu ahli rakyu telah dikuasai Syafi'i seperti
ilmu ahli hadis. Ia mengombinasikan dua ilmu ini dengan ilmunya sendiri hingga
berhasil meletakkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar ilmu ushul fikih.
Semua pendukung dan penentangnya salut padanya. la menjadi terkenal dan namanya
sering disebut orang. Kedudukannya pun semakin meningkat.
Ahli Fikih Madinah Dan Fikih Irak
Syafi’i menetap di Baghdad
sebagai murid Ibn al-Hasan, di samping sebagai pendebat baginya dan para
sababatnya. Ia mengaku dirinya ahli fikih Madinah, sahabat Imam Malik. Kemudian
ia pergi ke Makkah dengan memboyong kitab-kitab penduduk Irak di atas untanya.
Kebanyakan riwayat tidak menyebutkan berapa lama Syafi’i tinggal di Baghdad.
Kemungkinan besar ia tinggal di sana dalam waktu yang cukup untuk mempelajari
dan mendalami ilmu ahli rakyu, sekitar dua tahun.
BAB XI
KEMUNCULAN SYAFI'I DI MEKAH
1. Metodologi Ilmu Baru
Syafi'i
kembali ke Makkah dan mulai mengajarkan ilmu-ilmunya di Tanah Suci. Pada musim
haji, para pembesar ulama banyak yang menemuinya dan ingin mendengar ilmu
darinya. Pada waktu itulah Ahmad ibn Hanbal bertemu dengannya dan belajar darinya.
Kepribadian Syafi'i mulai terkenal dengan fikih barunya: bukan fikih Madinah,
bukan pula fikih Irak, melainkan fikih gabungan dari keduanya. Fikih kombinasi
ini merupakan intisari yang dihasillkan oleh satu akal yang paling cemerlang
dan paling matang di bidang ilmu sunnah, bahasa, sejarah, kisah-kisah masa
lalu, qiyas, dan rakyu (nalar). Oleh karena itu, para ulama yang bertemu
dengannya menganggapnya sebagai seorang alim yang berbeda dari ulama lainnya.
Syafi’i mengombinasikan antara fikih Hanafi yang didominasi rakyu
(nalar) dan fikih Madinah Maliki yang benuansa hadis. la menghasilkan fikih
baru yang unik sehingga terkenal sebagai ulama dengan metode baru yang
disusunnya sendiri.
Aturan Pokok Ijtihad
Kali ini
Syafi'i tinggal di Makah cukup lama, sekitar sembilan tahun. Ia memandang perlu
menetapkan aturan-aturan standar yang menjadi pijakan para mujtahid dalam
berpendapat dan melakukan qiyas, serta dalam menempuh metode untuk mengetahui
mana yang paling mendekati kebenaran. Ia memfokuskan diri mempelajari Al-Quran,
mencari kandungan dalilnya, hukum-hukumnya, nasikh-mansakh, dan mempelajari
sunnah, mengenali kedudukannya dalam ilmu syariat, mendeteksi mana yang sahih
dan mana yang dhaif, mempelajari tata cara mengambil dalil, serta mengenali kedudukan
dan fungsinya terhadap Al-Quran. Syafi'i juga belajar cara menyimpulkan hukum
jika tidak ada dalam Kitab dan sunnah, menentukan aturan standar ijtihad, dan
menetapkan batasan-batasan yang harus dijaga seorang mujtahid agar ia tidak
terjerumus pada kesalahan.
Seorang mujtahid harus memiliki aturan-aturan yang harus diiaga agar
terlindung dari kesalahan.
Kemunculan Syafi’i
Keilmuan
Syafi'i semakin berkembang. Ia berhasil menguasai ilmu zamannya, sesuatu yang
membuat pribadinya menjadi sempurna. Ilmunya semakin bertambah sehingga nama
Syafi'i semakin harum dan murid-muridnya semakin banyak. Halaqah pelajaran dan
majelis Syafi’i di Masjidil Haram banyak dihadiri oleh orang-orang yang tingkat
keilmuannya cukup tinggi. Mereka mendengarkan paparan Syafi’i tentang metode
barunya di bidang ushul fikih dan prinsip-prinsip umum (kulliyyat) fikih,
hingga akal mereka tercerahkan. Walhasil, mereka mengakui keungguan, daya
paham, dan kemampuan akal Syafi'i.
Setelah berbagai pengembaraan dilakoninya, Syafi’i kembali ke
Makkah. Akan tetapi, kali ini, ia kembali dengan membawa fikih baru dengan
metode yang baru dalam memahami dan melakukan istinbath (menggali hukum).
Orang-orang berkumpul di sekelilingnya dan belajar darinya. la menétap di
Makkah cukup lama, sekitar 9 tahun, dan saat itu pula ia mulai menyusun ilmu
ushul fikih.
2. Ibnu Hanbal Dan Syafi'i
Di antara ulama besar yang
belajar kepada Syafi’i di Makkah adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Kala itu ia
datang untuk melaksanakan haji. Ia masuk Masjidil Haram untuk bertemu dengan
para pembesar ulama dan ahli hadis. Yang paling mashyur di antara mereka ketika
itu adalah Sufyan ibn "Uyainah. Di masjid, pandangan Ahmad jatuh pada
Syafi’i yang tengah mengajar di majelisnya. Ahmad terus memerhatikannya. Ia
melihat kadar pemahaman Syafi'i terhadap Kitab Allah dan sunnah Rasulullah
cukup tinggi. Ia juga turut mendengarkan paparan Syafi'i tentang ushul
(dalil-dalil fikih) dan kaidah-kaidah umum yang tak pernah didengarnya dari
seorang ulama sebelumnya. Ini menunjukkan kecerdasan akal Syafi'i dan kedalaman
pemahamannya. Akhirnya, Ahmad memutuskan untuk meninggalkan majelis
guru-gurunya dan memilih bergabung dengan majelis Syafi’i.
Pemuda Quraisy
Muhammad ibn
al-Fadhil menuturkan, "Aku mendengar ayahku berkata, Aku pergi haji
bersama Ahmad ibn Hanbal. Bersamanya aku mampir di satu tempat. Pada pagi hari,
Ahmad keluar dan aku menyusulnya. Aku berkeliling di Masjidil Haram, tapi aku
tidak menemukannya di majelis Ibn Uyainah. Aku dapati ia tengah duduk bersama
seorang Arab Badui. Kukatakan padanya, “Wahai Abu Abdullah, kau tinggalkan Ibn
Uyainah, dan kau pilih duduk di sini?”
Ia menjawab,
‘Diamlah, jika kau ketinggalan satu hadis dengan sanad yang pendek, kau masih
bisa menemukannya dari ulama hadis dengan silsilah sanad yang lebih panjang.
Akan tetapi, jika kau ketinggalan pemuda ini, aku takut kau tidak akan
menemukannya lagi hingga hari kiamat. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih
paham Kitab Allah dari pemuda Quraisy ini".
“Memangnya
siapa dia?” tanyaku kepadanya.
Imam Ahmad
menjawab, "Muhammad ibn Idris."
Ahmad ibn Hanbal melihat daya pemahaman yang kuat dan mendalam pada
diri Syafi’i sehingga ia tertarik mendengarkan ilmu dan belajar darinya. Ahmad
menegaskan bahwa orang yang melewatkan kesempatan bertemu dengan Syafi'i, Ia
tidak akan menemukannya lagi selamanya.
Matamu Tak Pernah Melihat Orang
Seperti Dia
Diriwayatkan
dari Ishaq ibn Rahawiyah, ia berkata, “Kami tengah berada di tempat Sufyan ibn
Uyainah untuk mencatat hadis-hadis Amr ibn Dinar. Tiba-tiba Ahmad ibn Hanbal
mendatangiku dan berkata, "Berdirilah, wahai Abu Yaqub, biar kuperlihatkan
kepadamu seseorang yang tak pernah kaulihat sebelumnya.’
Aku pun berdiri. Ia membawaku ke dekat
pelataran sumur Zamzam. Di sana kulihat seorang laki-laki berpakaian putih,
wajahnya agak kecokelatan, penampilannya menarik, dan sosoknya tampak sangat
cerdas. Ahmad pun mendudukanku di sampingnya. Ia berkata kepada Syafi'i, Wahai
Abu Abdullah, ini adalah Ishaq ibn Rahawiyah al-Handhali: Syafi’i menyambutku
dengan hangat. Aku pun mulai berdialog dengannya hingga kudapati ilmu yang
deras memancar darinya. Aku sangat kagum akan hafalannya.
Setelah kami
bercengkerama cukup lama, kukatakan pada Imam Ahmad, "Wahai Abu Abdullah,
mari kita kembali ke tempat guru kita (ke majelis Sufyan ibn Uyainah)!
Ahmad
menjawab, “Inilah sang guru!”
Aku lalu
berkata, Subhânallah, kau mengajakku pergi dari tempat seorang guru yang
mengucapkan kalimat al-Zuhri meriwayatkan kepada kami, dan aku mengira engkau
akan membawaku ke tempat seseorang yang sama dengan al-Zuhri atau paling tidak
mendekatinya. Ternyata, kau hanya membawaku ke tempat pemuda ini?!
Imam Ahmad
lantas mengucapkan satu kesaksian yang besar tentang Syafi'i. Ia menuturkan,
"Wahai Abu Yaqub, ambillah ilmu dari orang ini karena kedua mataku tak
pernah melihat orang seperti dia.” Dengan kata lain, Syafi’i lebih besar dari
pada para ulama yang pernah dihat Ahmad ibn Hanbal.
3. Pengakuan Akan Ilmu Syafi'i
Muhammad ibn
al-Hasan al-Zafarani berkata, "Kami menghadiri majelis Basyar al-Muraisi
(salah seorang ulama besar dari kelompok Mu'tazilah yang terkenal ahli mantiq).
Kami tak sanggup untuk berdebat dengannya.
Kami pun
datang kepada Ahmad ibn Hanbal. Kami katakan kepadanya, Izinkan kami untuk
menghafal kitab al-Jami' al-Shaghir karya Abu Hanifah agar kami bisa menguasai
isinya dan berdebat bersama mereka.
Imam Ahmad
menjawab, “Bersabarlah, sekarang seorang Munththalibi datang kepada kalian
seperti yarng kalian lihat di Makah:" Imam Syafi’i sering dipanggil dengan
sebutan al-Muththalibi karena ia termasuk keturunan Abdul Muththalib.
Al-Zafarani
melanjutkan, "Kemudian Syafi’i tiba. Kami bergegas men-yongsongnya dan
bertanya sedikit tentang kitab-kitabnya. Syafi’i lalu memberi kami kitab
al-Yamin ma’a al-Syâhid (Sumpah Aku pun mempelajarinya selama dua malam, Ialu
berangkat menuju tempat Basyar al-Muraisi. Aku terus merangsek maju di antara barisan
orang-orang yang hadir hingga aku berhasil mendekatinya. Ketika Basyar
al-Muraisi melihatku, ia berkata, 'Apa yang membuatmu ke sini, wahai ahli
hadis? Ia mengolok-ngolok al-Zafarsni seakan ia hanya menghafal hadis dan tidak
mengetahui ilmu manthiq yang dibutuhkan untuk menyimpulkan hukum-hukum.
Kukatakan
padanya, Cukuplah. Tidak usah kita saling mengejek. Aku hanya ingin bertanya,
apa dalil yang membatalkan sumpah yang disertai saksi" Aku mulai
mendebatnya dan mulai kuberikan argument-argumenku.
Kemudian
Basyar al-Muraisi berkomentar, "Ini bukanlah kapasitas kalian. Ini adalah
ucapan seorang laki-laki yang kulihat di Makkah yang memiliki separuh akal
penghuni dunia
Begitulah, Syafi’i dan ilmunya membuat seluruh pendukung dan
penentangnya salut dan mengakui bahwa ia memiliki separuh akal penghuni dunia.
Ensiklopedia Berjalan
Para ulama
menegaskan bahwa keutamaan Syafi’i bisa dirasakan seluruh manusia karena ia
berhasil menguasai selaruh ilmu. Ibn Hanbal menuturkan kedudukan Syafi’i dan
keagungan ilmunya, "Aku tidak pernah mengetahui naskh dan mansukh yang ada
dalam hadis hingga aku bertemu dan belajar dari Syafi’i". Al-Rabi ibn
Sulaiman juga pernah berkata, "Syafi'i duduk di masjid seusai shalat
fajar. Para ahli Al-Quran datang menghadiri halaqahnya. Saat matahari terbit,
mereka bubar. Kemudian ahli hadis datang dan bertanya pada Syafi’i tentang
tafsir dan maknanya. Saat matahari mulai meninggi di awal waktu duha, mereka
bubar. Selanjutnya halaqah berubah menjadi sesi ulangan dan pelajaran tentang fikih,
ushul fkih, dan mantiq. Jika waktu duha telah berlalu, mereka berpisah. Setelah
itu ahli bahasa, sastra, dan svair pun berdatangan. Mereka terus belajar dari
Syafi'i pertengahan siang."
Pernahkah kalian melibat ensiklopedia berjalan di muka bumi? Itulah.
Syafi'i benar-benar telah memetik buah dan hasil ilmunya. Ia mulai menyebarkan
ilmu ini, Banyak para ulama dari berbagai disiplin ilmu mendatanginya dan
belajar darinya sesuai dengan bidang ilmu másing-masing.
Ilmu yang Beragam
Muhammad ibn
Abdul Hakam menuturkan, "Aku tidak pernah melihat orang seperti Syafi’i.
Para ahli hadis mendatanginya dan bertanya padanya tentang hal-hal yang tidak
jelas dalam ilmu hadis, sehingga mereka bisa mengetahui rahasia-rahasia hadis
yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya. Saat mereka bubar, mereka masih
terkesan dengan paparan Syafi'i. Saat bubar, seluruh ahli hadis, baik yang
mendukung maupun yang menentang Syafi'i, mengakui keilmuan Syafi’i. Demikian
pula para ahli syair, mereka juga bertanya tentang makna-makna syair kepada
Syafi’i. Syafi'i menghafal sepuluh ribu bait syair Hudzail lengkap dengan I’rab
dan maknanya. Ia tergolong orang yang paling pakar dalam sejarah. Yang menjadi
motor dirinya adalah keikhlasannya dalam beramal hanya untuk Allah.
Berfatwalah, Wahai Abu Abdullah!
Ibnu Khalkan
berkata, "Seluruh ulama, dari kalangan ahli hadis, ahli fikih, ahli
bahasa, dan lainnya sepakat akan sikap amanat yang dimiliki Syafi'i, keadilan,
kezuhudan, dan kewarakannya. Al-Razi menuturkan, "Abu al-Hasan ibn Abdurrahman
meriwayatkan kepada kami dari Abu Muhammad ibn Binti al-Syafi'i, ia berkata,
Aku mendengar al-Jarudi berkata, Muslim ibn Khalid al-Zanji, salah seorang
ulama besar pada zamannya, berkata kepada Muhammad ibn Idris al-Syafi'i yang
ketika itu baru berumur delapan belas tahun, Berfatwalah, wahai Abu Abdullah.
Sudah tiba saatmu untuk berfatwa!”.
BAB XII
SYAFI'I ULAMA IRAK
1. Berangkat Ke Irak
Seperti yang
telah kita paparkan bahiwa Syafi’i adalah sosok yang suka mengembara untuk
menuntut ilmu. Tekadnya yang tinggi tidak membuatnya merasa puás hanya pada
batas tertentu karena ilmu tidak memiliki batas dan tempat. Ia menganjurkan
kita untuk terus mengembara menuntut ilmu. Ia berkata,
Pergilah dari regerimu untuk mencari ketinggian
Mengembaralah karena dalam pengembaraan terkandung lima faedah
Melapangkan kesedihan, mencari penghidupan, menuntut ilmu dan
adab, serta menemani seorang yang mulia
Setelah
menetap di Makkah untuk belajar, meneliti, dan mengajar, Syafi’i merasa perlu
menyebarkan ilmu yang diraihnya dari setiap pelosok negeri Islam, khususnya
metode istinbath fikih yang pernah ia susun. Dan tempat terbaik untuk itu, yang
di dalamnya terpancar cahaya ilmu, tak lain adalah pusat pemerintahan Daulah
Islamiyah dan ibukotanya, yaitu Baghdad, kota yang dulu pernah ia kenal dengan
baik.
Di Baghdad
Atas dasar
itulah Syafi'i berangkat ke Baghdad pada tahun 195 Hijriah. Saat itu ia berumur
45 tahun. Ini adalah perjalanan yang paling bermanfaat bagi Syafi’I pribadi, juga bagi orang lain. Sebelumnya,
Syafi'i pernah terkenal di sana. Namanya selalu disebut oleh para ahli hadis
dan ahli fikih semisal Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq ibn Rahawiyah yang termasuk
ahli hadis, serta Basyar al-Muraisi, seorang ulama yang terkenal di sana.
Syafi’i
datang ke Irak untuk membela sunnah dan mendukang para pengusungnya. Ia mulai
menyebarkan kaidah-kaidah dasar dalam memahami hadis, tata cara istinbath
hukum, serta menjelaskan hukum hukumnya AI-Nawawi berkata, “Di Irak Syafi'i
meng ajarkan ilmu hadis, menyebarkan mazhab ahli hadis, dan membela sunnah
sehingga nama dan keutamaannya dikenal orang".
Dalam
perjalanannya, Syafi'i melantunkan syair,
Aku akan menjelajahi sepanjang dan selebar negeri
Untuk mewujudkan tujuanku atau mati di tanah asing
Jika jiwaku binasa maka hanya untuk Allah-lah mutaranya
Dan jika aku menyerah, berarti kepulanganku akan segera tiba
2. Pembela Sunnah
Syafi'i
kemudian menuju ke sebuah masjid di sebelah barat kota Baghdad. Di sanalah ia
mulai mengadakan halaqah-halaqah ilmu dan mengambil tempat di salah satu
sudutnya. Ia mulai memaparkan ushúl, kaidah-kaidah, dan sumber-sumber fikihnya.
Pandangan para ulama pun mulai beralih ke sana. Syafi'i mulai dikelilingi
murid-murid. Ulama-ulama Baghdad tidak keberatan jika murid-muridnya turut
menuntut ilmu dari Syafi’i. Bahkan, mereka menganjurkan para murid untuk
belajar darinya.
Syafi'i
terus berkeliling dan menyebarkan ilmu. Setiap hari ia datang membawa pemahaman
baru tentang kalam Allah dan hadis Rasulullah. Semua kepala tunduk karena
keutamaannya. Para ulama pun terdorong untuk mengakui keilmuannya. Walhasil,
Syafi'i menjadi terkenal di tengah penduduk Baghdad. Halaqah ilmu para
penentangnya menjadi bubar, tak ada yang mendatanginya lagi.
Ibrahim
al-Harbi menuturkan, "Syafi'i datang ke Baghdad. Ketika itu di masjid
sebelah barat Baghdad terdapat dua puluh halaqah dan majelis ilmu ahli rakyu.
Pada hari Jum'at, semua halaqah itu telah berkurang jumlahnya hingga yang
tersisa hanya tiga atau empat halaqah saja.”
Para ahli rakyu cenderung memperluas bahasan
mereka tentang masalah-masalah furu’ (cabang), bahkan sampai mencakup
masalah-masalah yang pernah dibawa ke pengadilan. Sementara itu pemahaman para
ahli hadis terhadap hadis hanya terbatas pada kulit atau permukaannya saja.
Saat Syafi'i datang ke Baghdad, ia membawa fikih baru yang didukung dan
dikuatkan oleh Kitab dan sunnah sehingga para ahli hadis merasa puas.
Ahmad ibn
Hanbal berkata, "Masalah-masalah kami yang dibawa ke hadapan hakim
keputusannya berada di tangan para sahabat Abu Hanifah sampai ketika kami
melihat Syafi'i. Ia adalah orang yang paling ahli fikih dan paling memahami
Kitab Allah dan sunnah Rasulullah.”
Syafi'i mengambil tempat untuk halaqahnya di masjid jami’ sebelah
barat kota Baghdad. Di sana ia mulai memaparkan ushul dan fikihnya. Murid-murid
dan para ulama pun mulai berdatangan untuk belajar darinya, hingga halaqah itu
semakin luas dan ramai. Akibatnya, semua halaqah para penentangnya menjadi
berkurang di masjid tersebut.
Syafi'i Membangunkan Ahli Hadis
Para ahli
hadis melihat Syafi'i sebagai pemimpin terbaik yang membela hadis, berpegang
teguh pada hadis mutawatir dan ahad, serta membimbing mereka ke jalan yang
terang. Selain itu, para pendukung Syafi’i yang moderat juga menemukan Syafi’i
sebagai orang yang membimbing mereka untuk mendapatkan hujjah yang kuat dan
kebenaran yang jernih.
Muhammad ibn
al-Hasan al-Za'farani berkata, "Para ahli hadis tadinya tertidur lelap hingga
Syafi'i membangunkan mereka dari tidurnya."
Daud ibn Ali
al-Zhahiri berkata, "Syafi’i adalah pelita bagi para pengusung hadis dan
periwayat. Siapa yang menggantungkan diri pada keterangan dan penjelasan
Syafi'i, ia akan menjadi ahli hujjah.”
Para ahli hadis mengalami kemandekan, bahkan tertidur lelap. Syafi’i
membangunkan dan membimbing mereka mendapatkan hujjah yang kuat serta kebenaran
yang jernih.
Kunci Pembuka
Al-Humaidi
berkata, "Kami ingin berdebat dan mematahkan argumen para ahli rakyu, tetapi
kami tidak sanggup melakukannya hingga Syafi’i datang dan menjadi kunci yang
membukakan jalan untuk kami".
Hilal ibn
al-Ula berkata, "Para ahli hadis adalah anak-anak Syafi'i karena dialah
yang membukakan pintu bagi mereka"
Imam Ahmad
memiliki banyak kesaksian tentang peran dan pengaruh Syafi'i terhadap ahli
hadis, serta apa yang telah dibukanya bagi mereka berupa ilmu fikih dan makna
hadis. Di antara kesaksiannya adalah, "Jika bukan karena Syafi'i, niscaya
kami tidak pernah mengetahui fikih hadis."
Ia juga
berkata, "Na'im ibn Hammad datang kepada kami. Ia menganjurkan kami
mencari musnad. Ketika Syafi’i datang, dialah yang membimbing kami ke jalan
yang terang.”
Para ahli hadis adalah keluarga Syafi’i. Jika bukan karena dia,
niscaya mereka tidak pernah mengenal fikih hadis.
Mereka Tidak Pernah Melihat Orang
seperti Syafi’i
Al-Karabisi
berkata, "Kami tidak memahami tata cara istinbath hukum dari sunnah
kecuali seteah Syafi’i mengajarkannya kepada kami".
Al-Buwaithi,
salah seorang ulama Mesir, berkata, "Tadinya kami tidak tahu kedudukan
Syafi'i hingga kulihat penduduk Irak sering menyebut namanya dan
menggambarkannya dengan sifat-sifat yang baik. Orang-orang Irak yang cerdas,
ahli fikih, ahli debat, ahli hadis, dan ahli bahasa Arab mengakui bahwa mereka tidak
pernah melihat orang seperti Syafi’i.”
Para ahli rakyu sangat terkenal di Irak, sementara ahli hadis tak
mampu melawan dan berdebat dengan mereka hingga Syafi'i datang dan membawa
mereka ke Jalan yang terang. Dengan anugerah yang diberikan Allah berupa
kemampuan memahami hadis dan menjelaskan maknanya, Syafi'i dikenal sebagai
pembela sunnah.
3. Ketundukan Para Ulama Kepada Syafi'i
Al-Nawawi
menuturkan tentang ihwal Syafi’i di Irak, "Ketika Syafi'i mulai terkenal
di Irak, namanya sering disebut banyak orang. Seluruh pendukung dan
penentangnya tunduk padanya, dan para ulama mengakui kelebihannya, martabat Syafi'i
menjadi semakin tinggi di hadapan semua orang, hingga di kalangan pejabat.
Keutamaannya semakin tampak saat ia berdebat dengan penduduk Irak.
Dengan kemampuannya, Syafi'i menjelaskan
kaidah-kaidah dasar fikih dan pentingnya ushul. Ia juga banyak diuji dengan
berbagai masalah dan ditanya tentang bermacam persoalan. Jawabannya terhadap
masalah-masalah tersebut sangat tepat dan benar. Oleh karena itu, banyak orang
berdatangan dan belajar darinya, baik dari kalangan anak-anak maupun
orang-orang tua. Begitu pula halnya para imam, ahli hadis, ahli fikih, dan
pakar ilmu lainnya. Banyak dari mereka yang beralih dari mazhabnya menuju
mazhab Syafi'i dan ikut berpegang pada metodenya, seperti Abu Tsaur dan
beberapa imam lainnya. Ada juga yang meninggalkan gurunya hanya untuk belajar
pada Syafi'i karena mereka melihat pada diri Syafi'i tersimpan hal yang tidak
dimiliki orang lain. Allah memberkahi Syafi'i dengan ilmu yang sangat cemerlang
dan kebaikan yang berlimpah pada dirinya. Segala puji bagi Allah atas anugerah
dan nikmat-Nya yang tak terhingga."
Penyebaran llmu
Pada fase
ini Syafi'i mengajarkan dan mendiktekan kumpulan kitabnya, al-Kutub
al-Baghdadiyah (Kumpulan Kitab Baghdad). Kelak akan kita singgung tentang kitab
ini pada pembahasan tentang karya-karya Syafi'i, insya Allah.
Ilmu Syafi'i
menyebar ke seluruh pelosok negeri timur, tepatnya di sekitar Irak, melalui
peran para murid Syafi'i yang belajar darinya. Pada diri mereka tersimpan tekad
dan keinginan untuk mengambil manfaat dari ilmu Syafi'i, selain mereka juga
sangat kagum pada kepribadiannya yang sangat istimewa.
Pada fase
permulaan ini, Syafi'i menetap di Baghdad selama kurang dari dua tahun. Di sana
ia mengukuhkan mazhabnya, menetapkan kaidah-kaidahnya, lalu kembali ke Makkah
untuk mengunjungi Baitullah al-Harâm, menyambangi guru-gurunya yang tinggal di
sana, seperti Sufyan ibn Uyainah dan sebagainya. Kunjungannya ke Makkah tidak
berlangsung lama karena ia harus kembali ke Baghdad pada tahun 198 Hijriah.
Perjalanan Syafi'i ke Baghdad kali ini banyak membuahkan hasil.
Banyak murid belajar darinya, dan ia pun mulai mengajarkan dan mendiktekan
kitabnya, al-Kutub al-Baghdâdiyah.
Ilmu Adalah Kebanggaan
Dengan
ilmunya Syafi'i menjadi kebanggaan di majelisnya. Tentang makna ini, ia menulis
bait syair,
Ilmu adalah ladang kebanggaan maka berbanggalah
Dan waspadalah kebanggaan ladang itu melewatkanmu
Ketahuilah bahwa Ilmu tidak didapatkan
Oleh orang yang hasratrya hanya makanan dan pakaian
Pemilik ilmu yang diperhatikan karena ilmunya
Seperti orang yang diperhatikan pada dua kondisinya: saat
telanjang dan saat berpakaian
Maka, berikanlah untuk dirimu ilmu yang banyak
Tinggalkan keterlenaan dan muka masam untuknya
Siapa tahu, suatu hari, saat kau menghadiri satu majelis
Kau akan menjadi kepalanya dan menjadi kebanggaan majelis tersebut
BAB XIII
SYAFI'I ULAMA MESIR
1. Berangkat Ke Fusthath
Kali ini
Syafi’i merasa tidak tenang tinggal di Baghdad. Ia mulai berpikir untuk pergi
ke satu negeri yang setaraf dengannya dalam hal keilmuan, dan tidak ada
dominasi orang-orang Parsi di dalamnya seperti di Baghdad. Akhirnya ia
menemukan tujuannya, Mesir, karena kota Fusthath di sana adalah kota ilmu. Di
kota itu tinggal seorang imam yang mulia, Imam al-Laits ibn Saad. Mazhab Maliki
menjadi mazhab yang mewarnai kehidupan sehari-hari di sana. Mazhab ini menyebar
karena peran para murid Imam Malik yang mengembara ke Mesir. Selain itu, secara
kebetulan, gubernurnya adalah seorang Quraisy keturunan Abbas.
Yaqut
al-Himawi berkata dalam Mu’jam al-Adibba, "Sebab kedatangan Syaf'i ike
Mesir, tak lain, karena gubernurnya adalah Abbas ibn Abdullah ibn Abbas ibn
Musa ibn Abdullah ibn Abbas" Ditinjau dari nasabnya, Syafi'i termasuk
kerabat sang gubernur karena ia termasuk ahli bait Nabi SAW.
Kerinduan Syafi’i Pada Mesir
Tentang kerinduannya pada Mesir,
Syafi’i melantunkan syair,
Tanpa Mesir, terputuslah peninggalan
Jiwaku sangat merindukan Mesir
Akankah aku dibawa ke sana, ataukah aku dibawa ke kubur
Demi Allah, aku tak tahu, apakah untuk mendapatkan kemenangan atau
kekayaan?
Akhirnya
Syafi’i berangkat ke Mesir. Di sana, ia mendapatkan kemenangan, sekaligus
kekayaan dan kuburnya. Syafi'i tiba di Mesir pada 199 Hijriah hidup selama lebih dari lima tahun. Ia
mendapatkan kekayaan karena gubernur di Mesir telah memberinya bagian dari
seperlima harta pampasan, jatah bagi kerabat Rasulullah SAW. Ia mendapatkan
bagian tersebut karena kemuliaan nasabnya.
Syafi'i juga
mendapatkan kemenangan dengan menyebarkan pendapat-pendapatnya. Di sana pula ia
menemui ajalnya. Ia dikubur di Mesir. Semoga Allah merahmatinya.
Fusthath adalah kota ilmu. Di dalamnya terdapat banyak ulama besar,
seperti al-Haits ibn Sa'ad, murid-murid Imam Malik, dan ulama lainnya. Syafi’i
sangat ingin pergi ke Mesir hingga di sana ia mendapatkan kemenangan, kekayaan,
dan menemui ajalnya.
2. Ulama Mesir Memandang Syafi'i Sebelah Mata
Di awal
kedatangannya ke Mesir, para ulama negeri itu belum mengetahui kehebatan
Syafi’i. Mereka belum memandangnya dan belum berkumpul di sekelilingnya untuk
menuntut ilmu. Para sahabat meminta Syafi’i berbicara di hadapan orang-orang,
menunjukkan syair-syair dan ilmunya, agar mereka mengenal keilmuan Syafi’i.
Akan tetapi Syafi'i menolak menyampaikan ilmunya kepada orang yang tidak bisa
memahaminya. Karena, ia bukan seorang penasihat atau penyampai dongeng,
melainkan ahli fikih, ahli ushul fikih, dan seorang alim yang ilmunya sangat
dalam. Ia berkata,
Apakah aku akan menebarkan mutiara di tengah sekumpulan binatang
Atau menata mutiara tersebut untuk para perggembala kambing?
Jika aku terabaikan di negeri yang paling buruk
Aku tidak menganggap diriku terabaikan di tengah mereka hanya
karena ucapan mereka
Jika Allah yang Maha Perkasa memudahkan aku dengan kelembutan-Nya
Dan aku bertemu dengan ahli ilmu dan hikmah,
Niscaya akan kusebarkan sesuatu yang bermanfaat dan akan kuraih
cinta mereka
Jika tidak maka ilmu itu akan tetap kusimpan dalam diriku
Orang yang memberikan ilmunya kepada orang-orang yang bodoh,
berarti ia telah menyia-nyiakannya
Dan orang yang menahan ilmunya dari orang-orang yang layak
menerimanya, berarti ia telah zalim
3. Syafi'i Mulai Tenar Di Mesir
Kondisi
itulah yang dialami Syafi'i pertama kali di Mesir. Selanjutnya orang-orang
mulai mengenal Syafi’i hanya sebagai salah satu keturunan ahli bait. Pada
perkembangan selanjutnya, mereka baru mengetahui tingkat keilmuan dan kedudukan
Syafi'i. Akhirnya mereka sangat mencintai Syafi'i, dan Syafi'i pun sangat
mencintai mereka. Berita mulai tersiar di tengah masyrakat bahwa seorang
laki-laki Quraisy yang berilmu tinggi telah datang ke Mesir.
Harun ibn
Sa'id al-Ayli berkata, "Aku tidak pernah melihat orang seperti Syafi'i. Ia
datang ke Mesir dan orang-orang berkata, "Telah datang seorang laki-laki
Quraisy. Lalu kami mendatanginya. Saat itu ia tengah melaksanakan shalat. Kami
tidak pernah melihat shalat yang lebih baik dari yang dilakukannya, tidak pula
wajah tampan setampan wajahnya. Saat ia berbicara, kami tidak pernah mendengar
ucapan yang lebih baik dari ucapannya. Kami jadi sangat kagum kepadanya.”
Al-Rabi ibn
Sulaiman menuturkan, "Demi Allah, ketenaran Syafi'i telah tersebar di
tengah masyarakat sebagaimana nama Ali ibn Abi Thalib sering disebutkan
Begitulah Syafi'i mulai menyebarkan ilmu ushul fikih dan fikihnya. Ia
menyimpulkan hukum dan menguatkannya dengan dalil-dalil. Syafi’i akhirnya
memiliki halaqah yang cukup ramai di masjid Amr ibn al-Ash. Bermacam orang
dengan berbagai disiplin ilmu datang kepadanya. Ada yang ahli Al-Quran, ahli
hadis, ahli debat, dan ahli bahasa. Semuanya turut belajar pada Syafi'i.
Ilmu Yang Komplet
Ibn Abdul
Hakam berkata, "Kami tidak pernah melihat sosok seperti Syafi’i. Para ahli
dan kritikus hadis datang kepadanya untuk menyodorkan hadis di hadapannya.
Syafi’i pun meluruskan kritikan mereka dan mengajarkan apa yang tidak mereka
ketahui dalam hadis. Mereka sangat terkagum-kagum dengan kemampuan ilmunya.
Para ahli fikih, baik pendukung maupun penentang Syafi'i, mulai berdatangan.
Mereka tidak bubar meninggalkan majelis Syafi'i kecuali dalam keadaan kagum dan
tunduk padanya. para ahli sastra juga mendatanginya dan membacakan syair-syair
mereka di hadapannya. Kemudian Syafi'i menafsirkan syair-syair tersebut,
Syafi'i sendiri telah menghafal sepuluh ribu bait syair Hudzail, lengkap dengan
I’rab, kata-kata asing, dan maknanya.
Syafi'i juga
seorang yang paling pakar di bidang sejarah. Ada dua hal yang membuatnya
demikian. Pertama, kecerdasan akalnya dan kejernihan otaknya. Kedua,
keikhlasannya dalam beramal hanya untuk Allah".
Ya, para ulama dan pemuda hendaknya melihat seorang alim yang cerdas
ini yang tidak pernah meninggalkan ilmu kecuali di dalamnya ia menjadi bintang
yang terang benderang. Maka, jadikanlah dia dan orang-orang sepertinya sebagai
teladan kita. Semoga kita mendapatkan apa yang mereka peroleh.
Fikih Baru
Dalam
perjalanan ini, saat Syafi'i berada di Mesir, ia menulis kitabnya yang paling
penting dan mulai menata ulang beberapa pendapatnya dalam kitabnya yang lama.
Di Mesir, ia menemukan pergaulan baru, tabiat, dan adat-istiadat yang baru
sehingga membuatnya harus menarik kembali sebagian pendapatnya dan mengkaji
ulang semuanya. Karena itu, jika disebut "Syafi'i dengan fikih
lamanya", maknanya fikih yang ia susun di Hijaz dan Irak. Jika dikatakan
"Syafi'i dengan fikih barunya, maksudnya fikih yang ia susun di Mesir.
Syafi'i mulai menata kembali kitab lamanya, al-Risálah, yang dulu pernah ia
karang di Hijaz. Ia juga mengumpulkan seluruh karyanya di bidang fikih.
Kebanyakan karyanya ia kodifikasi dalam satu kitab yang sangat berharga, yaitu
kitab al-Umm.
Pengukuhan Mazhab
Kunjungan
Syafi’i ke Mesir menjadi penyebab perubahan beberapa pendapatnya, kemudian
mazhabnya dikukuhkan dan disebarkannya. Mesir adalah negeri yang sangat
dinamis. Di sana Syafi'i mengenal tabiat, adat-istiadat baru, dan pergaulan
baru yang membuatnya harus mengkaji ulang kitab-kitab lamanya dan menarik
beberapa pendapatnya. Ia juga tertuntut untuk menyusun ulang kitab al-Risálah
dan menghimpun seluruh karyanya dalam satu kitab mahakarya, al-Umm.
BAGIAN V PRINSIP DASAR DAN KEISTIMEWAAN
MAZHAB SYAFI'I
BAB XIV
AQIDAH SYAFI'I DAN PENDAPATNYA
1. Masa Kejayaan Islam
Masa
kejayaan Islam dalam peradaban, pemikiran, budaya, dan ilmu pengetahuan terjadi
pada paruh ketiga abad-abad pertama. Pada masa ini Imam Syafi'i hidup selama 54
tahun, tepatnya di awal berdirinya Daulah Dinasti Abbasiah.
Pada masa
ini kekuasaan sangat kokoh dan kondisi politik cukup stabil. Khalifah menguasai
kendali negara dan menancapkan wibawanya di seluruh pelosok negeri yang sangat
luas. Dengan tegas ia mengatur manusia dengan bermacam ras, budaya, dan tingkat
peradabannya.
Pada masa
ini juga semua peradaban masa lalu saling bertemu: perabadaban Hindu, Persia,
dan Yunani di bawah naungan agama baru. Semua peradaban itu berbaur menjadi
satu meski fondasinya berbeda satu sama lain. Semua generasi saling
berasimilasi tanpa pergesekan dan perselisihan, kecuali dalam beberapa kondisi.
Itu pun terjadi karena beberapa faktor, di antaranya karena ada sebagian orang
yang tidak mau berbaur atau masuk ke dalam komunitas agama baru, Islam.
Abad pertama kekuasaan Dinasti Abbasiah merupakan masa-masa tenang
dan damai. Para khalifah menancapkan kekuasaan dan wibawa di seantero negeri.
Di negeri Islam, semua perbadaban yang beragam bercampur menjadi satu di bawah
payung Islam.
Kesuburan dan Produktivitas Akal
Masa ini
juga adalah masa kesuburan dan produktivitas akal, kebebasan berpikir,
berbicara, dan berpendapat. Selain itu, kemunculan mazhab-mazhab dan
aliran-aliran bisa dilihat pada masa ini. Filsafat, ilmu pengetahuan, sastra,
dan kebudayaan banyak dialih bahasakan dari bahasa Yunani dan Persia ke bahasa
Arab. Majelis para khalifah, penguasa, dan para pemimpin dipenuhi para ulama,
filsuf, penyair, dan penutur cerita.
Majelis-majelis dipenuhi para ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Pintu kebebasan berbicara dan berpendapat dibuka lebar. Masa ini adalah masa
keemasan di mana akal bertambah subur dan produktif.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Masa ini
juga merupakan masa kemajuan ilmu pengetahuan. Berbagai kodifikasi ilmu mulai
dicanangkan dan prinsip-prinsipnya mulai disusun. Ilmu tata bahasa Arab
ditemukan dan kaidah-kaidahnya diletakkan. Para penerus Abu al-Aswad al-Du'ali
mulai menulis ilmu nahu. Al-Ashmu'i dan lainnya mulai menata riwayat-riwayat
syair dan menukilnya. Tak ketinggalan, al-Khalil ibn Ahmad juga mulai
meletakkan prinsip dasar ilmu ‘arudh yang menjadi standar syair-syair Arab.
Al-Jahizh mulai menujukan pandangannya ke jalur kritik sastra. Begitu pula yang
lainnya menyibukkan diri untuk menggeluti berbagai disiplin ilmu.
Ilmu pengetahuan mencapai puncak keemasannya. Penulisan dan
kodifikasi ilmu mulai dilakukan pada masa ini. Ilmu tata bahasa mulai ditulis,
begitu pula ilmu ‘arudh yang menjadi standar syair-syair Arab, serta ilmu
lainnya. Masa ini adalah masa keemasan di bidang ilmu pengetahuan.
Ilmu Hadis
Di bidang
hadis para ulama mulai tergerak untuk mengumpulkannya dari berbagai sumber.
Para ahli hadis mulai berjibaku menelitinya. Mereka meletakkan dasar-dasar ilmu
hadis untuk menjadi standar dalam mengetahui khabar-khabar yang periwayatannya
sahih. Mereka juga menetapkan standar untuk mengetahui para perawi yang tsiqat
(tepercaya) dan membuang hadis-hadis yang mengandung syudzudz (cacat). Selain
itu mereka juga memilih hadis yang bisa dijadikan hujjah dalam masalah agama.
Kemudian mereka mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis sahih, serta menguatkan
tingkat kesahihannya berdasarkan standar yang mereka tetapkan.
Kedustaan terhadap Rasulullah banyak terjadi pada masa ini, sehingga
para ulama terdorong untuk meletakkan kaidah-kaidah untuk méndeteksi para
perawi tsiqah dan hadis-hadis sahih, serta mutai mencatatnya.
Madrasah Fikih
Di bidang
fikih, mazhab-mazhab mulai bermunculan, ssatunya adalah mazhab Maliki, mazhab
yang banyak menukil pendapat-pendapat Ibn Abbas. Di madinah sendiri muncul
mazhab fikih Madinah yang banyak diambil dari pendapat fikih Umar ibn Khathtab,
Zaid ibn Tsabit, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan para sahabat ahli
fikih lainnya yang berperan menyebarkan ilmu Nabi SAW. kepada generasi
berikutnya. Ilmu fikih mulai dikodifikasi. Imam Malik mulai menulis kitabnya,
al-Muwaththa, yang berisi masalah-masalah fikih, hadis-hadis Rasulullah, dan
fatwa para sahabat yang diriwayatkan oleh murid-murid mereka.
Imam
Muhammad ibn al-Hasan mulai menulis fikih Irak dan membahas cabang-cabangnya
secara teliti dan seksama.
Muktamar Ilmu Pengetahuan
Syafi'i
tidak menyia-nyiakan kesempatan muktamar ini. Para ahli fikih dan ahli hadis
bersebaran di seantero negeri. Mereka mendatangi kota dan desa, mencari hadis,
menuntut ilmu fikih, dan mempelajari Al-Quran. Syafi'i pun mulai menemui
mereka, khususnya di Masjidil Haram yang menjadi pusat muktamar ilmu
pengetahuan. Di sana para ulama dari berbagai pelosok negeri bertemu dan
bertukar pikiran seputar masalah-masalah ilmiah. Mereka saling berdebat dan
berdialog dalam mencari pendapat yang paling mendekati kebenaran. Tanah Suci
Makkah menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Syafi'i di awal hidupnya, saat
pertama ia mulai belajar secara mandiri setelah meninggalkan Baghdad, kota
tempatnya belajar fikih ahli rakyu untuk pertama kalinya. Di Makkah, Syafi'i
banyak menuntut ilmu dan berdebat dengan para ulama, juga mempelajari kitab
Muhammad ibn al-Hasan.
Tanah Suci Makkah menjadi tempat Syafi'i tumbuh dan berkembang
setelah ia kembali dari Baghdad untuk pertama kalinya. Di tempatnya Ini,
Syafi’i banyak bertemu dengan para ulama dari setiap pelosok négeri, saling
bertukar pikiran, dan berdebat dengan mereka.
Pertemuan Para Ahli Fikih
Kemudian
para ahli fikih dari kelompok ahli rakyu bertemu dengan ahli fikih dari
kelompok ahli hadis di satu tempat. Mereka saling berdebat dan bertukar pikiran
untuk mencari kebenaran. Masing-masing mengambil pendapat yang lain. Kita lihat
fuqaha ahli hadis ada yang mengadopsi pemikiran ahli rakyu, demikian pula
sebaliknya ahli rakyu menguatkan pendapat mereka dengan hadis-hadis. Ada pula
yang memperhalus pendapat mereka agar seiring dengan hadis sahih yang mereka
temukan setelah sekian lama menghilang. Bahkan, ada yang mengubah pendapatnya
setelah mereka tahu bahwa pendapat itu bertentangan dengan hadis.
Ilmu para
sahabat yang telah hijrah ke berbagai pelosok negeri Islam sejak zaman
al-Khulafa al-Rasyidin disebarkan kepada para fuqaha yang telah banyak
mengembara ke setiap penjuru. Para ahli fikih dari berbagai daerah berkumpul
dan saling bertukar ilmu yang mereka dapatkan dari sahabat. Mereka bersama-sama
mempelajari ragam pendapat, dan setiap ahli fikih memilih pendapat yang paling
sesuai dengan keinginannya atau yang menurutnya paling kuat dalilnya. Mereka
juga memilih pendapat yang paling baik untuk kemaslahatan manusia di lingkungan
dan zamannya, lalu berdiskusi untuk mencari pendapat yang paling kuat dan
pendapat yang harus ditinggalkan.
Para fuqaha ahli rakyu dan fuqaha ahli hadis saling berkumpul dan
bertukar pikiran dalam ilmu yang mereka warisi dari para sahabat. Mereka
berdiskusi dan setiap fakih memilih pendapat yang dalinya paling kuat atau
paling sesuai dengan lingkungan dan zamannya.
Standar Pengambilan Dalil
(Maqayis al-Istidilal)
Pada masa
ini seorang fakih tertuntut untuk memiliki pandangan yang luas. Kegiatan
belajar lebih terfokus pada bagaimana mempelajari prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah dasar untuk menjawab hukum-hukum yang bersifat parsial. Ia juga
harus mempelajari ke tepatan dalil bagi setiap permasalahan. Dengan kata lain,
pemikiran mereka dalam perdebatan dan dialognya bertujuan menghasilkan standar
proses pengambilan dalil fikih, serta prinsip-prinsip istinbath penyimpulan
hukum).
Pada zaman
ini, di tengah hiruk pikuk kegiatan keilmuan yang dinamis, Syafi'i hidup dan tumbuh.
Ia turut serta dalam berbagai perdebatan dan mengambil manfaat dari khazanah
ilmiah yang tiada terkira mahalnya ini. Dengan potensi dan ilmu yang
dimilikinya, Syafi’i turut masuk ke kancah keilmuan dengan mengusung
pendapat-pendapat pribadi dan mazhabnya untuk ia sebarkan kepada khalayak.
Masa merupakan masa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, masa
pertemuan segala peradaban, kodifikasi ilmu, dan masa penentuan kaidah-kaidah
dasar setiap di siplin ilmu. Ini adalah masa kejayaan Islam yang paling gemilang
di bidang peradaban dan ilmu pengetahuan. Syafi’i turut meramaikan perhelatan
ilmiah dan mulai mengeruk keuntungan dari khazanah ilmu yang maha kaya ini.
Dengan membawa pendapat-pendapat dan mazhabnya, ia mulai menunjukkan jati
dirinya di tengah masyarakat yang hidup di namis kala itu.
2. Syafi'i Dan Ilmu Kalam
Kemajuan
ilmu pengetahuan menjadi ciri khas pada zaman ini, tapi penyimpangan dalam
pemikiran mulai bermunculan. Pada zaman Syafi'i, bermunculan berbagai pemikiran
dan aliran-aliran. Pada masa itu tumbuh satu disiplin ilmu yang disebut dengan
ilmu kalam yang fondasi dasarnya didirikan oleh kaun Mu’tazilah. Orang-orang
mulai mengalami satu euphoria dalam ilmu kalam. Mereka mulai memperbincangkan
tema kalam (berbicara): apakah "kata" merupakan salah satu sifat
Allah atau bukan. Dalam masalah AI-Quran, pendapat mereka juga saling
berseberangan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa Al-Quran adalah
makhluk, ada pula yang berpendapat sebaliknya, yaitu AI-Quran bukan makhluk.
Mereka juga mulai merambah satu perdebatan tentang sifat-sifat Allah. Ada yang
berpendapat bahwa sifat-sifat itu sebenarnya hanya sekadar makna dan bukan Zat
Allah sendiri Ada juga yang berkata bahwa sifat-sifat tersebut sama dengan Zat
Allah karena, menurut mereka, Allah tidak bisa dikenali kecuali melalui
sifat-sifat-Nya.
Orang-orang
dari kelompok Jabariah mulai berbicara tentang qadha dan qadar (keputusan dan
ketetapan Allah) serta tentang kehendak dan keinginan manusia yang berjalan
beriringan dengan ketetapan Allah. Belum lagi aliran-aliran politik yang juga
bermunculan kala itu, seperi Syi’ah, Khawarij, dan kelompok Abbasiyyin.
Ilmu kalam merupakan salah atu ilmu yang muncul ke permukaan pada
zaman Syafi'i. Fondasi dásarnya dibangun oleh kelompok Mu'tazilah. Orang-orang mulai
berani memasuki tema-tema dan permasalahan yang ada di dalamnya. Selain itu,
pada zaman Syafi'i, aliran-aliran politik pun bermunculan. Masing-masing
berpegang pada pendapatnya. Demikian pula hanya dengan kelompok-kelompok yang
terbentuk berdasarkan akidah dan ideology.
Antara Kebencian Dan Larangan
Dialog
akidah dan politik yang menyita waktu masyarakat dan mencerai-beraikan mereka
ini, dampaknya cukup memengaruhi pemikiran Imam Syafi’i. Ilmu kalam ini telah
berdampak buruk bagi dirinya. Syafi'i telah mengakui secara tegas bahwa ia
membenci ilmu kalam, bahkan ia melarang orang menggelutinya. Syafi’i memilih
menjauhi para mutakallimin (ahli ilmu kalam). Ia tidak mau bergaul dengan
mereka, bahkan tidak mau mendengar ucapan dan pendapatnya. Syafi’i menegaskan,
"Tak ada yang lebih kubenci melebihi ilmu kalam dan orang-orang yang
menggelutinya".
Pernah juga
Syafi'i berkata, "jangan sekali-kali kalian mempelajari ilmu kalam karena
jika seseorang ditanya tentang satu masalah fikih, lalu ia menjawab salah, maka
paling sedikit ia hanya ditertawakan. Seperti halnya jika ia ditanya tentang
hukum seorang laki-laki yang membunuh laki-aki lain, lalu ia menjawab bahwa
hukumannya adalah membayar diyat satu telur. Akan tetapi, jika ia ditanya
tentang satu masalah ilmu kalam, lalu ia menjawab salah, maka ia akan dicap
sebagai pelaku bi’dah.”
Syafi’i juga
berkata, “Jika Allah bertemu dengan seorang hamba dengan membawa segala dosanya
(selain dosa syirik kepada-Nya) maka itu lebih baik dari pada jika Dia bertemu
dengan hamba-Nya yang membawa sesuatu yang bersumber dari hawa nafsunya.”
Diriwayatkan
juga bahwa Syafi'i pernah berkata, "jika manusia tahu bahwa dalam ilmu
kalam terkandung hawa nafsu, niscaya mereka akan lari darinya seperti lari dari
kejaran singa.”
Syafi’i Menguasai Ilmu Kalam
Kendati
membenci Ilmu kalam, Syafi'i tak ketinggalan dalam hal ini. Ia banyak
mengetahui serba-serbi yang ada di dalamnya. Orang seperti Syafi'i tak mungkin
melarang sesuatu kecuali ia telah mengetahuinya secara mendalam. Suatu ketika,
ia menemui murid-muridnya. Ia temukan mereka tengah berdebat dan membicarakan
ilmu kalam.
Ia lalu
berkata kepada mereka, "Apa kalian kira aku tidak mengetahuinya sama
sekali? Aku juga pernah menggelutinya hingga taraf yang tinggi. Akan tetapi,
ilmu kalam ini tak memiliki tujuan sama sekali. Karena itu, berdebatlah dalam
masalah yang jika kalian salah, kalian hanya dikatakan 'salah, dan tidak
dikatakan bahwa kalian telah kafir".
Larangan
Syafi'i untuk mempelajari ilmu kalam tidak berarti bahwa ia tidak memiliki
pendapat pribadi dalam masalah-masalah yang diperdebatkan ahli kalam. Seperti
dalam masalah tentang kemungkinan melihat Allah pada hari kiamat, masalah
qadar, dan sifat-sifat Allah. Bahkan, Syafi'i sendiri memiliki pendapat khusus
yang sesuai dengan bidang fikih yang digelutinya dengan melandaskan pendapataya
atas Al-Quran dan sunnah. Syafi’i tidak mau membahas terlalu jauh dalil-dalil
yang digunakan para ahli kalam, kecuali dalam kadar tertentu yang secara harfiah
dikandung oleh nash tertentu.
3. Pendapat-Pendapat Syafi'i Dalam Aqidah
Al-Quran Bukan Makhluk
Syafi'i berpendapat seperti pendapat para
fuqaha dan ahli hadis, yaitu Al-Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
Dalil yang dijadikan sandaran adalah firman Allah, Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung (Q. S. An-Nisa
[4]: 164).
Keyakinan Syafi'i. tentang Al-Quran adalah ia kalam Allah, bukan
makhluk atau tidak diciptakan
Kemungkinan Melihat Allah
Sebagia
besar ulama salaf sepakat bahwa ahli surga kelak akan melihat Allah secara
langsung, berdasarkan firman Allah, Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat (Q.S. Al-Qiyamah (75): 22-23). Dan berdasarkan hadis yang
diriwayatkan Muslim dari Shuhaib, bahwa Rasulullah bersabda, “jika ahli surga
telah masuk ke surga, Allah akan berkata, 'Apa kalian menginginkan tambahan
dari-Ku?’ Mereka menjawab, "Bukankah Engkau telah membuat wajah kami
berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menyelamatkan kami
dari neraka Rasulullah melanjutkan, "Allah lalu membuka hijab-Nya. Maka,
mereka pun tidak diberikan sesuatu yang lebih mereka cintai dari kesempatan
melihat wajah Tuhan-nya dengan langsung."
Dalam satu
riwayat Rasulullah SAW. Membaca ayat, Bagi
orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya
(QS. Yunus [10]: 26). Dalam hadis lain diriwayatkan dari Jabir ibn
Abdullah, ia berkata, "Kami tengah duduk bersama Rasulullah. Beliau
memandang ke arah bulan pada malam purnama, lalu bersabda, "Kelak kalian
akan melihat Tuhan kalian dengan mata telanjang seperti kalian melihat bulan
ini, dan kalian tidak akan dizalimi dalam melihatnya. Jika bisa, jangan kalian
tinggalkan shalat sebelum matahari terbit atau sebelum tenggelam, laksanakan
shalat itu. (muttafaq ‘alaih)
Kemudian
Rasulullah SAW. membaca ayat ini, Dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhan kalian sebelum terbit matahari dan terbenamnya dan
bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang
hari, supaya kalian merasa senang (Q. S. Thahá [20]: 130).
Kesempatan dapat melihat wajah Allah di surga merupakan nikmat
terbesar yang diberikan Allah kepada kaum mukmin. Sebagian besar ulama sepakat
akan hal ini berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis sahih.
Pendapat Syaf'i
Pendapat Syafi'i tentang masalah
ini sama dengan pendapat sebagian besar ulama salaf, yaitu para wali Allah akan
melihat Tuhannya pada hari akhir. Ia mendasarkan pendapatnya pada ayat
Al-Quran, Sekali-kali tidak. Sesungguhnya
mereka pada hari itu benar benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka (Q. S.
Al-Muthaffifin: 15).
Syafi'i
menuturkan, "jika orang-orang kafir dihalangi tirai sehingga mereka tidak
bisa melihat wajah Allah, tentu hal ini menunjukkan bahwa para wali Allah akan
diberi kesempatan melihat wajah-Nya dalam keridaan Pendapat.
Syafi'i sama dengan pendapat sebagian besar ulama, yaitu para wali
akan melihat wajah Tuhannya pada hari akhir sebagai karunia dan penghormatan
Allah terhadap mereka. Sementara orang-orang kafir akan dihalangi dengan tirai
sehingga mereka tidak bisa melihat Allah sebagai hu kuman dan sanksi Allah
kepada mereka.
Qadha Dan Qadar
Syafi’i juga
percaya adanya qadha dan qadar, baik dan buruknya. Dari khutbah Syafi'i,
al-Razi menyimpulkan Syaf'i berpendapat bahwa Allah menciptakan af’al
(perbuatan-perbuatan) manusia dengan kehendak-Nya dan dengan usaha manusia
sendiri. Al-Rabi' meriwayatkan dari Syafi’i bahwa ia berkata, "Manusia
tidak menciptakan perbuatannya sendiri, tetapi Allah-lah yang
menciptakannya" Ia melandaskan pendapatnya dari ayat Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian
dan apa yang kalian perbuat itu (Qs. Ash-Shaffat [37): 96).
Namun
Syafi’i tidak menafikan kebebasan manusia dalam berbuat. Atas dasar itulah
hisab berlaku bagi setiap amal mereka. Manusia berhak memilh dan berkehendak,
tetapi semuanya berada dalam kerangka kehendak Allah dan pilihan-Nya. Karena Allah adalah pencipta manusia dan pencipta
perbuatannya.
Imam Syafi’i terhadap qadha dan qadar Allah bersumber dari
keimanannya kepada Allah. Ia berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan
Allah, bukan kehendak atau ciptaan mereka sendiri.
Iman
Syafi'i
berkata, "Iman adalah kepercayaan yang disertai perbuatan." Ia sangat
mengukuhkan pendapatnya ini, bahkan menyeru semua orang untuk mengikutinya.
Jika iman mencakup kepercayaan dan perbuatan maka ia akan bertambah atau
berkurang tergantung kadar perbuatan.
Syafi’i
melandaskan pendapatnya ini dengan beberapa dalil, di antaranya adalah ketika
Allah mengalihkan kiblat kaum muslim dari Baitul Maqdis ke Makkah, ada satu
kaum yang berkata, "Bagaimana pahala shalat kita dahulu saat masih
menghadap Baitul Maqdis?" Menjawab pertanyaan ini, Allah menurunkan ayat, Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa
amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah,
dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang kepada manusia (Q.S. Al-Baqarah [2]: 143).
Tentang
kemungkinan bertambah atau berkurangnya iman, Syafi’i berdalil dengan firman
Allah, Dan apabila diturunkan suatu surah
maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, Siapa di antara
kalian yang bertambah imanya dengan (turunya) surah ini? Adapun orang yang
beriman maka surah ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira (QS.
A-Taubah [9]: 124). Dan firman Allah, Sesungguhnya
mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tahan mereka dan Kami
tambankan kepada mereka petunjuk (Q.S. Al-Kahfi [18]: 13).
Al-Rabi'
berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, Iman itu ucapan dan perbuatan. Ia
bisa bertambah dan bisa pula berkurang".
Begitulah
Syafi'i menegaskan akidahnya sekaligus pendapatnya dalam beberapa masalah yang
banyak di perdebatkan oleh para ulama ilmu kalam, tanpa harus menggelutinya
secara mendalam atau masuk ke dunia filsafat yang banyak menyesatkan pemahaman
manusia dan membingungkan akal.
Di antara
pendapat Syafi'i tentang beberapa masalah yang banyak dibahas di dunia kalam
adalah iman itu kepercayaan yang disertai perbuatan. Jika demikian maka iman
bisa bertambah bisa pula berkurang tergantung kadar perbuatan. Ia melandaskan
pendapatnya atas ayat-ayat Al-Quran tanpa harus masuk terlalu jauh ke dalam
pemikiran ilmu kalam. Ia hanya menegaskan keyakinan dan pendapatnya dalam
beberapa masalah ilmu kalam.
Tentang sikapnya ini, Syafi'i
melantunkan syair,
Aku
bersaksi bahwa Allah, tiada tuhan selain Dia
Dan aku bersaksi bahwa kebangian itu pasti ada
Hakikat iman adalah ucapan yang nyata
Disertai dengan perbuatan suci yang bisa bertambah atau berkurang
4. Khalifah
Syarat-Syarat Seorang Khalifah
Di antara
masalah yang juga dikemukakan oleh para ahli kalam dan kelompok-kelompok
politik yang ada ketika itu adalah masalah kekhilafahan dan syarat-syaratnya
karena masalah ini masih memiliki kaitan, dengan masalah ilmu kalam.
Meskipun
berada jauh dari ranah ilmu fikih, Syafi’i terdorong untuk mengemukakan
pendapatnya tentang masalah kekhilafahan ini. Syafi’i berkeyakinan bahwa
kekhilafahan termasuk urusan agama yang harus ditegakkan. Manusia harus
memiliki seorang imam atau pemimpin yang menangani urusan kaum mukmin dan
mengatasi permasalah orang-orang fasik agar orang-orang yang baik dapat tenang
dan dijauhkan dari orang-orang yang buruk, seperti yang dikatakan oleh Ali ibn
Abi Thalib.
Syafi'i juga
berpendapat bahwa imâmah (kepemimpinan) adalah hak orang-orang Quraisy. Dalam
hal ini ia meriwayatkan dalilnya dari Umar ibn Abdul Aziz dan Ibn Syihab
al-Zuhri dengan sanad yang sampai kepada Rasulullah bahwa beliau bersabda,
"Siapa yang menghinakan seorang Quraisy maka Allah akan menghinakannya."
Diriwayatkan
juga bahwa Nabi SAW. bersabda kepada seorang Quraisy, "Kalian lebih layak
menduduki jabatan ini selama kalian tetap berada dalam kebenaran. Dan jika
kalian telah menyimpang dari kebenaran maka kalian akan dicampakkan, sebagaimana
pelepah kurma ini dicampakkan."
Untuk
legalitas kekhilafahan ini, Syafi’i tidak menyaratkan perlunya baiat yang
dilakukan sebelum seorang khalifah menjabat. Karena, kekhilafahan bisa
terbentuk tanpa baiat, jika kondisinya mendesak. Ada satu riwayat dari Syafi'i
yang disampaikan oleh muridnya, Harmalah, "Setiap Quraisy yang menduduki
kursi kekhilafahan dengan pedang dan didukung oleh semua orang maka ia layak
menjadi khalifah."
Dalam
masalah khilafah, yang terpenting bagi Syafi’i adalah yang meraihnya harus
seorang Quraisy. Ia juga harus didukung oleh masyarakat, baik sebelum menduduki
kursi kepemimpinan maupun setelahnya. Sementara syarat keadilan sudah menjadi
hal yang semestinya.
Syafi’i
berkeyakinan bahwa orang yang paling layak menjadi khalifah pertama adalah Abu
Bakar al-Shiddiq, kemudian Umar al-Paruq, lalu Utsman Dzunnurain, dan Ali ibn
Abi Thalib. Semoga Allah meridai mereka.
Diriwayatkan
bahwa Syafi'i menganggap jumlah al-Khulafa' al-Râsyidun itu sebenarnya ada
lima. Selain empat khalifah di atas, Syafi'i menambahkan seorang lagi dari
sahabat Rasulullah, yaitu Umar ibn Abdul Aziz.
Tentang hal
ini, Syafi'i berkata,
Abu Bakar adalah Khalifah Tuhannya
Abu Hafsh adalah sosok yung sangat menjaga kebaikan
Aku bersaksi di hadapan Tuhanku bahwa Utsman sangat mulia
Dan Ali kemuliaannya sangat istimewa
Mereka adalah imam kaum yang layak diikuti petunjuknya
Allah akan mencampakkan orang-orang yang merendahkan mereka
Syafi'i
berkeyakinan bahwa imâmah termasuk urusan agama yang perlu dipelihara. Yang
penting baginya adalah yang menjadi imam harus seorang Quraisy yang didukung
oleh masyarakat. Tentu syarat keadilan harus ia penuhi terlebih dahulu Syafi'i
berpendapat bahwa orang yang paling layak menduduki kursi kekhilafahan adalah
Abu Bakar al-Shiddiq, Umar, Utsman, selanjutnya Ali. Ia juga mengangkat seorang
khalifah yang kelima, yaitu Umar ibn Adul Aziz
Perselihan Antara Ali Dan
Mu'awiyah
Tentang
perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, Syaif'i
berpendapat bahwa Alilah yang benar dan Mu'awiyah tidak benar. Malah, menurut
Syafi'i Mu’awiyah dianggap sebagai pemberontak seperti Khawarij. Khawarij
merupakan pemberontak yang lebih keras. Oleh karena itu, tentang hukum-hukum
yang berkenaan dengan masalah pemberontakan ini, Imam Syafi'i banyak mengadopsi
pemikiran dan sikap Ali ibn Thalib terhadap para pemberontak pada zaman
kekhilafahannya.
Karena
masalah ini, seseorang ada yang berkata kepada Ahmad ibn Hanbal, "Yahya
ibn Mu'in menisbahkan Syafi'i kepada kelompok Syi’ah."
Lalu Ahmad'
bertanya kepada Yahya ibn Mu'in, "Bagaimana kau tahu hal ini?"
Yahya lalu
menjawab, "Dalam karya-karyanya aku lihat Syafi'i berpendapat perlu
memerangi dan membunuh para pemberontak. Dari awal hingga akhir, kusimpulkan
bahwa ia banyak mengadopsi pemikiran dan sikap Ali ibn Thalib.”
Ahmad lalu berkata, "Sungguh aneh kau
ini! Kepada siapa lagi Syafi’i harus menyandarkan pendapatnya? Bagaimana pun
orang yang pertama diuji dengan masalah pemberontakan ini adalah Ali ibn
Thalib." Dengan kata lain, dari siapa Syafi'i harus mengambil hukum-bukum
yang berkenaan dengan pemberontakan kalau bukan dari Ali ibn Thaib ra".
Ini adalah
sekelumit pendapat Syafi'i tentang perselisihan dan perbedaan pendapat di
kalangan para sahabat dalam masalah imâmah (kepemimpinan).
Tentang perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah, Syafi’I berpendapat
bahwa Ali yang benar, bukan Mu'awiyah. Ia banyak mengadopsi hukum-hukum yang
berhubungan dengan masalah pemberontakan dari sikap Ali terhadap para
penentangnya. Karena, Ali adalah khalifah yang pertarma kali diuji dengan
masalah pemberontakan ini.
5. Cinta Syafi'i Kepada Ahli Bait
Meski
pendapat Syafi’i seperti ini, ia tetap seperti muslim bertakwa lainnya yang
mencintai keluarga Nabi SAW. dan meyakini kesucian mereka. Ia tidak peduli jika
harus dicap sebagai anggota kelompok Rafidah andai orang-orang yang mencintai
keluarga Muhammad hanya kaum Rafidah. Ia berkata,
Jika Rafidah itu pencinta keluarga Muhamamad maka biarkanlah jin
dan manusia menganggapku seorang Rafidah."
Kekaguman
Syafi'i terhadap Ali banyak diriwayatkan oleh sejarah. Disebutkan bahwa Ali ibn
Abi Thalib tengah berada di majelisnya. Seorang laki-laki berkata,
"Orang-orang menjauhi Ali karena ia tidak pernah memedulikan orang
lain." Maksudnya Ali sangat pemberani hingga seakan ia tidak memedulikan
orang-orang yang ada di sekitarnya.
Syafi'i lalu
berkata, "Pada diri Ali terdapat empat sifat yang jika dimiliki seseorang
maka ia pasti tidak akan memedulikan orang lain. Pertama, jika orang itu
seorang yang zuhud, karena seorang zahid tidak pernah memedulikan dunia dan
penghuninya. Kedua, jika ia seorang alim, karena orang alim tidak memedulikan
orang lain. Ketiga, jika ia seorang yang berani, karena seorang pemberani tidak
pernah menggubris orang lain. Dan yang keempat adalah jika ia seorang yang
mulia dan berwibawa karena seorang yang mulia tidak pernah memedulikan orang
lain".
Tentang
pribadi Ali, Syafi'i pernah berkata, "Ali telah dikaruniai ilmu Al-Quran
dan fikih secara khusus karena Nabi SAW. pernah memanggilnya dan
memerintahkannya untuk menjadi hakim di tengah masyarakat. Setiap masalah yang
ia tangani dilaporkan kepada Nabi SAW., dan beliau banyak menyetujuinya."
Begitulah kita lihat Syafi’i selalu bersikap
hati-hati dan moderat dalam pendapatnya. Ia sangat mencintai Ali dan kagum
kepadanya. Syafi'i menganggap orang-orang yang menentang Ali adalah kaum
pemberontak dan menilai sikap Ali terhadap mereka sebagai landasan hukum yang
perlu ia adopsi. Akan tetapi, kecintaannya kepada Ali tidak mendorongnya untuk
lebih mengutamakan Ali atas Abu Bakar, Umar, atau Utsman.
Syafi'i, seperti musim yang lain, sangat mencintai keluarga Nabi
SAW. Ia juga sangat mencintai Ali dan kagum kepadanya, tanpa mengutamakannya
atas Abu Bakar, Umar, atau Utsman. Dalam pendapat-pendapatnya, Syafi’i selalu
menjaga sikap moderat.
Syafi'i Memuji Ahli Bait
Tentang ahli bait Nabi saw.,
Syafi'i memiliki bait-bait syair berikut:
Jika di satu majelis kami menyebut nama Ali
Serta dua anaknya dan Fatimah yang suci
Ada yang berkata, "Wahai kaum, abaikan ini….!”
Karena ini adalah obrolan kaum Rafidah
Di hadapan Allah, aku merasa terbebas dari dosa manusia ini
Yang menilai seorang yang mencintai keluarga Fatimah sebagai
anggota kelompok Rafidah
BAB XV
SYAFI'I SANG IMAM
1. Prinsip Dasar Fiqih Syafi'i
Syafi'i
tidak terdorong untuk membentuk mazhab baru atau pendapat fikih yang terlepas
dari pendapat pendapat Malik kecuali setelah ia meninggalkan Baghdad dalam
pengembaraannya yang pertama di tahun 184 Hiljriah. Sètelah Syafi'i menetap di
Baghdad cukup lama, di kota tempat ia mempelajari kitab-kitab Muhammad ibn
al-Hasan dan berdebat dengan ahli rakyu, ia merasa perlu memberikan formula
khusus sebagai kombinasi dari fikih Irak dengan fikih Madinah. Selain itu,
sengitnya perdebatan seputar masalah-masalah furd'iyah (cabang) mendorongnya
untuk mengenal prinsip dasar dan mencari standarnya. Ia memilih keluar dari
Irak dan mulai menorehkan catatan-catatan baru.
Setelah sekian lama tinggal di Baghdad, mempelajari kitab :kitab
fikih ahli rakyu dan berdebat dengan mereka, Syafi’i ingin menghasilkan satu
fikih kombinasi antara fikin Irak dan fikih Madinah. Karena itu, Ia mulai
menggoreskan tintanya untuk menyusun satu mazhab baru.
Di Makkah al-Mukarramah
Syafi'i
mengembara ke Makkah. Di Masjidil Haram ia mulai membuat satu halaqah
pelajaran. Di sanalah ia mulai membentuk mazhabnya. Ia menetap di Makkah
sekitar sembilan tahun. Masa ini merupakan masa keilmuan Syafi'i yang paling
subur karena saat itu usianya telah mencapai kematangan. Ia juga telah banyak
mengkaji berbagai pendapat ulama generasinya dan mengadopsi berbagai pemikiran
mereka. Dengan pengermbaraannya, Syafi'i banyak menghimpun hadis dari berbagai
negeri.
Mungkin bisa
kita katakan bahwa pemikirannya pada fase ini lebih cenderung pada hal-hal yang
bersifat kulliyyat (umum) ketimbang berkutat pada masalah-masalah fur’iyyah.
Kebanyakan pelajaran yang ia sampaikan di halaqahnya lebih menekankan masalah
ini. Ia mengajari para murinya cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dan
sarana-sarananya, membandingkan sumber-sumber fikih, dan sedikit menyentuh
masalah-masalah furù' sekadar menjelaskan teori-teorinya.
Syafi'i mulai mencapai puncak kematangannya. Ia banyak meneliti dan
mengkaj bermacam pendapat para ulama sehingga ia menjadi ensiklopedia ilmu.
Pemikiran Syafi’i lebih cenderung kepada hal-hal yang bersifat kulyyat, tata
cara istinbath serta sarana-sarananya.
Aku Takut Kau Tidak Akan
Menemukannya Lagi
Prinsip-prinsip
kulliyyat inilah yang mendorong Ahmad ibn Hanbal untuk belajar dari Syafi’i
saat ia melihatnya tengah mengajar di sebuah halaqah di Makkah. Ahmad memilih
untuk meninggalkan halaqah Ibn 'Uyainah-ulama yang biasa meriwayatkan dari
al-Zuhri dan beralih ke halaqah Syafi'i. Bahkan, jika ada orang yang mencela
sikapnya itu, Ahmad berkata kepadanya, "Diamlah! Karena, jika kau tertinggal
satu hadis dari seseorang, mungkin kau masih bisa mendapatkannya dari orang
lain. Itu tidak jadi masalah bagimu. Akan tetapi, jika kau tertinggal akan akal
pemuda ini, aku takut kau tidak akan menemukannya lagi hingga hari kiamat. Aku
tidak pernah menemukan seorang pun yang lebih faham terhadap Kitab Allah dari
pada pemuda Quraisy ini”.
Pilihan
Syafi'i terhadap studi prinsip kulliyyat juga yang membuat Ahmad berkata
tentangnya, "Fikih itu bagaikan gembok bagi para penuntutnya hingga Allah
membukanya melalui tangan Syafi'i."
Kitab Al-Risâlah: Karya Pertama
Syafi’i
Karya
pertama Syafi'i adalah sebentuk surat yang ia tulis dan tujukan kepada
Abdurrahman ibn Mahdi. Sebelumnya, Ibn Mahdi meminta Syafi'i untuk mengarang
satu kitab untuknya yang berisikan makna-makna Al-Quran, sejarah, ijma’ serta
nasikh dan mansükh dalam Al-Quran dan sunnah. Atas permintaannya itu, Syafi’i
menyusun kitabnya yang bernama al-Risalah. Pendapat yang paling kuat mengatakan
bahwa Syafi'i menulis kitabnya ini saat ia berada di Makkah. Tetapi, beberapa
riwayat menyebutkan bahwa penulisannya terjadi di Baghdad. Yang terpenting
kitab ini merupakan karya dari kegigihan Syafi'i menuntut ilmu di Tanah Suci.
Dasar-Dasar Baru
Syafi'i
memboyong karyanya itu ke Baghdad, Di sana ia mulai menyebarkan ajarannya dalam
halaqah-halaqah. Di mata penduduk Irak, apa yang diajarkan Syafi'i ini
terhitung masih baru. Al-Karabisi menuturkan, "Kami tidak tahu apa itu
kitab, sunnah, dan ijma (atau dasar/dalil fikih yang diambil dari ketiganya),
hingga kami mendengar Syafi'i berkata, "ini adalah kitab, sunnah, dan
ijma"
Kali ini
Syafi'i menetap di Baghdad selama tiga tahun. Ini adalah fase kedua ijtihad
Syafi'i. Di sana ia mulai mempelajari pendapat-pendapat ahli fikih yang sezaman
dan sesuai dengan pendapatnya, bahkan pendapat para sahabat dan tabi'in. Ia
mulai memaparkan hasil yang telah ia capai berupa dasar-dasar agama yang
bersifat umum. Ia membandingkan bermacam pendapat tersebut, menguatkan salah
satunya berdasarkan dasar-dasar ini, kemudian memaparkan pendapat yang ia
anggap sesuai dengan dasar dan kaidah yang telah disusunnya.
Pada fase
ini Syafi'i mulai mendapatkan murid-murid baru yang belajar fikih darinya.
Fikih yang ia ajarkan adalah sebentuk kajian mendalam terhadap pendapat para
ahli fikih dan menyimpulkan pendapat yang paling baik atau pendapat Syafi’i
sendiri yang terhitung baru.
Fase Pengujian Dan Perubahan
Terhadap Al-Risalah
Syafi'i
hijrah ke Mesir pada 199 Hijriah dan menetap di sana sekitar empat tahun sampai
meninggal dunia. Di Mesir, pribadi Syafi'i menjadi lebih sempurna. Pendapat dan
pemikirannya lebih matang, bahkan ia mulai melakukan uji coba terhadap
pemikirannya. Walhasil, ia menghasilkan pemikiran baru yang istimewa. Selain
itu, di Mesir ia menemukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia dapatkan:
adat-istiadat baru, peradaban, dan peninggalan para tabi’in. Ia mulai mengkaji
kembali pendapat-pendapat lamanya berdasarkan pengalaman baru yang ia dapat di
negeri itu yang sesuai dengan kermatangan usia dan ilmunya.
Pendapatnya
tentang masalah-masalah farú mulai dikaji ulang. Beberapa di antaranya ada yang
diubah sehingga menjadi pendapat baru yang tak pernah ia kemukakan sebelumnya.
Akibatnya, Syafi'i memiliki pendapat lama yang telah ia tarik dan menghasilkan
pendapat baru yang telah diuji. Terkadang ia ragu antara pendapat baru atau
pendapat lama yang harus dipilihnya. Pada kondisi ini, ia akan menyebutkan dua
pendapat itu bersamaan tanpa harus menarik kembali pendapat lamanya.
Demikianlah fase ini menjadi fase uji coba dan pengecekan. Syafi'i memeriksa
kembali semua pendapatnya, lalu mempelajari dasar-dasarnya sambil melakukan
kritik terhadapnya. Ia mencatat kesimpulan hasil kajiannya. Akhirnya Syafi’i
berhasil mencatat risalahnya, menulis berbagai masalah, dan mendiktekan
sebagiannya kepada muridnya. Para sahabat Syafi'i juga meriwayatkan sejumlah
pendapatnya pada fase tersebut dan mengutip pertentangan pendapatnya dengan
para fuqaha. Dengan begitu, Syafi'i tidak meninggal sebelum ia mewariskan
peninggalan yang sangat berharga di bidang fikih dan metode istinbath.
Mesir merupakan negeri yang sangat dinamis dan berperadaban tinggi.
Saat Syafi’i hijrah ke sana, pribadinya semakin sempurna dan pendapatnya
semakin matang ia mulai mengkaji kembali pendapat-pendapat dan dasar-dasarnya
yang lama sambil melakukan kritik terhadapnya. Sehingga, sebagian pendapat ada
yang ia hapus, dan ada yang ia tambahkan. Terakhir, ia mencatat semua
kesimpulan hasil kajiannya. Banyak sahabat Syafi’i meriwayatkan sejumlah
pendapatnya. Dengan begitu, Syafi'i tidak meninggal dunia kecuali setelah
mewariskan peninggalan yang sangat mahal di bidang fikih dan metode istinbâth
untuk kaum muslim.
2. Karya-Karya Syafi'i
Imam Syafi'i
memiliki karya yang cukup banyak, tidak seperti imam-imam sebelumnya. Karyanya
berisi tentang ushul dan furá', fikih dan dalil-dalilnya, bahkan di bidang
tafsir dan sastra. Ibn Zaulaq berkata, "Syafi’i mengarang sekitar dua
ratus buku" Al-Marwazi juga berkata dalam khutbahnya, mengomentari karya
Syafi’i, "Syafi'i telah mengarang seratus tiga belas kitab di bidang
tafsir, fikih, sastra, dan lain-lain.
Allah merahmati Syafi’i. Tak seorang imam pun yang dikenal memiliki
ilmu pengetahuan yang luas serta karya-karya keilmuan yang berlimpah. Syafi'i
tidak mewariskan satu ilmu kecuali setelah ia menuliskannya dalam satu kitab.
Ia menulis karyanya di bidang fikih, ushul fikih, tafsir, dan sastra hingga
karyanya mencapai dua ratus.
Mengarang Buku
Setelah
memiliki metode sendiri di bidang ijtihad, riset, dan fatwa, Syafi'i mulai
mengarang kitab yang mencatat dasar-dasar yang ia jadikan pijakan metode
istinbath, dan pendapat-pendapatnya dalam berbagai masalah yang diperdebatkan.
Kemudian ia menulis tentang sunnah-sunnah Rasulullah, pertentangan di antara
para sahabat, dan memilih pendapat yang menurutnya lebih kuat.
Tak ada satu
riwayat pun yang menyatakan bahwa Syafi'i menulis karyanya saat ia di Makkah.
Selain itu, tak seorang sejarawan pun mencatat bahwa sebagian karyanya ada yang
di tulis di Makkah, kecuali riwayat bahwa Syafi'i menulis al-Risalah yang
ditujukan kepada Aburrahman ibn Mahdi. Setelah kedatangannya ke Irak pada tahun
195 hijirah, banyak riwayat menyatakan bahwa selama di sana Syafi'i telah
banyak menulis karya-karyanya.
Syafi’i mulai mengarang kitab, mencatat prinsip-prinsip dan
dasar-dasar yang ia letakkan setelah ia memiliki metode sendiri dalam
berijtihad dan riset. Tak ada riwayat yang menyatakan bahwa Syafi’i mencatat
semua itu di Makkah, kecuali kitab al-Risalah yang ia tulis ketika di Makkah
untuk ditujukan kepada Abdurrahman ibn Mahdi.
Deklarasi Mazhab
Syafi'i
mulai menorehkan catatannya saat ia hijrah ke Irak untuk kali kedua. Di sana ia
mendeklarasikan mazhabnya dan menyebarkan metode ijtihadnya. Ia juga mengusung
sunnah dan menjawab semua yang menentangnya. Ini terjadi sekitar tahun 195
Hijriah, saat para ahli hadis berkumpul di sekitarnya untuk menuntut ilmu fikih
dan ijtihad darinya. Mereka sangat kagum akan kemampuan akal, dan keterangan
Syafi’i.
Al-Humaidi
menuturkan, "Kami sangat ingin menjawab pendapat-pendapat ahli rakyu, tapi
kami tak sanggup untuk itu hingga Syafi'i datang. Dialah yang mengajarkan
caranya kepada kami"’
Kitab
pertama yang dikarang Syafi'i di Irak adalah al-Hujjah. Di dalamnya terkandung
semua pendapat lama Syafi'i. Jika kita katakan bahwa al-Risalah merupakan kitab
Syafi'i yang ditulis di Makkah sebelum Syafi'i pergi ke Irak untuk kedua
kalinya, Fakhrurrazi berpendapat bahwa kitab al-Risälah disusun Syafi'i di
Irak. Maka, dari sini bisa dikatakan bahwa al-Risalah adalah kitab pertama yang
ditulis Syafi'i di Irak, kemudian al-Hujjah, kitab yang kedua.
Motif Penulisan Kitab al-Hujjah
Motif di
balik penulisan kitab ini adalah menjawab pandangan para ahli rakyu. Tentang
hal ini, Syafi’i menuturkan, "Para ahli hadis berkumpul di tempatku.
Mereka memintaku untuk menulis kitab jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Aku
lalu berkata, Aku tidak tahu apa yang mereka katakan sebelum aku meneliti
kitab-kitab mereka. Kemudian kepadaku dibawakan kitab Muhammad ibn al-Hasan.
Aku pun mengkajinya selama setahun sampai aku menghafalnya. Setelah itu, aku
menulis kitab al-Baghdadi ini."
"Kitab
al-Hujjah merupakan kumpulan hasil-hasil ijtihad Syafi'i. Di dalamnya juga
terhimpun fatwa-fatwa Syafi’i dan semua masalah fikih dengan dalil-dalilnya. Di
antara pembahasannya adalah jawaban Syafi'i terhadap para penentangnya. Dengan
begitu, kitab ini menjadi kumpulan risalah-risalah kecil dan mulai beredar di
kalangan para ulama. Di antara orang yang mempelajari kitab ini dan mengambil
ilmu darinya adalah Imam Ahmad ibn Hanbal, -, Abù Tsaur, dan al-Karabisi.
Biasanya
Syafi’i menulis kitabnya berdasarkan tema-tema tertentu, seperti tema
pertentangan hadis, kumpulan ilmu, pembatalan istihsan, dan sebagainya.
Kemudian semua karya ini dikumpulkan menjadi satu kitab besar. Syafi’i juga
dikenal sebagai ulama yang menulis karyanya dengan mengandalkan hafalan,
apalagi jika ia tak mendapatkan referensi untuk itu. Al-Rabi' menuturkan,
"Syafi'i menulis kitab ini (al-Mabsûth) berdasarkan hafalannya karena
ketika itu ia tidak memiliki kitab rujukan."
Kitab-Kitab Syafi’i
Dalam kitab Mujam al-Bulaan
terdapat daftar panjang nama kitab yang pernah ditulis Syafifi. Kitab-kitab itu
antara lain:
·
Al-Thakarah |
·
Al-Rahn Al-Shaghir |
·
Masalah Al-Maniy |
·
Al-Risalah |
·
Istiqbal Al-Qiblah |
·
Ahkam Al-Quran |
·
Al-Imamah |
·
Ikhtilaf Al-Hadis |
·
Ijad Al-Jumuah |
·
Jima'i Al-Iilmi |
·
Shalat Al Idayn |
·
Ai-Yamin Ma’a Al-Syahid |
·
Shalat Al-Kusuf |
·
Al-Syahadat |
·
Shalát Al-Istisqa" |
·
Al-Ijidrat Al-Kabir |
·
Shalat Al-Jana'iz |
·
Karyi Al-Ibil Wa Al-Rawahil |
·
Al-Hukm Fi Tarik Al- Shalat |
·
Al-Ijarat |
·
Al-Shalat Al-Wajibah Wa Al-Tathawu Wa Al-Shiyam |
·
Ikhtilaf Al-Ajir Wa Al-Mustajir |
·
Al-Zakàt Al-Kabir |
·
Al-Da’wa Wa Al-Bayyin |
·
Zakàt Al- Fithri |
·
Ali-Iqrár Wa Al-Mawahib |
·
Zakat Mal Al-Yatim |
·
Radd Al-Mawarits Bayan Fardhillah Azza Wa Jalla |
·
Al-Shiyam Al-Kabir |
·
Shifat Nahyi Al-Nabi Saw |
·
Al-Manasik Al-Kabir |
·
Al-Nafaqah ‘Ala Al-Aqarib |
·
Al-Manasik Al-Ausath |
·
Ikhtilaf Al-Raqiyyin |
·
Mukitashar Al-Manasik |
·
Ikhtilaf ‘Ali Wa Abdullah |
·
Al-Shaid Wa Al- Dzaba’ih |
·
Siyar Al-Auza'i |
·
Al-Buyu’ Al-Kabir |
·
Al-Ghadhab |
·
Al-Sharf Wa Al-Tijarah |
·
Al-Istihqâq |
·
Al-Muzáraah |
·
Al-Aqdhiyyah |
·
Al-Masaqat |
·
Iqrâr Ahad Al-Banin Bi Akh |
·
Al-Washaya Al-Kabir |
·
Al-Shulhi |
·
Al- Washâya Bi Al- Itqi |
·
Qital Ahli Al-Baghyi |
·
Al-Washiyyah Li Al-Warits |
·
Al-Asari Wa Al-Ghulul |
·
Washiyyah Al-Hamil |
·
Al-Qasamah |
·
Shadaqah Al-Hayyi ‘An Al-Mayyit |
·
Al-Jizyah |
·
Al-Makatib |
·
Al-Qath’i Fi Al-Sirqah |
·
Al-Mudabbir |
·
Al-Hudud |
·
Itqi Ummahat Al-Awlad |
·
Al-Murtad Al-Kabir |
·
Al-Jinayah ‘Ala Ummi Al-Walad |
·
Al-Murtadd Al-Shagir |
·
Al-Wala' Wa Al-Halaf |
·
Al-Sahir Wa Al-Saharah |
·
Al-Taridh Bi Al-Khitbah |
·
Al-Qiradh |
·
Al-Shadaq |
·
Al-Ayman Wa Al-Nudzur |
·
Isyrat Al-Nisa' |
·
Al-Asyribah |
·
Tahrim Ma Yujma' Min Al-Nisa |
·
Al-Wadi’ah |
·
Al-Syighàr |
·
Al-‘Umri |
·
Ibahat Al-Thalaq |
·
Bai' Al-Mashahif |
·
Al-Iddah |
·
Khatha' Al-Thabib |
·
Al-Ila |
·
Jinayat Mu’allim Al-Kitab |
·
Al-Khulu' Wa Al-Nusyüz |
·
Al-Taflis |
·
Al-Radha" |
·
Al-Luqathah |
·
Al-Zhihar |
·
Fardhi Al-Shadaqah |
·
Al-Li’an |
·
Qismi Al-Fai’ |
·
Adab Al-Qadhi |
·
Al-Qur’ah |
·
Al-Syurüth |
·
Shalat Al-Khauf |
·
Jinayat Al-Baythar Wa Al-Hijam |
·
Al-Diyat |
·
Ishtidam Al-Fursayn Wa Al-Nafsayn |
·
Al-Jihad |
·
Bulugh Al-Rusyd |
·
Jirah Al-‘Amdi |
·
Ihtilaf Al-Zaujayn Fi Mata'i Al-Bayt |
·
Al-Kharsh Al-Itqi |
·
Shifat Al-Nafsi |
·
Imarat Al-Ardhin |
·
Fadha’il Quraisy Wa Al-Anshar |
·
Ibthal Al-Istihsan |
·
Al-Walimah |
·
Al-Uqul |
·
Shaul Al-Fah! |
·
Al-Awliya’ |
·
Al-Dhahaya |
·
Al-Radd ‘Ala Muhammad Ibn Al-Hasan |
·
Al-Bahirah Wa Al-Sa'ibah |
·
Shahib Al-Ra’yi |
·
Qismi Al-Shadaqah |
·
Siyar Al-Waqidi |
·
Al-I’tikaf |
·
Habli Al-Hablah |
·
Al-Syuf’ah |
·
Khilaf Malik Wa Al-Syafi'i |
·
Al-Sabqi Wa Al-Ramyi |
·
Quththa' Al-Thariq |
·
Al-Raj’ah |
·
Karyi Al-Ardhi |
·
Al-Laqith Wa Al-Manbudz |
·
Al-Hiwalah Wa Al-Kafalah |
Sebagian
besar kitab ini telah dihimpun dalam satu kitab besar yang bernama al-Umm,
hasil riwayat al-Rabi' ibn Sulaiman al-Muradi.
Setiap
bab fikih pasti ditulis dan disusun oleh Syafi'i dalam satu kitab. Begitu pula
masalah-masalah yang ia perdebatkan dengan Imam Malik. Syafi'i juga mencatat
satu kitab jawaban terhadap Muhamamd ibr al-Hasan. Sebagian besar kitab ini
telah dikodifikasi menjadi satu kitab besar, al-Umm. Berikutnya kita akan
memaparkan secara rinci tentang dua mahakarya Syafi'i yang merupakan warisannya
yang paling besar untuk kaum muslim.
Kitab Al-Umm
Kitab al-Umm berisi fikih mazhab
Syafi’i Kitab ini sangat besar dan terdiri dari tujuh jilid tebal. Kitab ini
berisikan pikiran Syafi'i yang sangat teliti, terperinci, dan menyeluruh. Kitab
ini adalah kumpulan kitab kecil ditambah beberapa masalah
yang kadang ditulis sendiri oleh Syafi'i atau ditulis oleh murid-muridnya.
Ketika Syafi'i menetap di Mesir, ia mengumpulkan semua kitab ini dan
mendiktekannya kepada sahabat, murid, atau pelayannya, al-Rabi ibn Sulaiman.
Oleh karena itu, kitab ini disebut dengan kitab al-Umum (Buku Induk) karena
dianggap sebagai induk dari semua kitab Syafi'i. Kitab ini menjadi referensi
bagi setiap masalah fikih Syafi'i.
Metodologi Kitab Al-Umm
Secara sistematis, metode al-Umm
sesuai dengan metode Abu Hanifah. Abu Hanifah adalah orang pertama yang menulis
karya di bidang fikih. Ia menulis fikih karena takut ilmu itu hilang. Ia
memulai bahasannya dengan menulis bab al-Thahârah (Bersuci), selanjutnya bab
al-Shalat karena keduanya merupakan permulaan segala amal. Kemudian baru ia
beralih kepada pembahasan tentang ibadah, muamalah, dan warisan.
Secara umum, metode dan
sistematika penyusunan kitab al-Umm sama dengan metode Abu Hanifah. Imam
Syafi'i mengakui hal itu dengan berkata,"Orang-orang atau para ulama
adalah keluarga Abu Hanifah dalam hal fikih."
Syafi'i membagi kitab al-Umm ke
dalam bab-bab besar, dan setiap bab ini ia sebut dengan istilah kitab. Ia memulai pembahasannya dengan kitab
al-Thahärah, kemudian kitab
al-Shalat, lalu menjelaskan keduanya secara
terperinci.
Setelah itu, kitab al-Zakat.
Tentang kitab ini, ia paparkan bahasannya dengan teliti dan terperinci. Ia tak meninggalkan sedikit pun
permasalahan zakat tanpa mencatatnya.
Berikutnya, ia membahas kitab
al-Shiyam. Baru kemudian masuk ke kitab al-Hajj dengan sangat rinci. Di
dalamnya Syafi'i berbicara tentang haramnya berburu di tanah suci dan membahas
al-Shayd wa al-Dzaba'ih (Perburuan dan Sembelihan).
Berikutnya Syafi'i beralih ke
pembahasan tentang masalah al-Nudzur (Nazar), tentang al-Buyu (jual-beli). Di dalamnya, Syahfi'i
membahas macam-macam jual-beli dan riba, hukum-hukumnya, perbedaan antara
keduanya, dan lain-lain. Pembahasannya yang sangat terperinci mengundang decak
kagum para pembacanya.
Kemudian Syafi’i beralih ke
pembahasan tentang al-Mawârits
(Warisan) dan al-Washiyat (Wasiat), al-jizyah (Upeti), al-Qital wa al-Jihad
(Perangan dan Jihad). Lalu beralih ke
kitab an-Nikáh dan penjelasannya. Berikutnya Syafi'i membahas masalah hudud,
diyat, qadha' (pengadilan) dan para hakim.
Kita
tengah berbicara tentang satu fikih lengkap dan menakjubkan yang sangat
dibutuhkan setiap muslim untuk melengkapi pengetahuan syariat. Kitab fikih ini
sangat lengkap dan merupakan harta simpanan
yang diwariskan Syafi’i untuk kita semua dan menjadi rujukan para ulama di
sepanjang zaman.
Kitab Al-Risâlah
Kitab Syafi'i yang paling
mashyur, bukan paling besar, adalah kitab al-Risalah. Besar kitab ini memang
tak sebanding dengan kitab al-Umm. Kitab ini membahas ushul fikih dan dianggap
sebagai kitab pertama yang ditulis di bidang ilmu ini.
Al-Umm merupakan kitab fikih yang
paling terpercaya dan paling lengkap, tapi sebelum Syafi'i ada pula kitab lain yang membahas hal yang
sama. Di sini Syafi’i mengikuti jejak para penulis kitab-kitab terpercaya dan
paling lengkap, tapi sebelum Syafi’i ada pula kitab lain yang membahas hal yang
sama. Di sini Syafi'i mengikuti jejak para penulis kitab-kitab tersebut. Kitab
al-Risálah dianggap sebagai bentuk dan model baru yang berbeda dengan
kitab-kitab yang ditulis sebelumnya. Hingga sekarang, para ulama masih
menjadikan al-Risalah sebagai kitab rujukan.
Al-Risálah merupakan model baru
yang unik dalam hal metode ilmiah dan tata cara istinbáth dari dalil-dalil
fikih. Dengan begitu, kitab ini menjadi kitab ushul fikih. Syafi’i juga
memiliki beberapa kitab lain di bidang ushul fikih, di antaranya adalah Ahkam
al-Qur’an, Ikhtilaf al-Hadits, Ibthal al-Istihsan, Jimáu al-Ilmi, dan Kitab
al-Qiyas. Akan tetapi, kitab utamanya dalam ushul fikih adalah al-Risalah.
Penulisan Kitab Al-Risalah
Kitab ini ditulis dua kali.
Pertama, di Makkah, menurut pendapat yang paling kuat. Ketika itu Syafi'i masih
muda. Kemudian kitab ini dikaji ulang di Mesir di penghujung usianya. Risalah
pertama dinamakan dengan al-Risälah al-Qadimah (Risalah Lama) yang di tulis
dimekkah saat muda, sementara yang kedua dinamakan dengan al-Risalah al-Jadidah
(Risalah Baru) atau biasa dikenal dengan ar-Risalah al-Mashriyyah yang ditulis
di mesir, di penghujung usia.
Kisah Penulisan Al-Risálah
Dikisahkan bahwa Abdurrahman ibn
Mahdi, salah seorang ulama besar masa itu, menulis surat kepada Syafi'i yang
isinya meminta Syafi'i untuk mengarang satu kitab tentang makna-makna Al-Quran,
sejarah, kekuatan ijma, serta menjelaskan masalah násikh dan mansukh dalam
Al-Quran. Syafi’i menjawab permohonannya ini dengan satu surat. Karena itulah karya Syafi'i untuk memenuhi permintan
Abdurrahman ibn Mahdi ini disebut dengan al-Risalah yang berarti surat.
Ketika kitab ini sampai ke tangan
Imam Abdurrahman ibn mahdi, ia berkata, "Ketika kubaca al-Risalah karya Syafi'i, aku langsung kagum. Di dalamnya aku
melihat ucapan seorang laki-laki yang berakal, fasih, dan seorang penasihat
ulung. Aku akan memperbanyak doa untuknya".
Orang yang meneliti kitab
al-Risalah akan merasakan kemampuan akal Syafi'i yang luar biasa dengan metode
pemikiran yang mendalam, kemampuan dialog yang menakjubkan, tata cara istinbath
yang baik, dan ketelitian dalam mengambil dalil dari ayat-ayat al-Quran dan
hadis Nabi SAW. Selain itu, kitab ini disertai penjelasan yang baik dan
balaghah yang merupakan anugerah Allah kepadanya. Selain itu, kitab ini juga
membuktikan betapa Syafi'i sangat menguasai hadis dan betul-betul hafal
ayat-ayat Al-Quran di luar kepala.
Metode Penulisan Al-Risalah
Kitab ini diawali dengan
mukadimah dan tahlil. Di dalamnya tercatat puji-pujian dan pengagungan kepada
Allah, doa, istighfar, dan pemaparan singkat tentang kondisi manusia sebelum
risalah Muhammad datang: kondisi ahli
kitab, para penyembah berhala, penyembah bintang; menceritakan bagaimana
Muhammad datang sebagai Nabi dan Rasul yang memberi petunjuk ke jalan
kebenaran; menjelaskan bahwa Allah
telah mengutamakan Muhammad di atas semua
makhluk, mengutusnya pertama kali untuk memberi kabar gembira kepada
kerabatnya. Di dalam mukadimah juga dijelakan tentang turunnya Al-Quran dan bagaimana Al-Quran menjadi petunjuk
bagi para hambah. Selain itu, mukadimah ini juga dilengkapi dengan pembicaraan
tentang ilmu dan tingkatan manusia berdasarkan ilmu dan derajat mereka di
hadapan ilmu. Mukadimah ini ditutup
dengan ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang menunjukkan hukum secara tegas) untuk
mendasari apa yang dibahasnya. Di antaranya adalah ayat, Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri (QS. Al-Nahl [16): 89).
Juga firman Allah, Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Quran) dengan perintah
Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (Al-Quran) dan tidak
pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al-Quran itu cahaya
yang dengannya Kami tunjuki orang yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba
Kami. Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus
(QS. Al-Syüra [42]: 52).
Dalam mukadimah ini Imam Syafi’i
menjelaskan keagungan al-Quran dan kedudukannya,
bagaimana ia menjadi hujjah bagi seluruh hamba, sekaligus memberikan pemaparan
yang hebat tentang masalah ini. Setelah mukadimah yang banyak dihiasi dengan ayat-ayat Al-Quran, Syafi'i mulai membahas
tentang tema-tema kitab. Dalam masalah ini, ia mulai mengarang dengan gaya baru
dan asing. Ia memulainya dengan
membahas tentang al-Bayan yang maksudnya adalah penjelasan agama: bagaimana
Allah menjelaskan segala perintah yang harus dilaksanakan oleh hamba dan
larangan yang harus mereka tinggalkan serta hukum-hukum dan ketetapan Nabi SAW. Sehingga, ijtihad dalam masalah-masalah ini menjadi wajib bagi kaum
muslim. Kita dituntut berijtihad,
hidup dengan benar di atas syariat yang mulia, dan istiqamah di atas agama
Allah. Syafi’i memberikan contoh-contoh dan perumpamaan dari Al-Quran.
Setiap perumpamaan berhubungan
langsung dengan tema yang dibahasnya, kemudian ia berdalil dengan ayat-ayat
Al-Quran. Syafi'i menegaskan bahwa syariat Islam tetap relevan di setiap waktu
dan tempat. Apa yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya sangat jelas dan tegas.
Syafi’i juga berbicara tentang hukum-hukum yang sudah dibatalkan, hukum-hukum yang
tadinya bersifat umum dan telah dikhususkan, hukum yang terlihat umum tapi
maksudnya bersifat khusus, atau sebaliknya. Kemudian Syafi'i beralih ke masalah
nasikh dan mansukh. Adakah ayat Al-Quran yang dinasakh, atau adakah ayat yang
menghapuskan satu hukum yang terdapat dalam ayat lain.
Ia menjelaskan satu masalah yang
sangat penting bahwa hukum yang ada dalam Al-Quran tidak bisa dibatalkan
kecuali oleh ayat al-Quran. Hukum seperti ini tidak bisa dihapuskan oleh sunnah
karena sunnah tidak bisa menasakh Al-Quran. Sunnah hanya berfungsi sebagai
penafsir dan penjelas Al-Quran. Ia tidak bisa menghapuskannya. Kemudian Syafi’i
memaparkan tentang masalah yang lain. Ia berbicara tentang hadis Nabi SAW. dan
menjelaskan bagaimana seharusnya kita menyikapi hadis-hadis Nabi. Ia mulai
masuk jauh ke dalam, menyeruak ke ranah pemahaman hadis. Setelah itu, ia mulai
masuk ke bab-bab besar: bab ilmu, bab ijma, bab qiyas, bab ijtihad, bab
al-istihsan, dan bab al-khilàf Penyusunan kitab ini mengikut sertakan peran
al-Rabi' ibn Sulaiman karena kepadanya Syafi'i mendiktekan isi kitab ini.
Al-Risálah adalah kitab pertama yang disusun
Syafi'i di bidang ushul fikih. Ia berisikan kesimpulan fikih Syafi'i dan
mazhabnya. Kitab itu diawali dengan mukadimah yang luar bíasa, berbicara
tentang kondisi ahli kitab, tentang pengutusan Nabi SAW., serta ilmu dan
kedudukan manusia di hadapan ilmu. Syafi’i juga berbicara banyak tentang
Al-Quran dan kedudukannya, lalu mulai membahas tema-tema inti kitab. Ia memulai
bahasannya dengan pembicaraan mengenai al-bayan: bayan Allah dan bayän
Rasul-Nya. Ia menjelaskan bahwa syariat Islam tetap berlaku di setiap zaman dan
tempat. Kemudian ia berbicara tentang hukum-hukum, nasikh dan mansukh, juga
berbicara tentang hadis dan bab-bab lainnya. Sungguh, karyanya ini sangat
kreatif dan berkualitas. Ia membawa satu hal yang baru yang belum pernah ada.
Semoga Allah merahmati Syafi'i yang menetapkan dasar-dasar fikih bagi kita
semua.
3. Sumber-Sumber Fiqih Syafi'i
Kitab dan
Sunnah Syafi'i banyak mengambi fikihnya dari lima sumber yang semuanya ia catat
dalam kitab al-Umm. Ia berkata, "Ilmu itu beberapa tingkatan: Pertama: Kitab dan sunnah yang sahih. Kedua: ijma' dalam masalah-masalah yang
tidak ada nash-nya dalam Kitab dan sunnah. Ketiga:
ucapan beberapa sahabat Rasulullah yang tak ditentang oleh seorang pun. Keempat: perbedaan pendapat di antara
para sahabat Nabi SAW. tentang hal tersebut. Kelima: qiyas, dengan catatan masalah tertentu tidak dianalogikan
dengan sesuatu selain Al-Quran dan sunnah selagi masih ada dalam keduanya. Ilmu
itu selalu diambil dari yang teratas.”
Dalam kitab al-Umm Syafi'i mencatat sumber-sumber yang dijadikan
rujukan fikihnya. Ia menghitung ada lima sumber: Kitab, sunnah, jima', ucapan
sahabat yang telah disepakati, perbedaan pendapat mereka, dan qiyas.
Dua Sumber Inti
Berdasarkan
penjelasan di atas kita melihat Syafi'i menganggap tingkatan pertama dalam
istinbath adalah Kitab dan sunnah. Keduanya dianggap sumber inti bagi fikih
Islam. Sumber-sumber adalah sesuatu yang tersirat dalam keduanya. Pendapat para
sahabat, yang disepakati atau diperdebatkan, tidak mungkin bertentangan dengan
Kitab dan sunnah. Bahkan, Kitab dan sunnah menjadi sumber bagi
pendapat-pendapat tersebut. Demikian pula ijma. ijma' tidak akan terjadi tanpa
bersandar kepada keduanya dan tidak bertentangan dengannya. Ilmu itu selalu
diambil dari sumber yang paling tinggi. Al-Quran dan sunnah adalah sumber
tertinggi. Tingkatan pertama dalam istinbâth menurut Syafi'i adalah Al-Quran
dan sunnah. Selanjutnya adalah sesuatu yang tersirat dalam Kitab dan sunnah dan
tidak akan bertentangan dengannya. Ilmu selalu diambil dari sumber yang paling
tinggi. Al-Quran dan sunnah adalah yang paling tinggi.
a.
Kitab (Al-Quran)
Para ahli fikih setelah Syafi'i
selalu menyebut Kitab sebagai sumber pertama, dan sunnah yang kedua. Demikian
pula halnya ulama sebelum Syafi'i seperti Abu Hanifah. Ia menjadikan Kitab
sebagai sumber pertama. Jika tidak menemukan dalil dalam Kitab, ia akan
mengambilnya dari sunnah. Di kalangan para sahabat Rasulullah pun demikian
adanya. Diriwayatkan bahwa ketika Mu'adz ibn Jabal diangkat menjadi hakim di
Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya, dengan apa ia akan mengadili seseorang.
Mu'adz menegaskan bahwa pertama kali ia akan menggunakan Kitab Allah. Jika ia
tidak menemukan dalil di dalamnya maka ia akan mengambil dari sunnah
Rasulullah. Jika tidak menemukan dalil dari keduanya maka ia akan berijtihad.
Kitab (Al-Quran)
adalah sumber hukum yang pertama dan sunnah yang kedua. Inilah yang diungkapkan
Abu Hanifah sebelum masa Syafi'i, serta para fuqaha setelahnya. Landasannya
adalah hadis yang diriwayatkan dari Mu'adz ibn Jabal saat Rasulullah bertanya
kepadanya tentang apa yang akan dia jadikan sandaran dalam menunaikan tugasnya
sebagai hakim.
Sunnah Adalah Cabang Sekaligus Pokok
Saat membahas fikih, Syafi'i
menemukan Al-Quran telah mencakup berbagai keterangan yang masih bersifat umum
(kulliyyat), juga hal-hal yang bersifat parsial (juz'ijyyat). Sunnah berperan
menyempurnakan keterangan Al-Quran, merinci yang global, dan menjelaskan
hal-hal yang sulit dipahami. Karena itu, fungsi sunnah adalah sebagai penjelas
Al-Quran dan masalah-masalah umum yang dikandungnya. Sunnah tak mungkin
memiliki kemampuan bayan (menjelas kan), kecuali ia berada pada level mubayyin
(penjelas). Banyak sahabat berpandangan sepert ini.
Jika kita menganggap pengetahuan
terhadap sunnah sederajat dengan pengetahuan terhadap Al-Quran saat
menyimpulkan hukun-hukum cabang, hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan
bahwa Al-Quran adalah dasar agama ini, hujjah dan mukjizat Nabi SAW. Sementara
sunnah hanya cabang yang Juga menjadi sumber bagi agama. Pada kondisi ini,
sunnah mendapatkan kekuatannya dari Al-Quran. Sunnah berada selevel dengan
Al-Quran hanya di mata seseorang yang sedang menyimpulkan hukum-hukum.
Masalah-Masalah Umum (Kulliyah)
Banyak ahli fikih menguatkan
pandangan dan pendapat Imam Syafi'i. Al-Syathibi berkata dalam al-Muwafaqat,
"Dalam melakukan istinbath dari Al- Quran tidak harus berkutat pada
ayat-ayat saja tanpa melihat penjelasan yang ada dalam sunnah. Karena, jika
dalam Al-Quran terdapat masalah-masalah yang masih global, seperti masalah
shalat, zakat, haji, puasa, dan sebagainya, maka tak ada jalan lain kecuali
harus melihat keterangan yang ada dalam sunnah".
Jika dalam sunnah tak ditemukan
penjelasannya maka Syafi'i akan mengambil penafsiran ulama salaf terhadap
masalah umum. Karena, para ulama salaf lebih tahu dari yang lainnya. Jika tidak
ada penafsiran ulama salaf maka yang harus diambil adalah pemahaman orang-orang
Arab terhadap masalah umum itu. Kendati Syafi'i menganggap Al-Quran dan sunnah
berada satu derajat dari segi kandungan dalilnya, ia menegaskan bahwa Al-Quran
tidak bisa me-nasakh sunnah, dan sunnah tidak bisa me-nasakh Al-Quran. Ia juga menegaskan bahwa jika Al-Quran
me-nasakh sunnah maka harus ada dalil dari sunnah yang menegaskan adanya nasakh
tersebut.
b.
Ijma
Syafi’i menegaskan bahwa ijma'
dianggap sebagai hujjah dalam agama. Ia mendefinisikan ijma' sebagai
kesepakatan para ulama satu zaman terhadap satu hukun yang bersifat praktis
yang disarikan dari dalil yang dijadikan sandaran mereka. Tentang hal ini ia
berkata, "Aku dan tak seorang pun ulama mengatakan bahwa satu masalah
telah disepakati bersama, kecuali saat kau bertemu dengan seorang ulama, ia
mengatakan pendapatnya kepadamu, atau nenceritakan pendapat orang sebelumnya,
seperti bahwa shalat zuhur itu empat rakaat, khamar itu haram, dan
sebagainya."
Ijma' pertama yang dianggap
Syafii adalah ijma para sahabat, kendati tak ada ucapan Syafi'i yang menyatakan
bahwa ijma' selain sahabat tidak bisa menjadi hujjah.
Kedudukan Ijma’
Syafi'i meletakkan posisi ijma'
sebagai sumber hakum setelah Al-Quran dan sunnah. Jika ijma bertentangan dengan
Al-Quran dan sunnah maka ia tak bisa dijadikan hujjah. Tentang hal ini ia
berkata, "ijma terhadap satu masalah tak mungkin teradi jika bertentangan
dengan Al-Quran dan sunnah."
Macam-Macam Ijma
Ijma ada dua macam:
Pertama, ijma terhadap nash-nash.
Yaitu ijma terhadap masalah-masalah yang sudah pasti dalam agama yang oleh para
ulama sering disebut dengan ma’lum min al-din bi al-dharurah (masalah yang
hukumnya sudah pasti dalam agama), seperti ijma shalat wajib lima waktu, jumlah
rakaat, manasik haji, zakat, dan lain-lain. Semuanya merupakan masalah yang
sudah disepakati bersama karena banyak nask Al-Quran dan hadis yang
mengukuhkannya. Ijma para ulama dalam kondisi ini adalah ijma terhadap nash,
pemahaman, kabar yang sahih, dan hukum-hukumnya.
Kedua, ijma terhadap hukum yang
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, seperti ijma para sahabat terhadap
pendapat Umar yang melarang membagikan tanah yang baru dirampas kepada para
tentara yang turut dalam perang untuk membebaskannya. Ini adalah ijma yang
berlandaskan pada nash. Orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir, tidak
seperti orang yang mengingkari kewajiban shalat lima waktu atau mengingkari
jumlah rakaatnya. Jenis ijma seperti ini jelas berada pada level di bawah
Al-Quran dan sunnah.
Ijma' Penduduk Madinah
Syafi'i tidak menganggap
kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma. Dalam hal ini ia berbeda dengan
gurunya, Imam Malik. Secara praktis ia mengakui bahwa penduduk Madinah tidak
akan sepakat terhadap satu masalah kecuali masalah itu telah menjadi
kesepakatan semua ulama di negeri-negeri Islam, seperti shalat zuhur empat
rakaat, maghrib tiga rakaat, subuh dua raka'at, dan lain-lain. Sesuatu yang
masih diperdebatkan oleh para ulama maka bersatus diperdebatkan bagi penduduk
Madinah. Dengan demikian, dari segi praktis, pendapat Syafi’i sesuai dengan
pendapat Malik walau secara teoritis keduanya berbeda.
Penilaian Syafi’i tentang Ijma'
Jika Syafi'i berdebat dengan
seseorang, lalu orang itu mengakui adanya ijma, maka Syaif'i justru
mengingkarinya hingga orang itu turut mengingkarinya. Padaha kikatnya, praktik
mengaku-aku adanya ijma telah banyak terjadi pada zaman para imam mujtahid. Bahkan,
ada yang mengaku-aku ijma' dalam berbagai masalah, padahal ijma' tidak terjadi
sama sekali. Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah, telah mengingkari anggapan
al-Auza'i yang mengaku terjadi ijma' dalam beberapa masalah, bahkan dengan
ungkapan yang pedas.
c.
Pendapat Sahabat
Sebagian penulis kitab ushul
fikih dari Syafi’i menduga bahwa imam mereka ini mengambil pendapat sahabat
(qaul shahâbat) sebagai sumber hukum dalam mazhab qadim dan tidak mengambilnya
dalam mazhab jadid. Mazhab qadim Syafi'i adalah mazhab yang berisikan riwayat
al-Za’farani terhadap kitab-kitab Syafi’i di Irak, sementara mazhab jadid-nya
adalah hasil periwayatan al-Rabi ibn Sulaiman al-Muradi yang biasa mengajarkan
kitab-kitab Syafii di Mesir.
Akan tetapi, dalam kitab
al-Risàlah, kita temukan riwayat al-Rabi' ibn Sulaiman bahwa Syafi'i juga
mengambil qaul shahâbat sebagai sumber fikihnya. Dengan demikian, jelaslah
bahwa Syafi’i juga mengambil qaul shahabat sebagai sumber hukum dalam fikih
barunya di Mesir, sebagaimana ia pernah menjadikannya sumber dalam fikih qadim
di Irak Inilah pendapat yang kita anggap paling otentik.
Klasifikasi Pendapat Sahabat
Kesimpulan pendapat Syaif'i dalam
masalah pendapat sahabat (qaul shahabat) ialah Syafi’i membagikan qaul shahabat
ke dalam tiga bagian:
Pertama, pendapat yang telah
disepakati oleh para sahabat, seperti kesepakatan mereka untuk tidak membagikan
tanah hasil pampasan kepada tentara yang turut membebaskannya. Pendapat ini
menjadi hujjah karena termasuk ijma yang tak seorang pun menentangnya.
Kedua, seorang sahabat memiliki
satu pendapat, sementara sahabat lain tak ada yang memiliki pendapat yang
menentang atau menyetujuinya. Di sini Syafi'i akan mengambil pendapat tersebut.
Dalam kitab al-Risalah tertulis ihwal perdebatannya dengan beberapa pepentangnya.
Sang penentang berkata, "Bagaimana jika kaulihat salah seorang sahabat
mengucapkan satu pendapat dan tak ada yang menentang atau menyetujuinya: apakah
kau menemukan dasarnya dalam Kitab, sunnah, atau ijma' yang membuatmu akan
mengambil pendapat tersebut?". Syafi'i menjawab, "Kami tidak
menemukan dalilnya tentang masalah ini dalam Kitab atau sunnah, tetapi kami
menemukan para ulama mengambil pendapat seorang sahabat. Kadang kala
meninggalkannya. Lantas sang penentang berkata, Lalu sikapmu bagaimana? Syafi'i
menjawab, "Aku akan mengikuti pendapat salah seorang dari meteka jika
tidak kudapati dalil dari Kitab, sunnah, atau ijma' yang menetapkan hukumnya.
Sangat sedikit pendapat seorang sahabat yang tidak ditentang oleh pendapat
lainnya.
Ketiga, pendapat yang
diperbedatkan oleh para sahabat. Di sini Imam Syafi'i sama dengan Abu Hanifah:
menyeleksi pendapat-pendapat tersebut dan tidak berpendapat dengan sesuatu yang
bertentangan dengan pendapat para sahabat ia akan memilih pendapat mereka yang
paling mendekati Kitab, sunnah, ijma, atau dikuatkan oleh qiyas tingkat
tertinggi.
Pertentangan Pendapat Para Sahabat Rasulullah
Dalam masalah ini Syafi'i
berkata, "Kitab dan sunnah tadinya tidak ada. Maka, bagi yang mendengar
dalilnya dengan jelas, ia harus mengikutinya. Jika tidak menemukannya dalam
Kitab dan sunnah maka kami akan mengambil pendapat para sahabat Rasulullah atau
salah seorang dari mereka. Kemudian kami akan mengambil pendapat Abu Bakar,
Umar, dan Utsman. Jika harus takild, kami akan mengikuti pendapat yang Jebih
mengandung dalil".
Dari ucapan ini disimpulkan bahwa
jilka para sahabat berselisih pendapat maka pertama kali Syafi’i akan memilih
yang paling dekat dengan Kitab dán sunnah. Jarang sekali ia menjumpai pendapat
sahabat yang tidak mendekati Kitab dan sunnah. Oleh karena itu, kita tidak
melihatnya memilih yang kedua: taqlid. Dalam hal ini, ia memililh sikap yang
didukung oleh para iman. Ia akan memilih pendapat yang di dalam nya ada Abu
Bakar, Umar, atau Utsman.
Pendapat Seorang Imam (Khalifah)
Tentang hal ini Syafi’i
berargumen, "Pendapat seorang imam merupakan pendapat paling terkenal yang
harus diikuti oleh masyarakat. Pendapat seseorang yang diikuti oleh masyarakat
berarti lebih masyhur daripada pendapat orang biasa. Kadang kala pendapat atau
fatwa orang biasa ini diterima, kadang kala ditolak, Kebanyakan mufti
mengeluarkan fatwa untuk orang-orang tertentu di majelis mereka. Perhatian
masyarakat terhadap fatwa seorang mufti tidak sama dengan perhatian mereka
terhadap pendapat seorang imam. Biasanya, saat para imam mendapatkan satu hukum
dari Kitab dan sunnah tentang pendapatnya, kemudian ada orang yang
memberitahunya hukum yang berbeda dengan pendapatnya, maka para imam tak segan
untuk menarik kembali pendapatnya karena ketakwaan mereka pada Allah. Jika di
tangan para imam tak ditemukan dalil maka kami akan mengambil pendapat para
sahabat Rasulullah yang lain karena mereka berada pada tingkatan tertinggi
dalam hal amanah. Selain itu, mengikuti mereka lebih layak daripada mengikuti
orang-orang setelah mereka".
Ucapan ini menunjukkan bahwa
Syafi'i biasa mengambil pendapat sahabat, bahkan ia lebih mengikuti pendapat
para al-Khulafa al-Râsyidun jika ia tidak menemukan dalil yang lebih kuat dari
dalil mereka.
d.
Qiyas
Qiyas maknanya menyimpulkan hukum
satu kasus yang tidak ada dasar nashnya berdasarkan kasus lain yang memiliki
nash dengan cara menyamakan kasus tersebut. Titik persamaan antara dua kasus
disebut dengan illah (faktor penyebab lahirnya hukum).
Syafi’i dikenal sebagai seorang
mujtahid yang mencari makna-makna nash atau menguatkan sebagian pendapat atas
sebagian yang lain. Syafi'i juga terkenal memiliki kemampuan dalam mencari
pendapat sahabat yang paling kuat.
Dalam Qiyas, Syafi'i adalah sosok
mujtahid yang berusaha menghasilkan satu pendapat yang bisa dijadikannya
sandaran. Karena itu ia menegaskan bahwa qiyas adalah ijtihad. Qiyas, seperti
yang tampak dari contohnya, dalam pandangan Syafi'i sesuai dengan definisi
ulama ushul fikih, yaitu menyamakan satu kasus yang hukumnya tidak tertulis
dalan nash dengan kasus lain yang hukumnya telah tertulis dalam nash dengan
melihat kesamaan 'illah hukum dua Kasus tersebut.
Pengukuhan Qiyas
Syafi'i menegaskan bahwa qiyas
termasuk salah satu sumber hukum Islam. Qiyas dilakukan untuk mengetahui hukum
yang tidak termaktub secara shahih (jelas) dalam Kitab dan sunnah. Syafi'i
mengukuhkan qiyas ini berdasarkan dua alasan:
Pertama, hukum-hukum syariat
bersifat umum dan tak bisa diterapkan kepada setiap kasus dan tidak hanya
berlaku pada satu zaman. Jika demikian maka harus ada keterangan rinci tentang
hukum syara’ tersebut dalam setiap kasus
dan peristiwa yang dialami manusia. Ini bisa dengan nash yang jelas atau bisa
disesuaikan dengan nash tersebut, yaitu dengan menganalogikan kasus yang tidak
ada dalilnya dengan kasus yang dalilnya jelas. Dalam hal ini ia berkata,
"Setiap masalah yang dialami setiap muslim pasti ada hukumnya dan memiliki
dalil. Jika hukum sudah ada pada dirinya maka ia harus dikuti. Jika hukum tidak
terdapat pada dirinya maka harus dicarikan dalilnya dengan ijtihad, Dengan
demikian ijtihad adalah qiyas".
Makna ucapan ini adalah syariat
bersifat umum. Jika ada nash yang jelas maka harus diikuti. Jika tidak ada maka
seorang mujtahid harus berusaha mencari hukumnya berdasarkan kaidah umum hukum
syariat. Bisa jadi terdapat nash yang membimbing seorang mujtahid untuk
melakukan qiyas berdasarkan nash-nash tersebut.
Kedua, ilmu syariat yang
berhubungan dengan hukum-hukum terbagi dua: ilmu yang bersifat qath’i (pasti)
yang ditetapkan melalui nash-nash yang juga bersifat qathi, sehingga
hukum-hukum yang dihasilkannya pun bersifat gath'i. Ilmu yang bersifat zhanniy
(dugaan). Di sini cukup dengan berdasarkan dugaan yang paling kuat. Contohnya
adalah hadis-hadis ahâd dan qiyas. Premis kedua ini menegaskan bahwa jika ilmu
qath'i tentang nash-nash tak bisa diketahui maka seorang mujtahid cukup
mengandalkan dugaan yang paling kuat.
Melaksanakan Yang Zahir
Syafi'i berkata, "Ilmu yang
bersifat qath’i adalah ilmu yang mencakup hal yang zahir dan yang batin
(tersembunyi). Ilmu ini tidak bisa diingkari dan wajib dilaksanakan oleh
seorang muslim. Ilmu yang berdasarkcn dugaan yang kuat adalah ilmu tentang hal
yang zahir, tidak mencakup yang batin. Dengan arti lain ia harus dilaksanakan
berdasarkan lahiriahnya. Jika seseorang mengingkarinya, Ia tidak dianggap
kafir. Allah telah memberikan banyak contoh tentang wajibnya melaksanakan
hukum-hukum syariat. Seorang hakim, misalnya, bisa memvonis mati seorang
terdakwa berdasarakan kesaksian para saksi yang kejujuran dan keadilannya cukup
dilihat dari ammarat (indikator) yang menunjukkan mereka tidak mungkin
berbohong. Padahal para saksi bisa jadi salah atau berbohong, Akan tetapi,
seorang hakim hanya melaksanakan apa yang tampak di matanya dan menyerahkan urusan
batin (yang tersembunyi) pada Allah. Selain itu, dalam vonisnya ini juga
terkandung maslahat bersama. Karena, jika seorang hakim membiarkan pelaku
kejahatan tetap bebas hanya karena dugaan bahwa para saksi berbohong maka semua
hukum akan sia-sia, darah akan tumpah begitu saja, dan kondisi masyarakat
menjadi kacau. Di sini nilai-nilai sosial yang terkandung dalam firman Allah, Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kalian
bertakwa (QS. Al-Baqarah [2: 179) tidak akan terwujud.
Para mujtahid dibebani tugas
menyimpulkan hukum dari dalil-dalilnya. Mereka juga dituntut untuk melaksanakan apa yang ditunjukkan oleh
sebab-sebab dan faktor-faktor yang tampak di mata mereka. Mereka tidak
dikenakan dosa atas ketidak mampuan mendeteksi hal yang tak tampak di matanya.
Seseorang menikah dengan perempuan yang tampak halal baginya, lalu
menggaulinya. Kemudian ternyata perempuan itu adalah saudara susuannya, maka ia
tidak berdosa di mata Allah. Karena, ia tidak mengetahuinya. Jika hal itu
berhasil dilacak, akad bisa dibatalkan sebelum terjadi persetubuhan. Dalam
kasus ini, hal yang zahir memiliki hukum sendiri, begitu pula hal yang batin
(yang tersembunyi). Hukum-hukum yang zahir dalam kasus ini berkenaan dengan
ketentuan nasab, iddah, dan mahar, sementara yang batin berkenaan dengan
masalah warisan dan nafkah.
Qiyas Adalah Ijtihad
Syafi'i menegaskan bahwa qiyas
adalah ijtihad. Ia tidak menganggap qiyas sebagai penetapan hukum oleh seorang
mujtahid, tetapi hanya penjelas bagi hukum syara dalam satu masalah yang
hukumnya dicari oleh seorang mujtahid. Tentang hal ini ia berkata,
"termasuk kebaikan dari Kitab dan sunnah jika makna satu masalah dicarikan
oleh seorang mujtahid”.
Jadi, qiyas tetap bersandar pada
Kitab dan sunnah berdasarkan kajian mujtahid terhadap nash-nash dan maknanya,
kemudian menyimpulkan hukaurm masalahyang dihadapi. Makna yang dikandung oleh
satu nash itulah yang menjadi dasar dari qiyas.
Syafi’i menganggap segala ijtihad
sebagai proses qiyas. Menurutnya, setelah nash-nash Kitab, sunnah, ijma, dan
fatwa para sahabat, tidak ada jalan lain untuk mencari hukum selain dengan
qiyas. Dalam hal ini ia berkata, jika Nabi SAW. memerintahkan untuk berijtihad.
Maka, ijtihad adalah mencari sesuatu. Mencari sesuatu tidak bisa dilakukan
kecuali dengan dalil-dalil. Dan pencarian dengan dalil-dalil itulah qiyas.
Jika seseorang ingin membeli
budak, para ulama tidak berkata kepada orang itu, "tentukan
harganya!" Kecuali jika orang itu adalah seorang penentu harga di pasar.
Biasanya, penentu harga bisa menentukan harga barang berdasarkan harga yang
berlaku di pasar pada hari itu. Dan, ini tak bisa dilakukan kecuali dengan
menyamakan harga budak yang satu dengan budak lainnya. Seorang pemilik barang
biasanya adalah seorang penentu harga. Tidak diperbolehkan bagi seorang ahli
fikih yang tidak tahu harga seorang budak untuk menentukan harganya. Ia juga
tidak boleh menentukan upah seorang pekerja karena jika ia menentukan harga
tidak berdasarkan harga pekerja yang lainnya, berarti ia telah berbuat
semena-mena.
Intinya ijtihad tidak mungkin
dilakukan kecuali ada standar atau patokan untuk menjadi landasan qiyas. Barang
siapa ingin menentukan harga satu barang maka ia harus melihat barang yang
serupa di pasar. Kemudian ia boleh menentukan harga standar barang tersebut.
Begitu juga halnya dengan seorang ahli fikih: ia harus memerhatikan kasus dasar
dahulu untuk menentukan analoginya. Jika nilai harga sesuatu tidak bisa
diketahui kecuali dengan melihat yang serupa dengannya maka dalam berijtihad
seorang mujtahid harus terikat pada kaidah-kaidah yang menjadi dasar dalam
penentuan harga. Yakni, harus ada nash yang serupa dengan makna yang ingin
dicarikan hukumnya melalui ijtihad.
Penerapan Qiyas
Syafi'i bukan orang pertama yang
menggunakan metode qiyas dalam berijtihad. Sebelumnya, Malik pernah
menerapkannya. Bahkan Abu Hanifah díanggap sebagai guru para ahli fikih di
bidang qiyas. Madrasah Irak sejak zaman Ibrahim al-Nakha'i menganggap ijtihad itu
sendiri sebagai qiyas. Syafi'i yang hidup setelah Madrasah Irak ini, meski ia
tidak menganggap dirinya selevel dengan Abu Hanifah dalam menerapkan qiyas,
cukup memiliki jasa dan peran yang besar dalam hal ini. Karena, dialah yang
menyusun kaidah dan standarnya, serta membuat syarat-syaratnya. Jika seorang
mujtahid mengikuti syarat-syarat ini maka ia tidak akan mengalami kesalahan
saat menyimpulkan hukum dengan cara qiyas. Syafi'i-lah yang menentukan
tingkatan qiyas dan menjelaskan pembagiannya.
Jika orang lain telah mendahului
Syafi'i dalam menerapkan qiyas maka Syafi'i yang menyusun peraturan dan
sistemnya. Dalam hal ini ia dianggap 'penemu' seperti yang dikatakan para imam
qiyas walau mereka tidak mejelaskan maksudnya. Syafi'i yang menyebutkan objek-objek
qiyas dan hal-hal yang tak bisa diqiyaskan.
Tingkatan Qiyas
Syafi'i mengklasifikasikan qiyas ke dalam tiga tingkatan:
Pertama, qiyas tingkat tertinggi,
yaitu qiyas berdasarkan tingkat kejelasan illah hukum dan efektifitasnya
terhadap masalah cabang. Jika 'illah dalam satu masalah cabang lebih jelas dan
lebih kuat pengaruh nya maka qiyasnya termasuk tingkatan paling tinggi
Contohnya: jika sesuatu yang sedikitnya haram maka dalam jumlah banyak lebih
haram lagi.
Kedua, qiyas yang seimbang (qiyas
al-musawat) masalah cabang memiliki illah yang seimbang dengan masalah pokok.
Seperti qiyas antara seorang budak laki-laki dan budak perempuan dalam
klasifikasi jenis hukuman.
Ketiga, jika masalah cabang
memilaki ‘illah hukum yang tidak lebih jelas dari masalah pokok. Mayoritas
ulama tidak menganggap tingkat pertama dan kedua di atas sebagai qiyas. Mereka
mengategorikan tingkat pertama sebagai dalalat al-muwdfaqah (dalil persamaan)
atau yang biasa disebut dengan dalalat al-nash. Akan tetapi, Syafi'i
membolehkan dan tidak menolak tingkat pertama ini dikategorikan qiyas. Ia
menggolongkannya ke dalam al-Nushush. Sementara yang kedua tidak dianggap
qiyas, tetapi hanya sebentuk persamaan hukum taklif antara laki-laki dan
perempuan. Oleh karena itu, para penentang qiyas hanya menggunakan tingkatan
kedua saja dalam istinbath.
Syaf'i tidak cukup dengan hanya
menjelaskan qiyas dan tingkatannya, tapi juga menjelaskan tentang seorang ahli
fikih yang dalam melakukan qiyas tidak keluar dari syarat-syarat ijtihad yang
ia bangun.
Syafi'i Menafikan Istihsan
Imam Malik berkata,
"Istihsan adalah 9/10 (Sembilan per sepuluh) ilmu" Akan tetapi
Syafi'i berkata, "Siapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat
hukum sendiri.”
Apa sebenarnya istihsan yang
diakui oleh Imam Malik dan dinafikan oleh Imam Syafi’i? Mazhab Maliki
mendefinsikan istihsan, melalui ucapan Malik, adalah "Mempertimbangkan
maslahat yang sesuai dengan hukum-hukum syara saat tidak ada nash yang jelas,
baik yang mengukuhkan maupun yang membatalkan, meskipun dalam objeknya
terkandung qiyas ataupun tidak. Jika di dalamnya terkandung qiyas maka ulama
mazhab Maliki menamakannya dengan istihsan".
Secara umum, istihsán, seperti
yang diungkapkan Imam Malik adalah mempertimbangkan maslahat yang sesuai dengan
hukum syara yang tidak mengandung nash. Sementara itu, Syafi'i menafikannya
secara mutlak.
Alasan Syafi’i Menolak Ihtihsan
Pertama, melakukan istinsan
membuktikan bahwa Allah tidak membahas hukum satu masalah. Padahal Allah telah
berfirman, apakah manusia mengira bahwa
ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (QS. AI-Qiyámah
[75]: 36).
Meninggalkan satu masalah tanpa
nash yang jelas atau tanpa menerapkan qiyas sama dengan membiarkan manusia
begitu saja, dan ini bathil.
Kedua, ketaatan hanya kepada Allah
dan Rasul-Nya. Hukum hanyalah yang diturunkan Allah. Hukum bisa didapat dengan
melihat nash atau dengan mengqiyaskannya dengan nash.
Ketiga, Nabi SAW. tidak
menerangkan hukum-hukum fikih dengan cara istihsán, tetapi dengan menanti wahyu
dalam setiap masalah yang tidak ada nashnya. Sekiranya istihsán dibolehkan maka
Nabi SAW. akan melakukannya sebelum turun wahyu. Dan beliau bukan orang yang
berbicara dengan hawa nafsunya.
Keempat, Nabi SAW. pernah
mengingkari hokum-hukum yang diputuskan para sahabat berdasarkan istihsan
mereka, yaitu saat mereka membunuh seorang kafir yang lari, bersembunyi di
balik pohon, dan berkata, "Aku telah masuk Islam karena Allah Menyikapi
kasus ini, para sahabat melakukan istihsân. Dengan istihsân, mereka menganggap
membunuh orang itu lebih baik karena menurut mereka ia mengucapkan keislamannya
di bawah tekanan dan ancaman pedang. Sikap para sahabat ini dikecam oleh Nabi
SAW.
Kelima, Istihsân tidak memiliki
standar dan hal itu pasti akan menimbulkan pertentangan karena tak memiliki
aturan yang bisa dijadikan rujukan. Setiap orang akan menentukan hukum
berdasarkan hawa nafsunya. Sebaliknya, qiyas memiliki standar yang jelas, yaitu
nash.
Keenam, istiisan maknanya
mempertimbangkan maslahat. Jika makna ini diterima, niscaya orang alim dan
orang awam bisa melakukannya karena mereka juga bisa mengenal maslahat. Bahkan,
orang-orang profesional dan para spesialis mungkin lebih mampu mengenal
maslahat ketimbang para ulama.
Argumentasi Syafi'i ini dibantah.
Orang-orang yang membolehkan istihsan mensyaratkan jenis maslahat harus diakui
Allah walaupun tidak ada nash khusus tentang hal itu. Selain itu, istihsan juga
harus diterapkan dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya. Tentunya ini tak
bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang alim yang mengetahui syariat dari
sumber-sumbernya dan bentuk-bentuk maslahat yang ditetapkan syariat
Dengan dalil-dalil yang dicatat
dalam kitab al-Umm dan al-Risalah inilah Syaf'i melandaskan pengingkarannya
terhadap istihsan
4. Guru-Guru Syafi'i
Syafi’i
belajar fikih dan hadis dari guru-guru yang tempat tinggalnya jauh dan memiliki
metode yang beragam. Bahkan, sebagian gurunya ada yang berasal dari kelompok
Mu'tazilah yang menggeluti ilmu kalam, ilmu yang dilarang Syafi'i untuk
ditekuni. Syafi’i telah mendapatkan segala kebaikan dari mereka. Ia mengambil
apa yang dianggapnya perlu dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan. Ia
belajar dari guru-guru yang ada di Makkah, Madinah, Yaman, dan Irak.
Guru pertama
yang didatangi Syafi'i saat ia ingin mempelajari fikih adalah Muslim ibn Khalid
al-Zanji. Kemudian ia mengikuti majelis Sufyan ibn Uyainah. Selanjutnya ia
terdorong pergi ke Madinah untuk menuntut ilmu pada Muslim Ibn Khalid al- Zanji
Malik. Ketika mengalami cobaan, terpaksa ia harus hijrah ke Irak. Di sana ia
menulis kitab-kitab Muhamamad ibn al-Hasan dan memper-dengarkan bacaannya
kepadanya.
Mereka
adalah guru-guru Syafi’i yang paling berpengaruh bagi Syafi'i. Terlebih Sufyan
ibn Uyainah dan Malik. Jika nama para ulama disebutkan maka Malik-lah yang
menjadi bintangnya, seperti yang disebutkan Syafi'i.
Syafi'i Menerima Banyak Hal
Syafi'i
memiliki banyak guru dari berbagai wilayah dengan bermacam pendapat dan aliran.
Abu al-Walid ibn Abi al-Jarud berkata, "Kami tengah berbincang bersama
teman-teman kami, penduduk Makkah, bahwa Syafi'i mempelajari kitab Ibn Juraij
dari empat orang guru: Muslim ibn Khalid, Sa'id ibn Salim (keduanya ahli
fikih), Abdul Majid ibn Abdul Aziz ibn Abi Rawwad (orang yang paling mengenal
Ibn Juraij), dan dari Abdullah ibn Harits al-Makhzumi. Saat kepemimpinan fikih di Madinah dipegang
oleh Malik ibn Anas, Syafi’i bergegas mendatanginya dan belajar darinya. Ketika
ilmu fikih di Irak dipegang oleh Abu Hanifah, Syafi'i mulai belajar dari murid
sang imam, Muhammad ibn al-Hasan. Pada diri Syafi'i terdapati ilmu ahli rakyu
dan ilmu ahli hadis. Ia mendalaminya sampai bisa menyusun kaidah-kaidah dan
pokok-pokok fikih, sehingga para pendukung dan penentang menjadi tunduk
padanya. Walhasil, ia menjadi terkenal dan sering disebut orang hingga
derajatnya meningkat.
Berikut kita
paparkan orang-orang yang menjadi guru Syaf'i dan tempat ia menuntut ilmu di setiap wiayah:
Guru Syafi’i Di Makkah
Sufyan ibn
Uyainah ibn Imran al-Hilali, Abdurrahman ibn Abdullah ibn Abi Mulaikah,
Abdullah ibn al-Muammil al-Makhzumi al-Makkiy, Abdurrahnan ibn al-Hasan ibn
al-Qasim al-Aziqqiy al-Ghassani, Ibrahim ibn Abdul Aziz ibn Abdul Malik ibn Abi
Mahdzurah, Utsman ibn Abi al-Kuttab al-Khuza'i al-Makkiy, Muhammad ibn Ali ibn
Syafi', Muhammad ibn Abi al-Abbas ibn Uismap ibn Syafi, Ismail ibn Abdullah iba
Qasthanthin al-Muqri, Muslim ibn Khalid al-Zanjiy, Abdullah ibn al-Harits ibn
Abdul Malik al-Makhzumi, Hammad ibn Tharif, al-Fudhail ibn ‘iyyadh, Abdul Majid
ibn Abdul Aziz ibn Abi Ruwwad, Abu Shafwan Abd ibn Sa'id ibn Abdul Malik ibn
Marwan ibn al-Hakam, Muhammad ibn Utsman ibn Shafwan al-Jumahi, Sa'id ibn Salim
al-Qaddah al-Makkiy, Daud ibn Abdurrahman al-Aththar, dan Yahya ibn Salim al-
Thaifiy.
Mungkin tak
seorang alim pun yang memillki guru sebanyak Syafi’i, dengan berbagai latar
mazhab yang berbeda dan wilayah yang beragam. Di Makah Syafi'i belajar dari
ulamanya yang paling hebat.
Guru Syafi’i Di Madinah
Malik ibn
Anas ibn Abi Amir al-Ashbahi, Ibrahim ibn Saad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn
Auf, Abdul Aziz ibn Muhammad al-Darudi, Abu Ismail Hatim ibn Ismail al-Muzanni,
Anas ibn Iyyadh ibn Abdurrahman al-Laitsi, Muhammad ibn Ismail ibn Abi Fudaik,
Abdullah ibn Naf' al-Shaigh, Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Yahya al-Aslami,
al-Qasim ibn Abdullah ibn Umar al-Umari, Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam,
Aththaf ibn Khalid al-Makhzumi, Muhammad ibn Abdullah ibn Dinar, Muhammad ibn
Amr ibn Wagid al-Aslami, dan Sulaiman ibn Amr.
Di Madinah Syafi’i mendatangi ulamanya yang
paling hebat, yaitu Malik ibn Anas dan belajar darinya. Selain itu, ia juga
belajar dari ulama lain.
Guru Syafi'i dari Wilayah Lain
Mereka
berasal dari berbagai wilayah, di antaranya adalah Hisyam ibn Yusuf
al-Shan'ani, Muthrif ibn Mazin al-Shan'ani, Abu Hanifah ibn Sammak ibn al-Fadh,
Muhammad ibn Khalid al-Jundi, Muhanimad ibn Abdurrahman al-Jundi, Abu Hafash
'Amr ibn Abi Salamah, Ayyub ibn Suwaid al-Ramli, Yahya ibn Hassan al-Tannisi,
Abu Usamah Hammad ibn Usamah al-Kufi, Marwan ibn Muawiyah al-Fazzari, Abu
Muawiyah al-Dharir, waki’ ibn al-Jarrah, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani
al-Kufi, Abdul Wahhab ibn Abdul Majid al-Tsaqfi, Ismail ibn Ibrahim ibn
"Iliyyah al-Mashri, Yusuf ibn Khalid al-Tamimi al-Bashri, Umar ibn Jubair
al-Qadhi, Abu Quthn Amr ibn al-Haitsam ibn Quthn al-Qath'i al-Bashri, Sa’id ibn
Maslamah ibn Hisyam ibn Abdul Malik ibn Marwan, dan Lain-lain.
Kombinasi yang Kuat
Demikianlah,
Syafi’i menuntut ilmu dari banyak guru, para pemilik mazhab dan aliran yang
berbeda-beda. Ia belajar fikih mazhab yang paling menonjol pada zamannya. Ilmu
yang berlimpah itu meresap dalam diri Syafi'i, menjadi satu kombinasi fikih
yang kuat, berisikan berbagai aliran yang menyatu secara proporsional dalam
dirinya. Darinya terlahir makna-makna yang bersifat umum yang disusun Syafi’i
dan disebarkan di masyarakat dalam sebuah paparan yang menakjubkan dan ucapan
yang kokoh.
Semua regam
ilmu yang dipelaJari Syafi’i meresap ke dalam dirinya sehingga membentuk setu
kombinasi fikih yang berkarakter kuat. Darinya terlahir makna-makna umum yang
disusun Syafi’i dan dipersembahkan kepada masyarakat dengan paparan yang baik
serta kalimat yang lugas dan jelas.
BAB XVI
MURID-MURID SYAFI'I
Murid-murid Syafi'i
Mazhab
Syafi'i tidak akan tersebar jika murid-muridnya tidak dipersiapkan untuk
mengemban ilmu itu, meriwayatkan, dan menyebarkannya ke seantero negeri. Banyak
ulama mujtahid, tapi nama dan peran mereka tidak terabadikan seperti halnya empat imam mazhab. Karena, mereka
tidak memiliki murid yang menyebarkan ajaran-ajaran dan mazhabnya, seperti
empat imam tersebut.
Murid-murid
adalah media yang paling penting dalam mengusung ilmu dan menyebarkannya. Keempat
mazhab besar bisa sampai ke tangan kita karena peran para murid mereka. Banyak
sekali mazhab yang tidak sampai kepada kita karena imamnya tak memiliki murid
yang menyebarkan ajaran-ajarannya.
Para Sahabat Syafi’i Berkumpul Di
Sekelilingnya
Syafi'i meninggalkan
banyak murid yang berkualitas dan terkenal. Mereka yang kita sebut sebagai
murid sebenarnya adalah para pemimpin dan pengusung ilmu serta teman setia bagi
para imam. Mereka sebenernya adalah para imam dan ulama. Syafi’i memiliki
banyak sababat dan murid di Hijaz, Irak, dan di Mesir.
Daud ibn Ali
berkata, "Tak pernah orang-orang mulia berkumpul di sekeliling seseorang
seperti mereka berkumpul di sekeliling Syafi’i" Itu tak lain karena
kemuliaan nasab dan kedudukannya sebab Syafi'i termasuk kerabat dan keluarga
Nabi SAW. Selain itu, karena kebenaran agama dan kesucian akidahnya dari hawa
nafsu dan bid'ah.
Sebab
lainnya adalah karena kedermawanan dan kemuliaan jiwa Syafi’i serta
pengetahuannya tentang hadis-hadis sahih dan hadis yang tidak sahih sangat
mendalam. Syafi'i dikeliingi para murid karena ia memiliki pengetahuan tentang
násikh dan mansukh, menguasai Kitab Allah dan sunnah Rasulullah, mengetahul
sirah Nabi SAW, serta para khalifahnya.
Juga karena
kemampuan Syafi'i dalam beradu argumentasi dengan para penentangnya dan Karena
ia banyak mengarang kitab yang lama maupun yang baru.
Sebab
terakhir adalah karena ia selalu disayangi oleh para sahabat dan
murid-muridnya. Murid-murid Syafi’i memiliki andil besar dalam meryebarkan
mazhabnya ke seantero negeri. Di antara keutamaan yang dimiliki Syafi'i adalah
ia memiliki banyak murid, tidak seperti imam lainnya.
1. Murid Syafi'i Di Hijaz
Di antara murid Syafi'i yang
paling terkenal di Hijaz ada empat orang:
a.
Muhammad Ibn Idris
Ia biasa dijuluki Abu Bakar.
Namanya sama dengan nama gurunya. Ia selalu menemani Syafi'i ke mana pun pergi
dan banyak meriwayatkan darinya. Sayangnya, ia tidak pernah menulis dan tidak
mengajar karena itu namanya tidak banyak dikenang seperti yang lain.
b.
Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Al-Abbas
Ibn Utsman Ibn Syafi' Al-Muththalibi
Julukannya adalah Abu Ishaq. Ia
sepupu Imam Syafi'i. Ia tumbuh dan berkembang di rumah yang penuh ilmu dan
kemuliaan. Bapaknya termasuk salah seorang perawi hadis, begitu pula kakeknya dari
pihak ibu, Muhammad ibn Ali ibn al-Syafi’.
Abu Ishaq banyak belajar dari
seorang imam yang mulia bernama Hammad ibn Zaid dan Imam Sufyan ibn Uyainah.
Kemudian ia juga menuntut ilmu dari Imam Syafi'i, tapi tidak banyak
meriwayatkan darinya di bidang fikih. Hubungannya terputus dengan Syafi'i saat
Syafi'i hijrah ke Mesir.
Abu Ishaq adalah seorang muhaddis
yang terpercaya. Banyak ahli hadis meriwayatkan darinya dan memujinya. Imam
Ahmad ibn Hanbal juga pernah memujinya. Para ahli hadis penulis enam kitab
besar hadis (al-Kutub al-Sittah) juga meriwayatkan darinya. Ia cukup memiliki
andil besar dalam periwayatan hadis. Ia hidup di Makkah dan meninggal di sana
pada 237 Hijriah.
Muhamad ibn Idris, namanya sama
dengan nama gurunya. Ia selalu menyertai sang guru ke mana pun pergi dan
belajar darinya. Akan tetapi, ia tidak menulis dan tidak mengajar.
c.
Musa Ibn Abi Al-Jarud Al-Makkiy (Abu
Al-Walid)
Ia adalah seorang mufti kota
Makkah yang kualitas keagamaan, amanat, dan kewarakannya diakui semua orang. Ia
juga terkenal banyak menghafal catatan dan tulisan Imam Syafi'i. Ia banyak meriwayatkan hadis dari gurunya.
Darinya juga diriwayatkan kitab al-Amali. Para ulama hadis menganggap Abu
al-Jarud sebagai salah seorang pembesar ahli fikih dari Makkah yang bermazhab Syafi'i
ia sangat menguasai fikih, mencatat hadis, dan mencatat beberapa masalah fikih.
d.
Imam Abu Bakar Al-Humaidi
Ia adalah seorang ahli fikih dan
ahli hadis yang terpercaya. Dia termasuk orang alim yang memiliki keutamaan. Ia
banyak belajar dari Sufyan ibn Uyainah, lalu belajar dari Imam Syafi'i, bahkan
menjadi pengikut setianya. Ia sering membela Syafi'i, mendukung mazhabnya, dan
mencatat sebagian besar buku Syafi’i. Abu Bakar meninggal pada tahun 219
Hijriah di Makkah. Sebetulnya ia pernah ikut Syafi'i ke Mesir, tapi kemudian
kembali ke Makkah setelah Syafi’i meninggal dunia. Para penulis al-Kutub
al-Sittah meriwayatkan darinya. Demikian halnya dengan Bukhari: ia meriwayatkan
sebanyak 75 hadis darinya.
Mereka adalah orang-orang yang belajar dan
mendalami ilmu fikih dari Syafi'i di Makkah. Nama mereka disebut-sebut di
antara sekian murid Syafi'i lainnya. Mereka cukup lama bersahabat dengan
Syafi'i, tapi mereka tidak terlalu berperan besar dalam mengabadikan
ajaran-ajaran Afikih Syafi’i, kendati mereka sangat dikenang dalam periwayatan
hadis.
2. Murid Syafi'i Di Irak
Di antara sahabat Syafi'i dan
pengikutnya di Irak adalah sebagai berikut:
a.
Imam Ahmad Ibn Hanbal
Ia adalah pemuka ahli hadis pada
zamannya yang keilmuannya tidak diragukan oleh para pengikut dan penentangnya
yang memiliki pandangan objektif. Ia termasuk murid Syafi'i yang paling
menonjol dan paling banyak menemaninya. Dialah yang memerintahkan mencatat
semua kitab-kitab Syafi’i. Ia senang menghadiri majelis Imam Syafi'i,
membelanya, dan menyeru masyarakat untuk datang ke tempatnya. Imam Ahmad pernah
bertutur bahwa ia tak pernah menemukan orang seperti Syafi'i. Ia banyak
meriwayatkan dari Syafi'i.
Syafi'i menuturkan tentang Ahmad ibn Hanbal
ini, "Aku keluar dari Baghdad dan tidak kutinggalkan seorang yang lebih
ahli fikih, warak, zuhud, dan lebih berilmu dari Ahmad."
Menurut Abu Zar ‘ah, imam Ahmad
telah menghafal sejuta hadis. Ibrahim al-Harbi menuturkan, "Aku
melihat Ahmad seakan Allah menghimpun
semua ilmu orang-orang terdahulu dan terakhir pada dirinya.
Qutaibah berkata, "jika
kulihat seseorang mencintai Ahmad, ketahuilah bahwa ia adalah golongan ahili
sunnah dan ahli hadis.”
Imam Ahmad dipenjara oleh
al-Mu'tashim karena masalah doktrin "kemakhlukan Al-Quran” selama dua
puluh delapan bulan. Ketika al-Mutawakkil menjabat Khalifah, ia sangat
menghormati Ahmad. Ahmad meninggal dunia pada 241 Hjriah. Semoga Allah
merahmatinya.
b.
Ibrahim Ibn Khalid Al-Kalbi (Abu
Tsaur)
Ibn Hibban berkata, "Abu
Tsaur termasuk salah seorang imam dalam ilmu fikih, kewarakan, dan kebaikan.
Imam Ahmad pernah ditanya pendapatnya tentang Abu Tsaur. Ia menjawab, "Aku
mengenalnya sejak lima puluh tahun. Bagiku, ilmunya setaraf dengan ilmu Sufyan
al-Tsauri.
Abu Tsaur termasuk orang yang
paling utama dalam ilmu fikih, tentang halal dan haram. Seseorang datang
bertanya kepada Imam Ahmad tentang halal dan haram, tapi sang imam tidak mau
menjawabnya. Ia lalu menyuruh orang itu untuk bertanya kepada orang lain.
"Ia menginginkan jawaban darimu, wahai
Abu Abdullah," kata seseorang yang hadir di sana.
Imam Ahmad menjawab,
"Tanyalah pada orang lain, tanyalah pada para ahli fikih, tanyalah pada
Abu Tsaur!"
Dari sini kita tahu kedudukan Abu
Tsaur. Abu Tsaur banyak meriwayatkan dari Sufyan ibn 'Uyainab, Ibn Illiyah,
Syafi'i, Abdurrahman ibn Mahdi, Yazid ibn Harun, dan ulama lainnya. Darinya
juga, Muslim meriwayatkan hadis-hadis yang termaktub di luar kitab Shahih-nya.
Demikian pula Abu Daud, Ibn Majah, dan Abu Qasim al-Baghawi.
Abu Tsaur sangat loyal kepada
Imam Syafi'i, walau ia memiliki fikih tersendiri. Ia termasuk salah seorang
perawi besar bagi fikih Syafi'i di Irak yang biasa disebut fiqh qadim (fikih
lama) Syafi'i. Ia meninggal dunia pada 237 Hijriah.
c.
Muhammad Ibn Al-Hasan Ibn
Al-Shabah Al-Za'farani (Abu Ali)
Abu Ali adalah imam ketiga yang
termasuk murid Syafi’i di Irak. Ia seorang imam yang sangat mulia, seorang ahli
fikih dan ahli hadis, fasih, terpercaya, dan konsisten. Ia banyak menuntut ilmu
dari ulama besar pada zamannya seperti Ibn Uyainah, Waki, Yazid ibn Harun, dan
lain-lain. Tadinya, fikih Abu Ali beraliran fikih Irak (fikih mazhab Abu
Hanifah), tapi saat Syafi'i datang ke Irak, ia sering mengunjunginya. Syafi’i
membuatnya kagum dan penuh hormat. Ia menemukan pendapat-pendapat yang selama
ini ia pegang, ternyata Syafi'i-lah yang memberikan argumentasi-argumentasinya.
Oleh karena itu, ia menjadi salah seorang murid Syafi'i.
Para ulama sepakat akan sifat
amanahnya dan kejujuran riwayatnya. Al-Mawardi berkata, "ia adalah perawi
lama yang paling konsisten. Bukhari meriwayatkan darinya, begitu pula Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah. Ia seorang imam yang menghafal mazhab Syafi’i
di Irak, atau yang biasa dikenal dengan fikih lama Syafi'i (mazhab qadim).
Orang-orang berkata, "Ada empat orang yang menghafal mazhab qadim. Mereka
itu adalah Ahmad ibn Hanbal, Abu Tsaur, Imam al-Karabisi, dan al-Za'farani (Abu
Ali).
Ia termasuk orang yang paling
fasih dan teliti dalam berbahasa. Tidak ada murid Syafi’i yang lebih fasih
berbahasa dari al-Za’farani. Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan darinya.
Al-Za'farani berkata, "Syafi'i datang ke daerah kami dan kami pun
berkumpul di sekelilingnya. Syafi'i berkata, 'Carilah orang yang dapat membaca
untuk kalian: Tetapi tak seorang pun yang berani membaca di hadapannya kecuali
aku. Ketika itu aku paling muda, Belum ada sehelai bulu pun di wajahku. Aku
sangat bangga karena lisanku dapat berbicara dengan lancar di hadapan Syafi’i,
dan Imam Syafi’i mendengarkan bacaan Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Za'farani
aku bangga dengan keberanianku saat itu. Ketika itu aku bergumam, Aku bukanlah
orang Arab, aku hanya berasal dari kampung bernama al-Za'faraniyah.
Syafi'i lalu berkata, Kau adalah pemuka desa
ini.
Al-Za’farani adalah pengucap satu
kalimat terkenal, "Para ahli hadis tertidur hingga datang Syafi'i. Maka,
Syaf'i-lah yang menggugah mereka hingga mereka terbangun."
Dia pula yang berkata, "Tak seorang
pun yang membawa tempat tinta kecuali Syafi'i akan memberikan imbalan untuknya.
Ia meningal dunia pada 260 Hlijriah di bulan
Ramadhan. Semoga Allah merahmatinya.
d.
Abu Abdurrahman Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Yahya Al-Asy'ari Al-Bashri
Ia adalah murid yang paling
terobsesi dengan Syafi’i dan paling terpengaruh oleh kepribadiannya. Ia juga
orang yang paling membela mazhab Syafi'i, khususnya setelah sang imam pergi
dari Irak dan tinggal di Mesir. Sikapnya itu membuatnya diberi gelar
"al-Syafi’i karena selalu membela mazhab Syafi'i di Baghdad saat
orang-orang menyerangnya.
Ia termasuk ulama yang paling
menonjol dan ahli ilmu kalam yang paling cerdas. Ia mengetahui ijma dan segala
macam perbedaan pendapat (al-ihtilaf). Kedudukannya sangat tinggi di hadapan para
penguasa. Ia banyak mengetahui hadis dan atsar, berilmu luas serta memiliki
kemampuan meneliti dan berdebat. Ia adalah orang yang pertama menggantikan
Syafi'i di Irak dalam membela prinsip-prinsipnya, mazhabnya, dan selalu
mendukung pendapat-pendapatnya hingga ia mendapatkan gelar 'al-Syafi'i:. Ia
memiliki banyak karya dan ia meninggal dunia di Baghdad. Semoga Allah
merahmatinya.
e.
Abu Ali Al-Husain Ibn Ali Ibn
Yazid Al-Karabisi
Dia termasuk ulama besar yang
ditinggalkan Syafi'i di Baghdad dan salah satu dari empat orang yang
meriwayatkan fikih Syafi’i di Irak. Ia juga seorang imam yang mulia, alim. dan
piawai. Selain itu. Abu Ali juaa diangkat sebagai mufti resmi oleh pemerintah
di sana Keahliannya dalam dialog tidak diragukan. Tadinya ia bermazhab fikih
Irak. Akan tetapi, ketika Syafi'i datang, ia belajar darinya dan banyak membaca
Kitabnya dari al-Za’farani.
Dalam kitab Thabaqat karya Ibn
al-Sabki, diriwayatkan dari al-Karabisi bahwa ia berkata, Ketika Syafi'i datang
aku menemuinya. Aku berkata kepadanya, Apakah kau memperkenankan aku untuk
membaca kitab-kitab di hadapanmu?" Ia menolak ia lalu berkata, 'Ambil
kitab al-Za’farani, aku telah memberinya ijazah (rekomendasi) untuk kau
bacakan.
Al-Za’farani mulai menulis
kitab-kitab besar di bidang ushul fikih dan cabang-cabangnya, ilmu hadis, serta
ilmu al-jarh wa ta’dil, hingga orang-orang berkata, "Kitab-kitabnya
mencapai 200 jilid.”
Di mata para petinggi dan rakyat
jelata, al-Karabisi sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi. Ia sangat
dekat dengan imam Ahmad. Ketika terjadi fitnah berkenaan dengan doktrin
"kemakhlukan Al-Quran, ia berpendapat moderat antara mazhab Ahli Sunnah
yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah dan pendapat Mu'tazilah yang
menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ia berkata, Al-Qur'an bukan makhluk,
sementara lafaznya adalah makhuk.” Mendengar pendapatnya ini, Imam Ahmad marah
padanya. Kemungkinan besar inilah yang menjadi sebab ia kehilangan kedudukan
keilmuannya di mata para ulama, terutama Imam Ahmad dan Abu Tsaur.
Nama al-Karabisi dinisbahkan
kepada al-Karabis yang artinya "pakaian tebal karena ia memperjual belikan
pakaian itu. AI-Karabisi meninggal dunia pada 284 Hlijriah. Semoga Allah
merahmatinya.
3. Murid-Murid Syafi'i Di Mesir
Di antara sahabat dan pengikut
Syafi’i yang menjadi muridnya di Mesir adalah sebagai berikut:
a.
Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya
Al-Buwaithi
Ia adalah murid pertama Syafi'i
di Mesir. Namanya dinisbahkan kepada Buwaithi, desa di Mesir. Al-Buwaithi
merupakan sahabat Syafi’i yang paling utama dari Mesir. Ia juga seorang imam
yang mulia, taat beribadah, zahid, ahli flkih, ahli debat, dan ahli agama. Ia
belajar ilmu fikih dari Syafi’i dan selalu menemaninya ke mana saja ia pergi.
Syafi'i banyak mengandalkan
al-Buwaithi dalam fatwa. Ia juga sering diminta Syafi'i untuk menggantikannya
mengajar di majelisnya. Al-Buwaithi lebih diutamakan ketimbang Muhammad ibn
Abdullah ibn Abdul Hakam, padahal Syafi'i sangat mencintai Abdullah ibn Abdul
Hakam. Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan kedudukannya yang tinggi di mata Imam
Syafi'i
Al-Buwaithi pernah diuji dalam
masalah fitnah doktrin "kemakhlukan Al-Quran. Ia salah seorang yang
dipaksa untuk meninggalkan agamanya dan di siksa. Ia pernah ditawan cukap lama
dan diasingkan dari keluarganya. Al-Buwaithi dicekal karena menolak mengucapkan
bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ia tetap bersabar di jalan Allah hingga
meninggal dalam penjara dengan tetap kokoh menjaga agamanya dan tidak mengikuti
apa yang diinginkan penguasa.
Seorang sipir penjara menuturkan,
"Saat dipenjara, al-Buwaithi selalu mandi setiap hari Jumat, memakai
minyak wangi, mencuci baju, lalu keluar penjara jika ia mendengar adzan.
Kemudian seorang sipir memaksanya masuk dan berkata, Kembalilah, semoga Allah
merahmatimu! Al-Buwaithi lantas menjawab, Ya Allah, aku telah memenuhi seruan-Mu,
tapi mereka melarangku".
Di antara kalimat hikmah yang
dicatat oleh Imam al-Buwaithi dalam penjara kemudian dikirim kepada Imam
al-Rabi' adalah:
"Telah datang kepadaku
saat-saat aku tidak lagi merasakan pedihnya besi yang menimpa tubuhku, hingga tanganku
menyentuhnya. Jika kau baca suratku ini, perbaikilah akhlakmu terhadap
orang-orang yang menghadiri halaqahmu dan bersikap baiklah kepada orang-orang
asing. Aku banyak mendengar Syafi'i melantunkan bait syair ini,
Kuhinakan jiwaku untuk mereka, agar
kumuliakan ta dengan mereka
Jiwa takkan dimuliakan selama ia
sendiri tidak menghinakan dirinya
Imam al-Buwaithi termasuk salah
seorang murid Syafi'i yang paling hebat dan pengurus halaqah Syafi'i setelah
Syafi’i tiada. Ia menghafal fikih Syafi'i dan mengajarkannya, tapi ia hanya
menulis kitab al-Mukhttashar yang ia simpulkan dari ucapan-ucapan Syafi’i. Abu
Ashim berkata tentang kitab ini, "Sungguh, kitab ini sangat baik.”
Imam al-Buwaithi meninggal dunia pada 231
Hijriah di penjara Baghdad. Semoga Allah merahmatinya
b.
Al-Rabi’ Ibn Sulaiman Abu
Muhammad
Al-Rabi' adalah imam kedua dari
Mesir yang menjadi murid Syafi'i. Ia adalah putra Abdul Jabbar ibn Kamil al-Muradi. Tugasnya sebagai muadzin
di masjid agung Fusthath hingga ia meninggal dunia. Ia orang yang mulia dan
penulis buku yang terpercaya dan konsisten dalam periwayatannya.
Dalam al-Intiqa, Ibn Abdul Barr
berkata, "ia sealu menemani Syafi'i dan banyak mendapat ilmu darinya. Ia
juga yang selalu melayani Syafiit. Setelah Syafi'i meninggal dunia, para
penuntut ilmu banyak yang datang kepadanya untuk belajar dan mengaji
kitab-kitab Syafi'i".
Yaqut berkata tentangnya, "Al-Rabi'
adalah sahabat setia Syafi'i. Ia meninggal dunia pada tahun 270 hijriah dan dia
orang terakhir yang meriwayatkan dari Syafi’i.
Al-Rabi orang yang mulia dan penulis buku. Ia meri wayatkan semua kitab
Syafi'i dan banyak orang yang mengutip darinya.”
Di akhir kitab, Manaqib Syafi'i, al-Baihaqi
berkata, "Al-Rabi' ibn Sulaiman al-Muradi adalah periwayat Kitab-kitab
Syafi'i. Jika kata al-Rabi’ disebutkan dalam periwayatan kitab-kitab, berarti
dialah al-Rabi' ibn Sulaiman. Karena, dialah yang biasa meriwayatkannya Sebelum
kedatangan Syafi'i ke Mesir, al-Rabi' menuntut ilmu dari para ulama besar, di
antaranya Ibn Wahab, sahabat Imam Malik, al-Laits, dan lain-lain. Banyak ulama
hadis meriwayatkan darinya, seperti Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Tirmidzi.
Al-Rabi dikaruniai Allah usia yang panjang. Ia
dilahirkan pada tahun 174 Hijriah dan meninggal dunia pada tanggal 20 Syawal
tahun 270 Hijriah. Semoga Allah merahmatinya.
c.
Al-Rabi Ibn Sulaiman A-Jizl
Ia termasuk murid Syafi'i yang
berasal dari daerah Giza. Julukannya adalah Abu Muhammad ilmunya di bidang
fikih dan ushul fikih sangat luas, begitu juga dalam cabang-cabang mazhab
Maliki sebelum datang Imam Syafi'i. Ia meriwayatkan dari Abdullah ibn Wahab,
sahabat Imam Malik, Abdullah ibn Abdul Hakam, Ishaq ibn Wahab, dan lain-lain.
Banyak ulama besar meriwayatkan
darinya, seperti para penulis al-Kutub al-Sittah dan sebagainya. Al-Rabi'
al-jizl orang yang berakal cerdas dan toleran. Bukti sikap toleransinya adalah
ketika ia melewati satu jalan, tiba-tiba seseorang melemparkan debu ke arahnya.
Ia turun dari kendaraannya dan menyingkirkan semua debu dari tubuhnya. Ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian ada yang berkata kepadanya, Apa kau
tidak mau menghardiknya?"
Ia menjawab, "Barang siapa
berhak mendapatkan api neraka, tapi diganti dengan ditimpa debu, maka ia
beruntung" Maknanya al-Rabi' merasa berhak mendapat api neraka, tapi ia
tertimpa debu. Karena itu ia beruntung. Ia meninggal pada bulan Dzulhijah tahun
256 Hijriah. Kuburannya berada di Giza. Semoga Allah merahmatinya.
d.
Sulaiman Ibn Yahya Ibn Ismail
Al-Muzanni
Ia adalah seorang imam besar dan
mulia. Ia salah seorang murid Syafi'i dan bergelar Abu Ibrahim dari Mesir. Ia
pendukung mazhab Syafi’i yang sangat loyal, ahli fikih, dan ahli debat. Ia
memilik pengetahuan yang luas dan kemampuan berdebat dengan baik. Ia orang yang
warak dan zuhud. Syafi’i bertutur tentangnya, Jika setan mengajaknya berdebat,
niscaya al-Muzanni akan mengalahkannya.”
Syafi'i juga berkata, "Al-Muzanni adalah
sahabat mazhabku.”
Al-Muzanni bagi Syafi'i seperti Muhammad ibn
al-Hasan bagi Abu Hanifah atau seperti Abu-al-Qasim dan Ibn Wahab bagi Imam
Malik .
Al-Muzanni menulis banyak buku
tentang mazhab Syafi'i, di antaranya adalah al-Jami" al-Kabir,
al-Jami" al-Shaghir, al-Mukhtashar, al-Mantsur, al-Masa'il al-Mu'tabarah,
al-Watsa’iq, al-Targhib fi al-Ilmi, dan lain-lain. Semuanya ia nukil dari
Syafi’i.
Tentangnya, Ibn Hajar berkata,
"Al-Muzanni menulis kitab al-Mabsût dan al-Mukhtashar min Ilm al-Syáfi'i.
Ia pakar dalam berdebat, taat beribadah, rendah hati, dan kaya jiwa. Di antara
bukti ketekunan dan ketakwaannya adalah setiap kali ia menulis satu masalah
agama, terlebih dahulu ia melaksankan shalat dua rakaat. Ia sampai pada tingkat
kezuhudan yang jarang sekali diraih oleh para ulama Sebagian ulama Khurasan,
Irak, dan Syam meriwayatkan hadis dari al-Muzanni. Ia meninggal dunía pada
tanggal 24 Ramadhan tahun 264 Hijriah.
e.
Yunus ibn Abdul A'la al-Shadafi
Ia termasuk tokoh murid Syafi’i
di Mesir. Ia bagaikan ensiklopedia berjalan di bidang agama. Ia sering
meriwayatkan dari Sufyan ibn Uyainah dan Abdullah ibn Wahab. Muslim, Nasa’i,
ibn Majah, dan lain-lain meriwayatkan hadis darinya.
Yunus adalah pakar sejarah dan
berita-berita terdahulu, serta banyak mengenal hadis. Ia mengetahui hadis yang
sahih dan yang cacat. Ia ahli membaca Al-Quran, belajar qira’ah dari Warasy dan
ulama lainnya. Yunus termasuk orang yang paling pandai pada zamannya. Ia
menemani Syafi'i cukup lama dan selalu menghadiri majelisnya. Dari Syafi'i, ia
banyak mengambil hadis dan fikih. Imam Syafi’i sangat mempercayai dan
membanggakannya. ibn Amr ibn Khalid berkata, "Aku mendengar ayahku
berkata, "Syafi'i berkata kepadaku, "Wahai Abu al-Hasan, lihatlah pintu
ini (pintu pertama masjid). Aku pun melihat pintu yang dimaksud. Ia lalu
berkata, "Tak seorang pun yang masuk pintu itu lebih berakal dari Yunus
ibn Abdul Ala."
Ketika al-Qadhi Bakkar masuk ke Mesir, ia
bertanya kepada Muhammad ibn al-Laits, pembesar ulama di sana, "Siapa yang
harus kutanya di Mesir? Siapa yang bisa aku percaya?"
Al-Laits lalu menajwab, "Kau
harus datang kepada dua orang. Pertama, orang yang berakal, Yunus ibn Abdul
Ala. Kedua, hamba yang taat beribadah dari daerah Zahhad." Ia menyebutkan
namanya.
Yunus meriwayatkan banyak hikmah
dari Imam Syafi’i. Di antara hikmah yang diriwayatkan darinya adalah, seperti
penuturannya, "Aku mendengar satu hikmah dari Imam Syafi'i yang tidak
pernah terdengar kecuali dari orang seperti dia, yaitu keridaan manusia adalah
tujuan yang tak bisa diraih. Karena itu, perhatikan apa yang baik bagi agama
dan duniamu. Laksanakanlah hal itu Ia juga meriwayatkan dua bait syair dari
Syafi'i,
Tak ada yang bisa menggaruk
kulitmu seperti kukumu
Maka, lakukanlah sendiri segala
urusanmu
Jika kau ingin menunaikan satu
hajat
Maka datangilah orang yang
mengakui keutamaanmu
Yunus memiliki tingkat keilmuan
yang membuat Imam Ibn Jarir al-Thabari belajar darinya. Usia hidupnya cukup
panjang, yaitu 96 tahun. Semoga Allah merahmatinya.
f.
Harmalah Ibn Yahya Ibn Harmalah
At-Tajibi
Ia adalah imam terakhir yang
ditinggal Syafi’i di Mesir. Tentangnya dikisahkan, "Ketika Syafi'i hijrah
dari Irak ke Mesir, ia menjadi tamu di tempat Harmalah. Harmalah adalah seorang
yang sangat mulia dan terhormat. Ia memiliki kedudukan dan wibawa yang tinggi.
Ia meriwayatkan banyak kitab dari Syafi’i, seperti kata Ibn Abdul Barr, yang
tidak diriwayatkan oleh al-Rabi' al-Muradi. Di antaranya kitab al-Syurüth yang
terdiri dari tiga juz, al-Sunan, sepuluh juz, Alwan al-Ibil wa al-Ghanam wa
Shifatuha wa Asnanuha, al-Nikah, dan lainnya yang khusus ia riwayatkan sendiri
dan tak diriwayatkan oleh al-Rabi.
Ia memiliki kedudukan dan tempat
yang mulia di hati Imam Syafi'i. Ia juga lebih diutamakan dibandingkan
murid-muridnya yang lain. Selain kitab-kitab yang diriwayatkan, ia juga menulis
kitab al-Mabsüth dan kitab ringkasan (al-Mukhtashar) yang bertajuk Mukhtashar
Harmalan, Di bidang hadis, ia termasuk perawi yang tsiqah (terpercaya)
Ia pernah meriwayatkan dari Ibn Wahab, murid
Imam Malik, dan hubungannya sangat erat dengannya. Saat Ibn Wahab tak mau
menjadi seorang hakim, ia bersembunyi di rumah Harmalah. Dari ibn Wahab,
Harmalah cukup lama mendengarkan hadis dan mendapat kesempatan yang tidak
didapat orang lain. Dari Harmalah juga, Muslim meriwayatkan beberapa hadis
dalam Shanihnya. Begitu pula Ibn Majah dan Nasa’i.
Ia dianugerahi usia sampai 78
tahun. Seluruh usianya penuh dengan ilmu, kebaikan, dan berkah. Ia meninggal
dunia di Mesir pada tahun 266 Hijriah. Semoga Alah merahmatinya.
g.
Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abdul
Hakam
Ia termasuk salah seorang murid
Imam Syafi'i yang bergelar Abu Abduilah. Ia dilahirkan tahun 182 Hijriah.
Bapaknya adalah Abdullah ibn Abdul Hakam, pemimpin mazhab Maliki setelah
Asyhab. Ketika Syafi'i datang ke Mesir, Muhammad ibn Abdullah masih berusia
tujuh belas tahun. Ia mulai menemani Syafi’i dan hubungan keduanya menjadi
sangat erat. Ia menjadi pengikut Syafi'i yang sangat setia. Syafi'i sangat
mencintainya. Di antara mereka terjalin persaudaraan yang tulus, cinta, dan
kasih sayang yang murni. Dan Syafi'i sangat memuliakannya.
Al-Muzanni berkata, "Kami
datang ke tempat Syafi'i untuk mendengar ilmu darinya. Kami duduk di depan
pintu rumahnya. Kemudian Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam datang. ia naik
ke tempat Syafi'i dan berada di dalam cukup lama. Ia ikut makan bersama
Syafi'i, lalu turun kembali. Setelah itu syafi’i menemui kami san mulai membaca kitabnya.
Seusai membacakan kitabnya, ia memberikan seekor unta kepada Muhammad untuk
kendaraannya. Syafi’i terus memerhatikannya dan bergumam, Aku ingin memiliki
anak seperti dia. Sekarang ini aku memiliki seribu dinar dan tidak ada lagi
orang yang layak kuberikan uang itu.”
Para pembesar ulama mazhab Maliki
menentang kepindahan putra pemimpin mereka ke mazhab syafi’i. Mereka berseru
kepada bapaknya, Abdullah ibn Abdul Hakam, "Wahai Abu Muhammad,
sesungguhnya Muhanmad telah beralih ke orang ini dan mendatanginya. Orang-orang
mengira bahwa ia telah membenci mazhabnya (mazhab Maliki)".
Muhammad menuturkan,
"Bapakku pun berusaha bersikap lembut terhadap mereka. Ia berkata,
Muhammad masih kecil. Ia masih suka melihat dan mengenali berbagai pendapat
manusia. Secara rahasia, bapakku berkata kepadaku, Wahai anakku, datangi terus
orang ini. Jika kau keluar dari negeri ini dan berbicara tentang satu masalah,
lalu kau katakan Asyhab (murid Imam Malik), pasti orang-orang akan bertanya
padamu, Siapakah Asyhab?" Tetapi, jika kau katakan Syafi'i orang-orang
langsung mengenalnya karena mereka telah mengetahui kedudukan Syafi’i.”
Muhamamd ibn Adbul Hakam menuturkan,
"Akhirnya aku terus datang kepada Syafi’i dan belajar darinya.”
Muhammad banyak mendengarkan kitab-kitab
Syafi'i. Orang-orang berkata, "Muhammad
telah mendengar kitab: Ahkam al-Qur'an darinya kitab al-Radd yang isinya
merupakan jawaban terhadap pendapat Muhammad ibn al-Hasan, dan kitab al-Sunan.
la juga meriwayatkan kitab al-Washáya dari Syafi'i.”
Ia meninggal pada bulan Dzulqadah
tahun 258 Hijriah. Dalam riwayat lain, tahun 268 Hijriah. Abu Amr al-Sharfi
berkata, "Penduduk Mesir tak ada yang menandinginya dalam keilmuan.”
Setelah Syafi'i wafat, Ia meninggalkan
mazhabnya dan kembali ke mazhab Maliki. Peralihannya ini dilatarbelakangi
pertentangannya dengan al-Bawaithi tentang orang yang berhak menggantikan
Syafi'i seteah wafatnya.
Mereka semua adalah murid-murid Syafi’i yang
paling terkenal. Selain mereka, Syafi'i juga memiliki murid yang tak bisa
dihitung jumlahnya. Kiranya kita cukup menyebutkan beberapa ulama yang memiliki
peran dan pengaruh cukup besar bagi kelangsungan dan penyebaran mazhab Syafi'i
ini. Semoga Allah merahmati semuanya.
BAB XVII
KEPERGIAN TELAH TIBA
1. Pujian Yang Baik
Di awal
kitab ini telah dipaparkan kesaksian para ulama tentang Syafi'i. Di sini kita
ingin menambahkan beberapa kesaksian ulama lainnya tentang keilmuan dan keutamaan
Syafi'i. Al-Fudhail ibn Dakkain berkata, "Tak pernah kami lihat dan dengar
tentang orang yang lebih sempurna akalnya, lebih baik pemahamannya, dan lebih
luas ilmunya dari pada Syafi'i.”
Abu Tsur menuturkan, "Siapa yang mengaku
bahwa ia pernah melihat orang seperti Muhammad ibn Idris dalam hal ilmu,
kefasihan, dan konsistensi, berarti ia telah berdusta. Sungguh, Syafi'i tiada
bandingannya pada masa hidupnya, Ketika ia telah pergi, tak ada yang
mengalahkannya dan tak ada yang menyainginya."
Sufyan ibn
Uyainah, guru Syafi'i, berkata, "Ketika dibacakan sebuah hadis tentang
kelembutan di hadapannya, Syafi'i langsung pingsan. Ada yang menyangka bahwa ia
meninggal dunia. Jika ia meninggal, berarti orang yang paling utama pada
zamannya telah pergi."
Harun ibn Sa'id al-Aili, salah seorang syekh
dan guru Imam Muslim, berkata, "Aku tidak pernah melihat orang seperti
Syafi’i.”
Abu Manshur
al-Azhari menuturkan, "Aku telah mengaji semua kitab yang dikarang oleh
para ahli fikih negeri-negeri Islam. Kulihat kitab Syafi'i paling dalam
ilmunya, paling fasih, dan paling luas wawasannya.”
Imam Para Ulama
Abu ‘Ubaid
al-Qasim ibn Salam berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih
berakal, warak, lebih fasih, dan lebih mulia pendapatnya dari Syafi'i".
Ia juga
bertutur, "Aku tak pernah melihat seorang pun yang lebih sempurna dari
Syafi'i.”
Al-Za'farani
memberikan kesaksiannya, "Aku tidak pernah melihat orang seperti Syafi'i:
tak ada yang lebih mulia, dermawan, bertakwa, dan lebih alim darinya.”
Basyar
al-Muraisi berkata, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih pintar
daripada Syafi'i".
Ahmad ibn
Hanbal berkata, "Tak ada orang yang paling sedikit salahnya saat berbicara
tentang ilmu dan lebih banyak mengambil sunnah Rasulullah SAW. dari
Syafi’i."
la juga berkata,
"Ak tidak menemukan orang yang lebih fasih dan lebih paham tentang ilmu
dari pada Syafi’i.”
Ishaq ibn
Rahawiyah berkata, "Syafi'i adalah imam para ulama. Tak ada orang yang
mengandalkan rakyu (nalar) kecuali Syafi’i lebih sedikit kesalahannya dari orang
itu. Syafi'i betul-betul seorang imam."
Sempurna Dalam Ujian
Yahya ibn
Said al-Syafi’i berkata, "Aku tidak pernah melihat orang yang paling
berakal dan paling menguasai fikih dari Syafi’i.”
Jika
disebutkan tentang Syafi, al-Humaidi berkata, "Pemuka para ahli fikih,
Syafi'i, telah menyampaikan kepada kami…..” Sesekali ia berkata, "Pemuka
para ulama pada zamannya, Syafi'i, berkata...”
Ayyub ibn Suwaid al-Ramli, salah seorang guru
Syafi'i yang meninggal dunia sebelas tahun sebelum Syafi’i, menuturkan,
"Aku tidak berpikir bahwa aku bisa tetap hidup hingga bisa melihat orang
seperti Syafı’i."
Al-Junaidi
berkata, "Syafi’i termasuk penuntut ilmu yang berbicara dengan lisan yang
benar di bidang agama."
Muhammad ibn
al-Hasan, sahabat Abu Hanifah, berkata, "Jika ada orang yang bertentangan
dengan kami dan penentangannya terbukti kuat maka orang
itu adalah Syafi’i.” Ia lalu
ditanya, "Bagaimana bisa?.” Ia menjawab, "Karena kemampuan bayan dan
konsistensinya dalam bertanya, menjawab, dan mendengarkan".
Muammar ibn Syubaib
berkata, "Aku mendengar al-Ma’mun berkata, Aku menguji Muhammad ibn Idris
al-Syafi'i dalam segala hal. Kutemukan ia sangat sempurna.”
Ini adalah
kumpulan kesaksian dan pujian para ulama besar terhadap Imam Syafi'i, dan
pengakuan mereka akan keilmuan serta kemuliaannya. Pengakuan ini datang dari
para pendukung dan penentangnya. Semoga Allah merahmati dan meridai Imam
Syafi’i.
2. Doa Yang Tulus
Syafi’i
telah mengisi relung hati para pendukung dan penentang, guru dan murid, orang
awam dan ulama, dengan cinta dan penghormatan kepadanya. Semua itu berkat
karunia yang diberikan Allah untuknya berupa kemampuan dalam memahami Kitab
Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Selain itu, ia diberi sikap konsisten
mengamalkan keduanya dalam ucapan dan tindakan. Banyak orang melihat bahwa
Syafi'i memiliki jasa besar yang tak bisa dibalas oleh mereka selain dengan doa
tulus untuknya.
Ahmad ibn
Hanbal selalu mendoakannya dan mengakui keutamaan Syafi’i dengan berkata,
"Inilah yang kalian lihat dan dapatkan secara keseluruhan dari Syafi'i.
Selama 30 tahun aku selalu berdoa kepada Allah untuk Syafi'i dan memohonkan
ampunan untuknya."
Yahya ibn
Said al-Qaththan, imam para ahli hadis pada zamannya, berkata, Dalam shalatku
selama empat tahun ini, aku selalu berdoa kepada Allah untuk Syafi’i.”
Ia juga
berkata, "Aku selalu mendoakan Syafi'i secara khusus
Abdurrahman ibn Mahdi berkata,
"Setiap melaksanakan shalat aku selalu berdoa untuk Syafi'i.”
3. Wasiat Syafi'i Menjelang Ajal
Al-Rabi' ibn
Sulaiman menuturkan, Aku berada di samping Syafi'i saat di hadapannya dibacakan
surat wasiat berikut:
Surat ini
ditulis oleh Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas al-Syafi'i pada bulan Syakban
tahun 203 Hijriah. Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui isi hati menjadi saksi dan
orang-orang yang mendengarnya. Syafi’i bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya; Muhammad adalah hamba dan Rasul
Allah. Syafi'i tetap berpegang teguh pada kalimat ini hingga Allah mencabut
nyawanya dan membangkitkannya kembali, insya Allah Syafi'i berwasiat untuk
dirinya sendiri dan orang-orang yang mendengar wasiatnya:
"Hendaknya
mereka menghalalkan apa yang di halalkan Allah dalam Kitab-Nya dan melalui
lisan Rasul-Nya, serta mengharamkan apa yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya
dan sunnah Rasulnya. Hendaknya mereka tidak melampaui hal itu karena dengan
melampaui batas-batasnya berarti mereka meninggalkan kewajiban dari Allah.
Hendaknya mereka meninggalkan apa yang bertentangan dengan Kitab dan sunnah.
Sikap melampaui batas dan melakukan hal yang bertentangan dengan Kitab dan
sunnah adalah bid'ah. Hendaknya mereka menjaga kewajiban dari Allah dalam
ucapan dan perbuatan, serta menjauhi apa yang diharamkan karena takut
kepada-Nya. Hendaknya mereka senantiasa mengingat hari pertemuan dengan Tuhan, Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati
segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu juga kejahatan yang telah
dikerjakannya. Ia ingin kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh
(QS. Ali Imrán (3): 30).
Hendaknya
mereka menghinakan dunia sebagai mana Allah telah menempatkannya di tempat yang
paling bawah. Karena, Allah menjadikan dunia sebagai tempat menetap sementara.
Allah menjadikan akhirat sebagai tempat menetap selamanya serta balasan atas
kebaikan dan keburukan yang telah dilakukan di dunia. Hendaknya mereka berteman
hanya dengan orang yang menjadi teman Allah dan yang menjadikan persahabatan
hanya karena Allah. Hendaknya mereka bergaul dengan orang yang memiliki ilmu
agama dan etika didunia. Setiap orang harus mengenal zamannya dan mengharap
agar Allah men-jauhkannya dari keburukan hingga tidak berlebihan dalam ucapan
dan tindakan. Hendaknya ia mengikhlaskan niatnya kepada Allah dalan ucapan dan
perbuatan. Karena, hanya Allah yang menjadi Penolongnya, sementara yang lain
tidak bisa mencukupinya. Kuwasiatkan ini jika kematian yang telah ditetapkan
Allah atas makhluk-Nya tiba. Karena kematian itulah aku meminta pertolongan
Allah dan penjagaan-Nya dari petaka kiamat. Aku meminta surga dan
rahmat-Nya".
Syafi'i
lantas menyebutkan wasiat yang berhubungan dengan harta, anak-anak, sedekah,
dan lain-lain. Di akhir wasiatnya Syafi'i berkata,
"Muhammad
ibn Idris menghadap Allah Yang Maha kuasa dan meng-haturkan shalawat serta salam kepada Muhammad SAW., hamba dan
rasul-Nya. Ia juga berharap semoga Allah merahmatinya karena ia orang yang
sangat mengharapkan rahmat-Nya, dan terlindung dari neraka karena ia takut
azab-Nya. Ia Juga memohon kepada Allah agar memberinya peninggalan yang terbaik
untuk kaum mukmin, melindungi mereka dari maksiat, dan menghapuskan
keber-gantungan mereka kepada makhluk Allah.
4. Sakit Menjelang Ajal
Sakit yang
diderita Syafi’i sebelum ajalnya adalah sakit sembelit (ambeien) yang ia alami
saat di Mesir. Syafi'i menduga penyakitnya ini timbul karena ia terlalu sering
mengikat kepala saat menghafal. Syafi'i menuturkan, "Aku sering mengikat
kepala saat menghafal hingga timbul penyakit akibat peredaran darah yang tidak
lancar selama setahun.
Akibat
penyakit'yang dideritanya ini, darah selalu keluar dari tubuhnya. Saat ia naik
kendaraan, darah keluar dari dua tumitnya. Ia selalu mengenakan kain perban di
kakinya. Tak seorang pun mengalami penyakit seperti yang diderita Syafi'i ini.
Pendarahan membuatnya lemah dan tak berdaya.
Meski
penyakit yang dideritanya ini cukup berat selama empat tahun, Syafi'i tidak
berhenti berjuang hingga ia berhasil mencatat ribuan lembar ilmu sambil terus
belajar, meneliti, berdebat, serta membaca siang dan malam. Seakan semua tekad
dan semangatnya dalam menuntut ilmu ini merupakan obat satu-satunya untuk
penyakitnya.
Al-Rabi' ibn
Sulaiman berkata, "Syafi’i tinggal di sipi selama empat tahun. la berhasil
menulis sebanyak 1.500 lembar catatan. Ia juga men-takhrij 2.000 halaman kitab
al-Umm dan kitab al-Sunan, serta yang lainnya. Semuanya ia lakaukan dalam 4
tahun.
Sakit Syafi’i Bertambah Parah
Saat
sakitnya bertambah parah, darah yang mengalir dari luka Syafi’i semakin deras
hingga ketika ia naik kendaraan, darah itu membasahi celana, sepatu, dan
kendaraannya.
Al-Rabi'
menuturkan, "Aku bertanggung jawab mengurusi semua harta Syafi'i sampai ia
meninggal dunia. Ia memperkenankan aku menggupakan hartanya sebanyak tiga kali.
Saat sakit, ia berkata, Wahai anakku, orang-orang tak tahu etika. Ada
sekelompok orang yang datang menemuiku, tapi mereka mengira bahwa aku tidak
mengizinkan mereka masuk. Mereka tidak tahu bahwa aku sedang sakit. Jika kau
berkenan, duduklah di ruangan depan tangga. Jika orang-orang datang, turunlah
dan katakan pada mereka bahwa aku sedang sakit.’ Kasur dan bantal Syafi'i pun
dilubangi, sementara kain lap diletakkan di bawahnya. Jika orang-orang datang,
aku turun menemui mereka. Kukatakan pada mereka bahwa Syafi'i sakit. Mereka pun
pulang dengan kecewa. Jika aku kembali naik dan menemui Syafi'i, ia bertanya,
"Siapa yang datang hari ini?" Kujawab, Fulan dan fulan. Ia lalu
berkata, Semoga Allah membalas kebaikanmu, wahai Rabi Aku tidak pernah
melakukan apa-apa untukmu. Demi Allah, jika aku bertahan hidup, aku akan
melakukan apa saja untukmu. Semoga Allah merahmatinya”.
Yunus ibn
Abdul Ala berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang mengalami
penyakit seperti yang dialami Syafi'i. Suatu hari aku menemuinya, lalu ia
berkata kepadaku, "Wahai Abu Musa, bacakan untukku ayat-ayat al-Maidah
sesudah ayat 120. Ringankan bacaannya dan jangan terlalu berat!" Aku pun
membacanya. Dan ketika aku ingin berdiri, ia berkata, Jangan kau tinggalkan
aku. Aku sedang menderita.”
Yunus
menambahkan, Dengan bacaanku akan ayat-ayat itu, Syafi'i merasakan penderitaan
seperti yang pernah dialami Rasulullah dan para sahabatnya."
Antara Harapan Dan Rasa Takut
Al-Rabi ibn
Sulaiman berkata, "Al-Muzanni menjenguk Syafi’i saat sakit menjelang
ajalnya. Ia lalu bertanya kepadanya, Bagaimana keadaanmu, wahai Guruku? Syafi'i
menjawab, "Sepertinya aku akan pergi dari dunia ini dan berpisah dengan
saudara-saudaraku. Aku akan meminum air dari gelas kematian dan menjumpai Allah
dengan membawa amal burukku.”
Al-Rabi
melanjutkan, "Kemudian Syafi'i memandang keatas dan mendesa. Ia lalu
melantunkan sepotong syair,
Kepada-Mu,Tuhan semua makhluk, ku angkat hasratku
Walau aku seorang pemaksiat, wahai Tuhan Pemilik Karunia
Ketika hatiku keras dan tempatku pergi telah sempit
Aku menjadikan harapanku akan ampunan sebagai tangga
Dosaku semakin bertambah besar, dan ketika ku bandingkan dengan
ampunan-Mu ternyata ampunan-Mu lebih besar
5. Nasihat Syafi'i Menjelang Kematian
Kumpulan Nasihat
Diriwayatkan
dari al-Muzanni, "Aku masuk menemui Muhammad ibn Idris al-Syafi’i
menjelang wafatnya. Aku bertanya kepadanya, Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdullah?'
Syafi'i menjawab, Sepertinya aku akan pergi dari dunia ini dan berpisah dengan
saudara-saudaraku. Aku akan meminum air dari gelas kematian dan menjumpai Allah
dengan membawa amal burukku. Aku tidak tahu, akankah aku masuk surga hingga aku
bahagia, ataukah akan ke neraka hingga aku menderita?’
Kataku
kepadanya, “Wahai Abu Abdullah, nasihatilah aku!”
Ia berkata,
"Bertakwalah kepada Allah dan ingatlah selalu akhirat dalam hatimu.
Jadikan kematian selalu di matamu dan jangan kau lupa keadaanmu kelak di
hadapan Allah. Jadilah selalu bersama Allah dan jauhi larangan-Nya, tunaikan
kewajiban-Nya dan berjalanlah di jalan kebenaran di mana pun kau berada. Jangan
kau anggap remeh nikimat Allah kepadamu, walaupun sedikit. Terimalah ia dengan
rasa syukur. Jadikan diammu sebagai tafakur, bicaramu sebagai zikir, dan
pandanganmu sebagai usaha mengambil pelajaran. Maafkan orang yang menzalimimu,
jalin silaturahmi dengan orang yang ingin memutuskannya, bersikap baiklah
kepada orang yang bersikap buruk kepadamu, bersabarlah atas musibah, dan
mintalah ampunan Allah dari neraka dengan takwa!
Aku lalu
berkata, "Tambah lagi, wahai Abu Abdullah!
Ia
melanjutkan, Jadikan kejujuran sebagai lisanmu, menjaga amanat sebagai tiangmu,
rahmat sebagai buahmu, syukur sebagai pembersihmu, kebenaran sebagai
perniagaanmu, kasih sayang sebagai hiasanmu, Al-Quran sebagai kecerdasanmu,
ketaatan sebagai hidupmu, keridaan sebagai amanatmu, pemahaman sebagai mata
hatimu, harapan sebagai kesabaranmu, takut sebagai pakaianmu, sedekah sebagai
pelindungmu, zakat sebagai bentengmu, rasa malu sebagai pemimpinmu, kesabaran
sebagai menterimu, tawakal sebagai tamengmu, dunia sebagai penjaramu,
kemiskinan sebagai tempat tidurmu, kebenaran sebagai penuntunmu, haji dan jihad
sebagai tujuanmu, Al-Quran sebagai temanmu berbicara, dan Allah sebagai
penghiburmu. Barang siapa menjadikan semua ini sebagai sifatnya maka surga akan
menjadi tempatnya."
Dokter Pun Akan Mati
Al-Muzanni
menuturkan, "Aku menjenguk Syafi’i saat ia sakit. Bagaimana keadaanmu?
tanyaku kepadanya.?”
Ia menjawab,
Aku seperti di antara perintah dan larangan, seperti memakan rezekiku dan
menanti ajalku Aku lalu berkata kepadanya, Maukah kau kubawakan seorang dokter?
Ia menjawab, Lakukanlah Aku pun membawa seorang dokter Nasrani. Dokter itu
mulai memeriksa Syafi’i Saat Syafi’i menyentuh tangan sang dokter, ia malah
merasakan bahwa dokter itu sedang menderita satu penyakit. Syafi’i lalu
berkata,
Dokter datang memeriksa, dan aku pun memeriksanya
Ternyata dokter itu tengah mengalami satu penyakit
Ia terus mengobatiku padahal ia sakit
Sunggul aneh, matanya tampak sangat redup
Setelah
beberapa hari, dokter itu meninggal dania. Kepada Syafi’i dikatakan bahwa
dokter itu telah meninggal. Ia lalu berkata,
Seorang dokter dengan keahlian dan obatnya
Tidak bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan oleh qadha
Mengapa seorang dokter meningal dengan peryakit
Yang terkadang ia sembuhkan
Orang yang mengobati dan orang yang diobati akan binasa
Begitu pula orang yang membawa obat, menjual, dan membelinya
6. Akhir Perjalanan
Al-Rabi' ibn
Sulaiman berkata, Pada waktu maghrib, malam di mana Syafi'i meninggal dunia,
Ibn Yaqub, sepupunya, berkata kepadanya, Mari kita shalat?? Syafi’i menjawab, Kalian duduk saja dahulu.
Tunggulah aku keluar’. Kami pun turun lalu naik kembali. Kemadian kami berkata,
Kami telah melaksanakan shalat. Semoga Allah menyembuhkanmu ia menjawab,
"Ya Ia lalu meminta air, padahal ketika ia musim dingin. Sepupunya
berkata, 'Campurkan air itu dengan air hangat.’ Tetapi Syafi’i berkata, Tidak
Campurkan dengan perasan tanaman quince.’ Setelah isya, Syafi'i menghembuskan
napasnya yang terakhir. Semoga Allah merahmatinya.”
Tanggal Wafat Syafi’i
Al-Rabi'
ibn Sulaiman berkata, "Syafi'i meninggal dunia pada malam Jumat, setelah
isya, di penghujung bulan Rajab. Kami menguburkannya pada hari Jumat. Setelah
itu kami melihat hilal bulan Syakban tahun 204 Hijriah. Syafi'i meninggal dunia
dalam usia 54 tahun. Inilah riwayat yang paling terkenal di kalangan perawi
tentang usia Syafi'i.
Pengiringan Dan Penguburan
Jenazah Syafi’i
Ketika
jenazah Syafi'i diusung ke pembaringannya yang terakhir, jasadnya dipanggul orang-orang
dari kota Fushthath Mesir hingga ke pekuburan Bani Zahrah. Daerah pekuburan itu
juga dikenal dengan Tur bah Ibn Abdul Hakam.
Dalam kitab
Mu'jam al-Adibba" disebutkan Syafi'i dikuburkan di sebelah barat parit, di
pekuburan Quraisy. Di sekelilingnya terdapat kuburan orang-orang dari Bani
Zahrah, keturunan Abdurrahman ibn Auf al-Zuhri dan lainnya.
Letak
kuburan Syafi'i sudah masyhur di kalangan para sejarawan dari generasi
kegenerasi hingga sekarang ini. Kuburan Syafi'i terletak di sebuah pelataran di
samping dua kubur lain di bawah satu atap. Kuburan itu terletak di sebelah
barat parit, tepatnya berada di antara parit dan tempat pertemuan masyarakat.
Dua kuburan di samping kubur Syafi'i adalah kuburan Abdullah ibn Abdul Hakam
yang meninggal pada 214 Hijriah dan kuburan putranya, Abdurrahman ibn Abdullah
ibn Abdul Hakam yang meninggal pada 257 Hijriah.
Duka cita Yang Mendalam
Orang-orang
terhentak mendengar kematian Syafi'i. Kesedihan dan dukacita melanda wajah para
ulama dan murid-muridnya. Majelis Syafi'i menjadi kosong dari ulama yang biasa
belajar, menuntut ilmu, menelaah, dan berdebat dengannya. Ada seorang Arab
Badui mengungkapkan rasa kehilangannya dengan berdiri di tengah kerumunan
massa, sesaat setelah kematian Syafi'i. Ia berseru, Di mana bulan dan matahari
majelis ini?" Orang-orang menjawab, " Ia telah tiada! Sontak ia
menangis tersedu-sedu. Ia berkata, "Semoga Allah merahmati dan
mengampuninya. Dengan kemampuan bayannya, Syafi'i telah membuka pintu hujjah
yang lama tertutup, meluruskan musuh-musuhnya dengan argumentasi yang kuat,
membersihkan wajah yang hitam karena aib dan cela. Dengan pendapatnya ia
memperluas pintu yang tersumbat.” Orang itu lalu beranjak pergi.
Mimpi Orang-Orang Tentang Syafi’i
Banyak orang
saleh dan taat ibadah bermimpi tentang Syafi’i. Ini menunjukan kebesaran
pribadinya, ketinggian derajatnya, dan keagungan kedudukannya. Selain itu, hal
ini menandakan bahwa banyak orang yang merasa kehilangan Syafi'i dan para ulama
yang ikhlas dan senantiasa mengamalkan ilmunya. Di bawah ini kami sebutkan
beberapa contoh mimpi mereka tentang Syafi'i:
Al-Rabi
menuturkan, “Aku bermimpi bahwa Adam as, meninggal dunia, Orang-orang ingin
membawa jenazahnya. Pada pagi hari, aku bertanya kepada seorang ulama tentang
hal ini. Ia menjawab, Ini menandakan kematian seseorang yang paling berilmu di
muka bumi.’ Sesungguhnya Allah telah mengajari Adam semua nama. Semua nama yang
diajarkan hanya sedikit hingga Syafi’i meninggal dunia".
Al-Rabi ibn
Sulaiman al-Mashtri juga berkata, “Abu al-Laits al-Khaffaf berkata kepadaku,
Pada malam Syafi'i meninggal dunia, aku bermimpi seakan orang-orang berseru
bahwa Nabi SAW meninggal dunia hari ini. Seakan aku melihat jenazah beliau
dimandikan di majelis Abdurrahman al-Zuhri, tepat di masjid kami. Kemudian dalam
mimpi itu ada yang berkata kepadaku, Jenazahnya akan dibawa keluar setelah asar
.’ Pada pagi hari, ada yang memberitahukan aku bahwa Syafi'i telah meninggal
dunia dan kudengar bahwa jenazahnya akan diiring setelah Jumat. Aku lalu
bergumam, "Ini persis seperti yang
kulihat dalam mimpi' Kemudian kudengar orang-orang berkata bahwa jenazah
Syafi’i akan diusung setelah asar. Kulihat dalam mimpi, seakan di samping
Syafi’i ada satu kasur seorang perempuan yang berantakan. Kemudian penguasa
Mesir berpesan agar jenazah itu tidak dibawa kecuali setelah asar. Akhirnya
jenazah Syafi’i ditahan dahulu bingga asar tiba"
Al-Azizi
berkata, "Ketika jenazah Syafi’i dipersiapkan dan ketika aku sampai di
tempat yang luas, aku melihat satu kasur seperti kasur perempuan yang berantakan
bersanding dengan kasur Syafi’i.”
Mimpi Al-Azizi
Diriwayatkan
dari Abu Abdurrahman al-Azizi, "Pada malam Syafi'i meninggal dunia, aku
bermimpi dibawakan keranda yang di atasnya terdapat tilam, di atasnya lagi ada
seorang laki-laki dengan kafannya. Kemudian ia diletakkan di dalam rumah. Aku
mendengar seseorang berseru, Malam ini Nabi SAW. telah meninggal dunia. Pada
pagi hari, Syafi'i pun dibawa di atas keranda seperti keranda tersebut, di atas
tilam seperti tilam itu, dan dengan kafan seperti kafan tersebut.”
Mimpi Al-Anthaki
Diriwayatkan
dari Utsman ibn Kharzad al-Anthaki, "Aku bermimpi seakan kiamat telah
tiba. Allah sepertinya telah menetapkan keputusan-Nya. Seakan semua makhluk
dikumpulkan. Dan tiba-tiba seseorang berseru dari dalam Arsy, "Masukkan
Abu Abdullah, masukkan Abu Abdullah, masukkan Abu Abdullah, dan masukkan Abu
Abdullah ke surga..!" Aku lalu berkata kepada malaikat yang ada di
sebelahku, "Siapa mereka yang bernama Abu Abdullah itu?" Ia menjawab,
Yang pertama adalah Malik ibn Anas. Yang kedua adalah Sufyan al-Tsauri. Yang
ketiga adalah Syafi’i dan yang keempat adalah Ahmad ibn Hanbal’. Semoga Allah
meridai mereka semua."
Mimpi Abdullah Al-Hasyimi
Abdullah ibn
Muhammad ibn Yaqub al-Hasyimi, orang yang sangat jujur, berkata, "Aku
bermimpi bertemu dengan Nabi SAW. Beliau berkata kepadaku bahwa Syafi’i
al-Muththalibi telah berada di surga."
Atau, Syafi'i telah menjadi ahli surga.
Jika mimpi ini menunjukkan satu
hal maka tak lain membuktikan kebesaran derajat dan tingginya kedudukan Imam Syafi'i.
Bahkan, ini sebentuk berita gembira tentangnya. Semoga Allah merahmatinya
karena ia termasuk ulama yang ikhlas dan senantiasa mengamalkan ilmunya.
BIOGRAFI IMAM HANBAL
A.
Riwayat Hidup Imam Ahmad ibn
Hanbal
Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal adalah
Imam yang keempat fuqaha’ Islam.
Beliau adalah seorang
yang mempunyai sifat-sifat yang luhur
dan tinggi yaitu
sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang hidup
semasa dengannya, juga
orang yang mengenalnya.
Beliau Imam bagi umat
Islam seluruh dunia,
juga Mufti bagi
negeri Irak dan seorang yang
alim tentang hadist-hadist
Rasulullah Saw. Juga
seorang yang zuhud dewasa
itu, penerang untuk dunia dan
sebagai contoh dan teladan
bagi orang-orang ahli
sunnah, seorang yang
sabar dikala menghadapi
percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.
Didalam mazhab Hanbali,
terdapat istilah Hanbali
dan Hanabilah. Agar tidak
timbulnya keraguan dalam
membedakan kedua istilah tersebut maka
penulis akan mengemukakan
pengertian kedua istilah tersebut. Hanbali
adalah pendapat (kesimpulan)
yang dinisbahkan (dihubungkan) kepada
Imam Ahmad ibn
Hanbal. Sedangkan, Hanabilah
adalah orang yang
mengikuti hasil ijtihad
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam
masalah hukum fiqih.
Tokoh utama mazhab
Hanbali adalah Imam
Ahmad ibn Hanbal. Nama lengkapnya
adalah Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal ibn
Hilal ibn Asad
ibn Idris ibn
‘Abdillah ’ibn ibn
Hayyan ibn Abdillah ibn Anas
ibn ‘Auf ibn
Qasit ibn Mukhazin
ibn Syaiban ibn
Zahl ibn Sa’labah ibn
‘Ukabah ibn Sa’b
ibn ‘Ali ibn
Bakr ibn Wa’il
ibn Qasit ibn Hanb
ibn Aqsa ibn
Du’ma ibn Jadilah
ibn Asad ibn
Rabi’ah ibn Nizar ibn
Ma’ad ibn ‘Adnan
ibn ‘Udban ibn
al-Hamaisa’ ibn Haml
ibn an-Nabt ibn Qaizar ibn Isma’il ibn Ibrahim asy-Syaibani al-Marwazi.
Imam Ahmad ibn
Hanbal lahir di
Baghdad pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah
dipegang oleh al-Mahdi,
yaitu pada bulan Rabi’
al-Awwal tahun 164
H bertepatan dengan
tahun 780 M. Imam Ahmad
dilahirkan ditengah-tengah keluarga
yang terhormat, yang memiliki
kebesaran jiwa, kekuatan
kemauan, kesabaran dan
ketegaran menghadapi
penderitaan. Ayahnya meninggal
sebelum ia dilahirkan, oleh sebab
itu, Imam Ahmad
ibn Hanbal mengalami
keadaan yang sangat sederhana
dan tidak tamak. Ayahnya bernama
Muhammad bin al-Syaibani. Jadi
sebutan Hanbal bukanlah
nama ayahnya tetapi
nama kakeknya. dan Ibunya bernama
Safiyyah binti Abdul
Malik bin Hindun al-Syaibani
dari golongan terkemuka
kaum baru Amir. Nasab dan keturunan
Nabi Muhammad bertemu
dengan Imam Ahmad
bin Hanbal baik dari
pihak ayahnya maupun
dari pihak ibunya,
yaitu pada Nizar datuk
Nabi Muhammad yang
kedelapan belas. Nama Ahmad pada
perkembangan selanjutnya lebih
dikenal dengan nama
Imam Ahmad bin Hanbal,
dinisbahkan kepada nama datuk
beliau sendiri karena nama
“Ahmad” begitu banyak,
lalu dihubungkan dengan
nama datuknya, sehingga sejak
kecil beliau lebih
dikenal deangan nama Ahmad ibn Hanbal.
B.
Pendidikan Imam Ahmad Ibn Hanbal
Sejak masa kecilnya
Imam Ahmad yang
fakir dan yatim
itu dikenal sebagai orang
yang sangat mencintai
ilmu. Baghdad dengan segala kepesatannya dalam
pembangunan termasuk kepesatan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan
membuat kecintaan beliau
terhadap ilmu bersambut dengan
baik. Beliau mulai belajar
ilmu-ilmu keislaman seperti al-Qur’an,
al-Hadist, bahasa ‘Arab
dan sebagainya kepada ulama-ulama yang
ada di Baghdad
ketika itu. Kefakiran Imam
Ahmad membatasi keinginan dan
cita-citanya untuk menuntut
ilmu lebih jauh. Karena
itu beliau tidak
segan mengerjakan pekerjaan apapun untuk mendapatkan uang
selama pekerjaan itu
baik dan halal. Beliau
pernah membuat dan menjual
baju, menulis, memungut
gandum sisa panen dan pengangkut barang.
Pada masa pemerintahan
Harun ar-Rasyid yaitu
pada umur 16 tahun
Imam Ahmad mulai
mempelajari hadist secara
khusus. Orang yang pertama kali
didatangi untuk belajar
hadist adalah Hasyim
ibn Basyr ibn Khazin al-Wasiti.
Tekadnya untuk menuntut
ilmu dan menghimpun
hadist mendorongnya untuk mengembara
ke pusat-pusat ilmu
keIslaman seperti Basrah, Hijaz,
Yaman, Makkah dan
Kufah. Bahkan beliau
telah pergi ke Basrah
dan Hijaz masing-masing
sebanyak lima kali.
Dan pengembaraan tersebut beliau
bertemu dengan beberapa
ulama besar seperti ‘Abd
ar-Razzaq ibn Humam,
‘Ali ibn Mujahid,
Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Sufyan ibn
‘Uyainah, Abu Yusuf
Ya’kub ibn Ibrahim
alAnshari (murid Imam
Abu Hanifah), Imam
Syafi’i dan lain-lain. Pertemuannya dengan
Imam Syafi’i itulah
beliau dapat mempelajari fiqh, ushul fiqh, nasikh dan
mansukh serta kesahihan hadist.
Perhatiannya terhadap hadist
membuahkan kajian yang memuaskan dan
memberi warna lain
pada pandangan fiqhnya.
Beliau lebih banyak mempergunakan hadist
sebagai rujukan dalam
memberi fatwa-fatwa fiqhnya. Karya beliau
yang paling terkenal
adalah al-Musnad. Didalamnya
terhimpun 40.000 buah
hadist yang merupakan seleksi dari
70.000 buah hadist. Ada
yang berpendapat bahwa
seluruh hadist dalam kitab
tersebut adalah shahih. Sebagian lainnya mengatakan bahwa
didalamnya terdapat beberapa
hadist da’if (lemah). Dalam al-Musnad tersebut, dapat
kita jumpai sejumlah
besar fiqh sahabat, seperti fiqh ‘Umar, fiqh ‘Ali dan fiqh Ibnu Mas’ud.
Umur beliau dihabiskan
untuk menuntut ilmu
terutama di dalam bidang
hadist. Beliau tidak
berhenti belajar walaupun
telah menjadi Imam dan telah
berumur lanjut. Sebagai ulama besar
Imam Ahmad tidak
luput dari berbagai cobaan. Cobaan terbesar
yang dihadapinya adalah
pada masa pemerintahan al-Ma’mun,
al-Mu’tasim dan al-Wasiq. Pada masa
itulah aliran Mu’tazilah mendapat
sukses besar karena
menjadi mazhab resmi Negara. Para tokoh
Mu’tazilah menghembuskan isu
yang tidak bertanggung jawab
yaitu terjadinya peristiwa Khalq al-Qur’an (pemakhlukan terhadap al-Qur’an).
Khalifah al-Ma’mun mempergunakan
kekuasaannya untuk memaksa para
ulama ahli fiqh
dan ahli hadist agar
mengakui bahwa al-Qur’an
adalah makhluk. Peristiwa inilah
yang kemudian dikenal
dengan peristiwa mihnah. Banyak
diantara mereka yang
membenarkan paham al-Ma’mun
lantaran ketakutan. Namun
demikian Imam Ahmad
dan beberapa ulama lain
tetap menolak paham tersebut.
Beliau berpendapat bahwa al-Qur’an
bukanlah makhluk tetapi
kalam Allah. Tidak sedikit ulama
yang dianiya lantaran
berseberangan dengan penguasa,
tak terkecuali Imam Ahmad. Beliau
lebih memilih dicambuk
dan dipenjara dari pada harus
mengakui bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Beberapa bulan kemudian
al-Ma’mun mangkat namun
sebelumnya ia sempat berwasiat
kepada calon penggantinya
yaitu al-Muta’sim agar melanjutkan kebijakannya.
Dengan demikian Imam
Ahmad dan beberapa kawannya
dipenjara dan disiksa sampai pemerintahan
alMu’tasim berakhir.
Sepeninggal
al-Muta’sim roda pemerintahan
dipegang oleh putranya yaitu
al-Wasiq. Pada masa
ini pula kebijakan
ayahnya tetap dipertahankan sehingga
Imam Ahmad dan
beberapa ulama lain
yang sependirian dengan beliau
tetap juga dipenjarakan
dan disiksa. Sampai akhirnya al-Wasiq pun mangkat.
Demikianlah sampai bertahun-tahun Imam
Ahmad meringkuk dalam penjara
dan menanggung sengsara
lantaran dicambuk dengan cemeti
sedang tangannya diikat. Sejak
al-Ma’mun menjabat kepala Negara sampai zaman al-Wasiq.
Setelah al-Wasiq mangkat, jabatan kepala Negara dipegang
oleh alMutawakkil. Pada masa inilah segala bid’ah dalam urusan agama
dihapuskan dan menghidupkan kembali
sunnah Nabi Saw.
Oleh karena itu dengan
sendirinya masalah khalq al-Qur’an sudah tidak ada. Dengan demikian
Imam Ahmad dan
beberapa kawannya dibebaskan dari
penjara. Sebaliknya para
ulama yang menjadi
sumber fitnah tentang masalah
kemakhlukan al-Qur’an ditangkap
serta dipenjara serta dijatuhi
hukuman dera oleh
al-Mutawakkil. Para tokoh Mu’tazilah mendapat
tekanan hebat lantaran
mendapat penyiksaan seperti yang
pernah mereka lakukan
terhadap para ulama
yang menentang pendapatnya.
Demikianlah cobaan yang
dialami oleh Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam
mempertahankan pendirinnya untuk
tidak mengakui kemakhlukan al-Qur’an. Setelah beliau
dibebaskan dari penjara beberapa tahun
kemudian beliau jatuh
sakit. Sampai akhirnya
beliau meninggal dunia pada
usia 77 tahun
yaitu pada hari Jum’at
tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 241 H.
Beliau dimakamkan di Baghdad.
C.
Guru-Guru Dan Murid Imam Ahmad Ibn
Hanbal
Guru-gurunya yang mengarahkan
pandangan Imam Ahmad
ialah Husen ibn Bashir
ibn Abi Hazim
lahir pada tahun
104 H, wafat
pada tahun 183 H.
Inilah guru Imam
Ahmad yang pertama
dan utama dalam bidang hadist. Lima
tahun lamanya Imam
Ahmad ditempa oleh
Husen ini. Beliau boleh dikatakan
yang banyak mempengaruhi
kehidupan Imam Ahmad.
Untuk mendalami cara
istinbath dan membina
fiqh Imam Ahmad berguru
kepada Imam asy-Syafi’i.
Padanya dipelajari fiqh
dan ushul. Imam Ahmad terpilih
hatinya kepada kecakapan
Imam asySyafi’i dalam
beristinbath. Imam Syafi’i lah
yang mengarahkannya kepada
istinbath itu, Imam Syafi’i
adalah guru yang
kedua bagi Imam Ahmad. Selain dari
pada guru besar
ini, banyak pula
ulama-ulama lain yang memberikan
pelajaran kepada Imam
Ahmad. Tidak kurang
dari 100 orang ulama
besar yang memberikan
pelajaran kepadanya, baik yang di Baghdad maupun di kota-kota
lain.
Adapun diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah: Imam
Isma’il bin Aliyyah, Hasyim
bin Basyir, Hammad
bin khalil, Mansyur
bin Salamah, Mudlaffar bin
mudrik, Utsman bin
Umar, Masyim bin
Qashim, Abu Said Maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid,
Muhammad bin ‘Ady, Yazid bin Harun,
Muhammad bin Jaffar,
Ghundur, Yahya bin
Said al-Cathan, Abdurrahman bin
Mahdi, Basyar bin
al-Fadhal, Muhammad bin
Bakar, Abu Daud ath-Thayalisi, Ruh
bin ‘Ubaidah, Wakil
bin al-Jarrah, Mu’awiyah
alAziz, Abdullah bin Muwaimir, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin
Salim, Muhammad bin
Syafi’i, Ibrahim bin
Said, Abdurrazaq bin Humam, Musa
bin Thariq, Walid
bin Muslim, Abu
Masar al-Dimasyqy, Ibnu
Yaman, Mu’tamar bin Sulaiman, Yahya bin Zaidah dan Abu Yusuf al-Qadi.
Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal itu terdiri dari ahli Fiqih, ahli
Ushul, ahli Kalam, ahli Tafsir, ahli Hadits, ahli Tarikh dan ahli Lughah.
Imam Ahmad bin
Hanbal sangat meyakini
bahwa ilmu pengetahuan tidak
mudah untuk didapatkan,
sehingga ia sungguh mengerti akan
ketinggian nilai para orang yang ahli tentang pengetahuan. Keyakinan yang demikian menyebabkan
beliau sangat menghormati
guru-gurunya.
Adapun murid-murid Imam Ahmad di antaranya:
1.
Sholeh ibn Ahmad ibn Hanbal
2.
Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal
3.
Ahmad ibn Muhammad ibn Hani Abu Bakar al-Atsran
4.
Abdul Malik ibn Abdul Hamid ibn Mihran al-Maimuni
5.
Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaz Abu Bakar al-Marwazi
6.
Harab ibn Ismail al-Handholi al-Kirami
7.
Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi
Orang-orang yang
terkenal yang melanjutkan
pemikiran fiqih Imam Ahmad ibn Hanbal yang kurun waktunya
agak jauh darinya.
1.
Ibn Qudamah Muwaffiquddin (w. 620 H) menulis kitab al-Mughni
2.
Ibn Qudamah, Syamsuddin
al-Maghsi (w. 682
H) menulis kitab alSyarh al-Kabir.
Selanjutnya, tokoh
yang memperbarui dan
melengkapi pemikiran madzhab
Hanbali terutama bidang mu’amalah adalah:
1.
Syeikh al-Islam Taqiyyudin ibn Taimiyah (w. 728)
2.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 752 H) murid Ibnu Taimiyah.
Tadinya
pengikut madzhab Hanbali
tidak begitu banyak,
setelah dikembangkan oleh dua
tokoh yang disebut
terakhir maka mazhab Hanbali menjadi
semarak, terlebih setelah dikembangkan
lagi oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab (w.
1206 H), menjadi
madzhab orang nejed dan
kini menjadi madzhab
resmi pemerintah kerajaan
Saudi Arabia.
D.
Karya-Karyanya
Imam Ahmad lebih
banyak mengarahkan hidupnya
untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menyebar
luaskan ilmu itu.
Meskipun sejak kecil beliau
selalu dalam keadaan
menderita, bahkan dapat
dikatakan tidak pernah merasakan
kemewahan dan kenikmatan
hidup (secara materi) di
dunia, dalam urusan
mata pencaharian beliau
mempunyai kepribadian tersendiri.
Ia karena kezuhudan
dan kewara’annya, tidak suka
menerima pemberian orang
lain. Beliau berpendirian,
“ lebih baik bekerja
berat dan dipandang
rendah oleh kebanyakan
orang dari pada memakan
yang belum jelas
kehalalannya.” Oleh karena
itu, tidak sedikitpun atau
terlintas dihati sanubarinya
suatu keinginan untuk menduduki suatu
jabatan atau pengkat
dalam lingkungan pemerintahan.
Karena Imam Ahmad
tidak menyukai jabatan
dan kedudukan dalam pemerintahan, maka
aktifitasnya lebih mengarah
kepada pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga
beliau dikenal dikalangan
ulama pada masanya. Selain itu beliau sangat teguh
berpegang kepada pendirian yang diyakininya.
Dari semua bidang
ilmu yang dikuasainya,
ilmu hadist dan
fiqh yang paling menonjol,
sehingga beliau mendapat sebutan sebagai seorang muhaddist (ahli hadist)
dan juga seorang faqih (ahli fiqh). Sebagian ulama
ada yang menyangkal bahwa Imam
Ahmad hanyalah seorang muhaddist bukan seorang faqih.
Ibnu Jauzi berkata:
“Ahmad ibn Hanbal
tidak pernah kelihatan menulis kitab dan
dia juga melarang
untuk menulis perkataan
dan masalah-masalah dari hasil istinbathnya.”
Apapun alasannya kita
memang menerima pernyataan
bahwa Imam Ahmad sangat
menonjol dalam bidang
hadist, tetapi gencarnya terhadap masalah-masalah fiqih
juga tidak dapat
dinafikan. Hal ini dapat dipahami
dan banyaknya pengikut
beliau yang menulis
fatwa-fatwa dan pendapatnya
hingga tersusun suatu
akumulasi pemikiran-pemikiran fiqh
yang di nisbatkan
kepadanya. Seandainya beliau
hanya memusatkan perhatiannya pada
hadist, tentulah sangat
sulit bagi kita mengkaji
pendapat-pendapatnya dalam masalah
fiqh. Alasan yang dapat dikemukakan mengapa
beliau tidak menulis
fiqh sebagaimana diungkapkan oleh
Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
adalah karena beliau sangat benci
terhadap semua bentuk
penulisan selain hadist.
Beliau khawatir akan terjadi
campur aduk antara
buku-buku hadist dan
buku-buku fiqh.
Adapun karya-karya beliau antara lain:
1)
Al-Musnad
2)
Kitab Tafsir Al-Qur’an
3)
Kitab Al-Nasikh Wa Al-Mansukh
4)
Kitab Al- Muqaddam Wa Al-Muakhkhar Fi Al-Qur’an
5)
Kitab Jawabatu Al-Qur’an
6)
Kitab Al-Tarikh
7)
Kitab Manasiku Al-Kabir
8)
Kitab Manasiku Al-Saghir
9)
Kitab Tha’atu Al-Rasul
10)
Kitab Al-‘Illah
11)
Kitab Al-Shalah.
Selain kitab-kitab
yang disusun langsung
oleh Imam Ahmad
ibn Hanbal, ada juga
gagasan Imam Ahmad
ibn Hanbal yang
diteruskan dan dilestarikan oleh
para pengikutnya. Diantara
rujukan fiqih Hanabillah adalah
sebagai berikut:
1)
Mukhtashar al-Khurqi
karya Abu al-Qashim
Umar ibn al-Husain
alKhurqi (w. 334 H)
2)
Al-Mughni Syarkh ‘Ala
Mukhtasar al-Khurqi karya Ibnu
Qudamah (w. 620 H).
3)
Majmu’ Fatwa ibn
Taimiyah karya Taqiy al-Din
Ahmad Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
4)
Ghayat al-Muntaha fi
al-Jami’ bain al-Iqna
wa Muntaha karyaMar’i ibn Yusuf
al-Hanbali (w. 1032 H)
5)
Al-Jami’ al-Kabir
karya Ahmad ibn
Muhammad ibn Harun
atau Abu Bakar al-Khallal.
Oleh Imam
Ahmad tidak menulis
kitab dalam bidang
fiqh yang dapat kita
jadikan pegangan pokok
dalam mazhabnya. Karena beliau tidak
membukukan fiqhnya dalam suatu kitab,
tidak pula mendiktenya kepada murid-muridnya maka
yang dapat dijadikan
pegangan dalam mazhab Hanbali
adalah riwayat-riwayat beliau
yang telah diterima
baik oleh murid-muridnya secara
langsung sebagai penukil
yang benar dari Imam
Ahmad. Maka selama belum
ada bukti yang
kuat bahwa riwayat itu
bukan berasal dari
Imam Ahmad, tetaplah
kita berpendapat bahwa riwayat-riwayat itu berasal dari Imam
Ahmad.
Semua pendapat
Imam Ahmad yang
telah diterima secara
langsung oleh murid-muridnya, kemudian dihimpun
oleh Abu Bakar
al-Khallal dengan menjumpai mereka.
Dialah yang dapat
kita pandang sebagai pengumpul fiqh
Hanbali dari penukilnya. Dari padanyalah
dinukilkan koleksi fiqh Imam
Ahmad yang paling
lengkap yaitu al-Jami al-Kabir yang terdiri dari dua puluh jilid
yang tebal-tebal.
Ada dua
tokoh ulama yang
telah berjasa dalam
mengumpulkan apa yang dinukilkan
oleh al-Khallal, yaitu
‘Umar ibn al-Husain
al-Khiraqi dan Abu al-Aziz ibn
Ja’far Gulam al-Khallal. Mereka mempunyai banyak karangan
tetapi tersebar luas
hanyalah kitab al-Mukhtasar karya al-Hiraqi
yang didalamnya terdapat
2.300 masalah. Muwaffaq ad Din
ibn Qudamah telah mensyarahkan kutab tersebut menjadi
tiga belas jilid besar
yang dinamakan kitab al-Mughni, suatu
kitab fiqih yang patut dijadikan
pokok pegangan dalam mazhab Hanbali.
E.
Metode Istinbath Imam Ahmad Ibn
Hanbal
Imam Ahmad ibn
Hanbal menganggap Imam
Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu di dalam
pemikiran ia banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Thaha
Jabir Fayadh al-Uwani
mengatakan bahwa cara
ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal
sangat dekat dengan cara ijtihad Imam Syafi’i .Ibn Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan
bahwa pendapat-pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal dibangun atas 5 dasar:
1)
Nash Dari Al-Qur’an Dan Sunnah (Hadits
Yang Shahih)
Al-Qur’an yaitu perkataan
Allah Swt yang
diturukan oleh ruhul amin
kedalam hati Rasulullah
dengan lafdz bahasa
Arab, agar supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah bahwa
dia adalah utusan Allah Swt.
Al-Hadist yaitu segala
ucapan, perbuatan dan
segala keadaan atau perilaku Nabi Saw.
Jika menemukan suatu
persoalan yang menghendaki
pemecahan hukum,maka
pertama-tama ia harus
mencari jawaban persoalan tersebut kepada
nash, maka wajib menetapkan
hukum berdasarkan nash tersebut. Untuk memperkuat pandangan tersebut
Ibnu Qayyim tersebut mengemukakan
bukti dalam al-Qur’an surat al-Ahzab: 36
sebagai berikut:
Yang artinya : “Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah
dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka.
dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.”
Al-Qur’an adalah sumber
pertama dalam menggali
sumber hokum fiqhnya. Sedangkan
sunnah sendiri adalah penjelas
al-Qur’an dan tafsir hukum-hukumnya maka
tidak aneh apabila
ia menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai perintis
sumber-sumber bagi pendapat fiqh dia.
Sebabnya al-Qur’an dijadikan
dasar pertama dan
harus didahulukan dari pada sunnah adalah:
a)
Al-Qur’an adalah qath’i,
sedangkan sunnah adalah
zhanni. Kita hanya meyakini
bahwa sunnah nabi
itu wajib diikuti.
Tapi kita tidak dapat
meyakini bahwa tiap-tiap
yang dikatakan sunnah
nabi benar sunnah.
b)
Sunnah, fungsinya menjelaskan
al-Qur’an atau menambah hukumnya jika
dia bersifat penjelasan,
maka tentulah dia
berada dibawah al-Qur’an. Jika
mendatangkan hukum baru
bias diterima, jika hukum baru
itu tidak ada dalam al-Qur’an.
c)
Hadits sendiri menempatkan diri pada martabat kedua, seperti
yang didapat disimpulkan dari hadits Muadz.
2)
Fatwa Para Sahabat Nabi Saw
Sahabat adalah
orang yang hidup
pada masa Rasulullah
Saw dan mengimani serta mengikuti
ajaran Rasulullah Saw.
Adapun landasan
atau dasar hukum
dari ijma’ atau
fatwa sahabat adalah hadist Rasulullah Saw: yang Artinya: “Dari Annas, dari sekelompok penduduk Homs
dari sahabat Mu’az bin Jabal, bahwasanya Rasulullah Saw mengutus Mu’az ke
Yaman, beliau berkata: “apabila
dihadapkan kepadamu suatu kasus
hukum, bagaimana anda memutuskannya? Mu’az menjawab: “saya akan memutuskannya
berdasarkan al-Qur’an, Nabi bertanya lagi: jika
kasus itu tidak
anda temukan dalam
al-Qur’an: Mu’az menjawab: saya
memutuskan berdasarkan sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya: jika kasusnya tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul? Mu’az menjawab: aku akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk
dada Mu’az dengan tangannya
seraya berkata: segala
puji bagi Allah
yang telah memberikan petunjuk
kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridhainya.” (H.R.Abu Daud).
Apabila beliau tidak
mendapat suatu nash
yang jelas, baik
dari al-Qur’an dan
Sunnah, maka ia
menggunakan fatwa-fatwa dari
pada sahabat Nabi yang
tidak ada perselisihan
dikalangan ulama. Adapun sahabat-sahabat yang terkenal sebagai
mufti atau mujtahid adalah:
a)
Zaid ibn Tsabit
b)
Abdullah ibn Abbas
c)
Abdullah ibn Mas’ud
Jika fatwa tersebut disetujui semua sahabta,
maka tersebut fatwa sahabat mujtami’in.
3)
Fatwa Para Sahabat Yang Masih
Dalam Perselisihan
Apabila terjadi
pertentangan pendapat antara
para sahabat, ia memilih pendapat yang
berdalil al-Qur’an dan
hadist. Apabila pendapat mereka tidak
bias dikompromikan, ia
tetap mengemukakan pendapat mereka masing-masing
tetapi ia tidak
mengambil pendapat mereka sebagai sumber hukum.
Mayoritas ulama
mengakui fatwa sahabat
sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Demikian pula menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa
yang bersumber dari
golongan salaf, dan
fatwa-fatwa para sahabat.
Fatwa mereka lebih
utama dari pada
fatwa ulama kontemporer. Karena fatwa
para sahabat lebih
dekat pada kebenaran. Masa hidup
mereka lebih dekat dengan masa hidup Rasul.
4)
Hadits Mursal Dan Hadits Dha’if,
Hadist mursal
adalah hadist yang
gugur perawi dan
sanadnya setelah tabi’in. Hadist dha’if
adalah hadist mardud,
hadist yang ditolak atau
tidak dapat dijadikan hujjah atau
dalil dalam menetapkan sesuatu hukum.
Kata al-Dha’if, secara
bahasa adalah lawan
dari al-Qawiy, yang berarti kuat.
Hadist ini
dipakai apabila tidak
ada keterangan atau
pendapat yang menolaknya. Pengertian
mengenai hadist dha’if pada masa
dahulu tidak sama dengan
pengertiannya di zaman
sekarang. Pada masa
Imam Ahmad hanya ada
dua macam hadist
yaitu hadis shahih dan dha’if. Dimaksud
dha’if disini bukan dha’if yang batil
dan mungkar, tetapi merupakan
hadis yang tidak
berisnad kuat yang
tergolong sahih dan hasan. Menurut Ahmad
hadis tidak terbagi
atas shahih, hasan dan dha’if tetapi shahih dan dha’if. Pembagian hadis
atas sahih, hasan, dha’if dipopulerkan
oleh al-Turmidzi. Hadis-hadist dha’if
ada bertingkat tingkat, yang
dimaksud dha’if disini
adalah pada tingkat
yang paling atas. Menggunakan
hadis semacam ini lebih utama dari pada menggunakan qiyas.
Apabila tidak
didapatkan dari al-Qur’an,
Hadits, fatwa sahabat yang
disepakati atau yang masih diperselisihkan, maka barulah beliau menetapkannya dengan
hadits mursal dan dha’if
yang tidak seberapa dhaifnya (merupakan
hadits yang tidak
sampai ketingkat shahih
dan termasuk hadits hasan.
5)
Qiyas
Dalam fiqih,
makna Qiyas adalah
mempersamakan masalah yang belum
ada nash dan
dalil hukumnya dengan
masalah lain yang
sudah ada hukumnya dan
tercatat jelas dalilnya,
dengan melihat persamaan sifat keduanya yang menjadi penentu
hukum.
Apabila beliau
tidak mendapatkan dalil
dari al-Qur’an dan
hadits, fatwa sahabat yang
disepakati atau yang
masih doperselisihkan, hadist mursal
dan hadist dha’if.
Dalam keadaan demikian
barulah ia menggunakan qiyas,
yakni apabila terpaksa.
Pada firman
Allah dijelaskan bahwa
Allah mengqiyaskan hidup sesudah
mati kepada terjaga
(bangun) setelah tidur
dan membuat beberapa perumpamaan,
serta menerapkannya beraneka
ragam. Semua itu adalah
qiyas jali, dimana
Allah ingin mewujudkan
bahwa hokum sesuatu dapat
diterapkan kepada kasus lain yang serupa.
Bila
dibandingkan dengan mazhab-mazhab
lain sebelumnya (seperti mazhab
Hanafi, Maliki dan
Syafi’i). Mazhab Hanbali
tidak tersiar (tidak semasyhur
mazhab lainnya terutama
mazhab Syafi’i walaupun demikian
mazhab Hanbali merupakan
salah satu dari
mazhab yang terbesar dan banyak diikuti umat Islam.
Komentar
Posting Komentar