BIOGRAFI 4 IMAM MAZHAB

 

BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH

 

A.     Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi, walaupun akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui, istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan di masa Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi.

Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga berbangsa Persia.

Bapak Abu Hanifah dilahirkan dalam Islam. Bapaknya adalah seorang pedagang, dan satu keturunan dengan saudara Rasulullah. Neneknya Zauta adalah suku (bani) Tamim. Sedangkan ibu Hanifah tidak dikenal dikalangan ahli-ahli sejarah tapi walau bagaimanapun juga ia menghormati dan sangat taat kepada ibunya.

Dia pernah membawa ibunya ke majlis-majlis atau perhimpunan ilmu pengetahuan. Dia pernah bertanya dalam suatu masalah atau tentang hukum bagaimana memenuhi panggilan ibu. Beliau berpendapat taat kepada kedua orang tua adalah suatu sebab mendapat petunjuk dan sebaliknya bisa membawa kepada kesesatan.

Pada masa beliau dilahirkan, pemerintah Islam sedang di tangan kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (raja Bani Umayah yang ke V) dan beliau meninggal dunia pada masa Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur.

Abu Hanifah mempunyai beberapa orang putra, diantaranya ada yang dinamakan Hanifah, maka karena itu beliau diberi gelar oleh banyak orang dengan Abu Hanifah. Ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain: sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah karena beliau adalah seseorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban dalam agama. Karena perkataan “hanif” dalam bahasa arab artinya “cenderung atau condong” kepada agama yang benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan “hanifah” menurut lughot Irak, artinya “dawat atau tinta”. Yakni beliau dimana-mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para guru beliau atau lainnya. Dengan demikian beliau mendapat gelar dengan Abu Hanifah.

Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar, dan terkenal disegenap kota-kota besar, serta terkenal di sekitar Jazirah Arabiyah pada umumnya, maka beliau dikenal pula dengan gelar: Imam Abu Hanifah. Setelah ijtihad dan buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui serta diikut oleh banyak orang dengan sebutan “Mazhab Imam Hanafi”.

Ciri-ciri Abu Hanifah yaitu dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang-orang yang diinginkannya (menurut pendapat Abu Yusuf). Abu Hanifah berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu dia tidak mau mencampuri persoalan yang bukan urusannya (menurut Hamdan putranya). Abu Hanifah suka berpakaian yang baik-baik serta bersih, senang memakai bau-bauan yang harum dan suka duduk ditempat duduk yang baik. Lantaran dari kesukaannya dengan bau- bauan yang harum, hingga dikenal oleh orang ramai tentang baunya, sebelum mereka melihat kepadanya. Abu Hanifah juga amat suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan para kawan-kawannya yang baik-baik, tetapi tidak suka bergaul dengan sembarangan orang. Berani menyatakan sesuatu hal yang terkandung didalam hati sanubarinya, dan berani pula menyatakan kebenaran kepada siapa pun juga, tidak takut di cela ataupun dibenci orang, dan tidak pula gentar menghadapi bahaya bagaimanapun keadaannya.

Diantara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat, ikut duduk di majlisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, ia segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Jika dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya. Kalau sakit, maka akan ia antarkan. Jika memiliki utang, maka ia akan membayarkannya sehingga terjalinlah hubungan baik antara keduanya.

 

B.     Pendidikan Imam Abu Hanifah

Pada mulanya Abu Hanifah adalah seorang pedagang, karena ayahnya adalah seorang pedagang besar dan pernah bertemu dengan Ali ibn Abi Thalib. Pada waktu itu Abu Hanifah belum memusatkan perhatian kepada ilmu, turut berdagang di pasar, menjual kain sutra. Di samping berniaga ia tekun menghapal al-Quran dan amat gemar membacanya.

Kecerdasan otaknya menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya, karena asy-Sya’bi menganjurkan supaya Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya kepada ilmu. Dengan anjuran asy-Sya’bi mulailah Abu Hanifah terjun ke lapangan ilmu. Namun demikian Abu Hanifah tidak melepas usahanya sama sekali. Imam Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at, hadits, nahwu, sastra, sya’ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Diantara ilmu-ilmu yang dicintainya adalah ilmu teologi, sehingga beliau salah seorang tokoh yang terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, beliau sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.

Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat perhatian para ulama fiqh yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah ibn Mas’ud (wafat 63 H/682 M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha’i, lalu Muhammad ibn Abi Sulaiman al- Asy’ari (wafat 120 H). Hammad ibn Sulaiman adalah salah seorang Imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari ‘Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuri’ah, keduanya adalah tokoh dan fakar fiqh yang terkenal di Kufah dari golongan tabi’in. Dari Hamdan ibn Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadits. Selain itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijjaz untuk mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambahan dari apa yang diperoleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.

Kufah dimasa itu adalah suatu kota besar, tempat tumbuh aneka rupa ilmu, tempat berkembang kebudayaan lama. Disana diajarkan filsafah Yunani, Persia dan disana pula sebelum Islam timbul beberapa mazhab Nasrani memperdebatkan masalah-masalah aqidah, serta didiami oleh aneka bangsa. Masalah-masalah politik, dasar-dasar aqidah di Kufahlah tumbuhnya. Disini hidup golongan Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, sebagaimana disana pula lahir ahli-ahli ijtihad terkenal. Di Kufah dikala itu terdapat halaqah ulama: pertama, halaqah untuk mengkaji (mudzakarah) bidang akidah. Kedua, halaqah untuk bermudzakarah dalam bidang fiqh. Dan Abu Hanifah berkonsentrasi kepada bidang fiqh.

Abu Hanifah tidak menjauhi bidang-bidang lain. Ia menguasai bidang qiraat, bidang arabiyah, bidang ilmu kalam. Dia turut berdiskusi dalam bidang kalam dan menghadapi partai-partai keagamaan yang tumbuh pada waktu itu. Pada akhirnya ia menghadapi fiqh dan menggunakan segala daya akal untuk fiqh dan perkembangannya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kufah dan Basrah, Abu Hanifah pergi ke Makkah dan Madinah sebagai pusat dari ajaran agama Islam. Lalu bergabung sebagai murid dari Ulama terkenal Atha’ bin Abi Rabah.

Abu Hanifah pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Sahabat Nabi itu itu di antaranya: Anas bin Malik, Abdullah bin Harist, Abdullah bin Abi Aufah, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thufail (‘Amir bin Watsilah).

Guru Abu Hanifah kebanyakan dari kalangan “tabi’in” (golongan yang hidup pada masa kemudian para sahabat Nabi). Diantara mereka itu ialah Imam Atha bin Abi Raba’ah (wafat pada tahun 114 H), Imam Nafi’ Muala Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), dan lain-lain lagi. Adapun orang alim ahli fiqh yang menjadi guru beliau yang paling masyhur ialah Imam Hamdan bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H), Imam Hanafi berguru kepada beliau sekitar 18 tahun.

Di antara orang yang pernah menjadi guru Abu Hanifah ialah Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdur Rahman bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Manshur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah bin Abi Abdur Rahman, dan lain-lainnya dari Ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.

Adapun faktor-faktor Abu Hanifah mencapai ketinggian ilmu dan yang mengarahkannya ialah:

1)     Sifat-sifat kepribadiannya, baik yang merupakan tabiatnya ataupun yang diusahakan, kemudian menjadi suatu melekat padanya. Ringkasnya sifat- sifat yang mengarahkan jalan pikirannya dan kecenderungannya.

2)     Guru-guru yang mengarahkannya dan menggariskan jalan yang dilaluinya, atau menampakkan kepadanya aneka rupa jalan, kemudian Abu Hanifah mengambil salah satunya.

3)     Kehidupan pribadinya, pengalaman-pengalaman dan penderitaan- penderitaan-nya yang menyebabkan dia menempuh jalan itu hingga keujungnya.

4)     Masa yang mempengaruhinya dan lingkungannya yang dihayatinya yang mempengaruhi sifat-sifat pribadinya.

 

Sifat-sifat yang dimiliki Abu Hanifah itu di antaranya :

1)     Seorang yang teguh pendirian, yang tidak dapat diombang ambingkan

1) pengaruh-pengaruh luar.

2)     Berani mengatakan salah terhadap yang salah, walaupun yang disalahkan itu seorang besar. Pernah dia mengatakan Hasan al-Bisri.

3)     Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang lain. Hal ini telah disarankan oleh gurunya Hamdan.

4)     Suka meneliti suatu hal yang dihadapi, tidak berhenti pada kulit-kulit saja, tetapi terus mendalami isinya.

5)     Mempunyai daya tangkap luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.

 

Abu Hanifah belajar kepada Imam Amir Syarahil asy-Syu’bi (wafat pada tahun 104 H), asy-Syu’bi ini telah melihat dan memperlihatkan keadaan pribadi beliau dan kecerdasan akalnya, lalu menasehati supaya rajin belajar ilmu pengetahuan, dan supaya mengambil tempat belajar yang tertentu(khusus) di majlis-majlis para Ulama, para cerdik pandai yang ternama waktu itu.

Nasehat baik ini diterima oleh Abu Hanifah dan memperlihatkan kesungguhannya, lalu dimasukkan kedalam hati dan sanubarinya, dan selanjutnya beliau mengerjakan dengan benar-benar. Yakni, sejak itulah beliau rajin belajar dan giat menuntut pengetahuan yang bertalian dengan keagamaan dan seluas-luasnya.

 Pada awalnya Abu Hanifah mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan hukum-hukum keagamaan, kemudian mempelajari pengetahuan tentang kepercayaan kepada tuhan atau sekarang disebut “ilmu kalam” dengan sedalam-dalamnya. Oleh karena itu beliau termasuk seorang yang amat luas mempelajarinya dan sangat rajin membahas dan membicarakannya. Sehingga beliau sering bertukar fikiran atau berdebat masalah ini, baik dengan kawan maupun dengan lawan. Abu Hanifah berpendapat “ilmu kalam” adalah salah satunya ilmu paling tinggi dan amat besar kegunaannya dalam lingkup keagamaan dan ilmu ini termasuk dalam bahagian pokok agama (ushuluddin).

Kemudian Abu Hanifah memiliki pandangan lain, yakni hati sanubari beliau tertarik mempelajari ilmu “fiqh”, ialah ilmu agama yang didalamnya hanya selalu membicarakan atau membahas soal-soal yang berkenaan dengan hukumannya, baik yang berkenaan dengan urusan ibadah maupun berkenaan dengan urusan mu’amalat atau masyarakat.

Sebagai bukti, bahwa beliau seorang yang pandai tentang ilmu fiqh, ialah sebagaimana pengakuan dan pernyataan para cerdik pandai, dan alim ulama dikala itu. Antara lain Imam Muhammad Abi Sulaiman, seorang guru mbeliau yang paling lama, setelah mengetahui kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, maka sewaktu-waktu ini beliau pergi keluar kota atau daerah lain, terutama dikala beliau pergi ke Basrah dalam waktu yang lama, maka beliau (Hanafi) lah yang disuruh untuk mengganti atau mewakili kedudukan beliau, seperti memberi fatwa tentang hukum-hukum agama dan memberi pelajaran kepada murid beliau.

Imam Abu Hanifah dikenal karena kecerdasannya. Suatu ketika ia menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukah kalian, siapa dia?”. Mereka menjawab “Tidak”. Ia berkata,” Dialah Nu’man bin Tsabit. Seandainya ia berkata bahwa tiang Mesjid itu emas, niscaya perkataannya dipakai sebagai agrumen.” Imam Malik tidaklah berlebihan dalam menggambarkan diri Abu Hanifah. Sebab, ia memang memiliki kekuatan dalam berargumen, daya tangkap yang cepat, cerdas dan tajam wawasannya.

Kecerdasannya Imam Abu Hanifah bukan hanya mengenai hukum Islam tapi menurut satu riwayat beliau juga terkenal orang yang pertama kali memiliki pengetahuan tentang cara membuat baju ubin. Benteng-benteng di kota Baghdad pada masa pemerintahan Al-Mansur, seluruh dindingnya terbuat dari batu ubin yang dibuat oleh Abu Hanifah.

 

C.      Guru-guru Imam Abu Hanifa

Menurut kebanyakan guru-guru beliau pada waktu itu ialah para ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in diantaranya ialah:

1)     Abdullah bin Mas’ud (Kufah)

2)     Ali bin Abi Thalib (Kufah)

3)     Ibrahim al-Nakhai (wafat 95 H)

4)     Amir bin Syarahil al-Sya’bi (wafat 104 H)

5)     Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau adalah orang alim ahli fiqh yang paling masyhur pada masa itu Imam Hanafi berguru kepadanya dalam tempo kurang lebih 18 tahun lamanya.

6)     Imam Atha bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H)

7)     Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H)

8)     Imam Salamah bin Kuhail

9)     Imam Qatadah

10)Imam Rabi’ah bin Abdurrahman dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya.

 

Adapun silsilah guru-guru dan murid-murid Imam Hanafi adalah sebagai berikut:

Guru dan murid Imam Abu Hanifah.

Abu Yusuf

Zufar

Hammad Ibn Sulaiman (w. 120 H)

 

Abu Hanifah Al- Nu’man (w. 150 H)

 

Muhammad Ibn Al-Hasan

 

‘Amir Ibn Syarahil Al- Sya’bi (w. 104 H)

Ibrahim Al- Nakha’i (w. 95 H)

 

Masyruq Ibn Al- Adja Al-Hamdani (w. 63 H)

 

Al-Aswad Ibn Yazid Al- Nakha’i (w. 104 H)

Ali Ibn Thalib (Kufah)

 

Abdullah Ibn Mas’ud (Kufah)

‘Alqamah Ibn Qais Al- Nakha’i (w. 62 H)

Syiraih Ibn Al-Hrits (w. 95 H)

 

 

 


      

 

 

 

                                                  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D.     Murid-murid Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah adalah seorang yang cerdas, karya-karyanya sangat terkenal dan mengagumkan bagi setiap pembacanya, maka banyak diantara murid-muridnya yang belajar kepadanya hingga mereka dapat terkenal kepandaiannya dan diakui oleh dunia Islam.

Murid-murid Imam Abu Hanifah yang paling terkenal yang pernah belajar dengannya di antaranya ialah:

1)     Imam Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dilahirkan pada tahun 113 H. Beliau ini setelah dewasa lalu belajar macam-macam ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan urusan keagamaan, kemudian belajar menghimpun atau mengumpulkan hadits dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah asy-Syaibani, Atha bin as-Saib dan lainnya. Imam Abu Yusuf termasuk golongan Ulama ahli hadits yang terkemuka. Beliau wafat pada tahun 183 H.

2)     Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, dilahirkan dikota Irak pada tahun 132 H. Beliau sejak kecil semula bertempat tinggal dikota Kufah, lalu pindah kekota Baghdad dan berdiam disana. Beliaulah  seorang alim yang bergaul rapat dengan kepala Negara Harun ar-Rasyid  di Baghdad. Beliau wafat pada tahun 189 H dikota Ryi.

3)     Imam Zafar bin Hudzail bin Qais al-Kufi, dilahirkan pada tahun 110 H. Mula-mula beliau ini belajar dan rajin menuntut ilmu hadits, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu akal atau ra’yi. Sekalipun demikian, beliau tetap menjadi seorang yang suka belajar dan mengajar,maka akhirnya beliau kelihatan menjadi seorang dari murid Imam Abu Hanifah yang terkenal ahli qiyas. Beliau wafat lebih dahulu dari lainnya pada tahun 158 H.

4)     Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau ini seorang murid Imam Hanafi yang terkenal seorang alim besar ahli fiqh. Beliau wafat pada tahun 204 H.

 

Empat orang itulah sahabat dan murid Imam Hanafi yang akhirnya menyiarkan dan mengembangkan aliran dan buah ijtihad beliau yang utama, dan mereka itulah yang mempunyai kelebihan besar dalam memecahkan atau mengupas soal-soal hukum yang bertalian dengan agama.

 

E.      Karya-karya Imam Abu Hanifah

Sebagian ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Imam Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah fikiran. Sebagian ide dan buah fikirannya ditulisnya dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian dibukukan. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:

1)     Al-Fara’id: yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum Islam.

2)     Asy-Syurut: yang membahas tentang perjanjian.

3)     Al-Fiqh al-Akbar: yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Maghnisawi.

Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak, didalamnya terhimpun ide dan buah fikiran Abu Hanifah. Semua kitab itu kemudian jadi pegangan pengikut mazhab Imam Hanafi. Ulama mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu kepada tiga tingkatan.

Pertama, tingkat al-Ushul (masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah langsung yang diriwayatkan Imam Hanafi dan sahabatnya kitab dalam kategori ini disebut juga Zahir ar-Riwayah (teks riwayat) yang terdiri atas enam kitab yaitu:

1)     Al-Mabsuth: (Syamsudin Al-Syarkhasi)

2)     Al-Jami’ As-Shagir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

3)     Al-Jami’ Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

4)     As-Sair As-Saghir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

5)     As-Sair Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

Kedua tingkat Masail an-Nawazir (masalah yang diberikan sebagai nazar), kitab-kitab yang termasuk dalam kategori yang kedua ini adalah:

1)     Harun an-Niyah: (niat yang murni)

2)     Jurj an-Niyah: (rusaknya niat)

3)     Qais an-Niyah: (kadar niat)

 

Ketiga, tingkat al-Fatwa Wa al-Faqi’at, (fatwa-fatwa dalam permasalahan) yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath (pengambilan hukum dan penetapannya) ini adalah kitab-kitab an-Nawazil (bencana), dari Imam Abdul Lais as-Samarqandi.

Adapun ciri khas fiqh Imam Abu Hanifah adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam pandangan syari’at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian manusia sangat ekstrim menilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun, disisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama.

 Perbedaan pendapat yang ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana Imam Abu Hanifah hidup. Orang- orang pada waktu itu menilai beliau berdasarkan perjuangan, prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontrovensional, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang lain23. Imam Abu Hanifah wafat didalam penjara ketika berusia 70 tahun tepatnya pada bulan rajab tahun 150H (767 M).

 

F.      Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah

Pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada. Abu Hanifah dikenal sebagai Ulama al-Ra’yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang di istinbathkan dari al-Quran ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar.

Dari keterangan diatas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy menggunakan ra’yu. Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh diatas, Imam Abu Hanifah berijtihad untuk mengistinbathkan hukum, apabila sebuah masalah tidak terdapat hukum yang qath’iy (tetap dan jelas hukumnya dalam al-Quran dan hadits), atau masih bersifat zhanny dengan menggunakan beberapa cara atau

 metode yang Imam Abu Hanifah gunakan dalam mengistinbathkan hokum adalah dengan berpedoman pada:

1)    Al-Quran

Al-Quran al-Karim adalah sumber hukum yang paling utama. Yang dimaksud dengan al-Quran adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tertulis dalam mushaf bahasa arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimula dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa al-Quran merupakan sendi al-Syariah dan tali Allah yang kokoh, ia adalah yang umum yang kembali kepadanya seluruh hukum-hukumnya, al-Kitab sumbernya, dan tidak ada satu sumber hukum melainkan harus tunduk padanya.

 

2)    Al-Sunnah

Kata سنة berasal dari kata etimologi secara سنیسنسنة  berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara adalah sesuatu yang baik, atau yang buruk. Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.

Menurut Imam Abu Hanifh al-Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan perinci kandungan al-Kitab yang mujmal sebagaimana fungsi Nabi SAW menyampaikan wahyu yang diturunkan padanya, menjelaskan dan mengajarkan.

 

3)    Fatwa-Fatwa (Aqwal) Sahabat

Fatwa-fatwa sahabat dijadikan Imam Abu Hanifah sebagai sumber pengambilan atau penetapan hukum dan ia tidak mengambil fatwa dari kalangan tabi’in. Hal ini disebabkan adanya dugaan terhadap pendapat ulama tabi’in atau masuk dalam pendapat sahabat, sedangkan pendapat para sahabat diperoleh dari talaqqy dengan Rasulullah SAW, bukan hanya dengan berdasarkan ijtihad semata, tetapi diduga para sahabat tidak mengatakan itu sebagai sabda Nabi, khawatir salah berarti berdusta atas Nabi.

Perlu ditambahkan bahwa dalam kitab-kitab Mazhab Imam Hanafi terdapat beberapa perkataan (aqwal), yakni qaul Imam Abu Hanifah sendiri, Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Zafar bun Hudzail. Karena Imam Abu Hanifah melarang para muridnya untuk taqlid meskipun bertentangan dengan pendapatnya.

 

4)    Qiyas

Secara etimologi, kata qiyas berarti قدر artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya. Sedangkan tentang arti qiyas menurut terminologi terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan maknanya. Salah satunya adalah pendapat Abu Zahrah yaitu : “Menghubungkan (menyamakan) hukum perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dengan hukum perkara yang sudah ada ketentuan nashnya berdasarkan persamaan ‘illat hukum keduanya”.

Dari definisi di atas, maka para ulama ushul menetapkan rukun qiyas yang terdiri dari 4 macam, yaitu:

               i.      Ashal, yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan. Ashal ini harus berupa ayat al-Quran atau sunnah, serta mengandung ‘illat hukum.

             ii.      Far’u, yaitu cabang atau sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yaitu yang diqiyaskan, yang disyaratkan tidak memiliki hukum sendiri, memiliki ‘illat hukum sama dengan ‘illat hukum yang ada pada ashal, tidal lebih dahulu dari ashal, dan memiliki hukum yang sama dengan ashal.

           iii.      Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada ashal kemudian menjadi hukum pula pada far’u (cabang). Yang disyaratkan bersifat hukum amaliyah, pensyariatkannya rasional (dapat dipahami), bukan hukum yang khusus (seperti khusus untuk Nabi), dan hukum ashal masih berlaku.

           iv.      ‘Illat hukum, yang sifat nyata dan tertentu yang berkaitan dengan ada dan tidak adanya hukum. ‘Illat hukum disyaratkan dapat diketahui dengan jelas adanya ‘illat, dapat dipastikan terdapatnya ‘illat tersebutpada far’u, ‘illat merupakan penerapan hukum untuk mendapat Maqasid al-Syari’iyyah dan ‘illat tidak berlawanan dengan nash.

 

5)    Istihsan

Dari segi bahasa kata istihsan adalah bentuk mashdarnya –استحسن نا استحسایستحسن artinya menganggap sesuatu lebih baik, adanya sesuatu itu lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah penetapan hukum dari seorang mujahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah- masalah yang serupa, karena alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukan penyimpangan itu.

 

6)    Ijma’

Secara bahasa ijma’ berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk mashdarnya عا اجمایجمعاجمع secara bahasa memiliki beberapa arti, di antaranya: pertama, ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu. Kedua, sepakat. Sedangkan secara istilah syara’ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (amaly)38. Para ulama telah sepakat tidak terkecuali Imam Abu Hanifah bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’.

 

7)    ‘Urf (Adat Yang Berlaku Didalam Masyarakat Umat Islam)

Dilihat dari segi bahasa kata ‘urf berasal dari bahasa arab mashdarnya عرفا یعرفعرف sering diartikan dengan sesuatu yang dikenal. Contohnya dalam kalimat عرفا فلان من اولى احمد Ahmad lebih dikenal dari yang lainnya. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka.  

Para ulama sepakat apabila ‘urf bertolak belakang atau bertentangan dengan al-Quran dan sunnah maka ‘urf tersebut bertolak (tidak bisa diterima).

G.     Penilaian para Ulama terhadap Abu Hanifah

Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, di antaranya :

1.      Al-Futhail bin Iyadh berkata,”Abu Hanifah adalah seorang yang ahli fiqh dan terkenal dengan keilmuannya itu, selain itu dia juga terkenal dengan kewaraannya, banyak harta, sangat memuliakan dan menghormati orang- orang disekitarnya sabar dan menuntut ilmu siang dan malam, banyak bangun dimalam hari, tidak banyak berbicara kecuali ketika harus menjelaskan kepada masyarakat tentang halal dan haramnya suatu perkara. Dia sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran dan tidak suka dengan harta para penguasa.

 

2.      Abdullah Ibnul Mubarok berkata, “kalaulah Allah SWT tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, “wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari  perbuatan ghaib adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya, kemudian beliau menimpali “Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah”. Beliau juga berkata, “Aku akan datang kekota Kufah, aku bertanya siapakah orangyang paling wara’ dikota Kufah? maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah. Dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.

 

3.       Al-Qodhi Abi Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan faqih hadits dari Abu Hanifah”.

 

4.      Imam Syafi’i berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah faqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”.

 

5.      Faudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.

Beberapa penilaian negatif yang ditunjukkan kepada Abu Hanifah, selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditunjukkan kepada beliau, di antaranya:

1.      Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Shahibur ra’yi Mudhtarib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.

2.      Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib an-Nasa’i berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.

3.      Abdullah ibnu Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin

3. didalam hadits”.

4.      Sebagian Ahlul Ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahami masalah iman, yaitu pernyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.

 

Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur al-Maturidi dan mengasi pendapat ini adalah Ahlil Hadits. Dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran didalam hati dan penetapan dengan lisan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksud dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumhur dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dan hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan ada yang samar.

Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat al-Quran itu makhluk. Padahal telah dinukil dari beliau bahwa al-Quran itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan al-Quran adalah makhluk. Dan ini merupakan ahlul haq.


 

BIOGRAFI IMAM MALIK

 

A.     Riwayat Imam Malik

Imam Malik adalah imam kedua dari imam empat dalam islam dari segi umur beliau lahir 13 tahun sesudah Abu Hanifah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi. Beliau merupakan imam dari Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah saudara Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah. Beliau lahir di Madinah tahun 93 H, beliau berasal dari keturunan bangsa Himyar, jajahan Negeri Yaman.

Ayah Imam Malik adalah Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Abi Al-Haris Ibn Sa’ad Ibn Auf Ibn Ady Ibn Malik Ibn Jazid. Ibunya bernama Siti Aliyah binti Syuraik  Ibn  Abdul  Rahman  Ibn  Syuraik  Al-Azdiyah.  Ada  riwayat  yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan ibunya selama 2 tahun ada pula yang mengatakan sampai 3 tahun.

Imam  Malik Ibn  Anas  dilahirkan  saat menjelang  periode  sahabat Nabi SAW  di Madinah. Tidak  berbeda  dengan Abu  Hanifah,  beliau  juga  termasuk ulama  zaman, ia lahir  pada  masa  Bani  Umayyah  tepat  pada  pemerintahan  Alwalid Abdul Malik ( setelah Umar ibn Abdul Aziz) dan meninggal pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Rasyud (179 H).

Imam  Malik menikah  dengan  seorang  hamba yang  melahirkan  3  anak laki-laki  (Muhammad,  Hammad  dan  Yahya)  dan  seorang  anak  perempuan (Fatimah  yang  mendapat  julukan  Umm  al-Mu’minin).  Menurut  Abu  Umar, Fatimah  temasuk  di  antara anak-anaknya  yang  dengan  tekun  mempelajari  dan hafal dengan baik Kitab al-Muwatta’.

 

B.     Kehidupan Imam Malik

Setelah ditinggal orang yang menjamin kehidupannya, Imam Malik harus mampu  membiayai  barang  daganganya  seharga  400  dinar  yang  merupakan warisan  dari  ayahnya,  tetapi  karena  perhatian  beliau  hanya  tercurah  kepada masalah-masalah  keilmuan  saja  sehingga  beliau  tidak  memikirkan  usahadagangnya,  akhirnya  belaiu  mengalami  kebangkrutan  dan  kehidupan  bersama keluarganya pun semakin menderita.

Selama  menuntut  ilmu  Imam  Malik  dikenal  sangat  sabar,  tidak  jarang beliau  menemui  kesulitan  dan  penderitaan.  Ibnu  Al-Qasyim  pernah  mengatakan “Pendritaan  Malik  selama  menuntut  ilmu  sedemikian  rupa  sampai-sampai  ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual di pasar.

Setelah  Imam  Malik  tidak  dapat  lagi  mencukupi  kebutuhan  hidup keluarganya kecuali dengan mengorbankan tekad menuntut ilmu, mulailah Imam Malik  menyatakan  seruannya  kepada  penguasa,  agar  para  ahli  dijamin  dapat mencurahkan waktu dan tenaga untuk menekuni ilmu yaitu dengan memberi gaji atau penghasilan lain untuk menjamin kehidupan mereka.

Namun tak ada seorang pun pengusaha yang menghiraukan seruan Imam Malik.  Karena  pada  saat  itu  Daulah  Umayyah  sedang  sibuk  memperkokoh  dan menetapkan kekuasannya, mereka sedang menarik simpati para ilmuan yang tua bukan yang muda.

Hingga  akhirnya  secara  kebetulan  Imam  Malik  bertemu  dengan  pemuda dari mesir yang juga menuntut ilmu, pemuda itu bernama Al-Layts Ibn Sa’ad dan keduanya  saling  mengagumi kecerdasan  masing-masing.  Hingga  timbulah semangat persaudaran atas dasar saling menghormati.

Meskipun  Imam  Malik  senantiasa  menutupi  kemiskinan  dan penderitaannya  dengan  selalu  berpakaian  baik,  rapi  dan  bersih  serta  memakai wangi-wangian, tetapi Al-Layts ibn Sa’ad mengetahui kondisi Imam Malik yang sebenarnya,  sehingga  sepulangnya  kenegerinya,  Al-Layts  tetap  mengirimkan hadia uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu khalifah yang berkuasa menyambut  baik  seruan  Imam  Malik  agar  penguasa  memberikan gaai  atau penghasilan kepada para ahli ilmu.

 

C.      Pendidikan Imam Malik

Imam  Malik terdidik  dikota Madinah pada  masa  pemerintahan  Khalifah Sulaiman  Ibn  Abdul  Malik  dari  Bani  Umayyah,  pada  masa  itu  masih  terdapat beberapa  golongan  pendukung  islam  antara  lain  sahabat  Anshar  dan  Muhajirin. Pelajaran  pertama  yang  diterimanya  adalah al-Qur’an yakni  bagaiman  cara membacanya, memahami makna dan tafsirnya. Beliau juga hapal al-Qur’an diluar kepala.  Salain  itu  beliau  juga  mempelajari hadits Nabi  SAW,  Sehingga  belaiau dapat julukan sebagai ahli Hadits.

Sejak  masa  kanak-kanak Imam  Malik sudah terkenal  sebagai  ulam  dan guru  dalam  pengajaran  islam.  Kakeknya  yang  senama  dengannya,  merupakan ulama hadits yang terkenal dan dipandang sebagai perawi hadits yang hidup samapi Imam  Malik berusia 10 tahun. Dan pada  saat  itupun Imam  Malik sudah  mulai bersekolah, dan hingga dewasa belaiu terus menuntut ilmu.

Imam  Malik mempelajari  bermacam-macam  bidang  ilmu  pengetahuan seperti ilmu Hadits, Al-Rad al-Ahlil Ahwa Fatwa, fatwa dari para sahabat-sahabat dan ilmu fiqih ahli ra’yu (fikir). Selain itu sejak kecil beliau juga telah hafal al-Qur’an.  Hal  itu  beliau  lakukan  karena  senantiasa  beliau  mandapatkan  dorongan dari ibundanya agar senantiasa giat menuntut ilmu.

 

D.     Guru-Guru Imam Malik

Saat  menuntut  ilmu Imam  Malik mempunyai  banyak  guru.  Dalam  kitab “Tahdzibul  Asma  wa  Lughat”  mengatakan  bahwa Imam  Malik pernah  belajar kepada  900  syeikh,  300  diantaranya  dari  golongan  tabi’in  dan  600  lagi  dari golongan tabi’i tabi’in.

Guru-guru Imam  Malik adalah  Orang-orang  yang  dia  pilih,  dan  pilihan imam  didasarkan  kepada  ketaatannya  beragama,  ilmu  fikihnya,  cara meriwayatkan hadits, syarat-syarat meriwayatkan dan mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Imam Malik meninggalkan perawi yang banyak mempunyai hutang dan suka mendamaikan yang mana riwayat-riwayat mereka tidak dikenal.

Adz-Dzahabi  berkata,  “untuk  pertama  kalinya  malik  mencari  ilmu  pada yahun  120  Hijriyah,  yaitu  tahun  dimana  Hasan  Al-Basri  meninggal.  Malik mengambil hadits dari  nafi’  yaitu orang  yang  tidak  bisa  ditinggalkannya  dalam periwayata. Dan diantara guru-gurunya yang terkenal diantaranya:

1.      Abu Radih Nafi Bin Abd Al-Rahaman

Dalam  bidang  Al-Qur’an, Imam  Malik belajar  membaca  dan menghafal Al-Qur’an sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu tajwid yang baku dari ulma yang terkenal, Abu Radih Nafi Bin Abd Al-Rahaman yang sangat terkenal dalam bidang ini hingga masa sekarang.

2.      Nafi’

Nafi’ merupakan seorang ulam hadits yang besar pada masa awal   kehidupan imam malik. Nafi’ mempelajari ini dari gurunya yang mashur (  Abdullah  ibn  Umar)  karena  Nafi”  pada mulanya  adalah  seorang budak  yang  dimerdekakannya  setelah  30  tahun  melayaninya.  Orang yang  mengetahui  kedudukan  Abdullah  ibn  Umar  dalam  khasanah hadits niscaya  akan  memahami  betapa  beruntungnya  Nafi’  dapat belajar dari tokoh yang sedemikian besar.

3.      Rabiah Bin Abdul Rahman (Rabiah Al-Ray)

Beliau berguru kepadanya ketika masah kecil. Imam Malik banyak mendengarkan  hadits-hadits  nabi  dari  belau.  Selain  itu  beliau  juga merupakan guru Imam Malik dalam bidang hukum islam.

4.      Muhammad Bin Yahya Al-Anshari

Beliau  merupakan  guru Imam  Malik yang  lain.  Termasuk  juga kedalam  kelompok  tabi’in  dia  biasa  mengajar  di  masjid  Nabawi Madinah. Sedangkan  guru-guru  beliau  yang  lain  adalah  ja’far  ash-Shadiq,  Abu Hazim Salmah bin Nidar, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id dan lain-lain.

 

E.      Murid-Murid Imam Malik

Imam Malik mempunya banyak sekali murid yang terdiri dari para ulama’. Qodhi  Ilyad  menyebutkan  bahwa  lebih  dari  1000  orang  ulama’  terkenal  yang menjadi  murid Imam  Malik,  diantaranya:  Muhammad  bin  Nuskim  al-Auhri, Rabi’ah  bin  Abdurrahman,  Yahya   bin  zaid  al-Anshori,  Muhammad  bin  Ajlal, Salim bin Abi Umayah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad bin Ishaq dan Sulaiman bin Mahram al-Amasi.

Imam  Malik terkenal  dengan  sikapnya  yang  berpegang  kuat  kepada  As-Sunnah,  amalan  ahli Madinah,  al-Mashali al-Mursalah,  pendapat  sahabat  (qaul sahabi)  jika  sah  sanadnya  dan  al-istihsan.  Murid-murid Imam  Malik ada  yang datang dari mesir, Afrika Utara, dan Spanyol. Tujuh orang yang termasyhur dari mesir adalah:

1.      Abu Abdullah, Abdurrahman ibnu Qasim (meninggal di mesir pada tahun 191 H). Dia belajar ilmu fiqih dari Imam Malik selama 20 tahun dan Al-Laits  bin  Sa’ad  seorang  ahli  fiqih  Mesir  (meninggal  tahun  175  H).  Abu abdullah  adalah  seorang  mujtahid  mutlak.  Yahya  bin  yahya menganggapnya sebagai seorang seseorang yang paling alim tentang ilmu Imam Malik dikalangan sahabatnya, dan orang yang paling amah terhadap ilmu Imam Malik.

 

2.      Abu Muhammad, Abdullah bin Wahb bin Muslim (dilahirkan pada tahun 125 H dan meninggal tahun 197). Dia belajar dari Imam Malik selama 20 tahun. Setelah itu, dia mengembang madzhab Maliki di Mesir. Dia telah melakukan usaha yang serius untuk membukukan madzhab Maliki. Imam Malik pernah  menulis  surat  kepadanya  dengan  menyebut  gelar  “Fiqih Mesir” dan “abu Muhammad al-Mufti”. Dai juga pernah belajar ilmu fiqih dari  Al-Laits  bin  Sa’ad.  Dia  juga  seorang  ahli  hadits  yang  dipercaya  dan mendapat julukan “Diwan Ilmu”.

 

3.      Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi, dilahirkan pada tahun yang sama dengan imam syafi’i, yaitu pada tahun 150 H, dan meninggal pada tahun 204 H. Kelahirannya  terpaut  sembilan  belas  hari  setelah  imam  Syafi’i  lahir.  Dia telah mempelajari ilmu fiqih dari Imam Malik dan Al-Laits bin Sa’ad.

 

4.      Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam. Meninggal pada tahun 214 H. Dia merupakan orang yang paling alim tentang pendapat Imam Malik. Dia menjadi pemimpin madzhab Maliki setelah Asyhab.

 

5.      Asbagh  ibnu  Farj  al-Umawi.  Didinisbahkan  kepada  bani  Umayyah karena  ada  hubungan  hamba  sahaya.  Dia  meninggal  pada  tahun  225  H. Dia belajar fiqih kepada Ibnul Qasim, Ibnu Wahb, dan Asyhab.

 

6.      Muhammad bin Abdullah ibnu Hakam. Dia meninggal pada tahun 268 H. Dia  menuntut  ilmu,  khususnya  fiqih  kepada  ayahnya  dan  juga  kepada ulama  madzhab  Maliki  pada  zamannya,  dia  juga  belajar  kepada  imam Syafi’i.

 

7.      Muhammad bin Ibrahim Al-Askandari bin ziyad yang terkenal dengan ibnu Mawaz  (meninggal  pada  tahun  269  H).  Dia  belajar  ilmu  fiqih  kepada ulama  semasanya  sehingga  dia  mumpuni  dalam  bidang  fiqih dan  fatwa. Kitab al-Nawwaziyyah merupakan  kitab  yang  agung yang  pernah dihasilkan  oleh  madzhab  Maliki.  Ia  mengandungi  masalah  hukum  yang paling  shahih,  bahasanya  mudah  dan  pembahasannya  menyeluruh.  Cara kitab  ini  menyelesaikan  masalah-masalah  cabang  ialah  dengan menyandarkan kepada ushul (asas dan dasar).

 

Banyak sekali para penuntut ilmu meriwayatkan hadits dari Imam Malik ketika beliau masih muda belia. Disini kita kategorikan beberapa kelompok yang meriwayatkan hadits dari beliau, diantaranya; Guru-guru beliau yang meriwayatkan dari Imam Malik, diantaranya;

a.       Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zahrani

b.      Yahya bin Sa’id Al-Anshari

c.       Paman beliau, Abu Sahl Nafi’ bin Malik

 

Dari kalangan teman sejawat beliau adalah;

a.       Ma’mar bin Rasyid

b.      Abdul Malik bin Juraij

c.       Imam Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit

d.      Syu’bah bin Al-Hajaj

e.       Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri

f.        Al-Laits bin Sa’d

 

Orang-orang yang meriwayatkan dari Imam Malik setelah mereka adalah;

a.       Yahya Bin Sa’id Al-Qaththan

b.      Abdullah bin Al-Mubarak

c.       Abdurrahman bin Mahdi

d.      Waki’ bin al Jarrah

e.       Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.

 

Sedangkan yang meriwayatkan Al Muwaththa` banyak sekali, diantaranya;

a.       Abdullah bin Yusuf At Tunisi

b.      Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi

c.       Abdullah bin Wahb al Mishri

d.      Yahya bin Yahya Al Laitsi

e.       Abu Mush’ab Az Zuhri

 

Sedang yang seangkatan adalah sufyan bin said al-sauri, lais bin saad al-Misri,  al-auza’i,  Hamad  bin  Zaid,  Sufyan  bin  Uyaynah,  Hammad  bin  Salamah, Abu  Hanifah  dan  Putranya  Hammad,  Qodhi  Abu  Yusuf,  Qodhi  Syuraik  bin Abdullah dan Syafi’i, Abdullah bin Mubarok, Muhammad bin hasan.

 

F.      Karya Imam Malik

Di  antara  karya Imam  Malik adalah  kitab  Al-Muwatha’ yang  ditulus pada tahun 144 H. Atas anjuran khalifah Ja’far Al-Mansyur, menurut peneliti Abu Bakar  Al-Abhary  atsar  Rasulullah  SAW,   para  sahabat  dan  tabi’in  yang tercamtum dalam kitab al-Muwatha’ sejumlah 1.720 orang.

Pendapat Imam Malik bisa sampai pada kita melalui 2 buah kitab, yaitu Al-Muwatha’ dan Al-Mudawwanah al-Kubro. Kitab al-Muwatha’ mengandung dua aspek  yaitu   aspek  hadits  dan  aspek  fiqih.  Adanya  aspek hadits karena  Al-Muwatha’  banyak  mengandung hadits yang  berasal  Rasulullah   SAW  atau  dari sahabat atau tabi’in. Hadits itu diperoleh dari 95 orang yang kesemuaannya dari penduduk Madinah,  kecuali  6  orang  diantaranya:  Abu  Al-zubair  (Makkah), Humaid  Al-Ta’wil  dan Ayyub  Al-Sahtiyang  (basrah),  Atha’  bin  Abdullah (khurasan), Abdul Karim (jazirah), Ibrahim ibn Abi Abiah (syam).

Sedangkan  yang  dimaksud  aspek  fiqih  adalah  kaena  kitab  Al-Muwatha’ disusun  berdasarkan  sistematika  dengan  bab-bab  pembahasan  layaknya  kitab fiqih. Ada bab thaharah, sholat, zakat, nikah, dan lain-lain.

Kitab  lain  karangan Imam  Malik adalah  kitab  Mudawwanah  Al-Kubro yang merupakan kumpulan risalah yang memuat kurang lebih 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh As’ad bin Al-furaid Al-Naisabury yang berasal dari tunis yang pernah menjadi murid Imam Malik.

 

G.     Metode Istimbat Hukum Imam Malik

Imam  Malik merupkan  imam  mazhab  yang  memiliki  perbedaan Istimbat hukum dengan imam mazhab lainnya. Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar  fiqhiyah  yang  menjadikan  pijakan  dalam  berijtihad,  tetapi pemuka-pemuka  maszhab  ini,  murid-murid Imam  Malik dan  generasi  yang  muncul sesudah  itu, mengumpulkan  dasar-dasar  fiqhiyah Imam  Malik kemudian menulisnya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendatipun tidak ditulis sendiri oleh Imam Malik, akan tetapi mempunyai kesinambungan pemikiran, paling tidak beberapa isyarat  itu  dapat  dijumpai  dalam  fatwa-fatwa Imam  Malik dalam  bukunya “Almuwatha’ ”. dan dalam Almuawatha’ , secara jelas Imam Malik menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai salah satu sumber hukum  setelah Al-Qur’an dan  As-Sunnah.  Bahkan  ia  mengambil  hadis Munqathi’ dan Mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.

Mengenai metode istimbath Imam Malik telah dijelaskan oleh Al-qadi iyat dalam  Al-Madarik  dar  Al -Rasyid,  dan  juga  salah  seorang  fuqaha  malikiyah. Kemudian dalam kitab Al-Bahjah yang di simpulkan oleh pengarang kitab Tarikh Al-Madzhabil Islamiyah disebutkan sebagai berikut: ”kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ulama ini dan yang lainya bahwasanya metode ijtihad imam Darul Hijriyah itu adalah apabila beliau tidak mendapat  suatu  nash  didalamnya  maka  dia  mencarinya  di  dalam  sunnah,  dan menurut beliau yang masih tergolong kategori sunnah perkataan Rasulullah saw, fatwa-fatwa sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah. Setelah sunnah dengan berbagai cabangnya berulah datang (dipakai) qiyas”.

Walaupun  para  ulama  hadits yang  ditemui  oleh Imam  Malik termasuk kelompok ulama tradisional yang menolak pemakaian akal dalam kajian hukum, namun  pengaruh  Rabi’ah  bin  yahya  bin  Sa’id  tetap  kuat  pada  corak  kajian fiqihnya.  Hal  ini  dapat  dilihat  pada  metodologi  kajian  hukum  madzhab  Malik yang  bersumber  pada: Al-Qur’an,  Hadits,  tradisi  masyarakat Madinah,  fatwa sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, sadd al-dzara’i.

Sedangkan  menurut  Hasbi  Ash-Shiedieqy  mengatakan Imam  Malik bin Anas  mendasarkan  fatwanya  kepada  kitabullah,  sunnah yang  beliau  pandang shahih, amal ahli Madinah, qiyas, istihsan.

Menurut  As-Satibi  dalam  kitab  Al-Muwafaqot  menyimpulkan  dasar-dasar Imam  Malik ada  empat  yaitu al-Qur’an,  Hadits,  ijma’,  ra’yu.  Sedangkan  fatwa sahabat  dan amal  ahli Madinah digolongkan  dalam  sunnah.  Ro’yu  meliputi masalahah mursalah, sadd al zara’i, adat (urf), istihsan dan istishab. Secara  garis  besar, dasar-dasar Imam  Malik dalam  menetapkan suatu hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.      Al-Qur’an

Ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab yang di riwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf. Dalam mengambil hukum di dalam al-Qur’an beliau berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mahfum  al-muwafaqoh dan mahfum  aula dengan  memperhatikan illatnya.

 

2.      Sunnah (Hadits)

Ialah  segala  perakataan,  perbuatan  dan  taqrir  (ketetapan)  Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum. Dalam mengambil hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukan dalam mengambil hukum  di  dalam al-Qur’an.  Beliau  lebih  mengutamakan  makna  yang terkandung dalam sunnah dari pada dhahir sunnah ( sunnah Mutawatir atau masyhur).

 

3.      Amal Ahli Madinah

Mazhab  maliki  memberikan  kedudukan  yang  penting  bagi perbuatan  orang-orang Madinah,  sehingga  kadang-kadang mengenyampingkan hadits ahad,  karena  amalan  ahli Madinah merupakan  pemberitaan  oleh  jama’ah sedangkan hadits ahad merupakan  pemberitaan  perorangan.  Apabila  pekerjaan  itu bertentangan  dengan   pekerjaan  orang Madinah,  menurut pandangannya sama kedudukannya dengan yang diriwayatkan mereka, dimana  mereka  mewarisi  pekerjaan  tersebut  dari  nenek  moyang mereka secara berurutan sampai kepada para sahabat.

Imam  Malik menggunakan dasar  amal  ahli Madinah karena mereka  paling  banyak  mendengar  dan  menerima hadits.  Amal  Ahli Madinah yang  digunakan  sebagai  dasar  hukum  merupakan  hasil mencontoh  Rasulullah  SAW  bukan  dari  Ijtihad  ahli Madinah,  serta amal ahli Madinah sebelum terbunuhnya Usman Bin Affan.

 

4.      Fatwa Sahabat

Fatwa  sahabat  merupakan  fatwa  yang  berasal  sahabat  besar  yang didasarkan  pada  al-naql.  Dan  fatwa  sahabat  itu  berwujud hadits yang wajib  diamalkan,  karena  menurut Imam  Malik sahabat  tersebut  tidak akan  memberikan  fatwa  kecuali  atas  dasar  apa  yang  dipahami  dari rasulullah  SAW,  dalam  hal  ini Imam  Malik mensyaratkan  fatwa sahabat tersebut harus tidak bertentangan dengan hadits marfu’.

 

5.      Qiyas Isthisan

Qiyas  merupakan  menghubungkan  suatu  kejadian  yang  tidak  ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan  oleh  nashnya  karena  adanya  kesamaan  dua  kejadian  itu didalam  “illat  hukum’.  Dan  qiyas  ini  merupakan  pintu  awal  dalam ijtihad untuk menentukan hukum yang tidak ada nashnya baik dalam al-Qur’an atau sunnah.

 

6.      Maslaha Mursalah

Maslahah Mursalah  yaitu memilihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan  menolak segala  sesuatu  yang  menolak  mahluk. Sedangkan isthisan  adalah  menurut  hukum  dengan  mengambil  maslahah  yang merupakan  bagian  dalam  dari  dalil  yaitu  bersipat  kulli  (menyeluruh) dengan  maksud  mengutamakan al-istidlal  al-mursal dari  pada  qiyas, sebab  menggunakan  isthisan  itu,  bukan  berarti  hanya  mendasarkan pada  pertimbangan  perasaan  semata,  melainkan  mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan.

Dalam hal ini, ketika Imam Malik menemui sebuah kasus dan tidak menemukan pemecahanya pada al-Qur’an, sunnah, serta ijma’ sahabat Madinah. Barulah ia mengqiyaskan kasus yang baru itu dengan kasus yang  mirip  yang  pernah  terjadi.  Jika  pada  dua  kasus  terjadi  banyak illat (sebab, alasan) yang serupa atau hampir serupa. Akan tetapi jika hasil pengqiyasan  itu  ternyata  berlawanan  dengan  kemaslahatan umum,  baginya  lebih  baik  menetapkan  keputusan  hukumnya  atas dasar prinsip kemaslahatan umum.

Imam  Malik menggunakan  maslahah  mursalah  pada  kepentingan yang sesuai dengan semangat syariah dan tidak bertentangan dengan salah  satu  sumbernya  serta  pada  kepentingan  yang  bersipat  dharury (meliputi pemiliharaan  agama,  kehidupan,  akal,  keturunan  dan kekayaan).

 

7.      Istihsan

Selanjutnya  metode  Istihsan  hukum  yang  digunakan Imam  Malik adalah Maslahah  yang bersifat umum bukan sekedar Maslahah  yang hanya berlaku untuk orang tertentu. Selain itu maslahah tersebut juga tidak  boleh  bertentangan  dengan  ketentuan  Nash  (baik  al-Quran maupun Sunnah).

 

8.      Zadd Al-Zarai’

Imam Malik menggunakan zadd al-zarai’ sebagai landasan dalam menetapkan hukum, karena menurutnya semua jalan atau sebab yang menuju  kepada  yang  haram  atau  larangan,  hukumnya  haram.  Dan semua  jalan  atau  sebab  yang  menuju  kepada  yang  halal,  halal  pula hukumnya

 


 

BAB I

SEJARAH SINGKAT IMAM SYAFI'I

 

1.      Putra Kelahiran Palestina

Imam Syafi'i dilahirkan pada 150 Hijriyah, bertepatan dengan wafatnya imam Abu Hanifah, guru para ahli fiqih Irak dan imam metode qiyas. Mayoritas riwayat menyatakan bahwa Syafi'i dilahirkan di Gaza, Palestina, seperti yang diriwayatkan oleh hakim melalui Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Al-Hakam. Ia berkata, "kudengar Syafi'i bertutur, 'aku dilahirkan di Ghaza, kemudian ibuku memboyong ku ke Asqalan.'"

 

2.      Nasab Yang Mulia

Nama lengkap imam Syafi'i adalah abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Al-Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi' Ibn Al-Sa’ib Ibn ‘Ubaid Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibnu Muthallib Ibn Abdi Manaf. Akar nasab Syafi'i bertemu dengan akar nasab Nabi SAW., Tepatnya di moyangnya yang bernama abdi Manaf.

Abdi Manaf adalah moyang Nabi SAW. Yang memiliki empat putra: Hasyim, darinya terlahir Nabi SAW,: Muthalib, darinya terlahir imam Syafi'i; Naufal, kakek dari Jabir Ibn Muth'im; dan Abd Syams, kakek moyang Bani Umayyah. Dengan demikian, nasab keluarga Muhammad Ibn Idris Ibn Abdullah Al-Syafi'i bertemu dengan nasab Nabi, tepatnya di Abdi Manaf sebagai kakek moyang Nabi SAW.

Ada satu syair tentang nasab nya ini:

Nasabnya seakan di sinari mentari pagi

Dan menjadi tiang bagi lentera

Didalamnya hanya para pemuka

Dan putra para pemuka

Yang terhormat, mulia, dan bertakwa.

 

3.      Keluarga Arab Murni

Muththalib ibn Abdi Manaf

Muththalib ibn Abdi Manaf adalah Paman Abdul Muthalib, kakek Nabi SAW. Ada yang berpendapat bahwa Abdul Muthalib dipanggil dengan nama "Abd" karena dia dirawat oleh Muthalib Ibn Abdi Manaf. Pada zaman jahiliyah, seorang anak yatim disebut "Abd" bagi orang yang merawatnya.

Abdul Muthalib hidup bersama pamannya, Muthalib, hingga sang Paman meninggal dunia. Ketika itu Bani Muthalib merupakan sekutu Bani Hasyim, baik pada zaman jahiliyah maupun pada zaman Islam. Tatkala kaum Quraisy memboikot keluarga Bani Hasyim karena mereka melindungi Nabi, Bani Muthalib-lah yang selalu mendampingi Bani Hasyim. Mereka rela tinggal di tenda-tenda pengungsian dan menerima segala perlakuan yang diterima oleh Bani Hasyim. Karena itu, Nabi SAW. Sangat menghargai peran dan jasa mereka. Beliau membagi 2/5 jatah harta rampasan perang yang diperuntukkan bagi kerabat beliau untuk Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Hal ini mendorong Bani Umayyah dan Bani Naufal meminta jatah seperti mereka.

Jabir Ibnu Muth'im menuturkan, "ketika Rasulullah membagikan hasil pampasan perang khaibar yang menjadi jatah kerabatnya kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, aku dan Utsman bin Affan menghadap beliau. Kataku, "wahai Rasulullah, mereka adalah saudara-saudaramu dari Bani Hasyim yang keutamaan mereka tak diragukan, karena Allah telah memilihmu dari kalangan mereka. Akan tetapi, engkau memberi jatah Abdul Muthalib, sementara kami kau abaikan. Padahal kami dan mereka sama saja.'

Mendengar hal ini, beliau menjawab, "mereka tidak pernah meninggalkan kami pada masa jahiliyah dan pada masa Islam. Bani Hasyim dan Bani Muthalib itu sama." Rasulullah mengucapkan hal itu sambil mencengkram jari-jari tangannya.

 

Hasyim Ibn Abdul Muthalib dan keturunannya

Hasyim Ibn Abdul Muthalib adalah ayah Abdul Muthalib, kakek Nabi. Karena kedekatan dan kecintaan Muthalib kepada Hasyim, Hasyim pun menamakan putranya dengan nama Abdul Muthalib. Abdu Yazid Ibn Hasyim punya nama lain: Abu Rukanah. Ia memiliki 4 putra yang pertama Rukana, ‘Ujair, ‘Umair, dan ‘Ubaid. Ibunda 'Ubaid Ibn  Yazid sendiri bernama Al-Sifa' binti Al-Arqam Ibnu Nadhalah.

Putra ‘Ubaid yang bernama Al-Sa'ib tadinya adalah seorang musyrik. Ia bertugas sebagai pengusung Panji Bani Hasyim pada perang badar. Tetapi ia ditawan, kemudian menebus dirinya sendiri. Setelah itu ia masuk Islam. Ketika ditanya kenapa tak masuk Islam sebelum menebus dirinya sendiri, ia menjawab, "Aku tidak mau menghalangi kaum mukmin membalas sikapku terhadap mereka".

Saat Al-Sa’ib dan Abbas, paman Rasulullah, dibawa menghadap beliau sebagai dua orang tawanan, Rasulullah SAW. Bersabda tentang Al-Sa’ib, "Dia saudaraku dan aku saudaranya." Konon, Al-Sa’ib ini sangat mirip dengan Nabi SAW.

Suatu ketika, Al-Sa’ib sakit. Umar berkata kepada para sahabatnya, "Mari kita menjenguk Al-Sa’ib Ibn ‘Ubaid karena ia orang Quraisy pilihan."

 

Syafi'i Ibn Al-Sa’ib dan Keturunannya

Syafi'i Ibn Al- Sa’ib

Ia adalah kakek dari kakek Imam Syafi'i. Nama Imam Syafi'i dinisbahkan kepadanya. Ia termasuk sahabat Rasulullah generasi terakhir. Semua riwayat sepakat bahwa ia pernah bertemu dengan Nabi saat ia dewasa. Tentangnya, ada satu hadis yang diriwayatkan oleh hakim dari Anas bahwa suatu hari Nabi SAW. Tengah berada di Fusthath. Tiba-tiba beliau didatangi oleh Al-Sa’ib Ibn Ubaid sambil membawa putranya yang masih belia, Syafi'i Ibn Al-Sa’ib. Nabi SAW pun memandang sang putra, lalu bersabda, "termasuk kebahagiaan seseorang jika ia mirip dengan bapaknya."

Syafi'i memiliki saudara bernama Abdullah yang pernah menjadi gubernur Mekah, seperti diriwayatkan Hakim.

 

Utsman Ibn Syafi'i

Ia adalah ayah kakek Imam Syafi'i. Ia  hidup hingga masa kekhalifahan Abi Al- Abbas As-Saffah, salah seorang khalifah dinasti Abbasiyah. Namanya pernah disebut dalam kisah Bani Muthalib. Ketika Al-Saffah ingin menyisihkan Bani Muthalib dari jatah seperlima pampasan perang yang sudah ditentukan Allah dan mengkhususkannya untuk Bani Hasyim saja, maka Utsman menentangnya dan meluruskan kondisinya hingga seperti pada zaman Nabi.

 

Al-Abbas Ibn Utsman

Ia adalah kakek Imam Syafi'i. Ia banyak meriwayatkan hadis dan banyak hadis diriwayatkan darinya. Al-Khajraji menyebut namanya dalam kitab Khalashah. Disebut bahwa Abbas meriwayatkan hadits dari Umar Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib r.a.

 

Idris Ibn Abbas

Ayah Imam Syafi'i adalah Idris Ibn Abbas. Ia berasal dari Tabalah (bagian dari negeri Tahamah yang terkenal). Tadinya ia bermukim di Madinah, tetapi di sana ia banyak menemui hal yang tidak menyenangkan. Akhirnya ia hijrah ke Asqalan (kota di Palestina). Ia pun menetap di sana hingga wafat. Ketika itu Imam Syafi'i masih dalam buaian sang ibu. Idris hidup miskin.

 

4.      Ibunda Sang Pembimbing

Ibunda Imam Syafi'i berasal dari Azad, salah satu kabilah Arab yang masih murni. Ia tidak termasuk kabilah Quraisy, meskipun sekelompok orang fanatik terhadap Imam Syafi'i mengaku-ngaku bahwa ibunda Syafi'i berasal dari kaum Quraisy Alawi. Pendapat yang benar adalah ia berasal dari kaum Azad karena riwayat-riwayat yang bersumber dari Syafi'i menegaskan bahwa ibunya berasal dari  Azad. Para ulama pun sepakat akan keabsahan riwayat tersebut.

 

Seorang ibu yang sadar adalah ibu yang mendidik putra-putrinya dengan kebaikan dan keutamaan. Ibunda Imam Syafi'i merupakan sosok ibu yang memiliki andil besar dalam membentuk dan membina kepribadiannya. Ibunda Imam Syafi'i berasal dari kabilah Azad, satu kabilah Arab yang masih murni.

 

Ahli Ibadah Yang Cerdas

Ibunda Imam Syafi'i taat beribadah dan berakhlak mulia. Diantara hal menarik tentang kecerdasannya adalah saat ia menjadi salah seorang saksi di hadapan pengadilan Mekkah bersama seorang saksi perempuan lain dan seorang saksi laki-laki. ketika itu hakim ingin memisahkan antara kesaksian 2 orang perempuan tersebut. Akan tetapi, ibunda Imam Syafi'i berseru, "kau tidak layak melakukan hal itu karena Allah telah berfirman, Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki maka (boleh seorang lelaki dan 2 perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seseorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya (Al-Baqarah: 282). "Akhirnya sang hakim menarik kembali pendapatnya.

Belakangan, sosok seorang ibu seperti dirinya memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk kepribadian Imam Syafi'i.

 

5.      Hidup Miskin

Syafi'i terlahir dari seorang bapak keturunan Quraisy. Bapaknya meninggal dunia saat Syafi’i masih dalam buaian ibunya. Syafi'i hidup sebagai anak yatim dan miskin, sementara nasabnya sangat mulia. Jika kemiskinan disandingkan dengan keturunan yang mulia maka orang yang dibina dalam kondisi ini akan tumbuh baik, memiliki akhlak yang lurus, dan menempuh jalur yang mulia. Karena, ketinggian masa mendorong seorang anak untuk memiliki nilai-nilai mulia dan menjauhi hal-hal yang hina sejak kecil selain itu hakikat "pertumbuhan" sendiri selalu bergerak ke arah ketinggian dan nilai-nilai baik. Kemiskinan yang disertai dengan ketinggian nasab inilah yang membuat Syafi'i kecil dekat dengan masyarakat dan ikut merasakan penderitaan mereka. Syafi'i sering berbaur dengan mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan.

 

Syafi'i Pindah Ke Mekah

Nilai-nilai luhur telah tertanam dalam diri Syafi'i. Ibunya selalu membimbing Syafi'i untuk terus meraihnya dengan mengirim Syafi'i dari Gaza ke Mekkah. Hal ini ia lakukan agar Syafi'i bisa hidup tidak jauh dari pusat ilmu kala itu. Sang ibu juga takut Syafi’i kehilangan garis nasabnya di sana. Al-Baghdadi meriwayatkan, dalam tarikh Baghdad,dengan sanad yang tersambung hingga Syafi'i bahwa Syafei ber pernah berkata, "Aku dilahirkan di desa Yaman (desa di Palestina). Ibuku khawatir aku tersia-siakan. Ia berpesan kepadaku, 'carilah garis nasab keluargamu agar kau menjadi seperti mereka. Aku takut garis nasabmu hilang'. Kemudian ibuku mempersiapkan segalanya untuk perjalananku ke Mekah. Aku pun berangkat ke sana. Ketika itu aku masih berumur sekitar 10 tahun. Aku menetap di rumah salah seorang kerabat ku dan mulai menuntut ilmu di sana."

 

BAB II

PERJALANAN MENUNTUT ILMU

 

1.      Awal Menuntut Ilmu

Syafi'i mulai membuka mata dan hatinya di negeri kelahiran moyangnya. Negeri yang merupakan tumpuan hati dan harapan seluruhkaum Muslim di dunia dan tempat turunnya wahyu islam, Mekkah. Syafi'i mulai beradaptasi dengan lingkungan ini untuk mengukuhkan posisinya di tengah para ulama dan orang-orang terhormat. Adakah jalan untuk ini selain dengan menuntut ilmu?

Ibunda yang cerdik ingin membawa Syafi'i kecil ke tempat seorang guru untuk memintanya mengajari Syafi'i membaca Al-Qur’an dan menulis layaknya anak-anak saat mulai belajar. Sayangnya, sang ibu tidak memiliki apa-apa untuk diberikan sebagai upah kepada guru. Tentang hal ini, Syafi'i menuturkan, "Aku seorang yatim yang diasuh ibuku. Ia tidak memiliki apa-apa untuk biaya pendidikan ku."

 

2.      Anak Yang Matang Dan Cerdas

 Suatu hari guru Syafi'i terlambat datang ke majelisnya. Dengan nekat Syafi’i berdiri menggantikan gurunya mengajar anak-anak yang lain. Sejak itu, sang guru tahu bahwa Syafi'i bukan anak biasa. Ia pun mulai memerhatikan Syafi'i dan memutuskan untuk membebaskannya dari biaya pendidikan asal Syafi'i mau mengajari anak-anak lain jika ia terlambat atau berhalangan hadir.

Dengan penuturan Syafi’i, "Saat membaca buku, Aku dengar guruku tengah mengajari seorang anak tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Aku pun memulai menghafalnya. Ketika guru selesai mendiktekan semua ayat untuk murid-muridnya, biasanya aku sudah menghafalnya terlebih dahulu. Suatu hari guruku pernah berkata, 'tak layak bagiku untuk memungut bayaran sepeser pun darimu'".

Hal ini terus berlangsung sampai Syafi'i menghafal seluruh Al-Qur’an, padahal ketika itu ia baru menginjak usia 7 tahun.

 

3.      Masa Muda Tanpa Gejala Pubertas

Syafi'i mulai masuk ke masjid dan berkumpul dengan para ulama. Ia banyak mendengarkan pelajaran dari mereka dengan mengerahkan segenap kemampuan otak dan semangatnya. Setelah rampung menghafal Al-Qur’an, Syafi'i mulai tertarik menghafal hadits. Antusiasnya terhadap hadis sangat tinggi. Saking banyaknya ia mendengarkan para Muhaddits menyampaikan hadis, Ia berhasil menghafal banyak hadits dengan hanya mendengar. Kadang ia menuliskannya di atas tembikar atau di atas kulit.

Ia biasa pergi ke perpustakaan tempat catatan-catatan atau manuskrip-manuskrip disimpan. Di sana ia meminta beberapa lembar manuskrip dan menulis catatan di bagian yang belum ada catatannya. Pada fase ini ia berhasil menghafal Al-Muwaththa' karya besar Imam Malik, bahkan sebelum ia bertemu dengan sang imam.

Al-Muzanni meriwayatkan dari Syafi’i, katanya, "Aku telah menghafal Al-Qur’an saat aku berumur 7 tahun, dan berhasil menghafal Al-Muwaththa' saat aku berumur 10 tahun".

Pada masa mudanya Syafi'i belum pernah menikmati indahnya masa muda atau mengalami gejala pubertas seperti kebanyakan anak seusianya. Syafi'i lebih menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan menjadikannya sebagai tujuan.

Tentang kebiasaan menulis ini, Syafi'i mencatat pesannya dalam satu bait syair:

Ilmu buruan dan catatan adalah pengikatnya

Ikatlah buruan mu dengan tali yang kuat

Sungguh bodoh jika kau berhasil memburu rusa

Namun kau biarkan ia terlepas di tengah makhluk lain

 

Imam Syafi'i menjelaskan bahwa nilai manusia terletak pada ilmunya, bukan pada pakaian atau penampilannya. Ia berkata,

Aku mengenakan pakaian yang jika semuanya kujual niscaya menghasilkan uang yang banyak

Dalam pakaian itu ada satu napas jika dibandingkan dengan napas-napas yang berpenyakit paru-paru maka ia lebih besar

Merusak sarung pedang takkan merusak ketajaman pedangnya

Meski pedang itu patah sepanjang sarungnya.

 

Tentang keutamaan ilmu, Syafi'i berkata,

Belajarlah! Seseorang tidak dilahirkan sebagai seorang alim

Pemilik ilmu tidak seperti orang bodoh

pemimpin satu kaum yang tidak memiliki ilmu terlihat kecil jika dikelilingi oleh pasukannya

Orang yang kecil di tengah satu kaum jika berilmu, ia terlihat besar di tengah masyarakat.

 

BAB III

PETUALANG CILIK

 

1.      Syafi'i Di Dusun

Saat semangat dan kegigihannya masih kuat pada waktu kecil, Syafi'i mulai mendalami bahasa Arab untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam melafalkannya. Kala itu kesalahan dalam pelafalan banyak dialami orang Arab akibat pencampuran mereka dengan bangsa-bangsa non-arab, khususnya terjadi di kota-kota besar. Selain itu, Syafi'i terdorong mendalami bahasa Arab karena begitu yakin bahwa bahasa adalah kunci ilmu pengetahuan.

Cara terbaik mempelajari bahasa Arab, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW., adalah dengan mempelajari kesusastraan terlebih dahulu. Rasulullah pernah diasuh di perkampungan Bani Sa’ad, suku Arab terfasih pada zamannya. Demikian pula halnya Syafi'i: ia memilih tinggal di dusun kaum Hudzail, kaum yang terkenal memiliki jati diri kearah ban yang kuat dan mahir di bidang ilmu bayan dan syair.

Kaum Hudzail adalah suku Arab yang paling fasih dan andal di bidang syair. Mereka banyak memiliki karya syair yang berkualitas tinggi. Semua bernuansa romantis dan menyentuh. Syafi'i menetap di tengah kau Hudzail untuk belajar bahasa dan sejarah Arab. Di sana ia juga mempelajari ilmu nasab dan syair selama 17 tahun (ada yang berpendapat 10 tahun).

 

Menghafal Syair dan Sejarah

Tentang hal ini, Syafi'i bertutur, "Aku mengembara ke Mekah. Di sana Aku menetap di dusun Bani Hudzail untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat mereka. Bani Hudzail adalah suku Arab yang bahasanya paling fasih. Aku selalu turut serta dalam setiap pengembaraan mereka, kemana saja. Ketika kembali ke Mekah, aku pun mulai mahir melantunkan syair-syair, mengurut nasab-nasab, dan menyampaikan sejarah atau berita-berita bangsa terdahulu."

Seperti itulah Syafi’i mempelajari berita-berita tentang ihwal orang-orang dusun dan menghafal syair-syairnya. Namun, Syafi'i lebih memfokuskan perhatiannya pada syair-syair Hudzail hingga ia sangat mahir dalam hal itu. Bahkan Al-Ashmu'i, perawi beragam peninggalan sastra jahiliyah dan Islam, mengakui kepiawaian Syafi'i dalam hal itu. Ia menuturkan, "Aku men-tashhih syair-syair Huzail di tangan seorang pemuda Quraisy, Muhammad Ibn Idris.”

 

2.      Latihan Militer

Di dusun, Syafi'i tidak hanya belajar sejarah, sastra, dan menghafal syair-syair. Ia juga mempelajari tradisi dan adat istiadat mereka yang dianggapnya baik, khususnya di bidang ketangkasan perang. Didusun Huzail, Syafi’i belajar teknik memanah dan ia sangat menyukai hingga sangat piawai dalam melakukannya. Bahkan, jika Syafi'i melesatkan 10 anak panah, tak satu pun dari anak panah tersebut yang meleset dari sasaran.

Syafi'i pernah berkata kepada murid-muridnya, "Hobiku ada dua: memanah dan menuntut ilmu. Di bidang teknik memanah, aku sangat mahir. Setiap 10 anak panah yang ku luncurkan, semuanya tepat mengenai sasaran." Namun di bidang ilmu, Syafi'i terdiam. Lantas para hadirin berseru, "Demi Allah, di bidang ilmu, kemampuanmu lebih hebat dibandingkan kemampuanmu dalam memanah."

 

Air Zam-Zam

Syafi'i menuturkan, "Aku meminum air zam-zam untuk tiga hal: pertama, untuk memanah. Tingkat ketepatan ku dalam memanah mencapai 90 hingga 100%. Kedua, Aku mau minum zam-zam untuk ilmu. Di bidang ini, aku seperti yang kalian saksikan. Ketiga, Aku mau minum zam-zam untuk meraih surga."

Syafi'i juga pernah berkata, "Aku selalu berlatih memanah hingga seorang dokter pernah berkata kepadaku, 'Aku khawatir kau terkena penyakit kulit karena kau terlalu sering berpanas-panasan di bawah terik matahari."

 

Penunggang Kuda Yang Tidak Tertandingi

Di antara keterampilan yang dipelajari dan diperdalam oleh Syafi'i di dusun adalah teknik menunggang kuda. Tak heran jika Syafi’i menjadi seorang penunggang kuda yang tak tertandingi. Al-Rabi'menuturkan, "Syafi'i adalah orang yang paling berani dan paling mahir dalam menunggang kuda. Saat menunggang kuda, ia biasa memegang talinya sendiri dengan satu tangan, sementara tangan yang satu lagi memegang telinga kudanya. Dan kuda itu terus berlari kencang." Ini menunjukkan kemahiran Syafi'i dalam menunggang kuda.

Itulah pendidikan awal yang didapat Syafi'i. Tipe pendidikan Arab ideal yang mesti didapat setiap pemuda pada waktu itu: menghafal Al-Qur’an, mencari hadis, memperdalam bahasa, berlatih menunggang kuda, mendalami sejarah, dan mengikuti perkembangan orang-orang kota dan desa.

 

3.      Kembali Sebagai Seorang Penyair

Setelah menguasai ilmu bahasa, Syafi'i pulang ke Mekah. Hafal Al-Qur’an dan kitab Al-Muwaththa-nya tetapi ia jaga, tapi ia belum tergolong orang yang alim. Ia lebih dikenal sebagai penyair dan sastrawan. Ketika itu, para penyair dan sastrawan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di kalangan orang Arab. Syafi'i memiliki majelis-majelis khusus untuk melantunkan syair-syairnya, menuturkan kisah-kisah, dan berita-berita Arab, serta ragam sastranya. Banyak orang menyukai majelis-majelis seni sastra seperti ini. Sejak itulah mereka mulai sering berkumpul di sekeliling Syafi'i.

 

4.      Syafi'i Berangkat Ke Madinah

Dalam perjalanannya ke Madinah, ada satu kisah menarik yang cukup terkenal. Kisah ini dituturkan sendiri oleh Syafi'i seperti berikut:

"Setelah itu, aku pergi dari kota Mekah dan memilih tinggal di dusun Bani Hudzail. Di sana Aku mempelajari bahasa dan adat istiadat mereka. Suku Hudzail adalah suku Arab yang bahasanya paling fasih dan paling murni. Aku tinggal bersama mereka selama 17 tahun. Aku biasa turut berpergian dengan mereka ke mana saja. Setelah kembali ke Mekkah, aku sering melantunkan syair-syair, sastra, dan berita-berita Arab terdahulu. Tiba-tiba seorang laki-laki dari Bani Zubair, keluarga pamanku, berkata kepadaku, "wahai Abu Abdullah, aku sangat menyayangkan jika kepastian bahasa dan kecerdasanmu ini tidak disertai dengan ilmu fiqih.  Dengan fiqih, kau akan memimpin semua generasi zaman mu.'

Lalu aku bertanya, 'Kalau begitu, siapa yang harus ku tuju untuk belajar?'

'Malik Ibn Anas, pemuka kaum muslim, 'jawabnya"

Syafei kembali menuturkan,

"Muncul keinginan untuk belajar fiqih dalam hatiku. Aku pun segera mencari kitab Al-Muwaththa'. Kitab itu akhirnya aku pinjam dari seorang di Mekah. Aku langsung menghafal dalam 9 malam. Setelah itu, aku berangkat menemui Gubernur Mekah. Darinya aku mengambil dua pucuk surat rekomendasi: Satu ditujukan kepada Gubernur Madinah, yang satu ditujukan kepada Malik Ibn Anas.

Aku langsung berangkat menuju Madinah. Sampai di sana, ku antarkan surat itu kepada gubernur. Setelah membaca isi surat tersebut ia bergumam, 'Perjalananku dari Madinah ke Mekah tanpa sandal kurasa lebih ringan dari pada aku harus mendatangi Malik Ibnu Anas. Aku tidak berani, bahkan untuk berdiri di depan pintu rumahnya.’ Gubernur Madinah merasa rendah di hadapan imam kaum muslim, Malik Ibnu Anas.

Aku lalu berkata kepadanya, 'Semoga Allah memperbaiki kondisi Baginda! Sudilah kiranya Baginda mengirim surat untuk memanggil Imam Malik?'

Gubernur menjawab, 'Mustahil! Sepertinya, untuk mendapatkan apa yang kami inginkan, aku dan orang-orang ku harus diterpa debu terlebih dahulu agar bisa diterima di tempat Imam Malik.' Menurut gubernur, Imam Malik mungkin akan terketuk hatinya saat melihat gubernur dan para pengawalnya berjalan kaki ke tempatnya.

Syafi melanjutkan, "Akhirnya kami berjanji untuk berkumpul selepas shalat ashar. Kami berangkat bersama-sama menuju kediaman Imam Malik. Apa yang dikatakan gubernur benar. Di tengah jalan kami diterpa debu. Setiba di sana, salah seorang dari kami maju ke depan pintu dan mengetuknya. Seorang budak perempuan hitam keluar dari dalam.

Gubernur berkata kepadanya, 'Katakan kepada tuanmu, aku ada di depan pintunya!' Budak itu pun masuk, agak lama, kemudian ia keluar lagi.

Ia berkata, 'Tuanku menyampaikan salam kepadamu. Ia berpesan, jika engkau ada satu pertanyaan, tulislah pertanyaanmu, dan ia akan memberikan jawabannya. jika engkau datang untuk meminta hadits Rasulullah maka engkau pun sudah tahu jadwal majelisnya. Datanglah ke majelis itu pada waktunya!'

Gubernur itu berkata kepada si Budak, 'Katakan padanya, aku membuat surat dari Gubernur Mekah untuknya. Isinya sangat penting!'

BudaK itu lalu masuk dan membawakan satu kursi. Ia mempersilahkan gubernur untuk duduk. Setelah itu Malik keluar. Penampilan yang sangat gagah dan berwibawa. Ia adalah orang tua yang berpostur tinggi dan berjenggot lebat. Ia lantas duduk.

Setelah itu gubernur menyampaikan surat kepadanya. Malik pun membacanya. Ketika ia sampai pada paragraf ini adalah seorang laki-laki yang sangat berbakat.... Ajari ia hadits dan lakukan apa saja terhadapnya...(dalam surat itu tercatat pesan Gubernur Mekah agar Imam Malik Sudi mengajari Syafi'i). Imam Malik pun melemparkan surat tersebut. Ia marah dan berkata, 'Subhanallah, apakah ilmu Rasulullah dipelajari dengan perantara seperti ini?"

Syafi’i kembali menuturkan, "Aku melihat gubernur ketakutan dan tak kuasa berbicara dengannya. Aku pun maju dan memberanikan diri untuk berbicara. Ku katakan kepadanya, 'Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Aku ini seorang dari Bani Muthalib...' Aku pun lantas menjelaskan latar belakang ku dan tujuanku dalam menuntut ilmu.

Setelah mendengar penuturanku, Imam Malik memandangiku. Ia pun memen-dam firasat khusus tentang aku.

'Siapa namamu?' tanyanya kepadaku.

‘Muhammad,’ jawabku.

Lalu ia berkata, 'Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhi maksiat. Karena itu, kelak kau menjadi orang besar. Allah telah menurunkan cahaya di hatimu maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan maksiat. Esok, datanglah kemari!"

Syafi'i melanjutkan, "Pada pagi hari, aku datang ke tempatnya. Aku mulai membaca kitab Al-muwaththa' dihadapannya, sementara kitab tersebut kupegang. Sesekali kuperhatikan Malik, dan aku menghentikan bacaan ku. Ia kagum akan bacaan dan kemampuan meng-i'rab (mengeja kata kata secara gramatikal) kata perkata.

Kemudian Imam Malik berkata kepadaku, tambah lagi wahai anak muda!'

Aku pun melanjutkan bacaanku hingga aku berhasil merampungkan kitab Al-Muwaththa’ dalam beberapa hari saja. Sejak itu, aku tinggal di Madinah sampai Malik Ibn Anas wafat."

 

5.      Murid Imam Malik

Syafi'i berguru langsung kepada syekh para ahli fiqih, bahkan ulama kaum Muslim terbesar pada zamannya, yaitu Imam Malik. Ia tumbuh di bawah bimbingannya, memperdalam ilmu fiqih, dan mempelajari masalah-masalah yang telah di fatwakan olehnya. Ketika itu, usia Syafi'i telah matang.

Selama tinggal bersama Malik, sesekali Syafi'i melakukan perjalanan ke negeri-negeri Islam untuk mencari ilmu mempelajari adat-istiadat penduduknya, serta mendalami sejarah dan kondisi sosial mereka. Ia juga sering pergi ke Mekkah untuk menjenguk ibunya dan meminta nasihat darinya. Ibunda Syafi'i merupakan sosok muslimah yang mulia dan berakhlak tinggi. Ia sangat memahami kondisi Syafi'i yang sibuk menuntut ilmu. Masa belajar Syafi'i di tempat Imam Malik tidak menghambatnya untuk mengembara dan mencari pengalaman pribadi dari berbagai pelosok negeri.

Syafi'i orang yang cerdas, tanggap, dan mudah menghafal. Ia banyak menimba ilmu dari Imam Malik, selain dari ulama-ulama yang lain. Yang membuat Syafi'i cepat menguasai ilmu fiqih dan mengalahkan orang-orang pada zamannya adalah dua hal: kecerdasan dan kemampuan hafalannya yang luar biasa, serta tingkat kefasihan dan kemahirannya dalam bahasa.

 

Manfaat Pengembaraan

Syafi'i sangat menganjurkan mengembara dan menuntut ilmu. Tentang hal ini ia menulis syair:

Orang yang berakal dan berbudaya takkan tenang berdiam di satu tempat

Karena itu, tinggalkanlah kampung halaman dan mengembaralah!

Pergilah, niscaya kau akan menemukan ganti dari orang yang kau tinggalkan

Dan berusahalah karena kenikmatan hidup ada dalam usaha

Aku melihat genangan air dapat merusak air tersebut

Sekiranya air itu mengalir, niscaya ia menjadi baik, jika ia diam maka ia menjadi rusak

Seekor singa, jika tidak meninggalkan hutan, ia tidak akan menjadi buas

Anak panah, jika tidak meninggalkan busur, ia tidak akan mengenai sasaran

jika matahari selamanya tetap pada orbitnya niscaya orang Arab dan non Arab akan bosan melihatnya

Emas itu seperti tanah jika dibiarkan di tempat aslinya

Dahan yang jatuh ketanah hanya akan menjadi kayu bakar

Jika seseorang mengembara maka pencariannya akan mulia

Jika ia mengembara maka ia akan mulia seperti emas.

 

 

 

BAB IV

KEPRIBADIAN SYAFI'I

 

1.      Fisik Syafi'i

Ibn Shalah berkata." Postur tubuh Syafi'i tinggi dan pipinya agak cekung. Lehernya panjang, demikian pula tulang paha, betis, dan lengannya, kulitnya coklat dan rahangnya tidak terlalu lebar. Syafi'i selalu mengecat janggutnya dengan henna (daun pacar) berwarna merah tua. Suaranya merdu dan enak didengar. Keningnya lebar, wajahnya tampan dan berwibawa, serta ucapannya fasih. Ia adalah orang yang paling sopan dalam bertutur kata."

Ibn Shalah berkata." Postur tubuh Syafi'i tinggi dan pipinya agak cekung. Lehernya panjang, demikian pula tulang paha, betis, dan lengannya,kulitnya coklat dan rahangnya tidak terlalu lebar. Syafi'i selalu mengecat janggutnya dengan henna (daun pacar) berwarna merah tua. Suaranya merdu dan enak didengar. Keningnya lebar, wajahnya tampan dan berwibawa, serta ucapannya fasih.iya adalah orang yang paling sopan dalam bertutur kata."

Ibn Shalah melanjutkan, "Syafi'i adalah orang yang sering sakit. Diceritakan bahwa ia memiliki hidung yang lancip. Di hidungnya terdapat bekas cacar, di antara bibir bawahnya dan dagu ada sejumput bulu-bulu halus. Wajahnya berseri, giginya sangat rapi dan putih berseri."

Baihaqi meriwayatkan dari Yunus Ibn Abd Al-A'la, Ia berkata," Syafi'i memiliki postur tubuh yang sedang, kening lebar dan kulit lembut berwarna kecoklatan. Rahangnya tidak terlalu lebar."

Dalam kitab Al-Wafi' Al-Shafadi berkata," syafi'i bertubuh langsing, berahang tipis dengan janggut yang selalu diwarnai henna."

Al-Muzanni berkata, 'Aku tidak pernah melihat wajah sebaik wajah Syafi'i. Jika ia menggenggam semua jenggotnya maka jenggot itu tidak melebihi genggaman tangannya."

 

2.      Suara Yang Merdu Dan Berkesan

Dalam berbicara, suara Syafi'i terkenal enak didengar. Saat membaca, suaranya merdu. Jika ia membaca Al-Qur’an, orang-orang akan berkerumunan disampingnya hanya untuk mendengar indahnya lantunan suara dan bacaannya. Saat membaca Al-Quran pun ia sangat menghayati bacaannya sehingga orang-orang turut tenggelam dalam kelembutan suara yang merdu. Melalui bacaan Syafi'i, mereka bisa mengambil ibrah sambil menangis tersedu-sedu.

Bahar Ibn Shakhr berkata, "jika kami ingin menangis, kami saling menyarankan untuk pergi ke tempat pemuda Muthalib (Syafi'i) dan mendengarkannya melantunkan Al-Qur’an. Jika kami datang ke tempat Syafi'i, ia pun mulai membaca Al-Quran. Tak pelak, orang-orang terhanyut dan tangis mereka tak terbendung karena mendengar merdunya suara Syafi'i. Jika sudah melihat apa yang mereka alami, Syafi'i segera menghentikan bacaannya".

 

3.      Pakaian Syafi'i

Rabi' ibn Sulaiman ditanya, "Bagaimana dengan pakaian syafi'i?"ia menjawab, "pakaiannya sangat sederhana. Ia tidak pernah memakai pakaian mewah dan mahal. Ia hanya mengenakan kain katun Baghdad. Kadangkala ia mengenakan penutup kepala yang tidak terlalu mahal harganya. Ia banyak mengenakan sorban dan sepatu bot."

Dalam kitab Al-Intiqa' disebut, "Syafi'i selalu mengenakan imamah ( penutup kepala) seperti orang Arab Badui."

Adapun cincinnya, Rabi' menuturkan, " Syafi'i mengenakan cincin di jari kirinya. Di cincin itu terukir kalimat kafa billahi tsiqatan Li Muhammad ibn Idris (cukuplah Allah sebagai Tuhan yang dipercaya oleh Muhammad Ibn Idris)" .

Dalam riwayat ibn Abi Hatim al-razi disebutkan, "tulisan yang terukir di cincin nya adalah Allah tsiqatu Muhammad Ibn Idris (Allah adalah Tuhan yang dipercayakan Muhammad Ibn Idris)."

 

4.      Keluarga Syafi'i

Istri Syafi'i

Ahmad ibn Muhammad, cicit Syafi’i, ia menuturkan, "istri Syafi'i yang menjadi ibu bagi anak-anaknya adalah Hamdah binti nafi' Ibn anbasah Ibn Amr ibn Utsman.

 

Putra Pertama Syafi’i

Putra pertama Syafi’i adalah abu Usman Muhammad Ibn Muhammad ibn Idris. Iya seorang yang rajin menuntut ilmu, banyak mendengarkan dari ayahnya, Sufyan ibn 'Uyainah, Abdurraziq, dan Ahmad ibn Hanbal. Abu Utsman menjabat hakim di jazirah dan menjadi penyampai hadis disana. Ia juga pernah menjabat hakim di kota Halab, Syam, dan menetap di sana selama beberapa tahun.

Ahman ibn Hanbal berkata kepada Abu Utsman, "Aku mencintaimu karena tiga hal: karena kau adalah putra dari Abu Abdullah, seorang dari kaum Quraisy, dan kau termasuk ahli Sunnah."

Ketika ayahnya, Syafi'i, meninggal dunia, Abu Utsman telah dewasa dan ia tengah bermukim di Mekah. Dari Abu Utsman, Syafi'i dikaruniai 3 orang cucu: Al-Abbas ibn Muhammad Ibn Muhammad ibn Idris, Abu Hasan (meninggal saat masih bayi), dan Fatimah.

 

Putra Kedua Syafi'i

Syafi'i juga memiliki anak laki-laki lain yang bernama Muhammad. Julukannya adalah Abu Al-Hasan. Anak ini dilahirkan oleh salah satu istri Syafi'i, dananir. Sayangnya, Abu Hasan meninggal saat masih kecil.

Muhammad ibn Abdullah ibn Al Hakam berkata," aku mendengar Syafi'i berkata,' orang-orang banyak yang mengunggulkan air Irak, padahal di dunia ini tak ada air untuk laki-laki seperti air Mesir. Aku sendiri pernah pergi ke Mesir, dan aku contohnya."

 

Putri Syafi'i

Dari istrinya yang berasal dari keluarga Utsmaniah, Syafi'i dikaruniai dua orang putri: Fatimah dan Zainab. Zainab inilah yang melahirkan Ahmad ibn Muhammad Ibn Abdullah yang terkenal dengan ibn binti Al-Syafi'i. Al-nawawi menuturkan, "Ia adalah seorang imam terkenal, tak ada seorang pun dari keturunan Syafi'i sehebat dirinya. Pada dirinya mengalir berkah kakeknya."

 

 

 

 

BAGIAN II BAKAT DAN KEISTIMEWAAN

 

BAB V

BAKAT KHUSUS

 

1.      Firasat Dan Naluri Syafi'i

Firasat adalah kemampuan mengenali sosok dan kepribadian seseorang hanya dengan melihat wajah atau tanda-tanda yang tampak pada dirinya. Syafi'i tertarik mempelajari ilmu firasat ini, berujicoba dengannya, bahkan ia sampai pandai mempraktikkannya. Syafi'i mendapatkan ilmu ini sejak kecil, saat ia masih tinggal di dusun. Sementara buku-buku tentang ilmu firasat ia peroleh dari Yaman.

 

Kisah Menarik Tentang Firasat Syafi'i

Syafi'i memiliki banyak kisah dan pengalaman yang menarik tentang firasatnya. Yang paling unik adalah kisah yang diriwayatkan oleh Al-Humaidi bahwa Muhammad Ibn Idris menuturkan, "aku berpergian ke daerah zaman mencari buku-buku tentang ilmu firasat agar aku dapat menulis dan menyusunnya. Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang tengah duduk di depan rumahnya. Matanya biru, dahinya lebar, dan ia tak berjenggot.

'Apa disini tempat persinggahan?'tanyaku padanya.

'Ia', jawabnya".

Syafi’i melanjutkan, "kulihat di wajahnya tanda-tanda kehinaan (ini adalah tanda terburuk dalam ilmu firasat). Ia lalu mempersilahkanku menginap di rumahnya. Sungguh, ia terlihat begitu baik padaku. Ia menghidangkan makan malam, memberiku wewangian, dan menyediakan rumput untuk kuda tungganganku. Selain itu, ia juga menyiapkan kasur lengkap dengan selimutnya untukku. Malam itu, aku tidur sangat lelap.

'Apa gunanya buku-buku firasat ini? 'pikirku dalam hati, demi melihat sosok laki-laki yang begitu baik padaku kendati tampangnya hina dan bengis.

'Firasatku salah tentang laki-laki ini, 'gumamku. Keesokan harinya, aku meminta budak untuk melepaskan tali kekang kuda ku. Akupun menaikinya dan bersiap untuk berangkat. Saat aku melewati laki-laki itu, aku berpesan kepadanya, 'jika kau berpergian ke Mekah dan melewati daerah Dzi Thawa, tanyakan pada orang-orang, di mana rumah Muhammad Ibn Idris Al-Syafi'i. Mampirlah ke rumahku itu!'

Orang itu malah menjawab, 'memangnya, aku ini budak bapak?!'

'Apa maksudmu?' tanyaku kepadanya.

Ia menjawab, 'perlu kau ketahui, aku membelikan untukmu makanan dengan 2 dirham, wewangian 3 dirham, rumput 2 dirham, harga sewa kasur dan selimut harga sewa kasur dan selimut nya 2 dirham.'

Mendengar hal ini, aku kaget. Kuperintahkan asistenku untuk memberi-nya uang sejumlah yang ia sebutkan.

'Ada lagi yang lain? 'tanyaku pada laki-laki itu. Ia menjawab, 'harga sewa rumah karena aku telah membuatmu tidur nyaman, sementara aku rela bersempit sempit untukmu'.

akupun merasa bahagia karena buku-buku firasat yang semula ku juga sia-sia, ternyata bermanfaat juga. Buku-buku firasat itu ternyata tidak salah.

Setelah itu aku bertanya lagi, 'ada lagi biaya lain?'

Ia menjawab dengan ketus, 'pergilah, semoga Allah menghinakanmu. Aku tidak pernah melihat orang seburuk dirimu.'"

Peristiwa Yang Menakjubkan

Syafi'i pernah mengalami satu peristiwa yang menakjubkan tentang kemampuannya dalam berfirasat ini. Seperti kisah yang diriwayatkan oleh Al-Muzanni berikut: "Aku tengah bersama Syafi’i di Masjidil haram. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk dan berjalan berkeliling di antara orang-orang yang tidur di sana. Syafi'i lantas berkata kepada Al-Rabi', 'katakan pada orang itu, apa ia telah kehilangan seorang budaknya yang berkulit hitam dan salah satu matanya cacat?’

Al-Rabi' pun bangkit dan menyampaikan pesan Syafi'i kepada orang itu. Kemudian orang itu menjawab,'ya, seperti itulah budakku!'

Al-Rabi' lalu berkata kepada orang itu, 'mari temui Syafi'i!'

Ia pun mendatangi Syafi'i.

'Ia, seperti itulah bundaku!' katanya kepada Syafi'i

Syafi'i lantas berkata kepadanya, 'carilah ia di tengah kerumunan orang itu'.

Ia pun menuruti petunjuk Syafi'i. Ia mulai mencari-cari budaknya di tengah kerumunan orang. Akhirnya Budak itu ia temukan disana."

Al-Rabi melanjutkan penuturannya, "melihat hal ini, aku tercengang, dan ku tanyakan pada Syafi'i, katakan pada kami, bagaimana kau bisa menebaknya? Kau telah membuat kami heran.'

'Baiklah, 'jawab Syafi’i.

'Tadi aku melihat seseorang masuk melalui pintu masjid, lalu ia berkeliling di antara orang-orang yang tidur. Disini, aku menduga tengah mencari seseorang yang kabur darinya. Kulihat orang itu mencari-cari di antara orang-orang hitam yang tengah tidur. Aku berkesimpulan bahwa ia mencari seorang budak hitam. Ia lalu memeriksa mata kanan orang-orang itu. Menurut dugaanku, berarti ia tengah mencari budak yang salah satu matanya cacat, 'lanjut Syafi'i.

Kami lalu bertanya kepadanya, 'lantas mengapa kau suruh ia pergi ketempat kerumunan?'

Syafi'i menjawab,'dalam hal ini, Aku menakwilkan hadits Rasulullah, 'tak ada kebaikan sama sekali dalam kerumunan orang. Jika mereka lapar, mereka akan mencuri, dan jika mereka kenyang, mereka akan meminum minuman keras dan berzina. Dari sini aku berpikir bahwa BudaK orang itu telah melakukan salah satu dari kedua hal di atas, 'rupanya firasat Syafi'i benar."

 

Firasat Syafi'i Tentang Muridnya

Firasat Syafi'i yang lain diriwayatkan dari Al rabi' ibn Sulaiman. Ia berkata,'"kami menemui Syafi'i sebelum ia meninggal dunia. Ketika itu kami berempat: aku, Al-Buwaithi, Al-Muzani, dan Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abdul Hakam. Syafi'i menatap kami sesaat. Ia terus menatap kami satu persatu. Engkau, wahai abu Yakub, akan mati di balik jeruji besi mu. Engkau, wahai Muzani, di Mesir kau akan sejahtera dan damai. Kau akan menemukan satu masa dimana engkau menjadi orang yang paling ahli dibidang qiyas. Sedangkan engkau, wahai Rabbi'akan menjadi orang yang paling berguna bagi ku dalam menyebarkan buku-buku ajaranku. Syafi'i berpaling ke arah Abu Yakub, ia berkata kepadanya, 'bangkitlah kau, wahai abu Yakub, isilah halaqah majelisku !"

Al-Rabbi menuturkan, 'ternyata apa yang diprediksikan Syafi'i benar-benar terjadi."

Saat seseorang mengiklaskan jiwanya kepada Allah maka Allah akan menerangi pandangan dan hatinya, membukakan pintu makrifat yang dapat mencengangkan akal. Keikhlasan Syafii dalam ilmu dan amal membuatnya dapat meraih segala macam ilmu pada zamannya. Ia menjadi orang yang paling berilmu kala itu. Selain itu, Syafi'i juga memiliki firasat yang kuat, jarang sekali firasatnya salah.

 

Mata Hati Yang Terbuka

Selain hal-hal di atas, Syafi'i juga memiliki mata hati yang terbuka dan firasat yang kuat seperti gurunya, Malik. Sifat seperti ini harus ada pada diri seorang ahli debat dan dialog agar ia dapat menaklukkan lawan-lawannya. Sifat ini juga harus ada pada diri seorang guru agar ia bisa mengetahui kondisi murid-muridnya, sehingga ia mendapatkan kemudahan dalam mengajarkan ilmunya kepada mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Guru semacam ini dapat menyeimbangkan antara kemampuan murid dalam memahami ilmu dan kemampuan mereka dalam menjelaskannya. Sifat-sifat yang tersimpan dalam diri Syafi'i, ditambah daya nalarnya, membuat banyak dikelilingi murid-murid dan sahabat.

 

Peka Dan Tanggap

Dengan daya hafal yang kuat, kepekaan, dan sikap tanggap maka segala makna dapat dieksplorasi dengan mudah saat dibutuhkan. Orang yang memiliki kelebihan seperti ini, pikirannya tidak akan terkukung dan cakrawalanya tidak tertutup terhadap segala hal. Seperti itulah Syafi'i. Dengan pikiran yang terbuka ini, Syafi'i selalu memberikan pencerahan kepada murid-muridnya melalui ide-ide dan pemikirannya sendiri. Di tangannya, segala hakikatnya dapat terkuat dan logika pun menjadi lurus dan tetap pada jalurnya.

 

2.      Ilmu Falak

Diriwayatkan dari Al-Rabi ibn Sulaiman, ia berkata ,"Syafi'i berkata, 'Allah berfirman, Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagi kalian agar kalian menjadikannya sebagai petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (kami) kepada orang-orang yang mengetahui (Al-An'am 6 : 97).

Allah juga berfirman, Dia ciptakan tanda-tanda (penunjuk jalan).Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk (An-Nahl 16 :16)

Kata Syafi'i, diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah gunung-gunung, malam, siang, hembusan angin yang berbeda-beda, matahari, bulan, dan bintang yang orbitnya telah diketahui melalui ilmu Falak. Manusia dituntut berijtihad mencari arah Masjidil haram melalui petunjuk dan tanda-tanda tersebut."

 

Pandangan Tajam

Ahmad Ibn Muhammad, cucu Syafi'i berkata, "aku mendengar bapakku berkata, saat Syafi'i kecil, ia selalu memperhatikan bintang-bintang (mempelajari ilmu Falak). Setiap kali memerhatikan sesuatu, pasti ia langsung ingat dan memahaminya. Syafi'i memiliki seorang teman yang istrinya tengah hamil. Syafi'i meramalkan istri temannya itu dengan berkata, '27 hari lagi ia akan melahirkan seorang anak yang di paha kirinya ada tanda hitam. Anak itu akan hidup selama 24 hari, kemudian meninggal dunia, ternyata, apa yang diprediksikan Syafi’i benar-benar terjadi. Setelah 24 hari, anak itu meninggal. Akibatnya, Syafi’i  membakar buku-buku ilmu Falak dan perbintangan tersebut. Ia tidak mau lagi mempelajarinya.

Syafi'i mempelajari ilmu nujum. Ia selalu memperhatikan bintang-bintang. Setiap apa yang dilihatnya, ia langsung menghafal dan memahaminya. Setelah itu, Syafi'i berhenti menekuninya dan membakar semua buku-bukunya.

Syafi'i melantunkan syair yang mengecam para ahli nujum:

Sampaikan pesanku kepada para ahli nujum

Bahwa aku menyaksikan apa yang diputuskan bintang-bintang

Mereka menyangka tahu apa yang telah dan akan terjadi

Padahal putusan Tuhan yang maha menguasai itulah yang pasti terjadi.

 

3.      Dokter Yang Cerdas

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa firasat adalah kemampuan untuk mengenali sosok dan kepribadian seseorang hanya dengan melihat wajah atau tanda-tanda yang tampak pada dirinya. Syafi’i yg pernah tertarik untuk mempelajari ilmu firasat ini, beruji coba dengannya, bahkan ia mahir dalam mempraktikkannya. Syafi'i mendapatkan ilmu ini sejak kecil saat ia masih tinggal di dusun. Buku-buku tentang ilmu firasat ini ia peroleh dari Yaman.

 

Ilmu Kedokteran

Harmalah berkata, '"aku mendengar Syafi'i berkata, 'ada dua hal yang banyak diabaikan manusia: kedokteran dan bahasa Arab, "Syafi'i sangat menyesalkan dan menyayangkan sikap kaum muslim yang menyepelekan masalah kedokteran.

Diriwayatkan dari harmalah Ibn Yahya, "Syafi'i sangat kecewa atas sikap kaum muslim yang mengabaikan dunia kedokteran. Menurutnya, dengan begitu mereka telah meninggalkan sepertiga ilmu dan menyerahkan kepada orang-orang lain."

 

Debat Kedokteran

Selain ilmu-ilmu yang dimiliki Syafi'i di atas, ia juga memiliki wawasan cukup luas di bidang kedokteran. Diriwayatkan dari Abi Al-Husain Al-mashri, ia menuturkan, "Aku mendengar ada seorang dokter di Mesir". Ia menambahkan, "Syafi'i datang ke Mesir, lalu mampir di tempatku. Di sana ia berdiskusi denganku tentang kedokteran hingga aku mengira seorang dokter Irak telah datang ke negeri kami. Kataku kepada Syafi'i, 'apa engkau mau aku bacakan buku hipokrates-seorang tokoh dan bapak kedokteran Eropa-kepadamu?'

Syafi'i lantas menunjuk buku itu dan berkata dengan lirih,'mereka tidak merelakan aku untuk mempelajarinya!"

Maksudnya, murid-murid Syafi’i di masjid tidak memberinya kesempatan untuk dapat memperdalam ilmu kedokteran.

 

 

Anjuran Memperdalam Ilmu Kedokteran

Syafi’i ini sangat menganjurkan kaum muslim mempelajari dan mendalami bidang kedokteran. Al-Rabi bin Sulaiman bertutur, "aku mendengar Syafi'i berkata, 'ilmu itu ada 2: ilmu fiqih atau ilmu agama dan ilmu medis fisiologis."

Syafi'i juga berkata, "ilmu agama yang paling utama adalah ilmu fiqih dan ilmu dunia yang paling utama adalah ilmu kedokteran."

Dalam riwayat Muhammad Ibn Abdullah Ibn abd Al-Hakam disebutkan bahwa Syafi'i berkata, "ilmu fiqih untuk agama, ilmu kedokteran untuk tubuh, selain keduanya hanyalah khazanah pemikiran".

Al-rabi' Ibn Sulaiman menuturkan, "Syafi'i berkata,'jika kau masuk ke satu wilayah dan di sana tak kau dapati seorang penguasa yang adil, air yang mengalir, seorang dokter yang bersahabat maka jangan tinggal di wilayah itu!'".

 

Obat Untuk Yang Tidak Punya Obat

Ibnu Abdul Hakam berkata, "aku mendengar Syafi'i menuturkan, 'ada tiga hal yang tidak bisa diobati oleh seorang dokter: kebodohan, wabah, dan pikun.

Diriwayatkan dari Yunus Ibnu Abdul a'la, ia berkata, "Syafi'i berkata kepadaku," Aku tidak pernah mandi junub, pada musim dingin atau musim panas, kecuali dengan air panas.'"

 

Pakar Ilmu Gizi

Ada beberapa riwayat tentang kepiawaian Syafi'i di bidang kedokteran, diantaranya: riwayat Yunus Ibnu Abdul a'la, ia berkata, " Syafi'i berkata, aku tidak melihat hal yang lebih bermanfaat untuk mengobati wajah dari minyak bunga violet. Seseorang yang terserang wabah bisa meminum minyak violet atau melumuri tubuhnya."

Riwayat Al-Rabi Ibnu Sulaiman, ia berkata, "abu Utsman Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi'i berkata, 'jika terserang demam, ayahku meminta tumbuhan serai (citron) untuk diperas dan diminum airnya karena ia takut lisannya cacat.'"

Harmalah berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata, 'jangan kau makan telur rebus pada malam hari karena orang yang memakan sering terserang penyakit."

Harmala juga berkata, "aku mendengar Syafi'i melarang memakan terung pada waktu malam."

Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Abdul Hakam, "aku mendengar Syafi’i berkomentar, aneh sekali orang yang keluar dari pemandian lalu tidak makan. Bagaimana ia menjalani hidup yang sehat?"

Al-Rabbi Ibnu Sulaiman berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata, ada tiga hal yang menjadi obat bagi penyakit yang tidak ada obatnya serta dokter tak sanggup mengobatinya; anggur, susu unta, dan tebu."

 

Sarapan Pagi

Al-Rabi Ibnu Sulaiman berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata,'Harun ar-rasyid berkata kepadaku, wahai Muhammad, aku mendengar bahwa kau selalu sarapan pagi?!'

'Ia, wahai Amirul mukminin, 'jawab ku.

'Mengapa kau lakukan itu?'tanyanya.

Aku menjawab,'wahai Amirul mukminin, Aku melakukan karena 4 hal.'

Apa itu? Tanya al-rasyid penasaran.

'Karena air masih dingin, udara masih segar, lalat masih sedikit, dan sarapan pagi dapat menekan hasratku terhadap makanan orang lain.'

Al-Rasyid berkomentar,'sungguh, ini adalah syair yang indah.

 

Akal Sehat Terdapat Pada Tubuh Sehat

Syafi'i berkata, "akal tidak tersimpan dengan baik dalam tubuh yang gemuk, "tentang hal ini, ada satu kisah yang menarik. Syafi'i berkata, "dahulu kala ada seorang raja yang bertubuh sangat gemuk hingga tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia pun mengumpulkan seluruh dokter. Perintahnya kepada para dokter, 'berikan aku obat yang dapat mengurangi tumpukan dagingku ini!" Namun para dokter tak ada yang sanggup mengobatinya."

Syafi'i melanjutkan, "kemudian seseorang memberitahu sang raja bahwa ada seorang laki-laki pintar dan sastrawan yang mahir di bidang kedokteran. Raja pun memanggil orang tersebut.' obati aku. Jika kau berhasil menyem-buhkanku, akan kuberikan apa saja untukmu! 'ujar sang raja kepadanya.

Orang pintar dan bijak itu berkata, 'semoga Allah menyembuhkan Baginda. Aku adalah seorang dokter dan ahli nujum. Malam ini, biar ku periksa penyakit kegemukan Baginda dan kucarikan obatnya.'

Keesokan harinya, orang bijak itu berkata kepada sang raja,' wahai Baginda, Aku meminta jaminan keamanan darimu!'

Raja menjawab, 'baiklah, kau aman!'

Orang itu lantas berkata, 'dengan melihat keadaanmu seperti ini, kukira umurmu tinggal sebulan lagi. Jika kau mau, aku akan mengobati mu. Jika kau ingin meminta pembuktian lebih lanjut, tahanlah Aku di tempatmu hingga masa sebulan itu. Apabila ucapanku benar, bebaskan Aku. Jika tidak, hukumlah aku!'

Akhirnya orang bijak itu ditahan raja. Mendengar prediksi orang bijak itu, raja mulai meninggalkan kebiasaannya berhura-hura. Ia memilih menyendiri dan menjauhi manusia. Dalam keadaan sedih, ia merenung dan tak pernah sekalipun mengangkat kepala sambil terus menghitung hari. Setiap hari bertambah, kesedihannya semakin memuncak hingga tak disadari ia menjadi kurus karena memikirkan hal tersebut. Hari pun telah berlalu selama 28 hari. Akhirnya, raja mengeluarkan orang bijak itu dari penjara nya. Raja ingin mempertanyakan ramalannya dahulu. Ia berkata,'bagaimana menurutmu?'

Orang bijak itu menjawab,'semoga Allah memperkuat Baginda. Aku ini sangat kecil di mata Allah untuk mengetahui hal-hal gaib. Aku tidak tahu batas usia ku. Bagaimana mungkin aku bisa tahu batas usia mu? Menurutku, tak ada obat untuk penyakit kegemukan yang kau derita, kecuali kesedihan. Dengan begitu kau tidak akan makan. Aku tak bisa membuatmu bersedih kecuali dengan cara ini. Oleh karena itu, kuberitahu padamu bahwa kau akan mati setelah 1 bulan. Dampaknya, semua lemak dan daging di tubuhmu menjadi akhirnya raja itu membebaskannya, bahkan sangat menghargai usahanya."

Akal dan pemahaman yang dimiliki Syafi'i ini? Selain ilmu-ilmu yang telah dikuasai, ia juga sangat ahli di bidang kedokteran. Bahkan, ia sering berdebat dengan para dokter sehingga mereka mengira bahwa Syafi’i tidak mendalami ilmu selain kedokteran.

 

4.      Ilmu Nasab

Diantara ilmu yang dipelajari Syafi'i sejak kecil adalah ilmu nasab. Ia banyak mengambil ilmu ini saat masih tinggal di dusun. Ia sering mencatat segala macam nasab, bertanya-tanya kepada orang orang Arab, dan mendengarkan penuturan penuturan mereka. Walhasil, ia menjadi mahir dalam sejarah Arab dan keturunan-keturunannya. Selain itu juga ia hafal syair dan sastranya.

Al-Muzanni berkata, "Syafi'i datang kepada kami. Ketika itu di Mesir ada Ibnu Hisyam, pengarang kitab Al-Maghazi. Ibnu Hisyam adalah ulama Mesir di bidang syair dan bahasa. Seseorang berkata kepadanya, "temuilah Syafi'i!' ia menolak untuk datang. Setelah diyakinkan oleh banyak orang bahwa Syafi'i memiliki keistimewaan dan bakat khusus, Ibnu Hisyam pun mau datang kepadanya. Di sana, Ibnu Hisyam mulai berdiskusi dan saling bertukar pikiran tentang nasab tokoh-tokoh Arab dari laki-laki dengan Syafi'i. Setelah keduanya saling menunjukkan kebolehan, Syafi'i berkata, 'tinggalkan nasab kaum laki-laki karena kau dan aku pasti sama dalam hal itu. Sekarang mari kita membahas tentang nasab tokoh-tokoh perempuan.' Setelah semua yang hadir sepakat, Syafi'i pun dengan lancar memaparkan nasab nasab itu. Ibnu Hisyam hanya diam. Ia tidak banyak mengetahui nasab tokoh-tokoh perempuan. Setelah itu ia bergumam, aku tidak mengira bahwa Allah menciptakan makhluk seperti dia', ia sangat terkagum-kagum dengan tingkat ilmu yang dicapai Syafi'i".

 

5.      Memori Dan Pemikiran

Allah menganugerahi Syafi’i bakat dan sifat-sifat khusus yang telah mengangkat derajatnya di bidang ilmu, akhlak, dan agama. Allah menjadikannya sebagai pionir pemikiran dan pemimpin para ahli rakyu (kaum intelektual). Syafi’i ini memiliki daya nalar yang sangat tajam dan memori yang kuat. Ia membaca Al-Muwaththa dan langsung menghafalnya. Ia mampu memaparkan diluar kepala.

 

Pemikiran Yang Mendalam

Syafi'i memiliki pemikiran yang mendalam. Dalam segala hal, ia tidak cukup mempelajari luarnya saja, tapi ia menyelami sampai ke akarnya. Pemahamannya berdimensi jauh dan tidak terbatas pada satu titik. Ia selalu ingin mencapai hakikat secara sempurna. Dalam mengamati segala peristiwa, ia tidak menyimpulkan secara parsial, tapi melihatnya secara global. Buahnya, Syafi'i memelopori peletakan pondasi awal ilmu Ushul fiqih.

 

BAB VI

KETELADANAN IMAM SYAFI'I

 

1.      Ibadah Dan Keimanan

Selain sebagai imam di bidang ijtihad dan fiqih, Syafi'i juga seorang imam di bidang keimanan dan ketakwaan, warak dan ibadah. Al-Buwaithi menuturkan, "aku banyak melihat bermacam manusia. Demi Allah, aku tidak melihat seorangpun seperti Syafi'i dan tak ada yang menandinginya di bidang ilmu. Demi Allah, bagiku, Syafi'i lebih warak dari pada orang yang terkenal kewarakannya".

Syafi'i Membagi Malamnya

Al-Rabbi Ibnu Sulaiman berkata, "Syafi'i membagi malamnya ke dalam tiga bagian; sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk salat, dan sepertiganya lagi untuk tidur".

Ia juga berkata, "aku menginap di rumah Syafi’i untuk beberapa malam. Kulihat Syafi'i tidak tidur pada malam hari kecuali hanya sedikit."

Bahar Ibnu Nashar berkata, "pada zaman Syafi'i, Aku tidak pernah melihat dan mendengar ada orang yang lebih bertakwa dan warak dari Syafi'i, tidak pula yang lebih baik suaranya dalam melantunkan Al-Quran daripada Syafi’i."

 

Antara Rasa Takut Dan Harap

Al-Karabis menuturkan, "aku menginap di tempat Syafi'i selama 80 malam. Ia selalu shalat sepertiga malam, dan aku tidak melihatnya membaca Al-Quran lebih dari 50 ayat. Jika ia menambah nya, ia hanya membaca sampai 100 ayat. Setiap yang membaca ayat Rahmat, ia langsung memohon kepada Allah untuk dirinya dan kaum mukmin. Ia tidak membaca ayat azab kecuali ia bergegas meminta perlindungan kepada Allah darinya, memohon keselamatan untuk dirinya dan kaum mukmin. Seakan ia menghimpun rasa takut dan harap pada dirinya secara seimbang dan beriringan."

 

Kejernihan Dan Keikhlasan

Bersamaan dengan itu, Syafi'i memiliki jiwa yang bersih dari kotoran dunia, ikhlas dalam mencari kebenaran dan tidak menghendaki selainnya. Dalam negeri timur disebutkan, "ketulusan dalam mencari hakikat dapat menyalakan cahaya makrifat dalam hati. Dalam jiwa kenapa kejernihan yang dapat mengungkap semua hakikat, sehingga akan dapat mengetahuinya, daya pikir menjadi lurus, dan semua ungkapan menjadi turus dalam menggambarkan makna yang benar. Dengan begitu, pendapat pun akan lurus dan ungkapan akan benar."

Keikhlasan Syafi'i dalam mencari hakikat selalu dijaganya dalam setiap fase hidupnya. Ia selalu mencari kebenaran dimanapun. Jika keikhlasannya terpaksa berseberangan dengan pendapat-pendapat orang lain, maka dengan berani ia mengemukakan pendapatnya. Ia juga adalah seorang yang tulus dan berbakti kepada guru-gurunya. Akan tetapi, ketulusannya tidak menghambatnya untuk menyampaikan kebenaran jika terpaksa harus berseberangan dengan mereka. Ia pernah berseberangan dengan imam Malik dalam beberapa pendapat yang ia anggap benar, khususnya setelah ia melihat orang-orang di Andalusia yang meminum air dengan menggunakan kopiah imam Malik. Melihat kenyataan itu, Syafi'i menegaskan kepada mereka, bahwa bagaimanapun imam Malik adalah seorang manusia biasa yang bisa salah dan bisa juga benar.

2.      Syafi'i Seorang Zahid

Syafi'i berkata, "mencari dunia adalah sebentuk hukuman yang Allah timpakan kepada ahli tauhid."

Syafi'i berkata, "sekiranya dunia adalah sebentuk barang yang dijual di pasar, niscaya aku tidak akan membeli atau menukarnya dengan sepotong roti karena bahaya yang terkandung di dalamnya."

Al-Muzanni berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata, 'siapa yang dikalah-kan oleh nafsunya karena mencintai dunia maka ia telah tunduk kepada penghuni dunia. Siapa yang bersikap qanaah maka ketundukan itu sirna."

Al-Rabbi Ibnu Sulaiman berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata,'kebaikan dunia dan akhirat tersimpan dalam lima perkara: jiwa yang kayak, diri yang terjaga dari berbuat zalim, mencari yang halal, ketakwaan, dan percaya sepenuhnya kepada Allah dalam segala keadaan."

Al-rabi' juga berkata, "Syafi'i berkata kepadaku, wahai Rabbi, zuhudlah karena ke zuhudan lebih baik dari perhiasan yang dikenakan seorang perempuan yang berpayudara besar."

                

Kaya Jiwa

Syafi'i melantunkan syair tentang sifat kaya jiwa,

Jika kau mau hidup kaya maka jangan puas dengan satu keadaan

Kecuali jika kau puas dengan yang lebih rendah darinya

 

Syafi'i berpesan kepada orang-orang yang tamak dan diperbudak dunia,

Wahai orang yang memeluk dunia yang tak abadi

Di dunianya, ia selalu berpetualang pagi dan petang

Tinggalkanlah orang-orang yang memeluk dunia

Agar di surga firdaus kau bisa memeluk para bidadari

Jika kau mencari surga keabadian untuk kau huni

Maka seharusnya kau tidak merasa aman dari api neraka

 

Berpisah Dengan Dunia

Syafi'i juga mengingatkan kita bahwa orang bijak adalah orang yang rela berpisah dengan dunia dan menyucikan dirinya untuk akhirat. Syafi'i melantunkan syair,

Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas dan sadar

Mereka rela berpisah dengan dunia dan takut akan fitnah

Mereka melihat ke dalamnya dan saat mereka tahu bahwa dunia bukanlah negeri untuk kehidupan

Mereka pun menjadikannya hanya sebagai perairan luas

Mereka mulai melakukan amal sholeh dan menjadikannya sebagai bahtera di atasnya

 

Dunia bukan tempat dan negeri yang nyaman bagi siapapun. Orang yang berakal adalah orang yang berbekal diri untuk akhiratnya, iya tak pernah bergantung pada kehidupan dunia.

 

Membangkitkan Sifat Qana'ah

Syafi’i yg memiliki syair-syair indah yang disebut dengan syair zuhud;

Aku mematikan hasratku hingga aku membuat nyaman jiwaku

Karena, selagi jiwa tetap tamak, ia akan menjadi hina

Aku menghidupkan sikap qana'ah yang tadinya telah mati

Karena, dengan menghidupkannya kehormatan ku tetap terjaga

Jika ketamakan merasuki hati seorang hamba

Maka kehinaan akan menimpanya dan kenistaan berada di atasnya

 

Kaya Tanpa Harta

Syafi'i berbicara tentang makna zuhud di dunia, sikap rela dengan ketetapan Allah, sabar menanti kemenangan dari Allah, prinsip tidak berharap kepada manusia, dan tidak bergantung kepada orang-orang yang memiliki harta, serta tidak iri padanya. Syafi'i berkata,

Aku menguji anak-anak dunia, dan aku tidak melihat di tengah mereka

Kecuali seisi tubuhnya diliputi kebakhilan

Aku terhempas dari selubung qanaah dengan keras

Keputusan harapanku dari mereka dengan segala petaka nya

Tidak ada orang yang melihatku tengah menghalangi jalannya

Tidak pula yang melihatku duduk di pintunya

Kaya itu tanpa harta, kaya itu berarti tidak membutuhkan manusia

Kekayaan itu bukan dengan sesuatu, tetapi kekayaan itu tidak membutuhkan sesuatu

Jika seorang zalim menganggap baik kedzalimannya

Dan bersikeras serta bersikap sombong dengan perbuatan buruknya

Serakah dirinya kepada pergantian malam karena ia dapat menimpanya dengan hal yang tidak ia duga

Berapa banyak orang yang zalim menjadi keras kepala

Yang dengan sombong menganggap bintang seakan di bawah pijakan kakinya

Dalam kelalaiannya ia sering tak sadar

Mengundang bermacam peristiwa di pintu rumahnya

Sehingga ia menjadi tidak berharta dan berkehormatan yang bisa diharapkan

Tidak pula kebaikan yang dipetik dari sejarah hidupnya

Ia dibalas dengan hal yang pernah ia lakukan

Dan Allah akan menimpanya dengan cemeti azab-Nya.

 

Kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa, tidak bergantung pada uluran tangan manusia, dan yakin bahwa segala keadaan pasti akan berubah.

 

Misteri Kegaiban

Syafi'i berkata,

Orang yang lelah hidup akan pergi ke suatu negeri

Sementara kematian terus mengintai nya dari negeri itu

Orang yang tertawa padahal kematian melihatnya dari atas kepala

Sekiranya ia tahu hal ghaib, ia akan mati karena kesedihannya

Siapa yang tidak diberi pengetahuan tentang hari esok

Apa yang ia pikirkan tentang rezeki esok yang masih jauh?

 

3.      Mulia Dan Murah Hati

Dalam hal kemurahan hati, imam Syafi'i tiada tandingannya walau hidupnya diliputi kemiskinan, bahkan ia sering tidak memiliki bekal makanan untuk 1 hari. Jika mendapatkan sedikit rezeki, ia langsung menyedekahkannya.

 

Syafi'i Menyedekahkan Semuanya

Al-rabi Ibnu Sulaiman berkata, "aku mendengar Al-Humaidi menuturkan, "Syafi'i datang dari Shan'a ke Mekkah membawa 10000 Dinar dalam sapu tangannya. Ia lalu membuka sapu tangan tersebut di satu tempat di luar kota Mekah. Orang-orang banyak berdatangan ke tempatnya, hingga uang itu langsung habis ia bagikan."

 

Bayarkan Kepadanya!

Diriwayatkan juga dari Al-rabi ia berkata, "Syafi'i tengah menunggang seekor keledai. Ia berjalan melewati pasar tempat para pembuat sepatu. Cambuknya terjatuh dari tangannya. Tiba-tiba seorang pemuda melompat dan langsung meraih cambuk itu. Ia mengusapnya dengan kain dan memberikannya kembali kepada Syafi'i. Kemudian Syafi'i berkata kepada budaknya, 'berikanlah dina-dinar itu kepada pemuda ini!"

Al-rabi menuturkan, "Aku tidak tahu pasti. Mungkin jumlah uang itu ada 7 atau 9 Dinar."

Pada lain kesempatan, Al-rabi' berkata, "kami tengah bersama Syafi'i. Ketika itu, ia baru keluar dari masjid di Mesir. Tiba-tiba tali sandalnya putus. kemudian seorang laki-laki membetulkan tali sandalnya dan menyerahkannya kembali kepada Syafi'i. Syafi’i lantas berkata kepada Al-rabi', 'apa masih ada sisa biaya perjalanan kita ditanganmu?'

Aku menjawab,'Ia'

'Ada berapa? 'tanya Syafi'i.

"7 Dinar,'jawab ku.

Syafi'i lalu berkata,"berikan semuanya kepadanya!"

 

Berapa Kau Bayar Maharnya?

Ketika al-rabi' ibn Sulaiman menikah, Syafi'i bertanya kepadanya, " berapa mahar yang kau berikan kepada calon istri mu?" Al-rabi' menjawab , " 30 Dinar."

Syafi'i lantas bertanya lagi, " berapa uang mukanya?'

Al-rabi'' menjawab, "6 Dinar."

Syafi'i lalu naik keatas rumahnya. Dari sana ia mengambil bungkusan berisi 24 Dinar dan memberikannya kepada al-rabi'.

 

4.      Akhlak Yang Tinggi

Tidak Berdebat Dengan Orang Bodoh

Imam Syafi'i memiliki beberapa bait syair tentang toleransi dan akhlak yang baik, serta etika bergaul dengan manusia, diantaranya:

Seorang bodoh berbicara kepadaku tentang segala keburukan

Aku tidak suka meladeninya

Dengan begitu, ia hanya akan bertambah bodoh dan aku semakin menjadi penyabar

Seperti sebatang kayu, jika dibakar maka wanginya akan bertambah harum

 

Syafi'i juga berkata,

Jika seorang bodoh berbicara, jangan kau jawab

Jawaban yang paling baik baginya adalah diam

Jika kau ajak ia bicara, berarti kau telah melapangkan nya

Tapi jika kau biarkan ia binasa maka ia akan mati

 

Diam Pada Tempatnya

Syafi'i melantunkan,

Jika seseorang hina menghinaku maka aku semakin tinggi

Tak ada celah bagiku kecuali jika aku kembali menghinanya

Jika jiwaku tidak terhormat bagiku

Niscaya akan ku biarkan ia membalas perlakuan orang hina itu

Meskipun aku mencari manfaat untukku, kau tetap temukan diriku

banyak bersabar dan perlahan dalam mencari apa yang kucari

Akan tetapi aku mencari manfaat untuk temanku

sungguh celah bagi seorang yang kenyang sementara temannya kelaparan

 

5.      Etika Berdebat

Imam Syafi'i selalu menjaga agar tetap bersikap santun saat berdebat. Ia adalah orang yang cerdas dan pandai berargumen, hingga usai berdebat dengannya, tak ada orang yang keluar, kecuali dengan rasa puas dengan perdebatannya bersama Syafi'i. Di sisi lain, Syafi'i adalah orang yang selalu menjaga etika dalam berdialog. Tentang hal ini, putranya, Muhammad abu Utsman, menuturkan, "Aku tidak pernah mendengar  ayahku berdebat dengan seseorang sambil mengeraskan suaranya ."

            Tujuan Yang Mulia

Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah berbicara dengan seseorang, kecuali aku ingin agar orang itu mendapat bimbingan dan bantuan.” Berbeda halnya dengan manusia sekarang, mereka cenderung mau menang sendiri dan mengharap lawan bicaranya salah dan kalah.”

Syafi’i berkata, "Aku tidak pernah mendebat seseorang karena ingin agar ia salah dan kalah."

Ia juga berkata, "Aku tidak pernah mendebat seseorang kecuali untuk memberinya nasihat, dan aku tidak pernah mendebat seseorang dengan maksud ingin mengalahkannya."

Betapa indah akhlak dan etika seperti ini. Betapa baik akhlak para imam itu untuk kita ikuti. Hendaknya tujuan kita dalam berdebat adalah mencapai kebenaran, bukan menyalahkan orang lain dan berharap ia salah.

Etika yang disertai kecerdasan dan argumentasi yang kuat merupakan sifat-sifat Syafi'i dalam debat dan dialog. Syafi'i tidak pernah mengeraskan suaranya dalam satu perdebatan pun, dan ia tidak berdebat dengan seseorang kecuali dengan maksud menyampaikan nasihat .

Tentang etika berdebat ini, Syafi'i melantunkan syairnya,

Jika kau memiliki kemuliaan dan ilmu yang berbeda dengan orang-orang dahulu atau yang sekarang

Maka berdebatlah dengan tenang bersama orang yang kau ajak berdebat

Sabar dan tidak memaksa pendapat serta tidak sombong

Akan bermanfaat bagimu tanpa perlu mengharap pamrih apapun

Jika ia mendapat manfaat dari humor-humor santun dan hal-hal yang asing baginya

Sekali-kali jangan berkumpul dengan orang-orang yang menganggap dirinya menang, kata orang yang menyombongkan diri

Keburukan akan datang setelah semua sikap itu

Dan akan berakibat pada terputusnya silaturahmi dan sikap saling menjauhi

                                                                                                       

Berfatwa Seperti Dalam Hadis

Syafi'i tidak pernah yakin dirinya telah mengetahui dan menguasai seluruh sunnah dan hadits Rasulullah. Ia menganjurkan para sahabatnya mencari hadis. Jika mereka menemukan hadis sahih yang bertentangan dengan apa yang di fatwakan Syafi'i, Syafi'i menyuruh mereka untuk menolak pendapatnya dan memilih hadits.

Dalam Mu'jam yaqut diriwayatkan dengan sanad yang sampai pada Al-Rabbi Ibnu Sulaiman, ia berkata, "Aku mendengar Syafi'i ditanya oleh seorang laki-laki tentang satu masalah. Syafi'i lantas menjawab, 'diriwayatkan dari nabi SAW. Bahwa beliau bersabda begini dan begitu....'

Orang itu selalu bertanya kepada Syafi'i, 'wahai Abdullah, apa kau yakin dengan apa yang kau ucapkan?'atau, apakah kau berfatwa persis seperti yang tertera dalam hadits?'

Syafi'i gemetar dan raut wajahnya jadi merah. Ia lalu berkata,'bumi mana tempat ku berpijak dan langit apa yang memayungi ku ini jika ada riwayat Rasulullah dan aku tidak menyampaikannya? Tentu saja aku berfatwa seperti yang ada dalam hadis.'"

Al-Rabbi Ibnu Sulaiman berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata,'kendati orang telah melupakan sunnah Rasulullah, apapun yang ku ucapkan atau apapun yang menjadi dasar pendapatku, jika hal itu bertentangan dengan sabda Rasulullah, maka yang benar adalah sabda Rasulullah. Itulah yang akan menjadi pendapatku.’ Syafi'i terus mengulang-ulang ucapannya ini."

 

Selera Humor Syafi'i

Diantara humornya yang menarik, Syafi'i mendengar satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Al-Aliya Al-Riyahi (sang angin). Dalam hadis itu tercatat, “ Bagi orang yang tertawa, ia harus berwudhu.” Kemudian Syafi'i ditanya tentang hadits ini, ia menjawab, "hadis Al- Riyahi (sang angin) ini seperti angin (tidak ada nilainya)."

Syafi'i juga mendengar satu hadits palsu dari haram Ibnu Utsman. Syafi'i lantas berkomentar, "hadits haram ini hukumnya seperti nama perawinya, yaitu haram."

 

BAB VII

SASTRAWAN DAN AHLI BAHASA

 

1.      Syafi'i Adalah Bahasa

Sebelum berbicara tentang imam Syafi'i sebagai ahli fiqih, terlebih dahulu kita melongok sedikit tentang Syafi'i sebagai ahli bahasa. Syafi'i adalah seorang Arab dari suku Quraisy. Kenyataan ini cukup membuat Syafi'i fasih dan baik dalam berbicara bahasa Arab. Dahulu, para pemuka dan pemimpin orang-orang Arab, khususnya orang-orang Quraisy, berusaha menjaga orisinalitas bahasa mereka karena mereka takut bahasa tersebut menjadi rusak. Ini terjadi pada abad ke-2 Hijriyah, terutama setelah masa dinasti Umayyah.

Syafi'i tidak hanya ingin menjaga bahasanya saja, tetapi juga memilih mengembara di tempat kaum Hudzail, kaum yang paling fasih seperti yang telah kita paparkan. Hal ini tak lain untuk menjaga kebersihan bahasanya serta menambah pengetahuannya tentang bahasa tersebut. Walhasil, Syafi'i seakan menjadi salah seorang anggota kaum Hudzail. Kaum Hudzail mengakui keunggulan bahasa Syafi'i. Bahkan, Syafi'i terbiasa berargumen dengan menggunakan bahasa mereka.

Abu Al-Walid Ibnu Abi Al-Jarud berkata, "banyak orang mengatakan bahwa Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi'i adalah bahasa. Ucapannya menjadi sandaran dan dianggap bagian dari kemurnian bahasa Arab."

 

Kemampuan Bayan Syafi’i

Syafi'i memiliki kemampuan berorasi yang ulung dan retorika yang tegas. ia mampu mengekspresikan buah pikirannya dengan kefasihan lisan, kepiawaian sastrawi, serta kekuatan pikiran. Dengan suara yang dalam dan berwibawa, Syafi'i mengalunkan ucapannya dan menjelaskan buah pikirannya.

Karena suara Syafi'i yang dalam dan berwibawa inilah, imam Malik ingin mendengarkan bacaan Syafi'i terhadap kitab Al-Muwaththa' miliknya. Bahkan, karena kepiawaiannya di bidang orasi ini, Ibnu Rahawiyah menjuluki Syafi'i dengan "Juru bicara para ulama"

 

Saling Berbalas Syair

Mush'ab zubairi berkata, "bapakku dan Syafi'i saling berbalas syair. Syafi'i melantunkan syair kaum Hudzail yang telah ia hafal. Ia berkata, "jangan kau beritahu seorang ahli hadis pun tentang hal ini karena mereka tidak akan sanggup mendengarnya.'"

Kelak Syafi'i  menggunakan syair-syair ini untuk menuntaskan masalah-masalah fiqih, keimanan, dan akhlak. Makna yang terkandung dalam syair-syair tersebut sangat dalam dan orisinal. Kedalaman bahasa Syafi’i mendukung dan memudahkannya dalam mendalami ilmu tafsir. Syafi'i menjadi salah seorang yang cukup andal di bidang ilmu tafsir. Karena, pada dasarnya, memahami Al-Quran dan hadis Rasulullah SAW. Harus dilandasi dengan kemampuan berbahasa Arab yang baik.

 

2.      Kesaksian Para Tokoh Sastra Arab

Kesaksian Al-Ashmu'i

Al Ashmu'i adalah seorang ulama sastra Arab, pengarang, dan perawi terpercaya di bidang bahasa, syair, serta hal-hal aneh dalam masalah bahasa. Biasanya, jika masalah-masalah bahasa atau nama-nama ahli bahasa dibahas dan disebutkan, maka nama sekali ber sibaweih dan al-asmu'i akan disebut. Al-Ashmu'i berkata, "aku telah membacakan syair syanfari dihadapan seorang alim di Mekah, Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi'i. Ia lalu melantunkan syair milik 30 penyair. Penyair yang paling tinggi adalah' Amr'"

Al-Ashmu'i juga pernah berkata, "aku telah mentashhih syair Hudzail dengan bantuan seorang pemuda Quraisy di Mekah, Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi'i,"

Syafi’i tidak hanya menghafal syair-syair Hudzail, tetapi juga banyak menghafal syair-syair lainnya. Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Al-Hakam berkata, "aku mendengar Syafi'i berkata,' aku meriwayatkan hadits dari 300 penyair.'

 

Kesaksian Al-Ahizh

Syafi’i sangat menguasai bahasa Arab. Ia telah menggunakan bahasa yang kuat ini dalam memahami Al-Quran dan sunnah. Dalam menafsirkan hadis-hadis, Syafi'i juga menggunakan media bahasa Arab dan syair-syairnya. Ia menduduki puncak tertinggi di bidang bahasa dan fikih. Akal yang agung, jiwa yang besar, hati yang baik, dan syair yang orisinal berkumpul dalam diri Imam Syafi'i. Hal ini membuat para pendukung dan penentang Syafi’i mengakui kehebatannya di bidang bahasa. Berikut ini adalah kesaksian seorang yang tak ada tandingannya di bidang bahasa, Al-Jahizh: "Aku menelaah karya orang-orang hebat di bidang ilmu. Aku tidak menemukan karya yang lebih baik dari pada karya al-Muththalibi (Syafi’i), seakan ia adalah mulut yang memuntahkan mutiara demi mutiara." Syafi’i bak untaian mutiara dalam kalung.

 

Akal dan hati yang besar, jiwa yang baik, dan syair yang orisinal terhimpun dalam diri Syafi’i Hal ini membuat para pendukung dan penentang Syafi'i mengakui kehebatannya. Kemahiran Syafi’i juga mendapatkan pengakuan banyak ulama bahasa.

 

Kesaksian Ibn Hisyam

Mari kita dengarkan kesaksian imam besar, ahli bahasa dan sejarah, Abdul Malik ibn Hisyam, penulis Sastra Ibn Hisyam, yang juga sahabat Syafi'i saat di Mesir. Ia menuturkan tingkat kemampuan balaghah dan bayan Syafi’i dengan berkata, Pergaulan kami bersama Muhammad ibn Idris al-Syafi'i berlangsung cukup lama. Aku tidak pernah mendengar kesalahan sedikit pun dari Syafi'i dalam ungkapan, tidak juga mendengar satu kalimat yang lebih baik dari "ungkapan-ungkapan Syafi’i.”

Jika Ibn Hisyam meragukan satu hal dalam masalah bahasa, ia langsung bertanya kepada Syafi'i untuk mengetahui jawabannya.

Abu al-Abbas al-Mubarrad, pemilik sekolah bahasa di Bashrah, menuturkan, "Allah merahmati Syafi'i. Ia termasuk seorang penyair dan sastrawan yang paling andal serta paling tahu berbagai macam qiraat (bacaan).”

 

Segala ungkapan dan perkataan Syafi’i bak untaian mutiara. Syafi’i pandai memilih kata dan kalimat, sehingga setiap pendengar tidak mendapatkan kalimat yang lebih Indah dari kalimatnya. Para ahli bahasa banyak bertanya kepada Syafi’i dalam hal-hal yang berhubungan dengan bahasa.

 

Kesaksian Para Tokoh

Abu Utsman al-Mazi, seorang tokoh sezaman dengan Syafi’i, berkata, "Syafi'i bagi kami adalah hujjah dan pakar di bidang ilmu nahu.”

Al-Za'farani berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih fasih dan alim dari pada Syafi'i. la adalah manusia yang paling alim dan paling fasih. Setiap syair-syair dibacakan di hadapannya, ia langsung mengenalinya."

Al-Rabi ibn Sulaiman menuturkan, "Syafi'i memiliki jiwa dan lisan Arab."

 

Tidak mudah bagi seseorang untuk mengakui kelebihan orang lain, kecuali jika orang itu memang layak untuk dipuji. Demikianlah halnya Syafi’i: ia seorang pakar nahu dan bahasa. Setiap syair yang dibacakan di hadapannya, langsung ia mengenal seluk beluknya.

 

3.      Pemimpin Di Bidang Bahasa

Keluasan Ilmu Syafi'i Bak Samudra

 Manshur al-Azhari, salah seorang tokoh dan pemimpin di bidang bahasa, menuturkan, "Aku banyak menelaah karya para ulama di negeri ini. Kudapati karya Syafi'i lebih luas dan lebih banyak kandungan ilmunya. la adalah orang yang paling fasih berbahasa dan paling luas cakrawala ilmunya."

Al-Rabi' ibn Sulaiman, pelayan, sahabat sekaligus murid Syafi'i, mengingatkan kita akan keluasan ilmu bahasa Syafi'i. la bertutur, "jika kulihat Syafi'i dan keindahan bayan serta kefasihannya, aku sangat terkagum-kagum. Sekiranya ia menuliskan buku-bukunya menggunakan bahasa Arab yang sering ia gunakan dalam berdebat dan berdialog, maka kemungkinan besar tak seorang pun dapat membaca dan memahami buku-buku itu karena di dalamnya terkandung bahasa yang fasih dan ungkapan-ungkapan yang asing di kalangan bangsa Arab. Akan tetapi, dalam menulis karya-karyanya, Syafi'i berusaha menggunakan bahasa yang mudah dipahami orang awam." Tulisan Syafi'i lebih ringan dan lebih mudah dipahami ketimbang ucapan-ucapannya. Hal ini ia pilih agar buku-bukunya bisa dibaca oleh orang awam.

 

Sekiranya Syafi’i merulis karya-karyanya dengan bahasa Arab yang ia kuasai maka hanya sedikit orang yang dapat membaca dan memahaminya. Akan tetapi, Syafi'i berusaha memilih kata-kata yang sederhana agar mudah dipahami orang awam.

 

Syafi'i Memiliki Beberapa Majelis

Para ahli bahasa Arab sering menghadiri majelis Syafi'i untuk mendengar dan mengambil ilmu bahasa darinya. Al-Hasan ibn Muhammad al-Zafarani berkata, "Ada satu kaum ahli bahasa yang hadir di majelis Syafi'i bersama kami. Namun, mereka duduk secara terpisah di satu sudut. Aku katakan kepada pemimpin mereka, Kalian ke sini bukan untuk menuntut ilmu. Mengapa kalian duduk terpisah dari kami?' la menjawab, Kami ke sini hanya ingin mendengar ucapan dan bahasa Syafı’i".

Al-Karabis menuturkan, Aku tidak pernah melihat satu majelis yang lebih mulia dari majelis Syafi’i yang selalu dihadiri oleh ahli hadis, ahli fikih, dan ahli syair. Majelisnya sering didatangi oleh ahli bahasa dan syair. Setiap orang mengutip bahasa dan ucapan Syafi'i"

 

Kesaksian Ibn Hanbal

Adalagi kesaksian besar dari seorang ulama yang menjadi rujukan sejarah Islam, yaitu Imam Ahmad ibn Hanbal. Ia adalah salah seorang murid Imam Syaf'i yang sangat dicintai. Imam Ahmad menggambarkan ilmu gurunya, "Syafi'i adalah seorang filsuf dalam empat hal: bahasa, sosial, ilmu makna, dan fikih". Yang dimaksud filsuf adalah guru yang hebat. la juga berkata, "Syafi'i termasuk manusia yang paling fasih bahasanya."

 

Ilmu Syafi’i tidak terbatas pada satu bidang, tapi mencakup ilmu bahasa, sosial, ilmu makna, dan fikih.

 

Syafi'i Bagaikan Gula

Yunus ibn Abdul A’la berkata, "jika Syafi'i berbicara bahasa Arab, kukatakan bahwa ia paling ahli dalam hal ini. Jika ia berbicara tentang syair, kutegaskan bahwa ia paling ahli di bidang ini. Jika ia berbicara tentang fikih, kukatakan bahwa ia paling pakar dalam ilmu ini".

Al-Walid ibn Abi al-Jarud menuturkan, "Aku tidak pernah melihat orang yang buku-bukunya lebih besar dari sosok penulisnya, kecuali Syafi'i. Dan lisan Syafi'i lebih hebat lagi dari bukunya. "Yunus ibn Abdul A’la berkata, "Kalimat-kalimat yang dilontarkan Syafi'i bagaikan gula"

 

Bagaimana Keadaanmu Pagi Ini?

Di antara kelembutan Syafi’i, seperti dikisahkan, ia jatuh sakit lalu menemui al-Rabi ibn Sulaiman, pembantunya. Al-Rabi bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaanmu pada pagi ini?" Ia menjawab, "Aku sangat lemah"

"Semoga Allah menguatkan kelemahanmu,” jawab al-Rabi"

Syafi'i pun tersenyum dan berkata, "Jika Allah menguatkan kelemahanku, berarti Allah telah membunuhku. Katakanlah, "Semoga Allah menguatkanmu untuk mengalahkan kelemahanmu!.”

 

4.      Syair-Syair Akhlak

Awalnya syair adalah bakat kemudian menjadi ilmu terapan. Jika keduanya ada pada seseorang, niscaya orang itu akan menjadi penyair mulia. Bakat dan ilmu terapan bertemu dalam diri Syafi’i. Meski begitu, karena tipe keilmuannya, Syafi'i ingin syair-syairnya lebih bernapaskan akhlak dan budaya. Ia lebih memfokuskan syair-syairnya hanya tentang akhlak, keimanan, dan hubungan sosial yang luhur. Walhasil, syair Syafi’i tidak seperti syair-syair lainnya. Biasanya para penyair terlalu berlebihan dalam menulis syairnya agar mengugugah jiwa. Menurut mereka, syair yang paling nikmat didengar adalah yang paling banyak dustanya.

Syair Syafi'i tidak berlebihan seperti ini. Bahkan, syairnya lebih beraliran realistis dan bersifat efektif agar nilai-nilai keimanan dan akhlak yang terkandung di dalamnya bisa diambil manfaatnya oleh masyarakat. Syafi'i menolak dikatakan sebagai seorang penyair. la mengorientasikan syairnya untuk kemajuan ilmu. Oleh karena itu, banyak orang menilai Syafi’i, "Jika bukan karena metode seperti ini, niscaya Syafi'i menjadi penyair yang paling andal.”

Tentang dirinya, Syafi’i menuturkan,

Sekiranya syair tidak mencela para pembesar

Niscaya hari ini aku menjadi lebih ahli syair dari pada seorang peryair

 

Pengakuan ini dibuktikan dengan kemampuan Syafi'i yang dengan mudah menyusun syair-syair dan memasukkan unsur seni dalam ucapan-ucapannya. Tetapi Syafi’i tidak pernah mau berlebihan dalam hal ini.

Ia berkata,

Aku memiliki permata syair dan mutiaranya

Pada diriku tergantung untaian kalam dan mahkotanya

 

BAB VIII

PENYAIR BERBAKAT

 

1.      Syair Tentang Ilmu

Yang Muda Yang Belajar

Di antara hikmah yang diajarkan Syafi'i kepada murid-muridnya dan para penuntut ilmu adalah tuntutan bersabar dalam menuntut ilmu. Syafi'i melantunkan syair di bawah ini,

Bersabarlah menghadapi sikap keras seorang guru

Karena kegagalan itu disebabkan oleh ketidak sabaran murid dalam menghadapinya

Siapa yarg tidak pernah merasakan pahitnya belajar satu saat saja 

Niscaya ia akan menderita sepanjang hidupnya karena kebodohan

Siapa yang tidak belajar pada masa mudanya

Maka dirikanlah shalat empat takbir atas kematiannya

Demi Allah, hidup seorang pemuda dengan ilmu dan ketakwaan

Jika keduanya tidak ada maka pribadinya tak bernilai

 

Syafi'i menyimpulkan untuk kita bahwa kesuksesan menuntut ilmu tidak bisa dicapai kecuali dengan bersabar dalam menghadapi sikap keras guru, mulai belajar pada masa muda, dan menyertai ilmunya dengan ketakwaan. Jika tidak maka pribadinya tak berguna sama sekali.

Menuntu Ilmu

Syafi’i sangat haus ilmu. Ia mengajarkan kepada kita syarat-syarat menuntut ilmu. Ia mengajarkan syarat-syarat tersebut kepada semua generasi dan menyimpulkannya dalam dua bait syair,

Saudaraku, kau tidak akan mendapat ilmu kecuali dengan enam perkara

Aku akan menjelaskannya kepadamu dengan rinci

Kecerdasan, ambisi, kesabaran, biaya, bimbingan guru, dan waktu yang lama

 

Syafi'i mengajarkan kita bahwa di antara syarat menuntut ilmu adalah harus ada bimbingan guru, mendengarkan ilmu darinya, ambisi, sabar, dan berusaha memahami semua yang diajarkannya

 

Hilangnya Ilmu Adalah Petaka

Syafi'i mengisyaratkan satu hal penting, yaitu bahwa ilmu harus disertai ketakwaan kepada Allah, akhlak mulia, dan perilaku yang baik. Syaf'i berkata,

Jika ilmu seorang pemuda tidak menambah hidayah di hatinya

Atau tidak membuat hiduprya merjadi larus dan akhlakrya nenjadi baik

Beritakan kepadanya barwa Allan akan merimpakan petaka kepadanya

Ia akan ditimpa petaka seperti orang-orang yang menyembah berhala

 

Jika hidup seorang penuntut ilmu tidak seperti kasturi yang mencerminkan ilmunya maka ilmu itu akan berubah menjadi petaka baginya.

 

Pemilik Ilmu

Imam Syafi'i sangat mencintai ilmu dan sangat ambisius dalam mencarinya. Sepanjang hidupnya ia menuntut ilmu sambil mendorong orang lain untuk mencarinya. Ia berkata,

Kulihat seorang yang berilmu itu mulia

Walaupun ia dilahirkan oleh seorang bapak yang hina

Ilmu akan terus mengangkatnya dan

Semua kaum yang mulia akan membesarkan derajatnya

Mereka akan selalu mengikutinya di setiap saat Seperti penggembala kambing yung dikauti oleh gembalanya

Tanpa ilmu, orang-orang tidak akan bahagia            

Yang halal dan yang haram pun tak dapat dikenali

 

Ilmu dapat meninggikan rumah yang tak bertiang, sementara kebodohan dapat menghancurkan rumah yang kokoh sekalipun.

 

Buruknya Hafalan

Syafi'i ingin mencari teman dalam perjuangan menuntut ilmu. la menemukan seorang bernama Waki ibn al-Jarrah. Syafi'i selalu meminta pertimbangan darinya dan Waki' senantiasa menasihati Syafi'i. Hafalan Imam Syaf'i sangat kuat. Setiap kali ia mendapatkan sesuatu, ia langsung menghafalnya. Walau demikian, ia terus mengeluhkan kelemahan daya hafalnya kepada Waki.’  Waki memberinya tips dan obat untuk mengurangi penyakit ini.

Syafi'i menuturkan,

Aku mengadukan perihal lemahnya hafalanku kepada Waki’

la membimbingku agar akau meninggalkan maksiat la berkata, "Ketahuilah bahwa ilmu itu karunia Dan karunia Allah tidak diberikan kepada seorang pemaksiat”

Ia juga berkata, "Ketahullah bahwa ilmu itu cahaya       

Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada seorang pemaksiat

 

Syafi'i sangat membenci sikap hura-hura dan kecenderungan menyia-nyiakan waktu. Suatu hari ia melewati sekelompok orang yang tengah bermain dadu. la berkata, "Aku membenci orang yang sibuk melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat bagi agama dan dunianya.”

 

Cela Bagi Kita

Syafi'i mencela orang-orang yang menyerah dan mengembalikan kekurangan dan aib diri kepada waktu. Ia berkata,

Kita mencela zaman padahal aib itu ada pada kita Sendiri

Zaman kita tidak memilki aib kecuali pada diri kita sendiri

Kita mencela dan meryalahkan zantan tanpa kesalahan dan dosa darinya

Sekiranya zaman dapat berbicara, niscaya ia akan mencela dan menyalahkan kita

 

Semuanya adalah kalimat-kalimat yang perlu dicatat dengan tinta emas. Kalimat ini mengingatkan sikap kita yang selalu menganggap zaman dan waktu sebagai penyebab kegagalan kita. Sekiranya zaman dapat berbicara, niscaya kitalah sebenarnya yang menjadi objek hinaan zaman.

                                                                             

Lautan Ilmu Sangat Dalam

Syafi'i menasihati kita agar memfokuskan perhatian pada satu bidang ilmu. Kita tidak dilarang memiliki wawasan luas, tapi kita dituntut menjadi pakar dan spesialis di satu bidang ilmu.

la berkata,

Seseorang tidak akan mendapatkan semua ilmu

Walaupun ia mencoba mencarinya selama seribu tahun

Lautan ilmu itu sangat dalam

Maka, ambillah yang terbalk saja dari semua hal

 

Menuntut ilmu hukumnya wajib. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mencarinya. Imam Syaf'i telah menyimpulkan dan menjelaskan kepada murid-muridnya dan kepada siapa saja yang ingin menuntut ilmu. la menegaskan bahwa lautan ilmu sangat dalam. Tak akan ada yang bisa menyelaminya kecuali penyelam yang sangat mahir.

 

Ilmu

Al-Rabi' ibn Sulaiman berkata, "Aku mendengar Syafi’i berkata, Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa nalar dan kemampuan berargumen seperti seorang pencari kayu bakar pada malam hari. la membawa seikat kayu bakar dan tak menyadari bahwa di dalamnya terdapat seekor ular yang siap menyengat nya.”

Diriwayatkan dari al-Muzanni, la berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, ‘Siapa yang tidak mencintai ilmu maka tak ada kebaikan padanya. Kau tidak layak berkenalan dan berteman dengannya.”

Diriwayatkan dari al-Rabi' ibn Sulaiman, ia berkata, "Aku mendengar Syafi'i menyatakan, Hiasan para ulama adalah ketakwaan, pakaiannya adalah akhlak baik, dan ketampanannya adalah jiwa yang mulia."

Ia juga berkata, "Aku mendengar Syafi’i berkata, Ilmu tidak akan baik dan indah kecuali dengan tiga perkara: takwa kepada Allah, menjalankan sunnah, dan takut kepada-Nya.”

 

Keindahan ilmu, takwa, dan rasa takut kepada Allah adalah perhiasan ulama. Barang siapa tidak mencintai ilmu maka tak ada kebaikan padanya. Kita tidak perlu berteman dan bergaul dengannya.

 

Ilmu Yang Berguna

Abu Bakar al-Khallal berkata, "Aku mendengar Syafi’i menuturkan, Ilmu itu bukan yang dihafal, melainkan yang berguna.”

Al-Rabi' berkata, Aku mendengar Syafi'i berkata, Perdebatan dalam ilmu dapat mengeraskan hati dan menyisakan kedengkian."

Ia juga berkata, "Kudengar Syafi'i berkata, "Jika para ahli fikih dan orang yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah maka Allah tidak memiliki wali.”

Diriwayatikan dari al-Muzanni, ia berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, "Ilmu adalah kehormatan bagi orang yang tidak memiliki kehormatan.”

 

Para ahli fikih yang mengamalkan ilmunya adalah wali-wali Allah. Ilmu yang bermanfaat adalah sumber kehormatan bagi orang yang tidak memiliki kehormatan, selama la tidak di perdebatkan.

 

2.      Seni Membangun Hubungan

Hubungan yang Benar

Syafi'i telah mencicipi asam-garam kehidupan dan menemui berbagai model manusia. la ingin mencari teman yang bisa menghiburnya. Sayangnya, pencarian itu membuatnya lelah. Ia menuturkan,

Teman yang tidak berguna saat petaka melanda

Ia hampir sama dengan musuh

Seorang teman tak bisa diharapkan dalam setiap masa

Demikian pula saudara, kecuali untuk hiburan

Aku mengenal banyak manusia karena aku terus mencari

Saudara yang terpercaya, hingga pencarianku membuatku lelah

Semua negeri menghindariku,

hingga seakan para penduduknya bukan manusia

 

Mencari teman sejati tidak mudah. Jika kau menghabiskan hidupmu untuk mencarinya, jarang sekali kaudapatkan teman sejati.

 

Saat seorang temannya jatuh sakit, Syafi'i menjenguknya. Syafi'i ikut merasakan derita dan sakit temannya. Sepulang dari sana, Syafi'i menulis dua bait syair yang indah

Kekasih jatuh sakit dan aku menjenguknya

Aku ikut merasakan deritanya karena perhatianku padanya

Seorang kekasih datang merjengukku

Hingga aku sembuh setelah memandang wajahnya

 

Saudara Yang Tulus

Kemudian Syafi'i mengingatkan kita akan sahabat yang harus menjadi teman setia. la berkata,

Aku mencintai setiap saudara yang menutup matanya

Dan mengabaikan kesalahan-kesalahanku

Yang selalu sepakat denganku dalam segala hal yang ku mau

Dan menjagaku saat aku hidup atau setelah aku mati

Siapakah yang mau menjadi teman seperti ini?

Andai aku menemukannya

Maka akan Kubagi hartaku kepadanya dan segala kebaikan

Aku akan menyalami semua saudaraka

Dan dari sekian banyak saudara Sangat sedikit yang dapat dipercaya

 

Rahasia Pergaulan

Di antara syair Syafi'i yang sarat nilai dan mengajarkan kita cara hidup bahagia dalam pergaulan yang Baik adalah sebagai berikut:

Jagalah jiwa dan bawalah ia kepada hal yang akan menghiasinya

Niscaya kau hidup selamat dan reputasimu menjadi baik

Jika hanya berbasa-basi dalam mempergauli manusia

Maka masa akan menjauh atau teman akan bersikap keras kepadamu

Jika rezeki hari ini sedikit maka bersabarlah hingga hari esok

Semoga petaka zaman akan hilang darimu

Tak ada kebaikan dalam mencintai seseorang yang banyak tingkah

Kemana angin bertiup, ia akan ikut ke sana

Berapa baryak saudara saat Kau hitung

Akan tetapi saat kau tertimpa petaka, mereka tampak sedikit

 

Bergaul dengan manusia memerlukan latihan dan kesabaran yang besar. Saat kau sejahtera, kau akan melihat banyak teman dan saudara. Tetapi saat musibah menimpa, mereka menjadi sedikit.

 

Lebih Baik Sendiri

Jika kau tidak menemukan seorang sahabat maka menyendiri lebih baik bagimu. Syafi'i melantunkan bait syair,

Jika aku tidak menemukan seorang teman yang bertakwa

Maka kesendirianku lebih nikmat dari pada teman buruk yang kutemani

Duduk sendiri bisa lebih selamat dari hal-hal bodoh

Mataku akan senang karena aku bisa menghindari seorang teman yang harus kujauhi

 

Saudara yang paling baik adalah yang bertakwa, memberi nasihat, menemani saat derita, dan menjaga citra kita saat hidup atau mati. Jika orang seperti ini tidak ditemukan maka hidup sendiri lebih baik.

 

Bait Syair Syafi'i yang Paling Populer

Bagi orang yang meneliti tingkat balaghah Syafi'i dan syairnya, ia harus mengkaji bait syair yang sarat hikmah di bawah ini. Dengan bahasa yang indah, syair tersebut layak menjadi rujukan utama dan hiasan hati manusia. Selain itu, syairnya mengingatkan kita akan qadha dan qadar Allah. Syafi'i melantunkan,

Biarkan hari-hari melaukan apa yang ia mau

Dan lembutkan jiwamu jika ketetapan Allah berlaku

Jargan panik menghadapi peristiwa-peristiwa malam

Karena segala peristiwa dunia ini tidak abadi

Jadilah laki-laki yang perkasa menghadapi petaka

Dan milikilah sifat pemaaf dan jujur

Jika cela dan aibmu nampak banyak di mata makhluk

Maka berbahagialah karena masih ada penutupnya

Tutuplah dirimu dengan kemurahan hati

Karena setiap aib dapat ditutupi dengan kemurahan hati, seperti kata orang

Jangan kau tampakkan kehinaanmu di depan musuh

 Karena kebahagiaan musuh saat melihatmu menderita akan merjadi petaka bagimu

Jangan kau berharap maaf dari seorang yang bakhil

Karena di neraka tak ada air bagi orang yang kehausan

Rezekimu takkan berkurang dengan sikap tenangnu

Dan perjuanganmu belum tentu dapat menambah rezekimu

Tak ada kesedihan yang abadi, tidak pula kebahagiaan

Tidak petaka, tidak pula kesejahteraan

Jika kau memiliki hati yang qanaah

Maka kau serupa dengan raja-raja penguasa dunia

Siapa yang serambinya didatangi kematian

Maka takkan ada bumi dan langit yang dapat melindunginya

Tanah Allah sangat luas akan tetapi jika ketetapan-Nya turun maka semuanya akan menjadi sempit

Biarkan hari terus berkhianat setiap saat

Karena obat takkan dapat meryembunkan kematian

 

3.      Kasidah-Kasidah Keimanan

Panah Malam

Apakah kau meremehkan doa dan menghinakannya

Kau tak tahu apa yang bisa dilakukan sebuah doa

Panah malam tidak akan meleset akan tetapi

Ia hanya memiliki masa dan masa pasti akan habis

 

Doa adalah panah yang tak pernah meleset dari sasaran. Jika kita mencoba panah ini maka kita akan takjub karenanya.

 

Kelapangan Setelah Kesempitan

Berapa baryak musibah yang membuat seorang pemuda tertekan

Padahal di sisi Allah ada jalan keluanya

Musibah membuat sempit dan saat rentetannya terjadi

Maka ia akan semakin lapang, tadinya kukira ia tidak akan dilapangkan

 

Jangan Pernah Putus Asa Dari Rahmat Allah

Jika kau tak henti melakukan dosa

Dan tetap takut akan ancaman hari yang dijanjikan

Maka telah datang kepadamu maaf Tuhan Yang Mata Menguasai

Yang telah melimpahkan semua karunia-Nya kepadamu

Jangan putus asa dari kebaikan Tuhanmu

Sejak kau masih di perut ibumu berupa segumpal daging dan janin

Jika Allah berkehendak agar kau menetap abadi di neraka jahanam

Niscaya Allah tidak akan mengilhami hatimu dengan tauhid

 

Menyerah Pada Kehendak Allah

Jika aku memilki makanan untuk hariku ini

Maka jauhkan kesedihan dariku, wahai Tuhan Pemberi Kebahagiaan

Jangan kautimpakan kesedihan esok di pintuku

Karena jika esok tiba, Dia tetap memiliki rezeki baru

Aku hanya pasrah jika Allah menghendaki satu perkara

Aku serahkan apa yang ku mau berdasarkan apa yang Dia Mau

 

Takwa Kepada Allah Dan Harapan

Orang ingin harapanınya terwujudkan

Akan tetapi Allah menolaknya kecuali apa yang dikehendaki-Nya

Seseorang berkata, "Ini adalah peran dan hartaku”

Padahal ketakwaan kepada Allah adalah sebaik-baik peran dan hartanya

 

Zikir kepada Allah

Hatiku bergantung kepada rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Memiliki kelembutan

Dalam keadan tersembunyi, nyata, pagi, dan petang

Aku tak pernah bolak-balik saat tidur dan kantukku

Kecuali zikir kepada-Mu menyela napas-napasku

Kau anugerahi hatiku dengan makrifat

Bahwa Engkau adalah Allah Tuhan Yang Memiliki karuania dan kesucian

Aku telah melakukan dosa dan Kau pun mengetahuinya

Kau tidak pernah membongkarnya dengan sesuatu yang buruk

Anugerahi aku nama baik orang-orang saleh

Jangan berikan kebimbangan kepadaku dalam agamaku

Sertailah aku selama di dunia dan akhiratku

Hari kiamat saat aku dihimpun dan saat semua berwajah masam atas petaka yang kau turunkan

                              

 Jalan Keselamatan

Wahai penasihat manusia, apa yang telaht kaulakukan

Wahai orang yang menghitung umurnya berdasarkan bilangan napasnya

Jaganlah ubanmu dari aib yang akan mengotorinya

Karena warna putih itu jarang membawa kepada kotoran

Seperti seseorang yang membawa pakaian orang-orang untuk dicucinya

Sementara pakaiannya sendiri berlumur kotoran dan najis

Kau berharap keselamatan sementara kau tidak menempuh jalannya

Sesunguhnya perahu itu tidak berlayar di atas daratan

Keranda mayat yang kau naiki membuatmu lupa akan

Pergalamanmu menunggang keledai atau unta

Pada hari kiamat tak ada harta dan anak

Pelukan alam kubur dapat melupakan malampergantinmu

 

Tunduk pada Allah

Di tempat hina di bawah keagungan-Mu

Di tempat rahasia yang tak kuketahui

Dengan menundukkan kepalaku, aku mengakui kehinaanku

Dengan mengangkat tanganku, aku memohon kebaikan dan rahmat-Mu

Dengan nama-Mu yang menyebut sebagiannya saja

Membutuhkan paparan prosa dan syair yang panjang

Dengan janji lama-Mu, bahwa kata-Mu, “Bukankah Aku Tuhanmu?"

Dengan orang yang tidak dikenal, lalu la dikenal dengan nama-Nya

Buatlah kami merasakan minuman kelembutan, wahai

Tuhan Yangjtika Kau memberi minuman kepada seorang yang mencintai-Mu, niscaya orang itu takan pernah merasa kenyang dan haus

 

Tingalkan Kesedihan

Mata terjaga dan mata tertidur

Karena banyak perkara yang terjadi atau tidak terjadi

Hilangkan kesedihan dari jiwamu, semampumu

Memendam kesedihan adalah kegilaan

Sesungguhnya Tuhan telah mencukupimu kemarin

Dan Dia juga akan mencukupinu esok hari

 

BAB IX

ORANG BIJAK

 

1.      Etika Bergaul

Yunus ibn Abdul A’la berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, "Temanilah orang-orang mulia, niscaya kau hidup mulia. Jangan pergauli orang hina sehingga kau ikut menjadi hina.”

Al-Muzanni menuturkan, "Kudengar Syafi’i berkata, Pelaku zalim terhadap diri sendiri adalah orang yang tunduk kepada seseorang yang tidak ia hormati, ingin dicintai oleh orang yang tidak berguna baginya, atau suka menerima pujian dari orang yang tidak mengenalnya"

Diriwayatkan dari al-Rabi ibn Sulaiman, Ia berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, ‘Menemani orang yang tidak takut cela akan mendatangkan cela pada hari kiamat." Darinya juga diriwayatkan bahwa Syafi’i berkata, "Sandaramu bukanlah orang yang perlu kau puji atau kau raih simpatinya."

Perbatikan hikmah dan prinsip pergaulan yang diberikan Syafi'i kepada kita:

·              Jangan bergaul dengan orang yang tidak takut aib!

·              Pergaulilah orang-orang mulia!

·              Jangan menzalimi diri sendiri dengan tunduk kepada orang yang tidak memuliakanmu. Jika untuk mendapatkan saudara kau harus memuji seseorang terlebih dahulu, berarti ia bukan saudaramu

 

Persaudaraan Yang Tulus

Al-Rabi' ibn Sulaiman menuturkan, “Aku mendengar Syafi'i berkata, Orang yang tulus dalam bersaudara akan menerima kekurangan saudaranya, mengabaikan kelemahannya, dan memaafkan kesalahan-kesalahannya."

Syafi’i berkata, "Tak ada kebahagiaan yang setara dengan persaudaraan dan tak ada kesedihan yang setara dengan perpisahan dengan saudara"

Diriwayatkan dari al-Muzanni bahwa Syafi'i berkata, "Orang yang menasihati saudaranya secara tertutup, berarti ia telah berbuat baik kepadanya dan menghargainya. Dan orang yang menasihatinya secara terbuka, berarti ia telah membongkar keburukannya dan menghinanya.”

Yunus ibn Abdul A’la bertutur, "Aku mendengar Syafi'i berkata, 'Sikap rendah hati merupakan akhlak orang-orang mulia, dan sikap sombong adalah sifat orang yang tercela"

Ia juga berkata, "Aku mendengar Syafi'i berpesan, "Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak melihat ketinggian derajatnya. Orang yang paling mulia adalah orang yang tidak menganggap dirinya mulia"

 

Bersandar Pada Teman

Di antara nasihat Syaf'i yang agung adalah ucapannya kepada Yunus ibn Abdul A’la, "Wahai Yunus, jika kau memiliki teman maka eratkan tanganmu dengannya (jagalah ia) karena mencari teman itu sulit dan berpisah dengannya sangat mudah".

Syafi'i juga berkata, "Siapa yang rela mengadu domba orang lain untukmu maka ia akan berani mengadudombamu. Dan siapa yang suka menyampaikan segala hal kepadamu, ia pasti akan menyampaikan apa saja tentangmu. Siapa yang kau relakan maka ia akan mengucapkan apa yang tidak ada padamu. Barang siapa kau marahi maka ia akan berbicara tentangmu dengan hal-hal yang tidak ada padamu".

 

2.      Seni Menyempurnakan Kepribadian

Kesempurnaan Seorang Laki-Laki

Syafi'i berkata, "Orang yang mempelajari Al-Quran maka nilainya akan bertambah besar, dan orang yang mendalami fikih derajatnya akan bertambah mulia. Orang yang mencatat hadis argumentasinya semakin kuat, dan orang yang mendalami ilmu bahasa tabiatnya akan melembut. Orang yang belajar ilmu hisab pendapatnya akan banyak, dan orang yang tidak menjaga diri sendiri ilmunya tidak akan bermanfaat baginya."

Al-Buwaithi berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, Seorang laki-laki tidak akan sempurna di dunia kecuali dengan empat perkara: agama, sifat amanah, menjaga diri, dan sikap tenang".

Syafi'i berkata, "Amal yang paling berat ada tiga: murah hati saat miskin, bersikap warak saat sendiri, dan mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti.”

 

Imam Syafi'i adalah sosok ahli di bidang kehidupan. la telah merasakan pahit getir kehidupan dan mengenal beragam tabiat manusia. la adalah orang yang berpandangan luas dan berperasaan halus. Dari sini, ia banyak mendapatkan hikmah dan pengalaman sangat berharga yang ia ajarkan kepada kita.

 

3.      Seni Membina Hubungan

Imam Syafl'i orang yang cerdas dan kreatif. la memiliki perasaan yang lembut dan pandangan yang luas. la pakar dalam kehidupan. Ia hidup sebagai seorang yatim sekaligus miskin, kemudian bersinar terang menjadi matahari yang menyinari bumi. la banyak mengembara ke negeri-negeri Islam dan mengenal bermacam ras dan jenis manusia. Walhasil, ia mendapatkan wawasan yang luas hingga ia memancarkan hikmah yang berlimpah. Salah satunya adalah riwayat al-Rabi' bahwa Syafi'i berkata, "Wahai Rabi, jangan berbicara tentang sesuatu yang tidak berguna. Jika kau mengatakan satu kalimat maka kalimat itu akan menguasaimu dan kau takkan bisa menguasainya.”

Al-Muzanni menuturkan, "Aku mendengar Syafi'i berkata, 'Setiap orang pasti dicintai atau dibenci. Jika demikian, jadikanlah orang-orang yang taat kepada Allah sebagai rujukan.

Yunus ibn Abdul A’la berkata, "Syafi’i berpesan, Wahai Abu Musa, jika kau berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan keridhaan manusia maka kau tidak akan pernah mendapatkannya. Maka, ikhlaslah dalam beramal dan tuluskan niatmu karena Allah.”

Hikmah-hikmah ini mengajarkan kita agar tidak berbicara satu kalimat kecuali pada tempatnya dan tidak banyak memedulikan pendapat orang lain tentang kita. Syafi'i berpesan agar kita menjadikan orang-orang yang saleh sebagai contoh dan teladan.

Syafi'i berkata kepada Yunus ibn Abdul A’la, "Wahai Yunus, sikap menutup diri dari orang lain dapat menimbulkan permusuhan, dan sikap terlalu toleran dapat mendatangkan teman-teman yang buruk. Karena itu, bersikaplah sedang-sedang saja."

Syafi'i meminta murid-muridnya untuk tidak sibuk mencari keridaan manusia. Yunus menuturkan, “Syafi’i berkata kepadaku, Keridaan manusia adalah tujuan yang tak bisa dicapai. Tidak ada jalan untuk selamat dari mereka. Karena itu, kau harus melakukan apa yang bermanfaat bagimu."

 Syafi'i berkata, "Aku tidak pernah memuliakan seseorang secara berlebihan, Aku juga tidak mengurangi rasa hormatku kepadanya secara berlebihan. la juga berkata, "Tidak ada loyalitas kepada seorang hamba, tidak ada ucapan terima kasih kepada orang yang hina, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang keji.”

 

Menikah Dengan Orang Jauh

Syafi'i berbicara tentang satu hikmah sosial yang banyak diabaikan oleh manusia, "Kaum mana saja yang perempuannya tidak menikah dengan laki-laki di luar kaumnya, atau laki-lakinya tidak menikah dengan perempuan kaum lainnya, maka anak-anak yang dilahirkan akan menjadi bodoh.

 

Keridaan

Al-Rabi berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, Orang yang dimintai keridaan-nya lalu ia tidak rida maka ia adalah setan.”

Hikmah ini banyak diabaikan orang. Satu kaum yang laki-lakinya tidak menikah dengan perempuan kaum lain, ata perempuannya tidak menikah dengan laki-laki kaum lain, maka anak-anaknya akan terlahir dalam keadaan bodoh. Sungguh ini adalah hikmah yang sangat tinggi. Betapa Syafi'i seorang imam yang hebat!.

 

4.      Memahami Agama

Mencela Sikap Bergantung pada Orang Lain

Syafi'i mencela orang yang masuk dunia sufi sehingga cenderung pasif, tidak mau bekerja, dan membebankan biaya hidupnya pada kaum muslim. Orang seperti ini tidak menunaikan kewajiban sosial mereka, tidak sibuk menuntut ilmu, dan tidak mau beribadah. Syafi'i berkata, "Jika seorang laki-laki menjadi sufi di awal siang maka waktu zuhur tidak datang kepadanya kecuali kau temukan Ia dalam keadaan bodoh"

"Aku tidak pernah melihat seorang sufi pun yang berakal kecuali seorang muslim Khawash,” demikian kata Syafi'i.

Dengan nada mencibir, Syafi'i juga berkata, "Seorang sufi tidak menjadi sufi sebelum empat sifat ada pada dirinya: malas, banyak makan, banyak tidur, dan usil.”

Muhammad ibn Muhammad ibn Idris as-Syafi'i berkata, "Aku mendengar ayahku berkata, Aku menemani kaum sufi selama sepuluh tahun, dan aku tidak mengambil manfaat apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat: waktu adalah pedang dan termasuk Kesucian jika kau tidak dihargai"

 

5.      Akhlak Yang Luhur

Kehormatan Yang Hampir Hilang

Al-Rabi' ibn Sulaiman menuturkan, "Aku mendengar Syafi'i berkata, 'Kehormatan memiliki empat rukun: akhlak yang baik, kedermawanan, sikap rendah hati, dan ibadah.”

Syafi'i mencela anaknya, Utsman. Di antara ucapannya kepada anaknya adalah:

"Wahai Anakku, jika kutahu bahwa air dingin dapat mengikis kehormatanku, aku hanya akan minum air panas.”

Dalam satu riwayat terdapat tambahan, "Sekiranya hari ini aku termasuk orang yang suka mengucapkan syair, niscaya aku telah merusak kehormatan.”

 Syafi'i berkata. "Kehormatan diraih dengan melindungi diri dari hal-hal tak berguna."

 Diriwayatkan dari al-Rabi ibn Sulaiman bahwa Syafi'i berkata, "Para pemilik kehormatan itu selalu letih."

Syafi’i berkata, "Memberi syafa'at (membantu) adalah zakat kehormatan."

 

Kehormatan mungkin tidak lagi dipedulikan pada zaman sekarang. Akan tetapi, Syafi’i sangat menjaga kehormatannya hingga jika ia tahu bahwa air dingin dapat mengikis kehormatannya, niscaya la lebih rela minum dengan air panas.

 

Jangan Marah

Selain sifat-sifat agung itu, Syafi'i juga tidak pernah marah saat berdebat. la tidak pernah berkata keras saat berdialog karena ia hanya mencari kebenaran dengan dialognya dan tidak ingin merasa lebih unggul. Kezuhudannya di bidang ilmu dan keikhlasannya dalam mencari kebenaran sampai pada tingkatan di mana ia berharap semua orang mengambil manfaat dari ilmunya tanpa harus mengenang jasa-jasanya. Dalam kitab Tarikh Ibni Katsir disebutkan bahwa Syafi'i berkata, "Aku ingin manusia mempelajari ilmu ini dan tidak menisbahkannya sedikit pun kepadaku agar keburukanku tidak disebutkan. Dan kalian jangan memujiku."

 

Kehormatan Syafi’i Melarangnya

Dengan akhlak yang mulia ini Syafi'i mencapai puncak tertinggi yang bisa dicapai oleh orang yang ikhlas, yaitu kekuatan jiwa, kecerdasan, kemuliaan, dan kesucian tujuan dari hal-hal yang tidak layak dimiliki oleh seorang laki-laki yang sempurna. Hingga Yahya ibn Mu'in pernah berkata tentangnya, "Seandainya berbohong itu dibolehkan maka kehormatan Syafi'i pasti akan tetap melarangnya untuk berbohong.”

Allah merahmati Imam Syafi'i karena ia selalu melaksanakan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi panggilan hati dan fitrahnya, tidak sekadar ingin melaksanakan perintah atau menjauhi larangan semata.

Allah telah menganugerahi Syaf'i sifat dan bakat vang dapat meninggikan derajatnya dalam agama dan menempatkannya di puncak tertinggi. Syafi'i menjadi orang yang memiliki kekuatan menghafal, sikap tanggap, nalar yang kuat, kekuatan bayan, kefasihan, kesucian jiwa, dan ketulusan dalam mencari kebenaran.

 

Toleran Dan Santun

Syafi'i adalah seorang imam agung di antara imam-imam kaum muslim lainnya. la juga ulama. Kita tahu kadar keilmuannya, pemahaman, dan kecerdasannya. Ilmu Syafi’i ini tidak bertentangan dengan sikap toleransi, kesantunan, dan selera humornya. Sebalikanya, seorang alim dituntut harus selalu toleran dan santun. Ia tidak boleh lancang dan kasar agar orang-orang tidak menghindarinya. Nabi SAW. adalah seorang Rasul yang alim dan sesekali bergurau. Tetapi, dalam gurauannya, beliau tidak berdusta. Demikian pula Syafi’i. la memiliki selera humor dan canda yang segar, mulia, dan santun.

 

Toleransi dan kelembutan seorang alim membuatnya dicintai, diterima, dan didengar. Demikian pula Syafi'i. la sangat dekat dengan masyarakat, dicintai, dan disayangi oleh para muridnya.

 

Kecerdasan Seekor Serigala

Di antara kisah-kisah menarik yang diriwayatkan Syafi'i adalah kisah tentang kecerdasan seekor serigala. la menuturkan, "Kami tengah berjalan-jalan di daerah Yaman. Di satu tempat, kami beristirahat dan menurunkan seluruh perbekalan untuk menyiapkan makan malam. Setelah makanan telah disiapkan, kami memilih melaksanakan shalat maghrib terlebih dahulu. Ketika itu, makanan kami adalah dua ekor ayam. Saat kami shalat, tiba-tiba seekor serigala datang. Ia mengambil seekor ayam santapan kami dan kabur. Seusai shalat, kami merasa kehilangan seekor ayam santapan. Kami bergumam satu sama lain. "Sekarang makanan kita telah diambil," ujar salah seorang dari kami. Saat kami menyesali apa yang terjadi, serigala itu datang lagi. Di mulutnya tampak seekor ayam yang diambilnya. la lalu meletakkannya jauh dari tempat kami dan memerhatikan kami dari kejauhan. Kami pun menyerang serigala itu, namun ia lari menjauh. Saat kami berhasil mendekati tempat persembunyiannya, serigala itu tengah menyamarkan dirinya dari kami. Ia melipat tubuhnya membentuk seekor ayam. Saat kami tertawa melihatnya, serigala itu lari sambil membawa ayam kedua. Ia berhasil menipu kami, padahal kami adalah para ulama besar.

 

Berfatwa Dengan Syair

Kadang Syafi'i berfatwa dengan syair. Pelayan dan muridnya, al-Rabi, menuturkan, "Suatu hari kami tengah berada di tempat Syafi'i. Tiba-tiba seorang pemuda datang membawa selembar kertas dan menyerahkannya kepada Syafi'i Saat melihatnya, Syafi'i tersenyum. Ia lalu menuliskan sesuatu di atas kertas itu dan memberikannya kembali kepada pemuda tadi. Orang-Orang mengira bahwa pemuda itu ingin bertanya masalah fikih kepada Syafi'i. Mereka pun ingin tahu dan mengejar pemuda tadi. Mereka terus mengejarnya untuk memintanya memberikan lembar kertas yang tadi ditulis Syafi'i. Ternyata, di dalam kertas itu terdapat pertanyaan tentang masalah cinta. Di atas kertas itu sang pemuda menulis sebait syair,

Tanyakan kepada mufti Makkah, dosakah dua orang yang saling merindu

Untuk saling mengunjungi dan berpelukan?

 

Dalam kertas itu pula Syafi'i menjawab,

Na'udzu billah, jika keterikatan hati kepada perempuan

Dapat menghilangkan ketakwaan pada diri seseorang

                            

Membaca jawaban ini, mereka terkagum-kagum. Di lain kesempatan pemuda itu datang lagi untuk bertanya,

Tanyakan kepada mufti Makkah yang berasal dari keluarga Hasyim

Jika rasa cinta terhadap seseorang semakin besar, apa yang harus dilakukannya?

 

Syafi’i menjawab pertanyaan,

la harus mengobati hawa nafsurya dan menutupi cintanya

Serta bersabar dalam segala hal dan pasrah

 

Di lain waktu pemuda itu kembali datang dan bertanya,

Bagaimana caranya mengobati hawa nafsu, padahal ia adalah peryakit yang dapat membunuh pemuda?

Setiap hari ia menjadi sesuatu yang menyumbat tengorokannya hingga ia menderita karenanya

 

Syafi’i pun menjawab,

Jika ia tidak bersabar atas apa yang ia alami

Maka tak ada yang lebih bermanfaat baginya dari kematian

 

Seluruh murid Syafi'i kagum melihat jawaban gurunya ini. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Syafi'i, “Bagaimana bisa engkau berfatwa seperti ini?”

Syafi’i menjawab, “Ia seorang pemuda yang baru menikah. Akan tetapi keluarga istrinya menunda-nunda pesta pernikahannya. Ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan ini tak lain berkenaan dengan hubungannya bersama istrinya. Karena itulah Syafi’i menjawab, "Tidak masalah (ia boleh melakukan keinginannya).”

Ini adalah fatwa khusus yang berhubungan dengan pribadi seseorang, bukan fatwa umum untuk masyarakat. Syafi’i tahu benar kisah dan latar belakang pemuda tersebut karena itu ia menjawabnya dengan jawaban yang sesuai dengan keadaannya.

 

Kehormatan dan wibawa tidak akan tercipta dengan tabiat dan sikap yang keras. Sebaliknya, dengan wibawa, kehormatan, dan ilmu yang dimilikinya Syafi’i menjadi orang yang sangat santun, toleren, humoris, dan suka canda. Ini adalah akhlak Rasulullah SAW. Beliau sesekali bersenda gurau dan tidak mengucapkan kecuali yang benar.   

 

BAGIAN III PUNCAK KETENARAN SYAFI'I

 

BAB X

SEORANG ULAMA DARI YAMAN DAN IRAK

 

1.      Perjalanan Ke Mekah

Syafi'i tinggal di Madinah sampai gurunya, Imam Malik, meninggal dunia. Terkadang ia sangat merindukan kota Makkah, tempatnya tumbuh dan berkembang yang merupakan negeri para leluhurnya. Di sana sang ibu tinggal dan tak henti memberinya bimbingan dan nasihat. Di sana pula ada guru-gurunya yang sangat ia hormati dan tak pernah ia lupakan jasa-jasa mereka.

Syafi'i hidup miskin. Ketika Imam Malik meninggal, Syafi'i ingin bekerja untuk mencari rezeki dan mencukupi kebutuhannya. Ia memilih kembali ke Makkah, tapi di sana ia tidak menemukan pekerjaan. Orang-orang Quraisy lalu membawa Syafi'i kepada seorang Gubernur Yaman yang ketika itu tengah berada di Makah. Mereka meminta Gubernur untuk membawa Syafi'i ke Yaman, siapa tahu di sana ia mendapatkan pekerjaan. Syafi'i pun berangkat ke Yaman.

 

2.      Berangkat Ke Yaman

Syafi'i menuturkan kisah kepergiannya ke Yaman, "Seorang Gubernur Yaman datang ke Hijaz. Beberapa orang Quraisy memintanya untuk membawaku ke Yaman. Sementara itu, ibuku tak memiliki apa-apa untuk bekalku ke sana. Akhirnya ia menggadaikan rumah, dan uangnya kujadikan bekal. Setibanya kami di Yaman, sang Gubernur mengangkatku sebagai pejabatnya. Aku pun menunaikan tugasku dengan baik hingga ia menambah tugas-tugasku"

 

Kendaraan Yang Sulit

Dalam tugas ini muncullah bakat dan kecerdasan Syafi'i. Ia mulai dikenal khalayak sebagai seorang yang adil dan istimewa. Kemudian Syafi'i ditugaskan di daerah Najran. Di sana la menegakkan keadilan dan menyebarkan panji-panjinya. Ketika itu para penduduk Najran terkenal suka menjilat dan berkolusi dengan para pejabat dan hakim. Mereka menghadapi Syafi'i sebagai sosok yang adil dan bersih sehingga tak bisa menemukan jalan untuk menjilat atau menyuapnya.

Syafi’i menggambarkan kondisi ini dengan berkata, "Aku menjadi hakim di Najran. Di sana Bani al-Haris ibn al-Madan tinggal bersama para budak dari Tsaqif. Jika seoramg péjabat datang mereka berpura-pura menghormatinya dan mulai menjilatnya. Mereka juga ingin melakukan hal yang sama kepadaku, tapi mereka tak bisa melakukannya."

Dengan sikapnya ini, Syafi'i menutup pintu kolusi dan nepotisme. Semua langkahnya bertujuan hanya untuk menegakkan keadilan. Sayangnya, keadilan selalu menjadi kendaraan yang sangat sulit dan tak bisa dikendalikan kecuali oleh orang-orang yang bertekad baja. Orang semacam ini selalu diterpa kerasnya zaman dan diuji oleh sikap para perusak. Itulah yang dialami Syafi'i saat menjadi pejabat.

 

3.      Tuduhan Yang Berbahaya

Syafi'i mengisahkan, "Aku berangkat ke Yaman, dan di sana aku mendapatkan tempat. Di Yaman ada seorang gubernur yang loyal kepada Khalifah Harun al-Rasyid. Gubernur ini sangat zalim dan bertindak sewenang-wenang. Aku berusaha mencegahnya dan membendung kezalimannya. Akhirnya gubernur itu menulis surat kepada khalifah. Di dalamnya ia menulis, "Ada sembilan orang Alawi yang mulai bergerak. Ada indikasi bahwa orang-orang akan melakukan pergerakan dan pemberontakan di bawah pimpinan sembilan orang keturunan Ali ibn Abi Thalib. Aku takut mereka benar-benar melaksanakan rencananya. Di sini juga ada seorang putra dari Syafi’ al-Muththalibi, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa terhadapnya. Dengan lisannya, ia bisa melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan seorang pejuang dengan pedangnya. Ia menuduh Syafi'i menggerakkan pemberontakan dengan ucapan-ucapannya, dan ini dianggap lebih dahsyat dari sekadar orang yang memberontak dengan pedangnya.

 Orang-orang dari Dinasti Abbasiyah menganggap musuh mereka yang paling kuat adalah dari kalangan keluarga Alawi karena mereka mengaku memiliki nasab yang sama dengan keluarga Abbasiyah. Bahkan, mereka memiliki nasab dan ikatan keluarga dengan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh orang-orang Abbasiyah. Karena itu, jika melihat propaganda dari pihak keluarga Alawi, keluarga Abbasiyah akan bergegas menumpasnya. Gubernur zalim ini pun menghadap pemerintah Dinasti Abbasiyah dengan menggunakan kesempatan kelemahan mereka. la menuduh Syafi'i telah sekongkol dengan keluarga ‘Alawi. Akhirnya, Khalifah Harun al-Rasyid mengutus orang untuk menyeret kesembilan orang ‘Alawi tadi termasuk Syafi’i.

 

 

 

 

4.      Syafi'i Keirak

Karena tuduhan yang disebarkan oleh gubernur tersebut, Syafi'i dibawa ke Irak dalam keadaan terbelenggu besi. Ini adalah kunjungan pertama Syafi'i kesana pada tahun 184 Hijriah. Saat itu umurnya baru 34 tahun.

Ketika dibawa menghadap Harun al-Rasyid, ia bisa menyelamatkan diri dengan kefasihan, kemampuan bahasa, dan kekuatan argumentasinya. Saat al-Rasyid mempertanyakan tuduhan yang ditujukan kepadanya, Syafi'i menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, apa pendapatmu tentang dua orang yang salah satunya menganggapku sebagai saudara, sementara yang lain menganggapku sebagai budaknya. Manakah di antara keduanya yang paling kucintai?”

Harun al-Rasyid menjawab, “Tentu yang menganggapmu sebagai saudaranya.”

Syafi'i berkata, ”Itulah engkau, wahai Amirul Mukminin. Kalian adalah keturunan Abbas, mereka keturunan Ali, sementara kami termasuk Bani Muththalib. Kalian, keturunan Abbas, melibat kami sebagai saudara kalian, sementara keturunan Ali menganggap kami sebagai budak mereka.” Dengan kata lain, nasab Syafi’i lebih dekat kepada orang-orang Abbasiyah ketimbang kepada keluarga ‘Alawi. Lantas, bagaimana mungkin Syafi'i mendukung orang-orang ‘Alawi menentang orang-orang Abbasiyah?

Tentang hal ini Syafi'i melantukan syair,

Orang-orang berharap aku mati

Jika aku mati, itulah jalan yang tidak kutempuh sendiri

Kematian orang-orang yang mati sebelumku tidak menjadi pemusnahku

Kehidupan orang-orang yang hidup sesudahku tidak pula menjadikanku abadi

Mungkin orang yang mengharap kebinasaanku

Sebelum matiku, dialah yang akan binasa

 

5.      Syafi'i Selamat

Di antara hal yang membuat Syafi’i selamat dari ancaman hukuman sang Khalifah adalah kesaksian Muhammad ibn al-Hasan atas kasusnya itu. Muhammad adalah murid Imam Abu Hanifah. Sepertinya Muhammad pernah bertemu Syafi'i di majelis Imam Malik.

Muhammad ibn al-Hasan berkata kepada Khalifah al-Rasyid, Ia memililki ilmu yang sangat luas. Apa yang dituduhkan orang kepadanya tidak sesuai dengan kepribadiannya.”

Al-Rasyid lantas berkata kepada Muhammad ibn al-Hasan, "Bawalah ia ke tempatmu, biar kupertimbangkan masalahnya.” Dengan ucapan Muhammad ini, Syafi'i pun selamat. "

Karena tuduhan dan penghinaan yang dialami Syafi’i ini, Harun al-Rasyid memberinya ganti rugi dengan uang yang dibawa dengan seekor kuda. Syafi’i menuturkan, "Baru saja aku keluar dari tempat para penjaga Amirul Mukminin, satu kabar datang ke telinga Harun al-Rasyid bahwa aku tidak gila harta. Kemudian ikrimah, teman Harun al-Rasyid, mengejarku bersama para penjaganya. Ia berkata, "Terimalah uang ini dariku!? Aku menjawab, Aku tidak mengambil pemberian dari orang yang lebih rendah dariku. Aku mengambilnya hanya dari orang yang lebih tinggi dariku.”

Syafi’i melanjutkan, "Aku pun keluar dan tidak sepeser pun uang mereka yang aku ambil"

 

6.      Murid Imam Abu Hanifah

Setelah keluar dari istana Khalifah al-Rasyid, Syafi’i mampir di rumah seorang alim dari mazhab Hanafi, Muhammad ibn al-Hasan. Di sana Syafi'i mulai membaca buku-buka yang ditulis Muhammad tentang fikih peduduk Irak. la mempelajari kitab ini langsung darinya. Cobaan yang ia alami berubah menjadi nikmat. Dengan demikian, pada dirinya terkumpul fikih Hijaz dan fikih Irak. Ia menguasai fikih yang ada pada zamannya. Ibn Hajar berkata, "Kepemimpinan bidang fikih di Madinah berada di tangan Malik ibn Anas. Kemudian Syafi'i mendatanginya dan belajar darinya. Kepemimpinan fikih di Irak berada di tangan Abu Hanifah. Syafi’i pun belajar dan menuntut ilmu dari murid sang Imam, yaitu Muhammad ibn al-Hasan. Pada diri Muhammad tak ada ilmu kecuali yang ia dengar langsung dari Iman Abu Hanifah. Dengan begitu, ilmu ahli rakyu telah dikuasai Syafi'i seperti ilmu ahli hadis. Ia mengombinasikan dua ilmu ini dengan ilmunya sendiri hingga berhasil meletakkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar ilmu ushul fikih. Semua pendukung dan penentangnya salut padanya. la menjadi terkenal dan namanya sering disebut orang. Kedudukannya pun semakin meningkat.

 

Ahli Fikih Madinah Dan Fikih Irak

Syafi’i menetap di Baghdad sebagai murid Ibn al-Hasan, di samping sebagai pendebat baginya dan para sababatnya. Ia mengaku dirinya ahli fikih Madinah, sahabat Imam Malik. Kemudian ia pergi ke Makkah dengan memboyong kitab-kitab penduduk Irak di atas untanya. Kebanyakan riwayat tidak menyebutkan berapa lama Syafi’i tinggal di Baghdad. Kemungkinan besar ia tinggal di sana dalam waktu yang cukup untuk mempelajari dan mendalami ilmu ahli rakyu, sekitar dua tahun.

 

BAB XI

KEMUNCULAN SYAFI'I DI MEKAH

 

1.      Metodologi Ilmu Baru

Syafi'i kembali ke Makkah dan mulai mengajarkan ilmu-ilmunya di Tanah Suci. Pada musim haji, para pembesar ulama banyak yang menemuinya dan ingin mendengar ilmu darinya. Pada waktu itulah Ahmad ibn Hanbal bertemu dengannya dan belajar darinya. Kepribadian Syafi'i mulai terkenal dengan fikih barunya: bukan fikih Madinah, bukan pula fikih Irak, melainkan fikih gabungan dari keduanya. Fikih kombinasi ini merupakan intisari yang dihasillkan oleh satu akal yang paling cemerlang dan paling matang di bidang ilmu sunnah, bahasa, sejarah, kisah-kisah masa lalu, qiyas, dan rakyu (nalar). Oleh karena itu, para ulama yang bertemu dengannya menganggapnya sebagai seorang alim yang berbeda dari ulama lainnya.

 

Syafi’i mengombinasikan antara fikih Hanafi yang didominasi rakyu (nalar) dan fikih Madinah Maliki yang benuansa hadis. la menghasilkan fikih baru yang unik sehingga terkenal sebagai ulama dengan metode baru yang disusunnya sendiri.

 

 

 

Aturan Pokok Ijtihad

Kali ini Syafi'i tinggal di Makah cukup lama, sekitar sembilan tahun. Ia memandang perlu menetapkan aturan-aturan standar yang menjadi pijakan para mujtahid dalam berpendapat dan melakukan qiyas, serta dalam menempuh metode untuk mengetahui mana yang paling mendekati kebenaran. Ia memfokuskan diri mempelajari Al-Quran, mencari kandungan dalilnya, hukum-hukumnya, nasikh-mansakh, dan mempelajari sunnah, mengenali kedudukannya dalam ilmu syariat, mendeteksi mana yang sahih dan mana yang dhaif, mempelajari tata cara mengambil dalil, serta mengenali kedudukan dan fungsinya terhadap Al-Quran. Syafi'i juga belajar cara menyimpulkan hukum jika tidak ada dalam Kitab dan sunnah, menentukan aturan standar ijtihad, dan menetapkan batasan-batasan yang harus dijaga seorang mujtahid agar ia tidak terjerumus pada kesalahan.

 

Seorang mujtahid harus memiliki aturan-aturan yang harus diiaga agar terlindung dari kesalahan.

 

Kemunculan Syafi’i

Keilmuan Syafi'i semakin berkembang. Ia berhasil menguasai ilmu zamannya, sesuatu yang membuat pribadinya menjadi sempurna. Ilmunya semakin bertambah sehingga nama Syafi'i semakin harum dan murid-muridnya semakin banyak. Halaqah pelajaran dan majelis Syafi’i di Masjidil Haram banyak dihadiri oleh orang-orang yang tingkat keilmuannya cukup tinggi. Mereka mendengarkan paparan Syafi’i tentang metode barunya di bidang ushul fikih dan prinsip-prinsip umum (kulliyyat) fikih, hingga akal mereka tercerahkan. Walhasil, mereka mengakui keungguan, daya paham, dan kemampuan akal Syafi'i.

 

Setelah berbagai pengembaraan dilakoninya, Syafi’i kembali ke Makkah. Akan tetapi, kali ini, ia kembali dengan membawa fikih baru dengan metode yang baru dalam memahami dan melakukan istinbath (menggali hukum). Orang-orang berkumpul di sekelilingnya dan belajar darinya. la menétap di Makkah cukup lama, sekitar 9 tahun, dan saat itu pula ia mulai menyusun ilmu ushul fikih.

 

2.      Ibnu Hanbal Dan Syafi'i

Di antara ulama besar yang belajar kepada Syafi’i di Makkah adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Kala itu ia datang untuk melaksanakan haji. Ia masuk Masjidil Haram untuk bertemu dengan para pembesar ulama dan ahli hadis. Yang paling mashyur di antara mereka ketika itu adalah Sufyan ibn "Uyainah. Di masjid, pandangan Ahmad jatuh pada Syafi’i yang tengah mengajar di majelisnya. Ahmad terus memerhatikannya. Ia melihat kadar pemahaman Syafi'i terhadap Kitab Allah dan sunnah Rasulullah cukup tinggi. Ia juga turut mendengarkan paparan Syafi'i tentang ushul (dalil-dalil fikih) dan kaidah-kaidah umum yang tak pernah didengarnya dari seorang ulama sebelumnya. Ini menunjukkan kecerdasan akal Syafi'i dan kedalaman pemahamannya. Akhirnya, Ahmad memutuskan untuk meninggalkan majelis guru-gurunya dan memilih bergabung dengan majelis Syafi’i.

 

 

Pemuda Quraisy

Muhammad ibn al-Fadhil menuturkan, "Aku mendengar ayahku berkata, Aku pergi haji bersama Ahmad ibn Hanbal. Bersamanya aku mampir di satu tempat. Pada pagi hari, Ahmad keluar dan aku menyusulnya. Aku berkeliling di Masjidil Haram, tapi aku tidak menemukannya di majelis Ibn Uyainah. Aku dapati ia tengah duduk bersama seorang Arab Badui. Kukatakan padanya, “Wahai Abu Abdullah, kau tinggalkan Ibn Uyainah, dan kau pilih duduk di sini?”

Ia menjawab, ‘Diamlah, jika kau ketinggalan satu hadis dengan sanad yang pendek, kau masih bisa menemukannya dari ulama hadis dengan silsilah sanad yang lebih panjang. Akan tetapi, jika kau ketinggalan pemuda ini, aku takut kau tidak akan menemukannya lagi hingga hari kiamat. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih paham Kitab Allah dari pemuda Quraisy ini".

“Memangnya siapa dia?” tanyaku kepadanya.

Imam Ahmad menjawab, "Muhammad ibn Idris."

 

Ahmad ibn Hanbal melihat daya pemahaman yang kuat dan mendalam pada diri Syafi’i sehingga ia tertarik mendengarkan ilmu dan belajar darinya. Ahmad menegaskan bahwa orang yang melewatkan kesempatan bertemu dengan Syafi'i, Ia tidak akan menemukannya lagi selamanya.

 

Matamu Tak Pernah Melihat Orang Seperti Dia

Diriwayatkan dari Ishaq ibn Rahawiyah, ia berkata, “Kami tengah berada di tempat Sufyan ibn Uyainah untuk mencatat hadis-hadis Amr ibn Dinar. Tiba-tiba Ahmad ibn Hanbal mendatangiku dan berkata, "Berdirilah, wahai Abu Yaqub, biar kuperlihatkan kepadamu seseorang yang tak pernah kaulihat sebelumnya.’

 Aku pun berdiri. Ia membawaku ke dekat pelataran sumur Zamzam. Di sana kulihat seorang laki-laki berpakaian putih, wajahnya agak kecokelatan, penampilannya menarik, dan sosoknya tampak sangat cerdas. Ahmad pun mendudukanku di sampingnya. Ia berkata kepada Syafi'i, Wahai Abu Abdullah, ini adalah Ishaq ibn Rahawiyah al-Handhali: Syafi’i menyambutku dengan hangat. Aku pun mulai berdialog dengannya hingga kudapati ilmu yang deras memancar darinya. Aku sangat kagum akan hafalannya.

Setelah kami bercengkerama cukup lama, kukatakan pada Imam Ahmad, "Wahai Abu Abdullah, mari kita kembali ke tempat guru kita (ke majelis Sufyan ibn Uyainah)!

Ahmad menjawab, “Inilah sang guru!”

Aku lalu berkata, Subhânallah, kau mengajakku pergi dari tempat seorang guru yang mengucapkan kalimat al-Zuhri meriwayatkan kepada kami, dan aku mengira engkau akan membawaku ke tempat seseorang yang sama dengan al-Zuhri atau paling tidak mendekatinya. Ternyata, kau hanya membawaku ke tempat pemuda ini?!

Imam Ahmad lantas mengucapkan satu kesaksian yang besar tentang Syafi'i. Ia menuturkan, "Wahai Abu Yaqub, ambillah ilmu dari orang ini karena kedua mataku tak pernah melihat orang seperti dia.” Dengan kata lain, Syafi’i lebih besar dari pada para ulama yang pernah dihat Ahmad ibn Hanbal.

 

3.      Pengakuan Akan Ilmu Syafi'i

Muhammad ibn al-Hasan al-Zafarani berkata, "Kami menghadiri majelis Basyar al-Muraisi (salah seorang ulama besar dari kelompok Mu'tazilah yang terkenal ahli mantiq). Kami tak sanggup untuk berdebat dengannya.

Kami pun datang kepada Ahmad ibn Hanbal. Kami katakan kepadanya, Izinkan kami untuk menghafal kitab al-Jami' al-Shaghir karya Abu Hanifah agar kami bisa menguasai isinya dan berdebat bersama mereka.

Imam Ahmad menjawab, “Bersabarlah, sekarang seorang Munththalibi datang kepada kalian seperti yarng kalian lihat di Makah:" Imam Syafi’i sering dipanggil dengan sebutan al-Muththalibi karena ia termasuk keturunan Abdul Muththalib.

Al-Zafarani melanjutkan, "Kemudian Syafi’i tiba. Kami bergegas men-yongsongnya dan bertanya sedikit tentang kitab-kitabnya. Syafi’i lalu memberi kami kitab al-Yamin ma’a al-Syâhid (Sumpah Aku pun mempelajarinya selama dua malam, Ialu berangkat menuju tempat Basyar al-Muraisi. Aku terus merangsek maju di antara barisan orang-orang yang hadir hingga aku berhasil mendekatinya. Ketika Basyar al-Muraisi melihatku, ia berkata, 'Apa yang membuatmu ke sini, wahai ahli hadis? Ia mengolok-ngolok al-Zafarsni seakan ia hanya menghafal hadis dan tidak mengetahui ilmu manthiq yang dibutuhkan untuk menyimpulkan hukum-hukum.

Kukatakan padanya, Cukuplah. Tidak usah kita saling mengejek. Aku hanya ingin bertanya, apa dalil yang membatalkan sumpah yang disertai saksi" Aku mulai mendebatnya dan mulai kuberikan argument-argumenku.

Kemudian Basyar al-Muraisi berkomentar, "Ini bukanlah kapasitas kalian. Ini adalah ucapan seorang laki-laki yang kulihat di Makkah yang memiliki separuh akal penghuni dunia

 

Begitulah, Syafi’i dan ilmunya membuat seluruh pendukung dan penentangnya salut dan mengakui bahwa ia memiliki separuh akal penghuni dunia.

 

Ensiklopedia Berjalan

Para ulama menegaskan bahwa keutamaan Syafi’i bisa dirasakan seluruh manusia karena ia berhasil menguasai selaruh ilmu. Ibn Hanbal menuturkan kedudukan Syafi’i dan keagungan ilmunya, "Aku tidak pernah mengetahui naskh dan mansukh yang ada dalam hadis hingga aku bertemu dan belajar dari Syafi’i". Al-Rabi ibn Sulaiman juga pernah berkata, "Syafi'i duduk di masjid seusai shalat fajar. Para ahli Al-Quran datang menghadiri halaqahnya. Saat matahari terbit, mereka bubar. Kemudian ahli hadis datang dan bertanya pada Syafi’i tentang tafsir dan maknanya. Saat matahari mulai meninggi di awal waktu duha, mereka bubar. Selanjutnya halaqah berubah menjadi sesi ulangan dan pelajaran tentang fikih, ushul fkih, dan mantiq. Jika waktu duha telah berlalu, mereka berpisah. Setelah itu ahli bahasa, sastra, dan svair pun berdatangan. Mereka terus belajar dari Syafi'i  pertengahan siang."

 

Pernahkah kalian melibat ensiklopedia berjalan di muka bumi? Itulah. Syafi'i benar-benar telah memetik buah dan hasil ilmunya. Ia mulai menyebarkan ilmu ini, Banyak para ulama dari berbagai disiplin ilmu mendatanginya dan belajar darinya sesuai dengan bidang ilmu másing-masing.

 

 

Ilmu yang Beragam

Muhammad ibn Abdul Hakam menuturkan, "Aku tidak pernah melihat orang seperti Syafi’i. Para ahli hadis mendatanginya dan bertanya padanya tentang hal-hal yang tidak jelas dalam ilmu hadis, sehingga mereka bisa mengetahui rahasia-rahasia hadis yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya. Saat mereka bubar, mereka masih terkesan dengan paparan Syafi'i. Saat bubar, seluruh ahli hadis, baik yang mendukung maupun yang menentang Syafi'i, mengakui keilmuan Syafi’i. Demikian pula para ahli syair, mereka juga bertanya tentang makna-makna syair kepada Syafi’i. Syafi'i menghafal sepuluh ribu bait syair Hudzail lengkap dengan I’rab dan maknanya. Ia tergolong orang yang paling pakar dalam sejarah. Yang menjadi motor dirinya adalah keikhlasannya dalam beramal hanya untuk Allah.

 

Berfatwalah, Wahai Abu Abdullah!

Ibnu Khalkan berkata, "Seluruh ulama, dari kalangan ahli hadis, ahli fikih, ahli bahasa, dan lainnya sepakat akan sikap amanat yang dimiliki Syafi'i, keadilan, kezuhudan, dan kewarakannya. Al-Razi menuturkan, "Abu al-Hasan ibn Abdurrahman meriwayatkan kepada kami dari Abu Muhammad ibn Binti al-Syafi'i, ia berkata, Aku mendengar al-Jarudi berkata, Muslim ibn Khalid al-Zanji, salah seorang ulama besar pada zamannya, berkata kepada Muhammad ibn Idris al-Syafi'i yang ketika itu baru berumur delapan belas tahun, Berfatwalah, wahai Abu Abdullah. Sudah tiba saatmu untuk berfatwa!”.

BAB XII

SYAFI'I ULAMA IRAK

 

1.      Berangkat Ke Irak

Seperti yang telah kita paparkan bahiwa Syafi’i adalah sosok yang suka mengembara untuk menuntut ilmu. Tekadnya yang tinggi tidak membuatnya merasa puás hanya pada batas tertentu karena ilmu tidak memiliki batas dan tempat. Ia menganjurkan kita untuk terus mengembara menuntut ilmu. Ia berkata,

Pergilah dari regerimu untuk mencari ketinggian

Mengembaralah karena dalam pengembaraan terkandung lima faedah

Melapangkan kesedihan, mencari penghidupan, menuntut ilmu dan adab, serta menemani seorang yang mulia

 

Setelah menetap di Makkah untuk belajar, meneliti, dan mengajar, Syafi’i merasa perlu menyebarkan ilmu yang diraihnya dari setiap pelosok negeri Islam, khususnya metode istinbath fikih yang pernah ia susun. Dan tempat terbaik untuk itu, yang di dalamnya terpancar cahaya ilmu, tak lain adalah pusat pemerintahan Daulah Islamiyah dan ibukotanya, yaitu Baghdad, kota yang dulu pernah ia kenal dengan baik.

 

Di Baghdad

Atas dasar itulah Syafi'i berangkat ke Baghdad pada tahun 195 Hijriah. Saat itu ia berumur 45 tahun. Ini adalah perjalanan yang paling bermanfaat bagi Syafi’I  pribadi, juga bagi orang lain. Sebelumnya, Syafi'i pernah terkenal di sana. Namanya selalu disebut oleh para ahli hadis dan ahli fikih semisal Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq ibn Rahawiyah yang termasuk ahli hadis, serta Basyar al-Muraisi, seorang ulama yang terkenal di sana.

Syafi’i datang ke Irak untuk membela sunnah dan mendukang para pengusungnya. Ia mulai menyebarkan kaidah-kaidah dasar dalam memahami hadis, tata cara istinbath hukum, serta menjelaskan hukum hukumnya AI-Nawawi berkata, “Di Irak Syafi'i meng ajarkan ilmu hadis, menyebarkan mazhab ahli hadis, dan membela sunnah sehingga nama dan keutamaannya dikenal orang".

Dalam perjalanannya, Syafi'i melantunkan syair,

Aku akan menjelajahi sepanjang dan selebar negeri

Untuk mewujudkan tujuanku atau mati di tanah asing

Jika jiwaku binasa maka hanya untuk Allah-lah mutaranya

Dan jika aku menyerah, berarti kepulanganku akan segera tiba

 

2.      Pembela Sunnah

Syafi'i kemudian menuju ke sebuah masjid di sebelah barat kota Baghdad. Di sanalah ia mulai mengadakan halaqah-halaqah ilmu dan mengambil tempat di salah satu sudutnya. Ia mulai memaparkan ushúl, kaidah-kaidah, dan sumber-sumber fikihnya. Pandangan para ulama pun mulai beralih ke sana. Syafi'i mulai dikelilingi murid-murid. Ulama-ulama Baghdad tidak keberatan jika murid-muridnya turut menuntut ilmu dari Syafi’i. Bahkan, mereka menganjurkan para murid untuk belajar darinya.

Syafi'i terus berkeliling dan menyebarkan ilmu. Setiap hari ia datang membawa pemahaman baru tentang kalam Allah dan hadis Rasulullah. Semua kepala tunduk karena keutamaannya. Para ulama pun terdorong untuk mengakui keilmuannya. Walhasil, Syafi'i menjadi terkenal di tengah penduduk Baghdad. Halaqah ilmu para penentangnya menjadi bubar, tak ada yang mendatanginya lagi.

Ibrahim al-Harbi menuturkan, "Syafi'i datang ke Baghdad. Ketika itu di masjid sebelah barat Baghdad terdapat dua puluh halaqah dan majelis ilmu ahli rakyu. Pada hari Jum'at, semua halaqah itu telah berkurang jumlahnya hingga yang tersisa hanya tiga atau empat halaqah saja.”

 Para ahli rakyu cenderung memperluas bahasan mereka tentang masalah-masalah furu’ (cabang), bahkan sampai mencakup masalah-masalah yang pernah dibawa ke pengadilan. Sementara itu pemahaman para ahli hadis terhadap hadis hanya terbatas pada kulit atau permukaannya saja. Saat Syafi'i datang ke Baghdad, ia membawa fikih baru yang didukung dan dikuatkan oleh Kitab dan sunnah sehingga para ahli hadis merasa puas.

Ahmad ibn Hanbal berkata, "Masalah-masalah kami yang dibawa ke hadapan hakim keputusannya berada di tangan para sahabat Abu Hanifah sampai ketika kami melihat Syafi'i. Ia adalah orang yang paling ahli fikih dan paling memahami Kitab Allah dan sunnah Rasulullah.”

 

Syafi'i mengambil tempat untuk halaqahnya di masjid jami’ sebelah barat kota Baghdad. Di sana ia mulai memaparkan ushul dan fikihnya. Murid-murid dan para ulama pun mulai berdatangan untuk belajar darinya, hingga halaqah itu semakin luas dan ramai. Akibatnya, semua halaqah para penentangnya menjadi berkurang di masjid tersebut.

 

Syafi'i Membangunkan Ahli Hadis

Para ahli hadis melihat Syafi'i sebagai pemimpin terbaik yang membela hadis, berpegang teguh pada hadis mutawatir dan ahad, serta membimbing mereka ke jalan yang terang. Selain itu, para pendukung Syafi’i yang moderat juga menemukan Syafi’i sebagai orang yang membimbing mereka untuk mendapatkan hujjah yang kuat dan kebenaran yang jernih.

Muhammad ibn al-Hasan al-Za'farani berkata, "Para ahli hadis tadinya tertidur lelap hingga Syafi'i membangunkan mereka dari tidurnya."

Daud ibn Ali al-Zhahiri berkata, "Syafi’i adalah pelita bagi para pengusung hadis dan periwayat. Siapa yang menggantungkan diri pada keterangan dan penjelasan Syafi'i, ia akan menjadi ahli hujjah.”

 

Para ahli hadis mengalami kemandekan, bahkan tertidur lelap. Syafi’i membangunkan dan membimbing mereka mendapatkan hujjah yang kuat serta kebenaran yang jernih.

 

Kunci Pembuka

Al-Humaidi berkata, "Kami ingin berdebat dan mematahkan argumen para ahli rakyu, tetapi kami tidak sanggup melakukannya hingga Syafi’i datang dan menjadi kunci yang membukakan jalan untuk kami".

Hilal ibn al-Ula berkata, "Para ahli hadis adalah anak-anak Syafi'i karena dialah yang membukakan pintu bagi mereka"

Imam Ahmad memiliki banyak kesaksian tentang peran dan pengaruh Syafi'i terhadap ahli hadis, serta apa yang telah dibukanya bagi mereka berupa ilmu fikih dan makna hadis. Di antara kesaksiannya adalah, "Jika bukan karena Syafi'i, niscaya kami tidak pernah mengetahui fikih hadis."

Ia juga berkata, "Na'im ibn Hammad datang kepada kami. Ia menganjurkan kami mencari musnad. Ketika Syafi’i datang, dialah yang membimbing kami ke jalan yang terang.”

 

Para ahli hadis adalah keluarga Syafi’i. Jika bukan karena dia, niscaya mereka tidak pernah mengenal fikih hadis.

 

Mereka Tidak Pernah Melihat Orang seperti Syafi’i

Al-Karabisi berkata, "Kami tidak memahami tata cara istinbath hukum dari sunnah kecuali seteah Syafi’i mengajarkannya kepada kami".

Al-Buwaithi, salah seorang ulama Mesir, berkata, "Tadinya kami tidak tahu kedudukan Syafi'i hingga kulihat penduduk Irak sering menyebut namanya dan menggambarkannya dengan sifat-sifat yang baik. Orang-orang Irak yang cerdas, ahli fikih, ahli debat, ahli hadis, dan ahli bahasa Arab mengakui bahwa mereka tidak pernah melihat orang seperti Syafi’i.”

 

Para ahli rakyu sangat terkenal di Irak, sementara ahli hadis tak mampu melawan dan berdebat dengan mereka hingga Syafi'i datang dan membawa mereka ke Jalan yang terang. Dengan anugerah yang diberikan Allah berupa kemampuan memahami hadis dan menjelaskan maknanya, Syafi'i dikenal sebagai pembela sunnah.

 

3.      Ketundukan Para Ulama Kepada Syafi'i

Al-Nawawi menuturkan tentang ihwal Syafi’i di Irak, "Ketika Syafi'i mulai terkenal di Irak, namanya sering disebut banyak orang. Seluruh pendukung dan penentangnya tunduk padanya, dan para ulama mengakui kelebihannya, martabat Syafi'i menjadi semakin tinggi di hadapan semua orang, hingga di kalangan pejabat. Keutamaannya semakin tampak saat ia berdebat dengan penduduk Irak.

 Dengan kemampuannya, Syafi'i menjelaskan kaidah-kaidah dasar fikih dan pentingnya ushul. Ia juga banyak diuji dengan berbagai masalah dan ditanya tentang bermacam persoalan. Jawabannya terhadap masalah-masalah tersebut sangat tepat dan benar. Oleh karena itu, banyak orang berdatangan dan belajar darinya, baik dari kalangan anak-anak maupun orang-orang tua. Begitu pula halnya para imam, ahli hadis, ahli fikih, dan pakar ilmu lainnya. Banyak dari mereka yang beralih dari mazhabnya menuju mazhab Syafi'i dan ikut berpegang pada metodenya, seperti Abu Tsaur dan beberapa imam lainnya. Ada juga yang meninggalkan gurunya hanya untuk belajar pada Syafi'i karena mereka melihat pada diri Syafi'i tersimpan hal yang tidak dimiliki orang lain. Allah memberkahi Syafi'i dengan ilmu yang sangat cemerlang dan kebaikan yang berlimpah pada dirinya. Segala puji bagi Allah atas anugerah dan nikmat-Nya yang tak terhingga."

 

Penyebaran llmu

Pada fase ini Syafi'i mengajarkan dan mendiktekan kumpulan kitabnya, al-Kutub al-Baghdadiyah (Kumpulan Kitab Baghdad). Kelak akan kita singgung tentang kitab ini pada pembahasan tentang karya-karya Syafi'i, insya Allah.

Ilmu Syafi'i menyebar ke seluruh pelosok negeri timur, tepatnya di sekitar Irak, melalui peran para murid Syafi'i yang belajar darinya. Pada diri mereka tersimpan tekad dan keinginan untuk mengambil manfaat dari ilmu Syafi'i, selain mereka juga sangat kagum pada kepribadiannya yang sangat istimewa.

Pada fase permulaan ini, Syafi'i menetap di Baghdad selama kurang dari dua tahun. Di sana ia mengukuhkan mazhabnya, menetapkan kaidah-kaidahnya, lalu kembali ke Makkah untuk mengunjungi Baitullah al-Harâm, menyambangi guru-gurunya yang tinggal di sana, seperti Sufyan ibn Uyainah dan sebagainya. Kunjungannya ke Makkah tidak berlangsung lama karena ia harus kembali ke Baghdad pada tahun 198 Hijriah.

 

Perjalanan Syafi'i ke Baghdad kali ini banyak membuahkan hasil. Banyak murid belajar darinya, dan ia pun mulai mengajarkan dan mendiktekan kitabnya, al-Kutub al-Baghdâdiyah.

 

Ilmu Adalah Kebanggaan

Dengan ilmunya Syafi'i menjadi kebanggaan di majelisnya. Tentang makna ini, ia menulis bait syair,

Ilmu adalah ladang kebanggaan maka berbanggalah

Dan waspadalah kebanggaan ladang itu melewatkanmu

Ketahuilah bahwa Ilmu tidak didapatkan

Oleh orang yang hasratrya hanya makanan dan pakaian

Pemilik ilmu yang diperhatikan karena ilmunya

Seperti orang yang diperhatikan pada dua kondisinya: saat telanjang dan saat berpakaian

Maka, berikanlah untuk dirimu ilmu yang banyak

Tinggalkan keterlenaan dan muka masam untuknya

Siapa tahu, suatu hari, saat kau menghadiri satu majelis

Kau akan menjadi kepalanya dan menjadi kebanggaan majelis tersebut

BAB XIII

SYAFI'I ULAMA MESIR

 

1.      Berangkat Ke Fusthath

Kali ini Syafi’i merasa tidak tenang tinggal di Baghdad. Ia mulai berpikir untuk pergi ke satu negeri yang setaraf dengannya dalam hal keilmuan, dan tidak ada dominasi orang-orang Parsi di dalamnya seperti di Baghdad. Akhirnya ia menemukan tujuannya, Mesir, karena kota Fusthath di sana adalah kota ilmu. Di kota itu tinggal seorang imam yang mulia, Imam al-Laits ibn Saad. Mazhab Maliki menjadi mazhab yang mewarnai kehidupan sehari-hari di sana. Mazhab ini menyebar karena peran para murid Imam Malik yang mengembara ke Mesir. Selain itu, secara kebetulan, gubernurnya adalah seorang Quraisy keturunan Abbas.

Yaqut al-Himawi berkata dalam Mu’jam al-Adibba, "Sebab kedatangan Syaf'i ike Mesir, tak lain, karena gubernurnya adalah Abbas ibn Abdullah ibn Abbas ibn Musa ibn Abdullah ibn Abbas" Ditinjau dari nasabnya, Syafi'i termasuk kerabat sang gubernur karena ia termasuk ahli bait Nabi SAW.

 

Kerinduan Syafi’i Pada Mesir

Tentang kerinduannya pada Mesir, Syafi’i melantunkan syair,

Tanpa Mesir, terputuslah peninggalan

Jiwaku sangat merindukan Mesir

Akankah aku dibawa ke sana, ataukah aku dibawa ke kubur

Demi Allah, aku tak tahu, apakah untuk mendapatkan kemenangan atau kekayaan?

 

Akhirnya Syafi’i berangkat ke Mesir. Di sana, ia mendapatkan kemenangan, sekaligus kekayaan dan kuburnya. Syafi'i tiba di Mesir pada 199 Hijriah  hidup selama lebih dari lima tahun. Ia mendapatkan kekayaan karena gubernur di Mesir telah memberinya bagian dari seperlima harta pampasan, jatah bagi kerabat Rasulullah SAW. Ia mendapatkan bagian tersebut karena kemuliaan nasabnya.

Syafi'i juga mendapatkan kemenangan dengan menyebarkan pendapat-pendapatnya. Di sana pula ia menemui ajalnya. Ia dikubur di Mesir. Semoga Allah merahmatinya.

 

Fusthath adalah kota ilmu. Di dalamnya terdapat banyak ulama besar, seperti al-Haits ibn Sa'ad, murid-murid Imam Malik, dan ulama lainnya. Syafi’i sangat ingin pergi ke Mesir hingga di sana ia mendapatkan kemenangan, kekayaan, dan menemui ajalnya.

 

2.      Ulama Mesir Memandang Syafi'i Sebelah Mata

Di awal kedatangannya ke Mesir, para ulama negeri itu belum mengetahui kehebatan Syafi’i. Mereka belum memandangnya dan belum berkumpul di sekelilingnya untuk menuntut ilmu. Para sahabat meminta Syafi’i berbicara di hadapan orang-orang, menunjukkan syair-syair dan ilmunya, agar mereka mengenal keilmuan Syafi’i. Akan tetapi Syafi'i menolak menyampaikan ilmunya kepada orang yang tidak bisa memahaminya. Karena, ia bukan seorang penasihat atau penyampai dongeng, melainkan ahli fikih, ahli ushul fikih, dan seorang alim yang ilmunya sangat dalam. Ia berkata,

Apakah aku akan menebarkan mutiara di tengah sekumpulan binatang

Atau menata mutiara tersebut untuk para perggembala kambing?

Jika aku terabaikan di negeri yang paling buruk

Aku tidak menganggap diriku terabaikan di tengah mereka hanya karena ucapan mereka

Jika Allah yang Maha Perkasa memudahkan aku dengan kelembutan-Nya

Dan aku bertemu dengan ahli ilmu dan hikmah,

Niscaya akan kusebarkan sesuatu yang bermanfaat dan akan kuraih cinta mereka

Jika tidak maka ilmu itu akan tetap kusimpan dalam diriku

Orang yang memberikan ilmunya kepada orang-orang yang bodoh, berarti ia telah menyia-nyiakannya

Dan orang yang menahan ilmunya dari orang-orang yang layak menerimanya, berarti ia telah zalim

 

3.      Syafi'i Mulai Tenar Di Mesir

Kondisi itulah yang dialami Syafi'i pertama kali di Mesir. Selanjutnya orang-orang mulai mengenal Syafi’i hanya sebagai salah satu keturunan ahli bait. Pada perkembangan selanjutnya, mereka baru mengetahui tingkat keilmuan dan kedudukan Syafi'i. Akhirnya mereka sangat mencintai Syafi'i, dan Syafi'i pun sangat mencintai mereka. Berita mulai tersiar di tengah masyrakat bahwa seorang laki-laki Quraisy yang berilmu tinggi telah datang ke Mesir.

Harun ibn Sa'id al-Ayli berkata, "Aku tidak pernah melihat orang seperti Syafi'i. Ia datang ke Mesir dan orang-orang berkata, "Telah datang seorang laki-laki Quraisy. Lalu kami mendatanginya. Saat itu ia tengah melaksanakan shalat. Kami tidak pernah melihat shalat yang lebih baik dari yang dilakukannya, tidak pula wajah tampan setampan wajahnya. Saat ia berbicara, kami tidak pernah mendengar ucapan yang lebih baik dari ucapannya. Kami jadi sangat kagum kepadanya.”

Al-Rabi ibn Sulaiman menuturkan, "Demi Allah, ketenaran Syafi'i telah tersebar di tengah masyarakat sebagaimana nama Ali ibn Abi Thalib sering disebutkan Begitulah Syafi'i mulai menyebarkan ilmu ushul fikih dan fikihnya. Ia menyimpulkan hukum dan menguatkannya dengan dalil-dalil. Syafi’i akhirnya memiliki halaqah yang cukup ramai di masjid Amr ibn al-Ash. Bermacam orang dengan berbagai disiplin ilmu datang kepadanya. Ada yang ahli Al-Quran, ahli hadis, ahli debat, dan ahli bahasa. Semuanya turut belajar pada Syafi'i.

 

Ilmu Yang Komplet

Ibn Abdul Hakam berkata, "Kami tidak pernah melihat sosok seperti Syafi’i. Para ahli dan kritikus hadis datang kepadanya untuk menyodorkan hadis di hadapannya. Syafi’i pun meluruskan kritikan mereka dan mengajarkan apa yang tidak mereka ketahui dalam hadis. Mereka sangat terkagum-kagum dengan kemampuan ilmunya. Para ahli fikih, baik pendukung maupun penentang Syafi'i, mulai berdatangan. Mereka tidak bubar meninggalkan majelis Syafi'i kecuali dalam keadaan kagum dan tunduk padanya. para ahli sastra juga mendatanginya dan membacakan syair-syair mereka di hadapannya. Kemudian Syafi'i menafsirkan syair-syair tersebut, Syafi'i sendiri telah menghafal sepuluh ribu bait syair Hudzail, lengkap dengan I’rab, kata-kata asing, dan maknanya.

Syafi'i juga seorang yang paling pakar di bidang sejarah. Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, kecerdasan akalnya dan kejernihan otaknya. Kedua, keikhlasannya dalam beramal hanya untuk Allah".

 

Ya, para ulama dan pemuda hendaknya melihat seorang alim yang cerdas ini yang tidak pernah meninggalkan ilmu kecuali di dalamnya ia menjadi bintang yang terang benderang. Maka, jadikanlah dia dan orang-orang sepertinya sebagai teladan kita. Semoga kita mendapatkan apa yang mereka peroleh.

 

Fikih Baru

Dalam perjalanan ini, saat Syafi'i berada di Mesir, ia menulis kitabnya yang paling penting dan mulai menata ulang beberapa pendapatnya dalam kitabnya yang lama. Di Mesir, ia menemukan pergaulan baru, tabiat, dan adat-istiadat yang baru sehingga membuatnya harus menarik kembali sebagian pendapatnya dan mengkaji ulang semuanya. Karena itu, jika disebut "Syafi'i dengan fikih lamanya", maknanya fikih yang ia susun di Hijaz dan Irak. Jika dikatakan "Syafi'i dengan fikih barunya, maksudnya fikih yang ia susun di Mesir. Syafi'i mulai menata kembali kitab lamanya, al-Risálah, yang dulu pernah ia karang di Hijaz. Ia juga mengumpulkan seluruh karyanya di bidang fikih. Kebanyakan karyanya ia kodifikasi dalam satu kitab yang sangat berharga, yaitu kitab al-Umm.

 

Pengukuhan Mazhab

Kunjungan Syafi’i ke Mesir menjadi penyebab perubahan beberapa pendapatnya, kemudian mazhabnya dikukuhkan dan disebarkannya. Mesir adalah negeri yang sangat dinamis. Di sana Syafi'i mengenal tabiat, adat-istiadat baru, dan pergaulan baru yang membuatnya harus mengkaji ulang kitab-kitab lamanya dan menarik beberapa pendapatnya. Ia juga tertuntut untuk menyusun ulang kitab al-Risálah dan menghimpun seluruh karyanya dalam satu kitab mahakarya, al-Umm.

BAGIAN V PRINSIP DASAR DAN KEISTIMEWAAN MAZHAB SYAFI'I

 

BAB XIV

AQIDAH SYAFI'I DAN PENDAPATNYA

 

1.      Masa Kejayaan Islam

Masa kejayaan Islam dalam peradaban, pemikiran, budaya, dan ilmu pengetahuan terjadi pada paruh ketiga abad-abad pertama. Pada masa ini Imam Syafi'i hidup selama 54 tahun, tepatnya di awal berdirinya Daulah Dinasti Abbasiah.

Pada masa ini kekuasaan sangat kokoh dan kondisi politik cukup stabil. Khalifah menguasai kendali negara dan menancapkan wibawanya di seluruh pelosok negeri yang sangat luas. Dengan tegas ia mengatur manusia dengan bermacam ras, budaya, dan tingkat peradabannya.

Pada masa ini juga semua peradaban masa lalu saling bertemu: perabadaban Hindu, Persia, dan Yunani di bawah naungan agama baru. Semua peradaban itu berbaur menjadi satu meski fondasinya berbeda satu sama lain. Semua generasi saling berasimilasi tanpa pergesekan dan perselisihan, kecuali dalam beberapa kondisi. Itu pun terjadi karena beberapa faktor, di antaranya karena ada sebagian orang yang tidak mau berbaur atau masuk ke dalam komunitas agama baru, Islam.

 

Abad pertama kekuasaan Dinasti Abbasiah merupakan masa-masa tenang dan damai. Para khalifah menancapkan kekuasaan dan wibawa di seantero negeri. Di negeri Islam, semua perbadaban yang beragam bercampur menjadi satu di bawah payung Islam.

 

Kesuburan dan Produktivitas Akal

Masa ini juga adalah masa kesuburan dan produktivitas akal, kebebasan berpikir, berbicara, dan berpendapat. Selain itu, kemunculan mazhab-mazhab dan aliran-aliran bisa dilihat pada masa ini. Filsafat, ilmu pengetahuan, sastra, dan kebudayaan banyak dialih bahasakan dari bahasa Yunani dan Persia ke bahasa Arab. Majelis para khalifah, penguasa, dan para pemimpin dipenuhi para ulama, filsuf, penyair, dan penutur cerita.

 

Majelis-majelis dipenuhi para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Pintu kebebasan berbicara dan berpendapat dibuka lebar. Masa ini adalah masa keemasan di mana akal bertambah subur dan produktif.

 

Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Masa ini juga merupakan masa kemajuan ilmu pengetahuan. Berbagai kodifikasi ilmu mulai dicanangkan dan prinsip-prinsipnya mulai disusun. Ilmu tata bahasa Arab ditemukan dan kaidah-kaidahnya diletakkan. Para penerus Abu al-Aswad al-Du'ali mulai menulis ilmu nahu. Al-Ashmu'i dan lainnya mulai menata riwayat-riwayat syair dan menukilnya. Tak ketinggalan, al-Khalil ibn Ahmad juga mulai meletakkan prinsip dasar ilmu ‘arudh yang menjadi standar syair-syair Arab. Al-Jahizh mulai menujukan pandangannya ke jalur kritik sastra. Begitu pula yang lainnya menyibukkan diri untuk menggeluti berbagai disiplin ilmu.

 

Ilmu pengetahuan mencapai puncak keemasannya. Penulisan dan kodifikasi ilmu mulai dilakukan pada masa ini. Ilmu tata bahasa mulai ditulis, begitu pula ilmu ‘arudh yang menjadi standar syair-syair Arab, serta ilmu lainnya. Masa ini adalah masa keemasan di bidang ilmu pengetahuan.

 

Ilmu Hadis

Di bidang hadis para ulama mulai tergerak untuk mengumpulkannya dari berbagai sumber. Para ahli hadis mulai berjibaku menelitinya. Mereka meletakkan dasar-dasar ilmu hadis untuk menjadi standar dalam mengetahui khabar-khabar yang periwayatannya sahih. Mereka juga menetapkan standar untuk mengetahui para perawi yang tsiqat (tepercaya) dan membuang hadis-hadis yang mengandung syudzudz (cacat). Selain itu mereka juga memilih hadis yang bisa dijadikan hujjah dalam masalah agama. Kemudian mereka mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis sahih, serta menguatkan tingkat kesahihannya berdasarkan standar yang mereka tetapkan.

 

Kedustaan terhadap Rasulullah banyak terjadi pada masa ini, sehingga para ulama terdorong untuk meletakkan kaidah-kaidah untuk méndeteksi para perawi tsiqah dan hadis-hadis sahih, serta mutai mencatatnya.

 

Madrasah Fikih

Di bidang fikih, mazhab-mazhab mulai bermunculan, ssatunya adalah mazhab Maliki, mazhab yang banyak menukil pendapat-pendapat Ibn Abbas. Di madinah sendiri muncul mazhab fikih Madinah yang banyak diambil dari pendapat fikih Umar ibn Khathtab, Zaid ibn Tsabit, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan para sahabat ahli fikih lainnya yang berperan menyebarkan ilmu Nabi SAW. kepada generasi berikutnya. Ilmu fikih mulai dikodifikasi. Imam Malik mulai menulis kitabnya, al-Muwaththa, yang berisi masalah-masalah fikih, hadis-hadis Rasulullah, dan fatwa para sahabat yang diriwayatkan oleh murid-murid mereka.

Imam Muhammad ibn al-Hasan mulai menulis fikih Irak dan membahas cabang-cabangnya secara teliti dan seksama.

 

Muktamar Ilmu Pengetahuan

Syafi'i tidak menyia-nyiakan kesempatan muktamar ini. Para ahli fikih dan ahli hadis bersebaran di seantero negeri. Mereka mendatangi kota dan desa, mencari hadis, menuntut ilmu fikih, dan mempelajari Al-Quran. Syafi'i pun mulai menemui mereka, khususnya di Masjidil Haram yang menjadi pusat muktamar ilmu pengetahuan. Di sana para ulama dari berbagai pelosok negeri bertemu dan bertukar pikiran seputar masalah-masalah ilmiah. Mereka saling berdebat dan berdialog dalam mencari pendapat yang paling mendekati kebenaran. Tanah Suci Makkah menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Syafi'i di awal hidupnya, saat pertama ia mulai belajar secara mandiri setelah meninggalkan Baghdad, kota tempatnya belajar fikih ahli rakyu untuk pertama kalinya. Di Makkah, Syafi'i banyak menuntut ilmu dan berdebat dengan para ulama, juga mempelajari kitab Muhammad ibn al-Hasan.

 

Tanah Suci Makkah menjadi tempat Syafi'i tumbuh dan berkembang setelah ia kembali dari Baghdad untuk pertama kalinya. Di tempatnya Ini, Syafi’i banyak bertemu dengan para ulama dari setiap pelosok négeri, saling bertukar pikiran, dan berdebat dengan mereka.

 

Pertemuan Para Ahli Fikih

Kemudian para ahli fikih dari kelompok ahli rakyu bertemu dengan ahli fikih dari kelompok ahli hadis di satu tempat. Mereka saling berdebat dan bertukar pikiran untuk mencari kebenaran. Masing-masing mengambil pendapat yang lain. Kita lihat fuqaha ahli hadis ada yang mengadopsi pemikiran ahli rakyu, demikian pula sebaliknya ahli rakyu menguatkan pendapat mereka dengan hadis-hadis. Ada pula yang memperhalus pendapat mereka agar seiring dengan hadis sahih yang mereka temukan setelah sekian lama menghilang. Bahkan, ada yang mengubah pendapatnya setelah mereka tahu bahwa pendapat itu bertentangan dengan hadis.

Ilmu para sahabat yang telah hijrah ke berbagai pelosok negeri Islam sejak zaman al-Khulafa al-Rasyidin disebarkan kepada para fuqaha yang telah banyak mengembara ke setiap penjuru. Para ahli fikih dari berbagai daerah berkumpul dan saling bertukar ilmu yang mereka dapatkan dari sahabat. Mereka bersama-sama mempelajari ragam pendapat, dan setiap ahli fikih memilih pendapat yang paling sesuai dengan keinginannya atau yang menurutnya paling kuat dalilnya. Mereka juga memilih pendapat yang paling baik untuk kemaslahatan manusia di lingkungan dan zamannya, lalu berdiskusi untuk mencari pendapat yang paling kuat dan pendapat yang harus ditinggalkan.

 

Para fuqaha ahli rakyu dan fuqaha ahli hadis saling berkumpul dan bertukar pikiran dalam ilmu yang mereka warisi dari para sahabat. Mereka berdiskusi dan setiap fakih memilih pendapat yang dalinya paling kuat atau paling sesuai dengan lingkungan dan zamannya.

 

Standar Pengambilan Dalil (Maqayis al-Istidilal)

Pada masa ini seorang fakih tertuntut untuk memiliki pandangan yang luas. Kegiatan belajar lebih terfokus pada bagaimana mempelajari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasar untuk menjawab hukum-hukum yang bersifat parsial. Ia juga harus mempelajari ke tepatan dalil bagi setiap permasalahan. Dengan kata lain, pemikiran mereka dalam perdebatan dan dialognya bertujuan menghasilkan standar proses pengambilan dalil fikih, serta prinsip-prinsip istinbath penyimpulan hukum).

Pada zaman ini, di tengah hiruk pikuk kegiatan keilmuan yang dinamis, Syafi'i hidup dan tumbuh. Ia turut serta dalam berbagai perdebatan dan mengambil manfaat dari khazanah ilmiah yang tiada terkira mahalnya ini. Dengan potensi dan ilmu yang dimilikinya, Syafi’i turut masuk ke kancah keilmuan dengan mengusung pendapat-pendapat pribadi dan mazhabnya untuk ia sebarkan kepada khalayak.

 

Masa merupakan masa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, masa pertemuan segala peradaban, kodifikasi ilmu, dan masa penentuan kaidah-kaidah dasar setiap di siplin ilmu. Ini adalah masa kejayaan Islam yang paling gemilang di bidang peradaban dan ilmu pengetahuan. Syafi’i turut meramaikan perhelatan ilmiah dan mulai mengeruk keuntungan dari khazanah ilmu yang maha kaya ini. Dengan membawa pendapat-pendapat dan mazhabnya, ia mulai menunjukkan jati dirinya di tengah masyarakat yang hidup di namis kala itu.

 

2.      Syafi'i Dan Ilmu Kalam

Kemajuan ilmu pengetahuan menjadi ciri khas pada zaman ini, tapi penyimpangan dalam pemikiran mulai bermunculan. Pada zaman Syafi'i, bermunculan berbagai pemikiran dan aliran-aliran. Pada masa itu tumbuh satu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu kalam yang fondasi dasarnya didirikan oleh kaun Mu’tazilah. Orang-orang mulai mengalami satu euphoria dalam ilmu kalam. Mereka mulai memperbincangkan tema kalam (berbicara): apakah "kata" merupakan salah satu sifat Allah atau bukan. Dalam masalah AI-Quran, pendapat mereka juga saling berseberangan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk, ada pula yang berpendapat sebaliknya, yaitu AI-Quran bukan makhluk. Mereka juga mulai merambah satu perdebatan tentang sifat-sifat Allah. Ada yang berpendapat bahwa sifat-sifat itu sebenarnya hanya sekadar makna dan bukan Zat Allah sendiri Ada juga yang berkata bahwa sifat-sifat tersebut sama dengan Zat Allah karena, menurut mereka, Allah tidak bisa dikenali kecuali melalui sifat-sifat-Nya.

Orang-orang dari kelompok Jabariah mulai berbicara tentang qadha dan qadar (keputusan dan ketetapan Allah) serta tentang kehendak dan keinginan manusia yang berjalan beriringan dengan ketetapan Allah. Belum lagi aliran-aliran politik yang juga bermunculan kala itu, seperi Syi’ah, Khawarij, dan kelompok Abbasiyyin.

 

Ilmu kalam merupakan salah atu ilmu yang muncul ke permukaan pada zaman Syafi'i. Fondasi dásarnya dibangun oleh kelompok Mu'tazilah. Orang-orang mulai berani memasuki tema-tema dan permasalahan yang ada di dalamnya. Selain itu, pada zaman Syafi'i, aliran-aliran politik pun bermunculan. Masing-masing berpegang pada pendapatnya. Demikian pula hanya dengan kelompok-kelompok yang terbentuk berdasarkan akidah dan ideology.

 

Antara Kebencian Dan Larangan

Dialog akidah dan politik yang menyita waktu masyarakat dan mencerai-beraikan mereka ini, dampaknya cukup memengaruhi pemikiran Imam Syafi’i. Ilmu kalam ini telah berdampak buruk bagi dirinya. Syafi'i telah mengakui secara tegas bahwa ia membenci ilmu kalam, bahkan ia melarang orang menggelutinya. Syafi’i memilih menjauhi para mutakallimin (ahli ilmu kalam). Ia tidak mau bergaul dengan mereka, bahkan tidak mau mendengar ucapan dan pendapatnya. Syafi’i menegaskan, "Tak ada yang lebih kubenci melebihi ilmu kalam dan orang-orang yang menggelutinya".

Pernah juga Syafi'i berkata, "jangan sekali-kali kalian mempelajari ilmu kalam karena jika seseorang ditanya tentang satu masalah fikih, lalu ia menjawab salah, maka paling sedikit ia hanya ditertawakan. Seperti halnya jika ia ditanya tentang hukum seorang laki-laki yang membunuh laki-aki lain, lalu ia menjawab bahwa hukumannya adalah membayar diyat satu telur. Akan tetapi, jika ia ditanya tentang satu masalah ilmu kalam, lalu ia menjawab salah, maka ia akan dicap sebagai pelaku bi’dah.”

Syafi’i juga berkata, “Jika Allah bertemu dengan seorang hamba dengan membawa segala dosanya (selain dosa syirik kepada-Nya) maka itu lebih baik dari pada jika Dia bertemu dengan hamba-Nya yang membawa sesuatu yang bersumber dari hawa nafsunya.”

Diriwayatkan juga bahwa Syafi'i pernah berkata, "jika manusia tahu bahwa dalam ilmu kalam terkandung hawa nafsu, niscaya mereka akan lari darinya seperti lari dari kejaran singa.”

 

Syafi’i Menguasai Ilmu Kalam

Kendati membenci Ilmu kalam, Syafi'i tak ketinggalan dalam hal ini. Ia banyak mengetahui serba-serbi yang ada di dalamnya. Orang seperti Syafi'i tak mungkin melarang sesuatu kecuali ia telah mengetahuinya secara mendalam. Suatu ketika, ia menemui murid-muridnya. Ia temukan mereka tengah berdebat dan membicarakan ilmu kalam.

Ia lalu berkata kepada mereka, "Apa kalian kira aku tidak mengetahuinya sama sekali? Aku juga pernah menggelutinya hingga taraf yang tinggi. Akan tetapi, ilmu kalam ini tak memiliki tujuan sama sekali. Karena itu, berdebatlah dalam masalah yang jika kalian salah, kalian hanya dikatakan 'salah, dan tidak dikatakan bahwa kalian telah kafir".

Larangan Syafi'i untuk mempelajari ilmu kalam tidak berarti bahwa ia tidak memiliki pendapat pribadi dalam masalah-masalah yang diperdebatkan ahli kalam. Seperti dalam masalah tentang kemungkinan melihat Allah pada hari kiamat, masalah qadar, dan sifat-sifat Allah. Bahkan, Syafi'i sendiri memiliki pendapat khusus yang sesuai dengan bidang fikih yang digelutinya dengan melandaskan pendapataya atas Al-Quran dan sunnah. Syafi’i tidak mau membahas terlalu jauh dalil-dalil yang digunakan para ahli kalam, kecuali dalam kadar tertentu yang secara harfiah dikandung oleh nash tertentu.

 

3.      Pendapat-Pendapat Syafi'i Dalam Aqidah

Al-Quran Bukan Makhluk

 Syafi'i berpendapat seperti pendapat para fuqaha dan ahli hadis, yaitu Al-Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Dalil yang dijadikan sandaran adalah firman Allah, Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung (Q. S. An-Nisa [4]: 164).

 

Keyakinan Syafi'i. tentang Al-Quran adalah ia kalam Allah, bukan makhluk atau tidak diciptakan

 

Kemungkinan Melihat Allah

Sebagia besar ulama salaf sepakat bahwa ahli surga kelak akan melihat Allah secara langsung, berdasarkan firman Allah, Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (Q.S. Al-Qiyamah (75): 22-23). Dan berdasarkan hadis yang diriwayatkan Muslim dari Shuhaib, bahwa Rasulullah bersabda, “jika ahli surga telah masuk ke surga, Allah akan berkata, 'Apa kalian menginginkan tambahan dari-Ku?’ Mereka menjawab, "Bukankah Engkau telah membuat wajah kami berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menyelamatkan kami dari neraka Rasulullah melanjutkan, "Allah lalu membuka hijab-Nya. Maka, mereka pun tidak diberikan sesuatu yang lebih mereka cintai dari kesempatan melihat wajah Tuhan-nya dengan langsung."

Dalam satu riwayat Rasulullah SAW. Membaca ayat, Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (QS. Yunus [10]: 26). Dalam hadis lain diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah, ia berkata, "Kami tengah duduk bersama Rasulullah. Beliau memandang ke arah bulan pada malam purnama, lalu bersabda, "Kelak kalian akan melihat Tuhan kalian dengan mata telanjang seperti kalian melihat bulan ini, dan kalian tidak akan dizalimi dalam melihatnya. Jika bisa, jangan kalian tinggalkan shalat sebelum matahari terbit atau sebelum tenggelam, laksanakan shalat itu. (muttafaq ‘alaih)

Kemudian Rasulullah SAW. membaca ayat ini, Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan kalian sebelum terbit matahari dan terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kalian merasa senang (Q. S. Thahá [20]: 130).

 

Kesempatan dapat melihat wajah Allah di surga merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada kaum mukmin. Sebagian besar ulama sepakat akan hal ini berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis sahih.

 

Pendapat Syaf'i

Pendapat Syafi'i tentang masalah ini sama dengan pendapat sebagian besar ulama salaf, yaitu para wali Allah akan melihat Tuhannya pada hari akhir. Ia mendasarkan pendapatnya pada ayat Al-Quran, Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka (Q. S. Al-Muthaffifin: 15).

Syafi'i menuturkan, "jika orang-orang kafir dihalangi tirai sehingga mereka tidak bisa melihat wajah Allah, tentu hal ini menunjukkan bahwa para wali Allah akan diberi kesempatan melihat wajah-Nya dalam keridaan Pendapat.

 

Syafi'i sama dengan pendapat sebagian besar ulama, yaitu para wali akan melihat wajah Tuhannya pada hari akhir sebagai karunia dan penghormatan Allah terhadap mereka. Sementara orang-orang kafir akan dihalangi dengan tirai sehingga mereka tidak bisa melihat Allah sebagai hu kuman dan sanksi Allah kepada mereka.

 

Qadha Dan Qadar

Syafi’i juga percaya adanya qadha dan qadar, baik dan buruknya. Dari khutbah Syafi'i, al-Razi menyimpulkan Syaf'i berpendapat bahwa Allah menciptakan af’al (perbuatan-perbuatan) manusia dengan kehendak-Nya dan dengan usaha manusia sendiri. Al-Rabi' meriwayatkan dari Syafi’i bahwa ia berkata, "Manusia tidak menciptakan perbuatannya sendiri, tetapi Allah-lah yang menciptakannya" Ia melandaskan pendapatnya dari ayat Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu (Qs. Ash-Shaffat [37): 96).

Namun Syafi’i tidak menafikan kebebasan manusia dalam berbuat. Atas dasar itulah hisab berlaku bagi setiap amal mereka. Manusia berhak memilh dan berkehendak, tetapi semuanya berada dalam kerangka kehendak Allah dan pilihan-Nya. Karena  Allah adalah pencipta manusia dan pencipta perbuatannya.

 

Imam Syafi’i terhadap qadha dan qadar Allah bersumber dari keimanannya kepada Allah. Ia berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan kehendak atau ciptaan mereka sendiri.

 

Iman

Syafi'i berkata, "Iman adalah kepercayaan yang disertai perbuatan." Ia sangat mengukuhkan pendapatnya ini, bahkan menyeru semua orang untuk mengikutinya. Jika iman mencakup kepercayaan dan perbuatan maka ia akan bertambah atau berkurang tergantung kadar perbuatan.

Syafi’i melandaskan pendapatnya ini dengan beberapa dalil, di antaranya adalah ketika Allah mengalihkan kiblat kaum muslim dari Baitul Maqdis ke Makkah, ada satu kaum yang berkata, "Bagaimana pahala shalat kita dahulu saat masih menghadap Baitul Maqdis?" Menjawab pertanyaan ini, Allah menurunkan ayat, Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia (Q.S. Al-Baqarah [2]: 143).

Tentang kemungkinan bertambah atau berkurangnya iman, Syafi’i berdalil dengan firman Allah, Dan apabila diturunkan suatu surah maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, Siapa di antara kalian yang bertambah imanya dengan (turunya) surah ini? Adapun orang yang beriman maka surah ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira (QS. A-Taubah [9]: 124). Dan firman Allah, Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tahan mereka dan Kami tambankan kepada mereka petunjuk (Q.S. Al-Kahfi [18]: 13).

Al-Rabi' berkata, "Aku mendengar Syafi'i berkata, Iman itu ucapan dan perbuatan. Ia bisa bertambah dan bisa pula berkurang".

Begitulah Syafi'i menegaskan akidahnya sekaligus pendapatnya dalam beberapa masalah yang banyak di perdebatkan oleh para ulama ilmu kalam, tanpa harus menggelutinya secara mendalam atau masuk ke dunia filsafat yang banyak menyesatkan pemahaman manusia dan membingungkan akal.

Di antara pendapat Syafi'i tentang beberapa masalah yang banyak dibahas di dunia kalam adalah iman itu kepercayaan yang disertai perbuatan. Jika demikian maka iman bisa bertambah bisa pula berkurang tergantung kadar perbuatan. Ia melandaskan pendapatnya atas ayat-ayat Al-Quran tanpa harus masuk terlalu jauh ke dalam pemikiran ilmu kalam. Ia hanya menegaskan keyakinan dan pendapatnya dalam beberapa masalah ilmu kalam.

Tentang sikapnya ini, Syafi'i melantunkan syair,

 Aku bersaksi bahwa Allah, tiada tuhan selain Dia

Dan aku bersaksi bahwa kebangian itu pasti ada

Hakikat iman adalah ucapan yang nyata

Disertai dengan perbuatan suci yang bisa bertambah atau berkurang

 

4.      Khalifah

Syarat-Syarat Seorang Khalifah

Di antara masalah yang juga dikemukakan oleh para ahli kalam dan kelompok-kelompok politik yang ada ketika itu adalah masalah kekhilafahan dan syarat-syaratnya karena masalah ini masih memiliki kaitan, dengan masalah ilmu kalam.

Meskipun berada jauh dari ranah ilmu fikih, Syafi’i terdorong untuk mengemukakan pendapatnya tentang masalah kekhilafahan ini. Syafi’i berkeyakinan bahwa kekhilafahan termasuk urusan agama yang harus ditegakkan. Manusia harus memiliki seorang imam atau pemimpin yang menangani urusan kaum mukmin dan mengatasi permasalah orang-orang fasik agar orang-orang yang baik dapat tenang dan dijauhkan dari orang-orang yang buruk, seperti yang dikatakan oleh Ali ibn Abi Thalib.

Syafi'i juga berpendapat bahwa imâmah (kepemimpinan) adalah hak orang-orang Quraisy. Dalam hal ini ia meriwayatkan dalilnya dari Umar ibn Abdul Aziz dan Ibn Syihab al-Zuhri dengan sanad yang sampai kepada Rasulullah bahwa beliau bersabda, "Siapa yang menghinakan seorang Quraisy maka Allah akan menghinakannya."

Diriwayatkan juga bahwa Nabi SAW. bersabda kepada seorang Quraisy, "Kalian lebih layak menduduki jabatan ini selama kalian tetap berada dalam kebenaran. Dan jika kalian telah menyimpang dari kebenaran maka kalian akan dicampakkan, sebagaimana pelepah kurma ini dicampakkan."

Untuk legalitas kekhilafahan ini, Syafi’i tidak menyaratkan perlunya baiat yang dilakukan sebelum seorang khalifah menjabat. Karena, kekhilafahan bisa terbentuk tanpa baiat, jika kondisinya mendesak. Ada satu riwayat dari Syafi'i yang disampaikan oleh muridnya, Harmalah, "Setiap Quraisy yang menduduki kursi kekhilafahan dengan pedang dan didukung oleh semua orang maka ia layak menjadi khalifah."

Dalam masalah khilafah, yang terpenting bagi Syafi’i adalah yang meraihnya harus seorang Quraisy. Ia juga harus didukung oleh masyarakat, baik sebelum menduduki kursi kepemimpinan maupun setelahnya. Sementara syarat keadilan sudah menjadi hal yang semestinya.

Syafi’i berkeyakinan bahwa orang yang paling layak menjadi khalifah pertama adalah Abu Bakar al-Shiddiq, kemudian Umar al-Paruq, lalu Utsman Dzunnurain, dan Ali ibn Abi Thalib. Semoga Allah meridai mereka.

Diriwayatkan bahwa Syafi'i menganggap jumlah al-Khulafa' al-Râsyidun itu sebenarnya ada lima. Selain empat khalifah di atas, Syafi'i menambahkan seorang lagi dari sahabat Rasulullah, yaitu Umar ibn Abdul Aziz.

Tentang hal ini, Syafi'i berkata,

Abu Bakar adalah Khalifah Tuhannya

Abu Hafsh adalah sosok yung sangat menjaga kebaikan

Aku bersaksi di hadapan Tuhanku bahwa Utsman sangat mulia

Dan Ali kemuliaannya sangat istimewa

Mereka adalah imam kaum yang layak diikuti petunjuknya

Allah akan mencampakkan orang-orang yang merendahkan mereka

                                                                                             

Syafi'i berkeyakinan bahwa imâmah termasuk urusan agama yang perlu dipelihara. Yang penting baginya adalah yang menjadi imam harus seorang Quraisy yang didukung oleh masyarakat. Tentu syarat keadilan harus ia penuhi terlebih dahulu Syafi'i berpendapat bahwa orang yang paling layak menduduki kursi kekhilafahan adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar, Utsman, selanjutnya Ali. Ia juga mengangkat seorang khalifah yang kelima, yaitu Umar ibn Adul Aziz

 

Perselihan Antara Ali Dan Mu'awiyah

Tentang perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, Syaif'i berpendapat bahwa Alilah yang benar dan Mu'awiyah tidak benar. Malah, menurut Syafi'i Mu’awiyah dianggap sebagai pemberontak seperti Khawarij. Khawarij merupakan pemberontak yang lebih keras. Oleh karena itu, tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah pemberontakan ini, Imam Syafi'i banyak mengadopsi pemikiran dan sikap Ali ibn Thalib terhadap para pemberontak pada zaman kekhilafahannya.

Karena masalah ini, seseorang ada yang berkata kepada Ahmad ibn Hanbal, "Yahya ibn Mu'in menisbahkan Syafi'i kepada kelompok Syi’ah."

Lalu Ahmad' bertanya kepada Yahya ibn Mu'in, "Bagaimana kau tahu hal ini?"

Yahya lalu menjawab, "Dalam karya-karyanya aku lihat Syafi'i berpendapat perlu memerangi dan membunuh para pemberontak. Dari awal hingga akhir, kusimpulkan bahwa ia banyak mengadopsi pemikiran dan sikap Ali ibn Thalib.”

 Ahmad lalu berkata, "Sungguh aneh kau ini! Kepada siapa lagi Syafi’i harus menyandarkan pendapatnya? Bagaimana pun orang yang pertama diuji dengan masalah pemberontakan ini adalah Ali ibn Thalib." Dengan kata lain, dari siapa Syafi'i harus mengambil hukum-bukum yang berkenaan dengan pemberontakan kalau bukan dari Ali ibn Thaib ra".

Ini adalah sekelumit pendapat Syafi'i tentang perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dalam masalah imâmah (kepemimpinan).

 

Tentang perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah, Syafi’I berpendapat bahwa Ali yang benar, bukan Mu'awiyah. Ia banyak mengadopsi hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah pemberontakan dari sikap Ali terhadap para penentangnya. Karena, Ali adalah khalifah yang pertarma kali diuji dengan masalah pemberontakan ini.

 

5.      Cinta Syafi'i Kepada Ahli Bait

Meski pendapat Syafi’i seperti ini, ia tetap seperti muslim bertakwa lainnya yang mencintai keluarga Nabi SAW. dan meyakini kesucian mereka. Ia tidak peduli jika harus dicap sebagai anggota kelompok Rafidah andai orang-orang yang mencintai keluarga Muhammad hanya kaum Rafidah. Ia berkata,

Jika Rafidah itu pencinta keluarga Muhamamad maka biarkanlah jin dan manusia menganggapku seorang Rafidah."

Kekaguman Syafi'i terhadap Ali banyak diriwayatkan oleh sejarah. Disebutkan bahwa Ali ibn Abi Thalib tengah berada di majelisnya. Seorang laki-laki berkata, "Orang-orang menjauhi Ali karena ia tidak pernah memedulikan orang lain." Maksudnya Ali sangat pemberani hingga seakan ia tidak memedulikan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Syafi'i lalu berkata, "Pada diri Ali terdapat empat sifat yang jika dimiliki seseorang maka ia pasti tidak akan memedulikan orang lain. Pertama, jika orang itu seorang yang zuhud, karena seorang zahid tidak pernah memedulikan dunia dan penghuninya. Kedua, jika ia seorang alim, karena orang alim tidak memedulikan orang lain. Ketiga, jika ia seorang yang berani, karena seorang pemberani tidak pernah menggubris orang lain. Dan yang keempat adalah jika ia seorang yang mulia dan berwibawa karena seorang yang mulia tidak pernah memedulikan orang lain".

Tentang pribadi Ali, Syafi'i pernah berkata, "Ali telah dikaruniai ilmu Al-Quran dan fikih secara khusus karena Nabi SAW. pernah memanggilnya dan memerintahkannya untuk menjadi hakim di tengah masyarakat. Setiap masalah yang ia tangani dilaporkan kepada Nabi SAW., dan beliau banyak menyetujuinya."

 Begitulah kita lihat Syafi’i selalu bersikap hati-hati dan moderat dalam pendapatnya. Ia sangat mencintai Ali dan kagum kepadanya. Syafi'i menganggap orang-orang yang menentang Ali adalah kaum pemberontak dan menilai sikap Ali terhadap mereka sebagai landasan hukum yang perlu ia adopsi. Akan tetapi, kecintaannya kepada Ali tidak mendorongnya untuk lebih mengutamakan Ali atas Abu Bakar, Umar, atau Utsman.

Syafi'i, seperti musim yang lain, sangat mencintai keluarga Nabi SAW. Ia juga sangat mencintai Ali dan kagum kepadanya, tanpa mengutamakannya atas Abu Bakar, Umar, atau Utsman. Dalam pendapat-pendapatnya, Syafi’i selalu menjaga sikap moderat.

 

Syafi'i Memuji Ahli Bait

Tentang ahli bait Nabi saw., Syafi'i memiliki bait-bait syair berikut:

Jika di satu majelis kami menyebut nama Ali

Serta dua anaknya dan Fatimah yang suci

Ada yang berkata, "Wahai kaum, abaikan ini….!”

Karena ini adalah obrolan kaum Rafidah

Di hadapan Allah, aku merasa terbebas dari dosa manusia ini

Yang menilai seorang yang mencintai keluarga Fatimah sebagai anggota kelompok Rafidah

 

BAB XV

SYAFI'I SANG IMAM

 

1.      Prinsip Dasar Fiqih Syafi'i

Syafi'i tidak terdorong untuk membentuk mazhab baru atau pendapat fikih yang terlepas dari pendapat pendapat Malik kecuali setelah ia meninggalkan Baghdad dalam pengembaraannya yang pertama di tahun 184 Hiljriah. Sètelah Syafi'i menetap di Baghdad cukup lama, di kota tempat ia mempelajari kitab-kitab Muhammad ibn al-Hasan dan berdebat dengan ahli rakyu, ia merasa perlu memberikan formula khusus sebagai kombinasi dari fikih Irak dengan fikih Madinah. Selain itu, sengitnya perdebatan seputar masalah-masalah furd'iyah (cabang) mendorongnya untuk mengenal prinsip dasar dan mencari standarnya. Ia memilih keluar dari Irak dan mulai menorehkan catatan-catatan baru.

 

Setelah sekian lama tinggal di Baghdad, mempelajari kitab :kitab fikih ahli rakyu dan berdebat dengan mereka, Syafi’i ingin menghasilkan satu fikih kombinasi antara fikin Irak dan fikih Madinah. Karena itu, Ia mulai menggoreskan tintanya untuk menyusun satu mazhab baru.

 

Di Makkah al-Mukarramah

Syafi'i mengembara ke Makkah. Di Masjidil Haram ia mulai membuat satu halaqah pelajaran. Di sanalah ia mulai membentuk mazhabnya. Ia menetap di Makkah sekitar sembilan tahun. Masa ini merupakan masa keilmuan Syafi'i yang paling subur karena saat itu usianya telah mencapai kematangan. Ia juga telah banyak mengkaji berbagai pendapat ulama generasinya dan mengadopsi berbagai pemikiran mereka. Dengan pengermbaraannya, Syafi'i banyak menghimpun hadis dari berbagai negeri.

Mungkin bisa kita katakan bahwa pemikirannya pada fase ini lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat kulliyyat (umum) ketimbang berkutat pada masalah-masalah fur’iyyah. Kebanyakan pelajaran yang ia sampaikan di halaqahnya lebih menekankan masalah ini. Ia mengajari para murinya cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dan sarana-sarananya, membandingkan sumber-sumber fikih, dan sedikit menyentuh masalah-masalah furù' sekadar menjelaskan teori-teorinya.

 

Syafi'i mulai mencapai puncak kematangannya. Ia banyak meneliti dan mengkaj bermacam pendapat para ulama sehingga ia menjadi ensiklopedia ilmu. Pemikiran Syafi’i lebih cenderung kepada hal-hal yang bersifat kulyyat, tata cara istinbath serta sarana-sarananya.

 

Aku Takut Kau Tidak Akan Menemukannya Lagi

Prinsip-prinsip kulliyyat inilah yang mendorong Ahmad ibn Hanbal untuk belajar dari Syafi’i saat ia melihatnya tengah mengajar di sebuah halaqah di Makkah. Ahmad memilih untuk meninggalkan halaqah Ibn 'Uyainah-ulama yang biasa meriwayatkan dari al-Zuhri dan beralih ke halaqah Syafi'i. Bahkan, jika ada orang yang mencela sikapnya itu, Ahmad berkata kepadanya, "Diamlah! Karena, jika kau tertinggal satu hadis dari seseorang, mungkin kau masih bisa mendapatkannya dari orang lain. Itu tidak jadi masalah bagimu. Akan tetapi, jika kau tertinggal akan akal pemuda ini, aku takut kau tidak akan menemukannya lagi hingga hari kiamat. Aku tidak pernah menemukan seorang pun yang lebih faham terhadap Kitab Allah dari pada pemuda Quraisy ini”.

Pilihan Syafi'i terhadap studi prinsip kulliyyat juga yang membuat Ahmad berkata tentangnya, "Fikih itu bagaikan gembok bagi para penuntutnya hingga Allah membukanya melalui tangan Syafi'i."

 

Kitab Al-Risâlah: Karya Pertama Syafi’i

Karya pertama Syafi'i adalah sebentuk surat yang ia tulis dan tujukan kepada Abdurrahman ibn Mahdi. Sebelumnya, Ibn Mahdi meminta Syafi'i untuk mengarang satu kitab untuknya yang berisikan makna-makna Al-Quran, sejarah, ijma’ serta nasikh dan mansükh dalam Al-Quran dan sunnah. Atas permintaannya itu, Syafi’i menyusun kitabnya yang bernama al-Risalah. Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Syafi'i menulis kitabnya ini saat ia berada di Makkah. Tetapi, beberapa riwayat menyebutkan bahwa penulisannya terjadi di Baghdad. Yang terpenting kitab ini merupakan karya dari kegigihan Syafi'i menuntut ilmu di Tanah Suci.

 

Dasar-Dasar Baru

Syafi'i memboyong karyanya itu ke Baghdad, Di sana ia mulai menyebarkan ajarannya dalam halaqah-halaqah. Di mata penduduk Irak, apa yang diajarkan Syafi'i ini terhitung masih baru. Al-Karabisi menuturkan, "Kami tidak tahu apa itu kitab, sunnah, dan ijma (atau dasar/dalil fikih yang diambil dari ketiganya), hingga kami mendengar Syafi'i berkata, "ini adalah kitab, sunnah, dan ijma"

Kali ini Syafi'i menetap di Baghdad selama tiga tahun. Ini adalah fase kedua ijtihad Syafi'i. Di sana ia mulai mempelajari pendapat-pendapat ahli fikih yang sezaman dan sesuai dengan pendapatnya, bahkan pendapat para sahabat dan tabi'in. Ia mulai memaparkan hasil yang telah ia capai berupa dasar-dasar agama yang bersifat umum. Ia membandingkan bermacam pendapat tersebut, menguatkan salah satunya berdasarkan dasar-dasar ini, kemudian memaparkan pendapat yang ia anggap sesuai dengan dasar dan kaidah yang telah disusunnya.

Pada fase ini Syafi'i mulai mendapatkan murid-murid baru yang belajar fikih darinya. Fikih yang ia ajarkan adalah sebentuk kajian mendalam terhadap pendapat para ahli fikih dan menyimpulkan pendapat yang paling baik atau pendapat Syafi’i sendiri yang terhitung baru.

 

Fase Pengujian Dan Perubahan Terhadap Al-Risalah

Syafi'i hijrah ke Mesir pada 199 Hijriah dan menetap di sana sekitar empat tahun sampai meninggal dunia. Di Mesir, pribadi Syafi'i menjadi lebih sempurna. Pendapat dan pemikirannya lebih matang, bahkan ia mulai melakukan uji coba terhadap pemikirannya. Walhasil, ia menghasilkan pemikiran baru yang istimewa. Selain itu, di Mesir ia menemukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia dapatkan: adat-istiadat baru, peradaban, dan peninggalan para tabi’in. Ia mulai mengkaji kembali pendapat-pendapat lamanya berdasarkan pengalaman baru yang ia dapat di negeri itu yang sesuai dengan kermatangan usia dan ilmunya.

Pendapatnya tentang masalah-masalah farú mulai dikaji ulang. Beberapa di antaranya ada yang diubah sehingga menjadi pendapat baru yang tak pernah ia kemukakan sebelumnya. Akibatnya, Syafi'i memiliki pendapat lama yang telah ia tarik dan menghasilkan pendapat baru yang telah diuji. Terkadang ia ragu antara pendapat baru atau pendapat lama yang harus dipilihnya. Pada kondisi ini, ia akan menyebutkan dua pendapat itu bersamaan tanpa harus menarik kembali pendapat lamanya. Demikianlah fase ini menjadi fase uji coba dan pengecekan. Syafi'i memeriksa kembali semua pendapatnya, lalu mempelajari dasar-dasarnya sambil melakukan kritik terhadapnya. Ia mencatat kesimpulan hasil kajiannya. Akhirnya Syafi’i berhasil mencatat risalahnya, menulis berbagai masalah, dan mendiktekan sebagiannya kepada muridnya. Para sahabat Syafi'i juga meriwayatkan sejumlah pendapatnya pada fase tersebut dan mengutip pertentangan pendapatnya dengan para fuqaha. Dengan begitu, Syafi'i tidak meninggal sebelum ia mewariskan peninggalan yang sangat berharga di bidang fikih dan metode istinbath.

 

Mesir merupakan negeri yang sangat dinamis dan berperadaban tinggi. Saat Syafi’i hijrah ke sana, pribadinya semakin sempurna dan pendapatnya semakin matang ia mulai mengkaji kembali pendapat-pendapat dan dasar-dasarnya yang lama sambil melakukan kritik terhadapnya. Sehingga, sebagian pendapat ada yang ia hapus, dan ada yang ia tambahkan. Terakhir, ia mencatat semua kesimpulan hasil kajiannya. Banyak sahabat Syafi’i meriwayatkan sejumlah pendapatnya. Dengan begitu, Syafi'i tidak meninggal dunia kecuali setelah mewariskan peninggalan yang sangat mahal di bidang fikih dan metode istinbâth untuk kaum muslim.

 

2.      Karya-Karya Syafi'i

Imam Syafi'i memiliki karya yang cukup banyak, tidak seperti imam-imam sebelumnya. Karyanya berisi tentang ushul dan furá', fikih dan dalil-dalilnya, bahkan di bidang tafsir dan sastra. Ibn Zaulaq berkata, "Syafi’i mengarang sekitar dua ratus buku" Al-Marwazi juga berkata dalam khutbahnya, mengomentari karya Syafi’i, "Syafi'i telah mengarang seratus tiga belas kitab di bidang tafsir, fikih, sastra, dan lain-lain.

 

Allah merahmati Syafi’i. Tak seorang imam pun yang dikenal memiliki ilmu pengetahuan yang luas serta karya-karya keilmuan yang berlimpah. Syafi'i tidak mewariskan satu ilmu kecuali setelah ia menuliskannya dalam satu kitab. Ia menulis karyanya di bidang fikih, ushul fikih, tafsir, dan sastra hingga karyanya mencapai dua ratus.

 

Mengarang Buku

Setelah memiliki metode sendiri di bidang ijtihad, riset, dan fatwa, Syafi'i mulai mengarang kitab yang mencatat dasar-dasar yang ia jadikan pijakan metode istinbath, dan pendapat-pendapatnya dalam berbagai masalah yang diperdebatkan. Kemudian ia menulis tentang sunnah-sunnah Rasulullah, pertentangan di antara para sahabat, dan memilih pendapat yang menurutnya lebih kuat.

Tak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Syafi'i menulis karyanya saat ia di Makkah. Selain itu, tak seorang sejarawan pun mencatat bahwa sebagian karyanya ada yang di tulis di Makkah, kecuali riwayat bahwa Syafi'i menulis al-Risalah yang ditujukan kepada Aburrahman ibn Mahdi. Setelah kedatangannya ke Irak pada tahun 195 hijirah, banyak riwayat menyatakan bahwa selama di sana Syafi'i telah banyak menulis karya-karyanya.

 

Syafi’i mulai mengarang kitab, mencatat prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang ia letakkan setelah ia memiliki metode sendiri dalam berijtihad dan riset. Tak ada riwayat yang menyatakan bahwa Syafi’i mencatat semua itu di Makkah, kecuali kitab al-Risalah yang ia tulis ketika di Makkah untuk ditujukan kepada Abdurrahman ibn Mahdi.

 

Deklarasi Mazhab

Syafi'i mulai menorehkan catatannya saat ia hijrah ke Irak untuk kali kedua. Di sana ia mendeklarasikan mazhabnya dan menyebarkan metode ijtihadnya. Ia juga mengusung sunnah dan menjawab semua yang menentangnya. Ini terjadi sekitar tahun 195 Hijriah, saat para ahli hadis berkumpul di sekitarnya untuk menuntut ilmu fikih dan ijtihad darinya. Mereka sangat kagum akan kemampuan akal, dan keterangan Syafi’i.

Al-Humaidi menuturkan, "Kami sangat ingin menjawab pendapat-pendapat ahli rakyu, tapi kami tak sanggup untuk itu hingga Syafi'i datang. Dialah yang mengajarkan caranya kepada kami"’

Kitab pertama yang dikarang Syafi'i di Irak adalah al-Hujjah. Di dalamnya terkandung semua pendapat lama Syafi'i. Jika kita katakan bahwa al-Risalah merupakan kitab Syafi'i yang ditulis di Makkah sebelum Syafi'i pergi ke Irak untuk kedua kalinya, Fakhrurrazi berpendapat bahwa kitab al-Risälah disusun Syafi'i di Irak. Maka, dari sini bisa dikatakan bahwa al-Risalah adalah kitab pertama yang ditulis Syafi'i di Irak, kemudian al-Hujjah, kitab yang kedua.

 

Motif Penulisan Kitab al-Hujjah

Motif di balik penulisan kitab ini adalah menjawab pandangan para ahli rakyu. Tentang hal ini, Syafi’i menuturkan, "Para ahli hadis berkumpul di tempatku. Mereka memintaku untuk menulis kitab jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Aku lalu berkata, Aku tidak tahu apa yang mereka katakan sebelum aku meneliti kitab-kitab mereka. Kemudian kepadaku dibawakan kitab Muhammad ibn al-Hasan. Aku pun mengkajinya selama setahun sampai aku menghafalnya. Setelah itu, aku menulis kitab al-Baghdadi ini."

"Kitab al-Hujjah merupakan kumpulan hasil-hasil ijtihad Syafi'i. Di dalamnya juga terhimpun fatwa-fatwa Syafi’i dan semua masalah fikih dengan dalil-dalilnya. Di antara pembahasannya adalah jawaban Syafi'i terhadap para penentangnya. Dengan begitu, kitab ini menjadi kumpulan risalah-risalah kecil dan mulai beredar di kalangan para ulama. Di antara orang yang mempelajari kitab ini dan mengambil ilmu darinya adalah Imam Ahmad ibn Hanbal, -, Abù Tsaur, dan al-Karabisi.

Biasanya Syafi’i menulis kitabnya berdasarkan tema-tema tertentu, seperti tema pertentangan hadis, kumpulan ilmu, pembatalan istihsan, dan sebagainya. Kemudian semua karya ini dikumpulkan menjadi satu kitab besar. Syafi’i juga dikenal sebagai ulama yang menulis karyanya dengan mengandalkan hafalan, apalagi jika ia tak mendapatkan referensi untuk itu. Al-Rabi' menuturkan, "Syafi'i menulis kitab ini (al-Mabsûth) berdasarkan hafalannya karena ketika itu ia tidak memiliki kitab rujukan."

 

Kitab-Kitab Syafi’i

Dalam kitab Mujam al-Bulaan terdapat daftar panjang nama kitab yang pernah ditulis Syafifi. Kitab-kitab itu antara lain:

·         Al-Thakarah

·         Al-Rahn Al-Shaghir

·         Masalah Al-Maniy

·         Al-Risalah

·         Istiqbal Al-Qiblah

·         Ahkam Al-Quran

·         Al-Imamah

·         Ikhtilaf Al-Hadis

·         Ijad Al-Jumuah

·         Jima'i Al-Iilmi

·         Shalat Al Idayn

·         Ai-Yamin Ma’a Al-Syahid

·         Shalat Al-Kusuf

·         Al-Syahadat

·         Shalát Al-Istisqa"

·         Al-Ijidrat Al-Kabir

·         Shalat Al-Jana'iz

·         Karyi Al-Ibil Wa Al-Rawahil

·         Al-Hukm Fi Tarik Al- Shalat

·         Al-Ijarat

·         Al-Shalat Al-Wajibah Wa Al-Tathawu Wa Al-Shiyam

·         Ikhtilaf Al-Ajir Wa Al-Mustajir

·         Al-Zakàt Al-Kabir

·         Al-Da’wa Wa Al-Bayyin

·         Zakàt Al- Fithri

·         Ali-Iqrár Wa Al-Mawahib

·         Zakat Mal Al-Yatim

·         Radd Al-Mawarits Bayan Fardhillah Azza Wa Jalla

·         Al-Shiyam Al-Kabir

·         Shifat Nahyi Al-Nabi Saw

·         Al-Manasik Al-Kabir

·         Al-Nafaqah ‘Ala Al-Aqarib

·         Al-Manasik Al-Ausath

·         Ikhtilaf Al-Raqiyyin

·         Mukitashar Al-Manasik

·         Ikhtilaf ‘Ali Wa Abdullah

·         Al-Shaid Wa Al- Dzaba’ih

·         Siyar Al-Auza'i

·         Al-Buyu’ Al-Kabir

·         Al-Ghadhab

·         Al-Sharf Wa Al-Tijarah

·         Al-Istihqâq

·         Al-Muzáraah

·         Al-Aqdhiyyah

·         Al-Masaqat

·         Iqrâr Ahad Al-Banin Bi Akh

·         Al-Washaya Al-Kabir

·         Al-Shulhi

·         Al- Washâya Bi Al- Itqi

·         Qital Ahli Al-Baghyi

·         Al-Washiyyah Li Al-Warits

·         Al-Asari Wa Al-Ghulul

·         Washiyyah Al-Hamil

·         Al-Qasamah

·         Shadaqah Al-Hayyi ‘An Al-Mayyit

·         Al-Jizyah

·         Al-Makatib

·         Al-Qath’i Fi Al-Sirqah

·         Al-Mudabbir

·         Al-Hudud

·         Itqi Ummahat Al-Awlad

·         Al-Murtad Al-Kabir

·         Al-Jinayah ‘Ala Ummi Al-Walad

·         Al-Murtadd Al-Shagir

·         Al-Wala' Wa Al-Halaf

·         Al-Sahir Wa Al-Saharah

·         Al-Taridh Bi Al-Khitbah

·         Al-Qiradh

·         Al-Shadaq

·         Al-Ayman Wa Al-Nudzur

·         Isyrat Al-Nisa'

·         Al-Asyribah

·         Tahrim Ma Yujma' Min Al-Nisa

·         Al-Wadi’ah

·         Al-Syighàr

·         Al-‘Umri

·         Ibahat Al-Thalaq

·         Bai' Al-Mashahif

·         Al-Iddah

·         Khatha' Al-Thabib

·         Al-Ila

·         Jinayat Mu’allim Al-Kitab

·         Al-Khulu' Wa Al-Nusyüz

·         Al-Taflis

·         Al-Radha"

·         Al-Luqathah

·         Al-Zhihar

·         Fardhi Al-Shadaqah

·         Al-Li’an

·         Qismi Al-Fai’

·         Adab Al-Qadhi

·         Al-Qur’ah

·         Al-Syurüth

·         Shalat Al-Khauf

·         Jinayat Al-Baythar Wa Al-Hijam

·         Al-Diyat

·         Ishtidam Al-Fursayn Wa Al-Nafsayn

·         Al-Jihad

·         Bulugh Al-Rusyd

·         Jirah Al-‘Amdi

·         Ihtilaf Al-Zaujayn Fi Mata'i Al-Bayt

·         Al-Kharsh Al-Itqi

·         Shifat Al-Nafsi

·         Imarat Al-Ardhin

·         Fadha’il Quraisy Wa Al-Anshar

·         Ibthal Al-Istihsan

·         Al-Walimah

·         Al-Uqul

·         Shaul Al-Fah!

·         Al-Awliya’

·         Al-Dhahaya

·         Al-Radd ‘Ala Muhammad Ibn Al-Hasan

·         Al-Bahirah Wa Al-Sa'ibah

·         Shahib Al-Ra’yi

·         Qismi Al-Shadaqah

·         Siyar Al-Waqidi

·         Al-I’tikaf

·         Habli Al-Hablah

·         Al-Syuf’ah

·         Khilaf Malik Wa Al-Syafi'i

·         Al-Sabqi Wa Al-Ramyi

·         Quththa' Al-Thariq

·         Al-Raj’ah

·         Karyi Al-Ardhi

·         Al-Laqith Wa Al-Manbudz

·         Al-Hiwalah Wa Al-Kafalah

 

Sebagian besar kitab ini telah dihimpun dalam satu kitab besar yang bernama al-Umm, hasil riwayat al-Rabi' ibn Sulaiman al-Muradi.

Setiap bab fikih pasti ditulis dan disusun oleh Syafi'i dalam satu kitab. Begitu pula masalah-masalah yang ia perdebatkan dengan Imam Malik. Syafi'i juga mencatat satu kitab jawaban terhadap Muhamamd ibr al-Hasan. Sebagian besar kitab ini telah dikodifikasi menjadi satu kitab besar, al-Umm. Berikutnya kita akan memaparkan secara rinci tentang dua mahakarya Syafi'i yang merupakan warisannya yang paling besar untuk kaum muslim.

Kitab Al-Umm

Kitab al-Umm berisi fikih mazhab Syafi’i Kitab ini sangat besar dan terdiri dari tujuh jilid tebal. Kitab ini berisikan pikiran Syafi'i yang sangat teliti, terperinci, dan menyeluruh. Kitab ini adalah kumpulan kitab kecil ditambah beberapa masalah yang kadang ditulis sendiri oleh Syafi'i atau ditulis oleh murid-muridnya. Ketika Syafi'i menetap di Mesir, ia mengumpulkan semua kitab ini dan mendiktekannya kepada sahabat, murid, atau pelayannya, al-Rabi ibn Sulaiman. Oleh karena itu, kitab ini disebut dengan kitab al-Umum (Buku Induk) karena dianggap sebagai induk dari semua kitab Syafi'i. Kitab ini menjadi referensi bagi setiap masalah fikih Syafi'i.

 

Metodologi Kitab Al-Umm

Secara sistematis, metode al-Umm sesuai dengan metode Abu Hanifah. Abu Hanifah adalah orang pertama yang menulis karya di bidang fikih. Ia menulis fikih karena takut ilmu itu hilang. Ia memulai bahasannya dengan menulis bab al-Thahârah (Bersuci), selanjutnya bab al-Shalat karena keduanya merupakan permulaan segala amal. Kemudian baru ia beralih kepada pembahasan tentang ibadah, muamalah, dan warisan.

Secara umum, metode dan sistematika penyusunan kitab al-Umm sama dengan metode Abu Hanifah. Imam Syafi'i mengakui hal itu dengan berkata,"Orang-orang atau para ulama adalah keluarga Abu Hanifah dalam hal fikih."

Syafi'i membagi kitab al-Umm ke dalam bab-bab besar, dan setiap bab ini ia sebut dengan istilah kitab. Ia memulai pembahasannya dengan kitab al-Thahärah, kemudian kitab al-Shalat, lalu menjelaskan keduanya secara terperinci.

Setelah itu, kitab al-Zakat. Tentang kitab ini, ia paparkan bahasannya dengan teliti dan terperinci. Ia tak meninggalkan sedikit pun permasalahan zakat tanpa mencatatnya.

Berikutnya, ia membahas kitab al-Shiyam. Baru kemudian masuk ke kitab al-Hajj dengan sangat rinci. Di dalamnya Syafi'i berbicara tentang haramnya berburu di tanah suci dan membahas al-Shayd wa al-Dzaba'ih (Perburuan dan Sembelihan).

Berikutnya Syafi'i beralih ke pembahasan tentang masalah al-Nudzur (Nazar), tentang al-Buyu (jual-beli). Di dalamnya, Syahfi'i membahas macam-macam jual-beli dan riba, hukum-hukumnya, perbedaan antara keduanya, dan lain-lain. Pembahasannya yang sangat terperinci mengundang decak kagum para pembacanya.

Kemudian Syafi’i beralih ke pembahasan tentang al-Mawârits (Warisan) dan al-Washiyat (Wasiat), al-jizyah (Upeti), al-Qital wa al-Jihad (Perangan dan Jihad). Lalu beralih ke kitab an-Nikáh dan penjelasannya. Berikutnya Syafi'i membahas masalah hudud, diyat, qadha' (pengadilan) dan para hakim.

Kita tengah berbicara tentang satu fikih lengkap dan menakjubkan yang sangat dibutuhkan setiap muslim untuk melengkapi pengetahuan syariat. Kitab fikih ini sangat lengkap dan merupakan harta simpanan yang diwariskan Syafi’i untuk kita semua dan menjadi rujukan para ulama di sepanjang zaman.

 

Kitab Al-Risâlah

Kitab Syafi'i yang paling mashyur, bukan paling besar, adalah kitab al-Risalah. Besar kitab ini memang tak sebanding dengan kitab al-Umm. Kitab ini membahas ushul fikih dan dianggap sebagai kitab pertama yang ditulis di bidang ilmu ini.

Al-Umm merupakan kitab fikih yang paling terpercaya dan paling lengkap, tapi sebelum Syafi'i ada pula kitab lain yang membahas hal yang sama. Di sini Syafi’i mengikuti jejak para penulis kitab-kitab terpercaya dan paling lengkap, tapi sebelum Syafi’i ada pula kitab lain yang membahas hal yang sama. Di sini Syafi'i mengikuti jejak para penulis kitab-kitab tersebut. Kitab al-Risálah dianggap sebagai bentuk dan model baru yang berbeda dengan kitab-kitab yang ditulis sebelumnya. Hingga sekarang, para ulama masih menjadikan al-Risalah sebagai kitab rujukan.

Al-Risálah merupakan model baru yang unik dalam hal metode ilmiah dan tata cara istinbáth dari dalil-dalil fikih. Dengan begitu, kitab ini menjadi kitab ushul fikih. Syafi’i juga memiliki beberapa kitab lain di bidang ushul fikih, di antaranya adalah Ahkam al-Qur’an, Ikhtilaf al-Hadits, Ibthal al-Istihsan, Jimáu al-Ilmi, dan Kitab al-Qiyas. Akan tetapi, kitab utamanya dalam ushul fikih adalah al-Risalah.

 

Penulisan Kitab Al-Risalah

Kitab ini ditulis dua kali. Pertama, di Makkah, menurut pendapat yang paling kuat. Ketika itu Syafi'i masih muda. Kemudian kitab ini dikaji ulang di Mesir di penghujung usianya. Risalah pertama dinamakan dengan al-Risälah al-Qadimah (Risalah Lama) yang di tulis dimekkah saat muda, sementara yang kedua dinamakan dengan al-Risalah al-Jadidah (Risalah Baru) atau biasa dikenal dengan ar-Risalah al-Mashriyyah yang ditulis di mesir, di penghujung usia.

 

Kisah Penulisan Al-Risálah

Dikisahkan bahwa Abdurrahman ibn Mahdi, salah seorang ulama besar masa itu, menulis surat kepada Syafi'i yang isinya meminta Syafi'i untuk mengarang satu kitab tentang makna-makna Al-Quran, sejarah, kekuatan ijma, serta menjelaskan masalah násikh dan mansukh dalam Al-Quran. Syafi’i menjawab permohonannya ini dengan satu surat. Karena itulah karya Syafi'i untuk memenuhi permintan Abdurrahman ibn Mahdi ini disebut dengan al-Risalah yang berarti surat.

Ketika kitab ini sampai ke tangan Imam Abdurrahman ibn mahdi, ia berkata, "Ketika kubaca al-Risalah karya Syafi'i, aku langsung kagum. Di dalamnya aku melihat ucapan seorang laki-laki yang berakal, fasih, dan seorang penasihat ulung. Aku akan memperbanyak doa untuknya".

Orang yang meneliti kitab al-Risalah akan merasakan kemampuan akal Syafi'i yang luar biasa dengan metode pemikiran yang mendalam, kemampuan dialog yang menakjubkan, tata cara istinbath yang baik, dan ketelitian dalam mengambil dalil dari ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi SAW. Selain itu, kitab ini disertai penjelasan yang baik dan balaghah yang merupakan anugerah Allah kepadanya. Selain itu, kitab ini juga membuktikan betapa Syafi'i sangat menguasai hadis dan betul-betul hafal ayat-ayat Al-Quran di luar kepala.

 

Metode Penulisan Al-Risalah

Kitab ini diawali dengan mukadimah dan tahlil. Di dalamnya tercatat puji-pujian dan pengagungan kepada Allah, doa, istighfar, dan pemaparan singkat tentang kondisi manusia sebelum risalah Muhammad datang: kondisi ahli kitab, para penyembah berhala, penyembah bintang; menceritakan bagaimana Muhammad datang sebagai Nabi dan Rasul yang memberi petunjuk ke jalan kebenaran; menjelaskan bahwa Allah telah mengutamakan Muhammad di atas semua makhluk, mengutusnya pertama kali untuk memberi kabar gembira kepada kerabatnya. Di dalam mukadimah juga dijelakan tentang turunnya Al-Quran dan bagaimana Al-Quran menjadi petunjuk bagi para hambah. Selain itu, mukadimah ini juga dilengkapi dengan pembicaraan tentang ilmu dan tingkatan manusia berdasarkan ilmu dan derajat mereka di hadapan ilmu. Mukadimah ini ditutup dengan ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang menunjukkan hukum secara tegas) untuk mendasari apa yang dibahasnya. Di antaranya adalah ayat, Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS. Al-Nahl [16): 89).

 Juga firman Allah, Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al-Quran itu cahaya yang dengannya Kami tunjuki orang yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (QS. Al-Syüra [42]: 52).

Dalam mukadimah ini Imam Syafi’i menjelaskan keagungan al-Quran dan kedudukannya, bagaimana ia menjadi hujjah bagi seluruh hamba, sekaligus memberikan pemaparan yang hebat tentang masalah ini. Setelah mukadimah yang banyak dihiasi dengan ayat-ayat Al-Quran, Syafi'i mulai membahas tentang tema-tema kitab. Dalam masalah ini, ia mulai mengarang dengan gaya baru dan asing. Ia memulainya dengan membahas tentang al-Bayan yang maksudnya adalah penjelasan agama: bagaimana Allah menjelaskan segala perintah yang harus dilaksanakan oleh hamba dan larangan yang harus mereka tinggalkan serta hukum-hukum dan ketetapan Nabi SAW. Sehingga, ijtihad dalam masalah-masalah ini menjadi wajib bagi kaum muslim. Kita dituntut berijtihad, hidup dengan benar di atas syariat yang mulia, dan istiqamah di atas agama Allah. Syafi’i memberikan contoh-contoh dan perumpamaan dari Al-Quran.

Setiap perumpamaan berhubungan langsung dengan tema yang dibahasnya, kemudian ia berdalil dengan ayat-ayat Al-Quran. Syafi'i menegaskan bahwa syariat Islam tetap relevan di setiap waktu dan tempat. Apa yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya sangat jelas dan tegas. Syafi’i juga berbicara tentang hukum-hukum yang sudah dibatalkan, hukum-hukum yang tadinya bersifat umum dan telah dikhususkan, hukum yang terlihat umum tapi maksudnya bersifat khusus, atau sebaliknya. Kemudian Syafi'i beralih ke masalah nasikh dan mansukh. Adakah ayat Al-Quran yang dinasakh, atau adakah ayat yang menghapuskan satu hukum yang terdapat dalam ayat lain.

Ia menjelaskan satu masalah yang sangat penting bahwa hukum yang ada dalam Al-Quran tidak bisa dibatalkan kecuali oleh ayat al-Quran. Hukum seperti ini tidak bisa dihapuskan oleh sunnah karena sunnah tidak bisa menasakh Al-Quran. Sunnah hanya berfungsi sebagai penafsir dan penjelas Al-Quran. Ia tidak bisa menghapuskannya. Kemudian Syafi’i memaparkan tentang masalah yang lain. Ia berbicara tentang hadis Nabi SAW. dan menjelaskan bagaimana seharusnya kita menyikapi hadis-hadis Nabi. Ia mulai masuk jauh ke dalam, menyeruak ke ranah pemahaman hadis. Setelah itu, ia mulai masuk ke bab-bab besar: bab ilmu, bab ijma, bab qiyas, bab ijtihad, bab al-istihsan, dan bab al-khilàf Penyusunan kitab ini mengikut sertakan peran al-Rabi' ibn Sulaiman karena kepadanya Syafi'i mendiktekan isi kitab ini.

 

Al-Risálah adalah kitab pertama yang disusun Syafi'i di bidang ushul fikih. Ia berisikan kesimpulan fikih Syafi'i dan mazhabnya. Kitab itu diawali dengan mukadimah yang luar bíasa, berbicara tentang kondisi ahli kitab, tentang pengutusan Nabi SAW., serta ilmu dan kedudukan manusia di hadapan ilmu. Syafi’i juga berbicara banyak tentang Al-Quran dan kedudukannya, lalu mulai membahas tema-tema inti kitab. Ia memulai bahasannya dengan pembicaraan mengenai al-bayan: bayan Allah dan bayän Rasul-Nya. Ia menjelaskan bahwa syariat Islam tetap berlaku di setiap zaman dan tempat. Kemudian ia berbicara tentang hukum-hukum, nasikh dan mansukh, juga berbicara tentang hadis dan bab-bab lainnya. Sungguh, karyanya ini sangat kreatif dan berkualitas. Ia membawa satu hal yang baru yang belum pernah ada. Semoga Allah merahmati Syafi'i yang menetapkan dasar-dasar fikih bagi kita semua.

3.      Sumber-Sumber Fiqih Syafi'i

Kitab dan Sunnah Syafi'i banyak mengambi fikihnya dari lima sumber yang semuanya ia catat dalam kitab al-Umm. Ia berkata, "Ilmu itu beberapa tingkatan: Pertama: Kitab dan sunnah yang sahih. Kedua: ijma' dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya dalam Kitab dan sunnah. Ketiga: ucapan beberapa sahabat Rasulullah yang tak ditentang oleh seorang pun. Keempat: perbedaan pendapat di antara para sahabat Nabi SAW. tentang hal tersebut. Kelima: qiyas, dengan catatan masalah tertentu tidak dianalogikan dengan sesuatu selain Al-Quran dan sunnah selagi masih ada dalam keduanya. Ilmu itu selalu diambil dari yang teratas.”

 

Dalam kitab al-Umm Syafi'i mencatat sumber-sumber yang dijadikan rujukan fikihnya. Ia menghitung ada lima sumber: Kitab, sunnah, jima', ucapan sahabat yang telah disepakati, perbedaan pendapat mereka, dan qiyas.

 

Dua Sumber Inti

Berdasarkan penjelasan di atas kita melihat Syafi'i menganggap tingkatan pertama dalam istinbath adalah Kitab dan sunnah. Keduanya dianggap sumber inti bagi fikih Islam. Sumber-sumber adalah sesuatu yang tersirat dalam keduanya. Pendapat para sahabat, yang disepakati atau diperdebatkan, tidak mungkin bertentangan dengan Kitab dan sunnah. Bahkan, Kitab dan sunnah menjadi sumber bagi pendapat-pendapat tersebut. Demikian pula ijma. ijma' tidak akan terjadi tanpa bersandar kepada keduanya dan tidak bertentangan dengannya. Ilmu itu selalu diambil dari sumber yang paling tinggi. Al-Quran dan sunnah adalah sumber tertinggi. Tingkatan pertama dalam istinbâth menurut Syafi'i adalah Al-Quran dan sunnah. Selanjutnya adalah sesuatu yang tersirat dalam Kitab dan sunnah dan tidak akan bertentangan dengannya. Ilmu selalu diambil dari sumber yang paling tinggi. Al-Quran dan sunnah adalah yang paling tinggi.

 

a.      Kitab (Al-Quran)

Para ahli fikih setelah Syafi'i selalu menyebut Kitab sebagai sumber pertama, dan sunnah yang kedua. Demikian pula halnya ulama sebelum Syafi'i seperti Abu Hanifah. Ia menjadikan Kitab sebagai sumber pertama. Jika tidak menemukan dalil dalam Kitab, ia akan mengambilnya dari sunnah. Di kalangan para sahabat Rasulullah pun demikian adanya. Diriwayatkan bahwa ketika Mu'adz ibn Jabal diangkat menjadi hakim di Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya, dengan apa ia akan mengadili seseorang. Mu'adz menegaskan bahwa pertama kali ia akan menggunakan Kitab Allah. Jika ia tidak menemukan dalil di dalamnya maka ia akan mengambil dari sunnah Rasulullah. Jika tidak menemukan dalil dari keduanya maka ia akan berijtihad.

 

Kitab (Al-Quran) adalah sumber hukum yang pertama dan sunnah yang kedua. Inilah yang diungkapkan Abu Hanifah sebelum masa Syafi'i, serta para fuqaha setelahnya. Landasannya adalah hadis yang diriwayatkan dari Mu'adz ibn Jabal saat Rasulullah bertanya kepadanya tentang apa yang akan dia jadikan sandaran dalam menunaikan tugasnya sebagai hakim.

 

Sunnah Adalah Cabang Sekaligus Pokok

Saat membahas fikih, Syafi'i menemukan Al-Quran telah mencakup berbagai keterangan yang masih bersifat umum (kulliyyat), juga hal-hal yang bersifat parsial (juz'ijyyat). Sunnah berperan menyempurnakan keterangan Al-Quran, merinci yang global, dan menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami. Karena itu, fungsi sunnah adalah sebagai penjelas Al-Quran dan masalah-masalah umum yang dikandungnya. Sunnah tak mungkin memiliki kemampuan bayan (menjelas kan), kecuali ia berada pada level mubayyin (penjelas). Banyak sahabat berpandangan sepert ini.

Jika kita menganggap pengetahuan terhadap sunnah sederajat dengan pengetahuan terhadap Al-Quran saat menyimpulkan hukun-hukum cabang, hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Al-Quran adalah dasar agama ini, hujjah dan mukjizat Nabi SAW. Sementara sunnah hanya cabang yang Juga menjadi sumber bagi agama. Pada kondisi ini, sunnah mendapatkan kekuatannya dari Al-Quran. Sunnah berada selevel dengan Al-Quran hanya di mata seseorang yang sedang menyimpulkan hukum-hukum.

 

Masalah-Masalah Umum (Kulliyah)

Banyak ahli fikih menguatkan pandangan dan pendapat Imam Syafi'i. Al-Syathibi berkata dalam al-Muwafaqat, "Dalam melakukan istinbath dari Al- Quran tidak harus berkutat pada ayat-ayat saja tanpa melihat penjelasan yang ada dalam sunnah. Karena, jika dalam Al-Quran terdapat masalah-masalah yang masih global, seperti masalah shalat, zakat, haji, puasa, dan sebagainya, maka tak ada jalan lain kecuali harus melihat keterangan yang ada dalam sunnah".

Jika dalam sunnah tak ditemukan penjelasannya maka Syafi'i akan mengambil penafsiran ulama salaf terhadap masalah umum. Karena, para ulama salaf lebih tahu dari yang lainnya. Jika tidak ada penafsiran ulama salaf maka yang harus diambil adalah pemahaman orang-orang Arab terhadap masalah umum itu. Kendati Syafi'i menganggap Al-Quran dan sunnah berada satu derajat dari segi kandungan dalilnya, ia menegaskan bahwa Al-Quran tidak bisa me-nasakh sunnah, dan sunnah tidak bisa me-nasakh Al-Quran.  Ia juga menegaskan bahwa jika Al-Quran me-nasakh sunnah maka harus ada dalil dari sunnah yang menegaskan adanya nasakh tersebut.

 

b.      Ijma

Syafi’i menegaskan bahwa ijma' dianggap sebagai hujjah dalam agama. Ia mendefinisikan ijma' sebagai kesepakatan para ulama satu zaman terhadap satu hukun yang bersifat praktis yang disarikan dari dalil yang dijadikan sandaran mereka. Tentang hal ini ia berkata, "Aku dan tak seorang pun ulama mengatakan bahwa satu masalah telah disepakati bersama, kecuali saat kau bertemu dengan seorang ulama, ia mengatakan pendapatnya kepadamu, atau nenceritakan pendapat orang sebelumnya, seperti bahwa shalat zuhur itu empat rakaat, khamar itu haram, dan sebagainya."

Ijma' pertama yang dianggap Syafii adalah ijma para sahabat, kendati tak ada ucapan Syafi'i yang menyatakan bahwa ijma' selain sahabat tidak bisa menjadi hujjah.

 

Kedudukan Ijma’

Syafi'i meletakkan posisi ijma' sebagai sumber hakum setelah Al-Quran dan sunnah. Jika ijma bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah maka ia tak bisa dijadikan hujjah. Tentang hal ini ia berkata, "ijma terhadap satu masalah tak mungkin teradi jika bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah."

 

Macam-Macam Ijma

Ijma ada dua macam:

Pertama, ijma terhadap nash-nash. Yaitu ijma terhadap masalah-masalah yang sudah pasti dalam agama yang oleh para ulama sering disebut dengan ma’lum min al-din bi al-dharurah (masalah yang hukumnya sudah pasti dalam agama), seperti ijma shalat wajib lima waktu, jumlah rakaat, manasik haji, zakat, dan lain-lain. Semuanya merupakan masalah yang sudah disepakati bersama karena banyak nask Al-Quran dan hadis yang mengukuhkannya. Ijma para ulama dalam kondisi ini adalah ijma terhadap nash, pemahaman, kabar yang sahih, dan hukum-hukumnya.

Kedua, ijma terhadap hukum yang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, seperti ijma para sahabat terhadap pendapat Umar yang melarang membagikan tanah yang baru dirampas kepada para tentara yang turut dalam perang untuk membebaskannya. Ini adalah ijma yang berlandaskan pada nash. Orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir, tidak seperti orang yang mengingkari kewajiban shalat lima waktu atau mengingkari jumlah rakaatnya. Jenis ijma seperti ini jelas berada pada level di bawah Al-Quran dan sunnah.

 

Ijma' Penduduk Madinah

Syafi'i tidak menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma. Dalam hal ini ia berbeda dengan gurunya, Imam Malik. Secara praktis ia mengakui bahwa penduduk Madinah tidak akan sepakat terhadap satu masalah kecuali masalah itu telah menjadi kesepakatan semua ulama di negeri-negeri Islam, seperti shalat zuhur empat rakaat, maghrib tiga rakaat, subuh dua raka'at, dan lain-lain. Sesuatu yang masih diperdebatkan oleh para ulama maka bersatus diperdebatkan bagi penduduk Madinah. Dengan demikian, dari segi praktis, pendapat Syafi’i sesuai dengan pendapat Malik walau secara teoritis keduanya berbeda.

 

Penilaian Syafi’i tentang Ijma'

Jika Syafi'i berdebat dengan seseorang, lalu orang itu mengakui adanya ijma, maka Syaif'i justru mengingkarinya hingga orang itu turut mengingkarinya. Padaha kikatnya, praktik mengaku-aku adanya ijma telah banyak terjadi pada zaman para imam mujtahid. Bahkan, ada yang mengaku-aku ijma' dalam berbagai masalah, padahal ijma' tidak terjadi sama sekali. Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah, telah mengingkari anggapan al-Auza'i yang mengaku terjadi ijma' dalam beberapa masalah, bahkan dengan ungkapan yang pedas.

 

c.       Pendapat Sahabat

Sebagian penulis kitab ushul fikih dari Syafi’i menduga bahwa imam mereka ini mengambil pendapat sahabat (qaul shahâbat) sebagai sumber hukum dalam mazhab qadim dan tidak mengambilnya dalam mazhab jadid. Mazhab qadim Syafi'i adalah mazhab yang berisikan riwayat al-Za’farani terhadap kitab-kitab Syafi’i di Irak, sementara mazhab jadid-nya adalah hasil periwayatan al-Rabi ibn Sulaiman al-Muradi yang biasa mengajarkan kitab-kitab Syafii di Mesir.

Akan tetapi, dalam kitab al-Risàlah, kita temukan riwayat al-Rabi' ibn Sulaiman bahwa Syafi'i juga mengambil qaul shahâbat sebagai sumber fikihnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa Syafi’i juga mengambil qaul shahabat sebagai sumber hukum dalam fikih barunya di Mesir, sebagaimana ia pernah menjadikannya sumber dalam fikih qadim di Irak Inilah pendapat yang kita anggap paling otentik.

 

Klasifikasi Pendapat Sahabat

Kesimpulan pendapat Syaif'i dalam masalah pendapat sahabat (qaul shahabat) ialah Syafi’i membagikan qaul shahabat ke dalam tiga bagian:

Pertama, pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat, seperti kesepakatan mereka untuk tidak membagikan tanah hasil pampasan kepada tentara yang turut membebaskannya. Pendapat ini menjadi hujjah karena termasuk ijma yang tak seorang pun menentangnya.

Kedua, seorang sahabat memiliki satu pendapat, sementara sahabat lain tak ada yang memiliki pendapat yang menentang atau menyetujuinya. Di sini Syafi'i akan mengambil pendapat tersebut. Dalam kitab al-Risalah tertulis ihwal perdebatannya dengan beberapa pepentangnya. Sang penentang berkata, "Bagaimana jika kaulihat salah seorang sahabat mengucapkan satu pendapat dan tak ada yang menentang atau menyetujuinya: apakah kau menemukan dasarnya dalam Kitab, sunnah, atau ijma' yang membuatmu akan mengambil pendapat tersebut?". Syafi'i menjawab, "Kami tidak menemukan dalilnya tentang masalah ini dalam Kitab atau sunnah, tetapi kami menemukan para ulama mengambil pendapat seorang sahabat. Kadang kala meninggalkannya. Lantas sang penentang berkata, Lalu sikapmu bagaimana? Syafi'i menjawab, "Aku akan mengikuti pendapat salah seorang dari meteka jika tidak kudapati dalil dari Kitab, sunnah, atau ijma' yang menetapkan hukumnya. Sangat sedikit pendapat seorang sahabat yang tidak ditentang oleh pendapat lainnya.

Ketiga, pendapat yang diperbedatkan oleh para sahabat. Di sini Imam Syafi'i sama dengan Abu Hanifah: menyeleksi pendapat-pendapat tersebut dan tidak berpendapat dengan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat para sahabat ia akan memilih pendapat mereka yang paling mendekati Kitab, sunnah, ijma, atau dikuatkan oleh qiyas tingkat tertinggi.

 

Pertentangan Pendapat Para Sahabat Rasulullah

Dalam masalah ini Syafi'i berkata, "Kitab dan sunnah tadinya tidak ada. Maka, bagi yang mendengar dalilnya dengan jelas, ia harus mengikutinya. Jika tidak menemukannya dalam Kitab dan sunnah maka kami akan mengambil pendapat para sahabat Rasulullah atau salah seorang dari mereka. Kemudian kami akan mengambil pendapat Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Jika harus takild, kami akan mengikuti pendapat yang Jebih mengandung dalil".

Dari ucapan ini disimpulkan bahwa jilka para sahabat berselisih pendapat maka pertama kali Syafi’i akan memilih yang paling dekat dengan Kitab dán sunnah. Jarang sekali ia menjumpai pendapat sahabat yang tidak mendekati Kitab dan sunnah. Oleh karena itu, kita tidak melihatnya memilih yang kedua: taqlid. Dalam hal ini, ia memililh sikap yang didukung oleh para iman. Ia akan memilih pendapat yang di dalam nya ada Abu Bakar, Umar, atau Utsman.

 

Pendapat Seorang Imam (Khalifah)

Tentang hal ini Syafi’i berargumen, "Pendapat seorang imam merupakan pendapat paling terkenal yang harus diikuti oleh masyarakat. Pendapat seseorang yang diikuti oleh masyarakat berarti lebih masyhur daripada pendapat orang biasa. Kadang kala pendapat atau fatwa orang biasa ini diterima, kadang kala ditolak, Kebanyakan mufti mengeluarkan fatwa untuk orang-orang tertentu di majelis mereka. Perhatian masyarakat terhadap fatwa seorang mufti tidak sama dengan perhatian mereka terhadap pendapat seorang imam. Biasanya, saat para imam mendapatkan satu hukum dari Kitab dan sunnah tentang pendapatnya, kemudian ada orang yang memberitahunya hukum yang berbeda dengan pendapatnya, maka para imam tak segan untuk menarik kembali pendapatnya karena ketakwaan mereka pada Allah. Jika di tangan para imam tak ditemukan dalil maka kami akan mengambil pendapat para sahabat Rasulullah yang lain karena mereka berada pada tingkatan tertinggi dalam hal amanah. Selain itu, mengikuti mereka lebih layak daripada mengikuti orang-orang setelah mereka".

Ucapan ini menunjukkan bahwa Syafi'i biasa mengambil pendapat sahabat, bahkan ia lebih mengikuti pendapat para al-Khulafa al-Râsyidun jika ia tidak menemukan dalil yang lebih kuat dari dalil mereka.

 

d.      Qiyas

Qiyas maknanya menyimpulkan hukum satu kasus yang tidak ada dasar nashnya berdasarkan kasus lain yang memiliki nash dengan cara menyamakan kasus tersebut. Titik persamaan antara dua kasus disebut dengan illah (faktor penyebab lahirnya hukum).

Syafi’i dikenal sebagai seorang mujtahid yang mencari makna-makna nash atau menguatkan sebagian pendapat atas sebagian yang lain. Syafi'i juga terkenal memiliki kemampuan dalam mencari pendapat sahabat yang paling kuat.

Dalam Qiyas, Syafi'i adalah sosok mujtahid yang berusaha menghasilkan satu pendapat yang bisa dijadikannya sandaran. Karena itu ia menegaskan bahwa qiyas adalah ijtihad. Qiyas, seperti yang tampak dari contohnya, dalam pandangan Syafi'i sesuai dengan definisi ulama ushul fikih, yaitu menyamakan satu kasus yang hukumnya tidak tertulis dalan nash dengan kasus lain yang hukumnya telah tertulis dalam nash dengan melihat kesamaan 'illah hukum dua Kasus tersebut.

 

Pengukuhan Qiyas

Syafi'i menegaskan bahwa qiyas termasuk salah satu sumber hukum Islam. Qiyas dilakukan untuk mengetahui hukum yang tidak termaktub secara shahih (jelas) dalam Kitab dan sunnah. Syafi'i mengukuhkan qiyas ini berdasarkan dua alasan:

Pertama, hukum-hukum syariat bersifat umum dan tak bisa diterapkan kepada setiap kasus dan tidak hanya berlaku pada satu zaman. Jika demikian maka harus ada keterangan rinci tentang hukum syara’  tersebut dalam setiap kasus dan peristiwa yang dialami manusia. Ini bisa dengan nash yang jelas atau bisa disesuaikan dengan nash tersebut, yaitu dengan menganalogikan kasus yang tidak ada dalilnya dengan kasus yang dalilnya jelas. Dalam hal ini ia berkata, "Setiap masalah yang dialami setiap muslim pasti ada hukumnya dan memiliki dalil. Jika hukum sudah ada pada dirinya maka ia harus dikuti. Jika hukum tidak terdapat pada dirinya maka harus dicarikan dalilnya dengan ijtihad, Dengan demikian ijtihad adalah qiyas".

Makna ucapan ini adalah syariat bersifat umum. Jika ada nash yang jelas maka harus diikuti. Jika tidak ada maka seorang mujtahid harus berusaha mencari hukumnya berdasarkan kaidah umum hukum syariat. Bisa jadi terdapat nash yang membimbing seorang mujtahid untuk melakukan qiyas berdasarkan nash-nash tersebut.

Kedua, ilmu syariat yang berhubungan dengan hukum-hukum terbagi dua: ilmu yang bersifat qath’i (pasti) yang ditetapkan melalui nash-nash yang juga bersifat qathi, sehingga hukum-hukum yang dihasilkannya pun bersifat gath'i. Ilmu yang bersifat zhanniy (dugaan). Di sini cukup dengan berdasarkan dugaan yang paling kuat. Contohnya adalah hadis-hadis ahâd dan qiyas. Premis kedua ini menegaskan bahwa jika ilmu qath'i tentang nash-nash tak bisa diketahui maka seorang mujtahid cukup mengandalkan dugaan yang paling kuat.

 

Melaksanakan Yang Zahir

Syafi'i berkata, "Ilmu yang bersifat qath’i adalah ilmu yang mencakup hal yang zahir dan yang batin (tersembunyi). Ilmu ini tidak bisa diingkari dan wajib dilaksanakan oleh seorang muslim. Ilmu yang berdasarkcn dugaan yang kuat adalah ilmu tentang hal yang zahir, tidak mencakup yang batin. Dengan arti lain ia harus dilaksanakan berdasarkan lahiriahnya. Jika seseorang mengingkarinya, Ia tidak dianggap kafir. Allah telah memberikan banyak contoh tentang wajibnya melaksanakan hukum-hukum syariat. Seorang hakim, misalnya, bisa memvonis mati seorang terdakwa berdasarakan kesaksian para saksi yang kejujuran dan keadilannya cukup dilihat dari ammarat (indikator) yang menunjukkan mereka tidak mungkin berbohong. Padahal para saksi bisa jadi salah atau berbohong, Akan tetapi, seorang hakim hanya melaksanakan apa yang tampak di matanya dan menyerahkan urusan batin (yang tersembunyi) pada Allah. Selain itu, dalam vonisnya ini juga terkandung maslahat bersama. Karena, jika seorang hakim membiarkan pelaku kejahatan tetap bebas hanya karena dugaan bahwa para saksi berbohong maka semua hukum akan sia-sia, darah akan tumpah begitu saja, dan kondisi masyarakat menjadi kacau. Di sini nilai-nilai sosial yang terkandung dalam firman Allah, Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (QS. Al-Baqarah [2: 179) tidak akan terwujud.

Para mujtahid dibebani tugas menyimpulkan hukum dari dalil-dalilnya. Mereka juga dituntut untuk melaksanakan apa yang ditunjukkan oleh sebab-sebab dan faktor-faktor yang tampak di mata mereka. Mereka tidak dikenakan dosa atas ketidak mampuan mendeteksi hal yang tak tampak di matanya. Seseorang menikah dengan perempuan yang tampak halal baginya, lalu menggaulinya. Kemudian ternyata perempuan itu adalah saudara susuannya, maka ia tidak berdosa di mata Allah. Karena, ia tidak mengetahuinya. Jika hal itu berhasil dilacak, akad bisa dibatalkan sebelum terjadi persetubuhan. Dalam kasus ini, hal yang zahir memiliki hukum sendiri, begitu pula hal yang batin (yang tersembunyi). Hukum-hukum yang zahir dalam kasus ini berkenaan dengan ketentuan nasab, iddah, dan mahar, sementara yang batin berkenaan dengan masalah warisan dan nafkah.

 

Qiyas Adalah Ijtihad

Syafi'i menegaskan bahwa qiyas adalah ijtihad. Ia tidak menganggap qiyas sebagai penetapan hukum oleh seorang mujtahid, tetapi hanya penjelas bagi hukum syara dalam satu masalah yang hukumnya dicari oleh seorang mujtahid. Tentang hal ini ia berkata, "termasuk kebaikan dari Kitab dan sunnah jika makna satu masalah dicarikan oleh seorang mujtahid”.

Jadi, qiyas tetap bersandar pada Kitab dan sunnah berdasarkan kajian mujtahid terhadap nash-nash dan maknanya, kemudian menyimpulkan hukaurm masalahyang dihadapi. Makna yang dikandung oleh satu nash itulah yang menjadi dasar dari qiyas.

Syafi’i menganggap segala ijtihad sebagai proses qiyas. Menurutnya, setelah nash-nash Kitab, sunnah, ijma, dan fatwa para sahabat, tidak ada jalan lain untuk mencari hukum selain dengan qiyas. Dalam hal ini ia berkata, jika Nabi SAW. memerintahkan untuk berijtihad. Maka, ijtihad adalah mencari sesuatu. Mencari sesuatu tidak bisa dilakukan kecuali dengan dalil-dalil. Dan pencarian dengan dalil-dalil itulah qiyas.

Jika seseorang ingin membeli budak, para ulama tidak berkata kepada orang itu, "tentukan harganya!" Kecuali jika orang itu adalah seorang penentu harga di pasar. Biasanya, penentu harga bisa menentukan harga barang berdasarkan harga yang berlaku di pasar pada hari itu. Dan, ini tak bisa dilakukan kecuali dengan menyamakan harga budak yang satu dengan budak lainnya. Seorang pemilik barang biasanya adalah seorang penentu harga. Tidak diperbolehkan bagi seorang ahli fikih yang tidak tahu harga seorang budak untuk menentukan harganya. Ia juga tidak boleh menentukan upah seorang pekerja karena jika ia menentukan harga tidak berdasarkan harga pekerja yang lainnya, berarti ia telah berbuat semena-mena.

Intinya ijtihad tidak mungkin dilakukan kecuali ada standar atau patokan untuk menjadi landasan qiyas. Barang siapa ingin menentukan harga satu barang maka ia harus melihat barang yang serupa di pasar. Kemudian ia boleh menentukan harga standar barang tersebut. Begitu juga halnya dengan seorang ahli fikih: ia harus memerhatikan kasus dasar dahulu untuk menentukan analoginya. Jika nilai harga sesuatu tidak bisa diketahui kecuali dengan melihat yang serupa dengannya maka dalam berijtihad seorang mujtahid harus terikat pada kaidah-kaidah yang menjadi dasar dalam penentuan harga. Yakni, harus ada nash yang serupa dengan makna yang ingin dicarikan hukumnya melalui ijtihad.

 

Penerapan Qiyas

Syafi'i bukan orang pertama yang menggunakan metode qiyas dalam berijtihad. Sebelumnya, Malik pernah menerapkannya. Bahkan Abu Hanifah díanggap sebagai guru para ahli fikih di bidang qiyas. Madrasah Irak sejak zaman Ibrahim al-Nakha'i menganggap ijtihad itu sendiri sebagai qiyas. Syafi'i yang hidup setelah Madrasah Irak ini, meski ia tidak menganggap dirinya selevel dengan Abu Hanifah dalam menerapkan qiyas, cukup memiliki jasa dan peran yang besar dalam hal ini. Karena, dialah yang menyusun kaidah dan standarnya, serta membuat syarat-syaratnya. Jika seorang mujtahid mengikuti syarat-syarat ini maka ia tidak akan mengalami kesalahan saat menyimpulkan hukum dengan cara qiyas. Syafi'i-lah yang menentukan tingkatan qiyas dan menjelaskan pembagiannya.

Jika orang lain telah mendahului Syafi'i dalam menerapkan qiyas maka Syafi'i yang menyusun peraturan dan sistemnya. Dalam hal ini ia dianggap 'penemu' seperti yang dikatakan para imam qiyas walau mereka tidak mejelaskan maksudnya. Syafi'i yang menyebutkan objek-objek qiyas dan hal-hal yang tak bisa diqiyaskan.

 

Tingkatan Qiyas

Syafi'i mengklasifikasikan qiyas ke dalam tiga tingkatan:

Pertama, qiyas tingkat tertinggi, yaitu qiyas berdasarkan tingkat kejelasan illah hukum dan efektifitasnya terhadap masalah cabang. Jika 'illah dalam satu masalah cabang lebih jelas dan lebih kuat pengaruh nya maka qiyasnya termasuk tingkatan paling tinggi Contohnya: jika sesuatu yang sedikitnya haram maka dalam jumlah banyak lebih haram lagi.

Kedua, qiyas yang seimbang (qiyas al-musawat) masalah cabang memiliki illah yang seimbang dengan masalah pokok. Seperti qiyas antara seorang budak laki-laki dan budak perempuan dalam klasifikasi jenis hukuman.

Ketiga, jika masalah cabang memilaki ‘illah hukum yang tidak lebih jelas dari masalah pokok. Mayoritas ulama tidak menganggap tingkat pertama dan kedua di atas sebagai qiyas. Mereka mengategorikan tingkat pertama sebagai dalalat al-muwdfaqah (dalil persamaan) atau yang biasa disebut dengan dalalat al-nash. Akan tetapi, Syafi'i membolehkan dan tidak menolak tingkat pertama ini dikategorikan qiyas. Ia menggolongkannya ke dalam al-Nushush. Sementara yang kedua tidak dianggap qiyas, tetapi hanya sebentuk persamaan hukum taklif antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, para penentang qiyas hanya menggunakan tingkatan kedua saja dalam istinbath.

Syaf'i tidak cukup dengan hanya menjelaskan qiyas dan tingkatannya, tapi juga menjelaskan tentang seorang ahli fikih yang dalam melakukan qiyas tidak keluar dari syarat-syarat ijtihad yang ia bangun.

 

Syafi'i Menafikan Istihsan

Imam Malik berkata, "Istihsan adalah 9/10 (Sembilan per sepuluh) ilmu" Akan tetapi Syafi'i berkata, "Siapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat hukum sendiri.”

Apa sebenarnya istihsan yang diakui oleh Imam Malik dan dinafikan oleh Imam Syafi’i? Mazhab Maliki mendefinsikan istihsan, melalui ucapan Malik, adalah "Mempertimbangkan maslahat yang sesuai dengan hukum-hukum syara saat tidak ada nash yang jelas, baik yang mengukuhkan maupun yang membatalkan, meskipun dalam objeknya terkandung qiyas ataupun tidak. Jika di dalamnya terkandung qiyas maka ulama mazhab Maliki menamakannya dengan istihsan".

Secara umum, istihsán, seperti yang diungkapkan Imam Malik adalah mempertimbangkan maslahat yang sesuai dengan hukum syara yang tidak mengandung nash. Sementara itu, Syafi'i menafikannya secara mutlak.

 

Alasan Syafi’i  Menolak Ihtihsan

Pertama, melakukan istinsan membuktikan bahwa Allah tidak membahas hukum satu masalah. Padahal Allah telah berfirman, apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (QS. AI-Qiyámah [75]: 36).

Meninggalkan satu masalah tanpa nash yang jelas atau tanpa menerapkan qiyas sama dengan membiarkan manusia begitu saja, dan ini bathil.

Kedua, ketaatan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hukum hanyalah yang diturunkan Allah. Hukum bisa didapat dengan melihat nash atau dengan mengqiyaskannya dengan nash.

Ketiga, Nabi SAW. tidak menerangkan hukum-hukum fikih dengan cara istihsán, tetapi dengan menanti wahyu dalam setiap masalah yang tidak ada nashnya. Sekiranya istihsán dibolehkan maka Nabi SAW. akan melakukannya sebelum turun wahyu. Dan beliau bukan orang yang berbicara dengan hawa nafsunya.

Keempat, Nabi SAW. pernah mengingkari hokum-hukum yang diputuskan para sahabat berdasarkan istihsan mereka, yaitu saat mereka membunuh seorang kafir yang lari, bersembunyi di balik pohon, dan berkata, "Aku telah masuk Islam karena Allah Menyikapi kasus ini, para sahabat melakukan istihsân. Dengan istihsân, mereka menganggap membunuh orang itu lebih baik karena menurut mereka ia mengucapkan keislamannya di bawah tekanan dan ancaman pedang. Sikap para sahabat ini dikecam oleh Nabi SAW.

Kelima, Istihsân tidak memiliki standar dan hal itu pasti akan menimbulkan pertentangan karena tak memiliki aturan yang bisa dijadikan rujukan. Setiap orang akan menentukan hukum berdasarkan hawa nafsunya. Sebaliknya, qiyas memiliki standar yang jelas, yaitu nash.

Keenam, istiisan maknanya mempertimbangkan maslahat. Jika makna ini diterima, niscaya orang alim dan orang awam bisa melakukannya karena mereka juga bisa mengenal maslahat. Bahkan, orang-orang profesional dan para spesialis mungkin lebih mampu mengenal maslahat ketimbang para ulama.

Argumentasi Syafi'i ini dibantah. Orang-orang yang membolehkan istihsan mensyaratkan jenis maslahat harus diakui Allah walaupun tidak ada nash khusus tentang hal itu. Selain itu, istihsan juga harus diterapkan dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya. Tentunya ini tak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang alim yang mengetahui syariat dari sumber-sumbernya dan bentuk-bentuk maslahat yang ditetapkan syariat

Dengan dalil-dalil yang dicatat dalam kitab al-Umm dan al-Risalah inilah Syaf'i melandaskan pengingkarannya terhadap istihsan

 

4.      Guru-Guru Syafi'i

Syafi’i belajar fikih dan hadis dari guru-guru yang tempat tinggalnya jauh dan memiliki metode yang beragam. Bahkan, sebagian gurunya ada yang berasal dari kelompok Mu'tazilah yang menggeluti ilmu kalam, ilmu yang dilarang Syafi'i untuk ditekuni. Syafi’i telah mendapatkan segala kebaikan dari mereka. Ia mengambil apa yang dianggapnya perlu dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan. Ia belajar dari guru-guru yang ada di Makkah, Madinah, Yaman, dan Irak.

Guru pertama yang didatangi Syafi'i saat ia ingin mempelajari fikih adalah Muslim ibn Khalid al-Zanji. Kemudian ia mengikuti majelis Sufyan ibn Uyainah. Selanjutnya ia terdorong pergi ke Madinah untuk menuntut ilmu pada Muslim Ibn Khalid al- Zanji Malik. Ketika mengalami cobaan, terpaksa ia harus hijrah ke Irak. Di sana ia menulis kitab-kitab Muhamamad ibn al-Hasan dan memper-dengarkan bacaannya kepadanya.

Mereka adalah guru-guru Syafi’i yang paling berpengaruh bagi Syafi'i. Terlebih Sufyan ibn Uyainah dan Malik. Jika nama para ulama disebutkan maka Malik-lah yang menjadi bintangnya, seperti yang disebutkan Syafi'i.

 

Syafi'i Menerima Banyak Hal

Syafi'i memiliki banyak guru dari berbagai wilayah dengan bermacam pendapat dan aliran. Abu al-Walid ibn Abi al-Jarud berkata, "Kami tengah berbincang bersama teman-teman kami, penduduk Makkah, bahwa Syafi'i mempelajari kitab Ibn Juraij dari empat orang guru: Muslim ibn Khalid, Sa'id ibn Salim (keduanya ahli fikih), Abdul Majid ibn Abdul Aziz ibn Abi Rawwad (orang yang paling mengenal Ibn Juraij), dan dari Abdullah ibn Harits al-Makhzumi.  Saat kepemimpinan fikih di Madinah dipegang oleh Malik ibn Anas, Syafi’i bergegas mendatanginya dan belajar darinya. Ketika ilmu fikih di Irak dipegang oleh Abu Hanifah, Syafi'i mulai belajar dari murid sang imam, Muhammad ibn al-Hasan. Pada diri Syafi'i terdapati ilmu ahli rakyu dan ilmu ahli hadis. Ia mendalaminya sampai bisa menyusun kaidah-kaidah dan pokok-pokok fikih, sehingga para pendukung dan penentang menjadi tunduk padanya. Walhasil, ia menjadi terkenal dan sering disebut orang hingga derajatnya meningkat.

Berikut kita paparkan orang-orang yang menjadi guru Syaf'i dan tempat  ia menuntut ilmu di setiap wiayah:

 

Guru Syafi’i Di Makkah

Sufyan ibn Uyainah ibn Imran al-Hilali, Abdurrahman ibn Abdullah ibn Abi Mulaikah, Abdullah ibn al-Muammil al-Makhzumi al-Makkiy, Abdurrahnan ibn al-Hasan ibn al-Qasim al-Aziqqiy al-Ghassani, Ibrahim ibn Abdul Aziz ibn Abdul Malik ibn Abi Mahdzurah, Utsman ibn Abi al-Kuttab al-Khuza'i al-Makkiy, Muhammad ibn Ali ibn Syafi', Muhammad ibn Abi al-Abbas ibn Uismap ibn Syafi, Ismail ibn Abdullah iba Qasthanthin al-Muqri, Muslim ibn Khalid al-Zanjiy, Abdullah ibn al-Harits ibn Abdul Malik al-Makhzumi, Hammad ibn Tharif, al-Fudhail ibn ‘iyyadh, Abdul Majid ibn Abdul Aziz ibn Abi Ruwwad, Abu Shafwan Abd ibn Sa'id ibn Abdul Malik ibn Marwan ibn al-Hakam, Muhammad ibn Utsman ibn Shafwan al-Jumahi, Sa'id ibn Salim al-Qaddah al-Makkiy, Daud ibn Abdurrahman al-Aththar, dan Yahya ibn Salim al- Thaifiy.

Mungkin tak seorang alim pun yang memillki guru sebanyak Syafi’i, dengan berbagai latar mazhab yang berbeda dan wilayah yang beragam. Di Makah Syafi'i belajar dari ulamanya yang paling hebat.

 

Guru Syafi’i Di Madinah

Malik ibn Anas ibn Abi Amir al-Ashbahi, Ibrahim ibn Saad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Auf, Abdul Aziz ibn Muhammad al-Darudi, Abu Ismail Hatim ibn Ismail al-Muzanni, Anas ibn Iyyadh ibn Abdurrahman al-Laitsi, Muhammad ibn Ismail ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Naf' al-Shaigh, Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Yahya al-Aslami, al-Qasim ibn Abdullah ibn Umar al-Umari, Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam, Aththaf ibn Khalid al-Makhzumi, Muhammad ibn Abdullah ibn Dinar, Muhammad ibn Amr ibn Wagid al-Aslami, dan Sulaiman ibn Amr.

 Di Madinah Syafi’i mendatangi ulamanya yang paling hebat, yaitu Malik ibn Anas dan belajar darinya. Selain itu, ia juga belajar dari ulama lain.

 

Guru Syafi'i dari Wilayah Lain

Mereka berasal dari berbagai wilayah, di antaranya adalah Hisyam ibn Yusuf al-Shan'ani, Muthrif ibn Mazin al-Shan'ani, Abu Hanifah ibn Sammak ibn al-Fadh, Muhammad ibn Khalid al-Jundi, Muhanimad ibn Abdurrahman al-Jundi, Abu Hafash 'Amr ibn Abi Salamah, Ayyub ibn Suwaid al-Ramli, Yahya ibn Hassan al-Tannisi, Abu Usamah Hammad ibn Usamah al-Kufi, Marwan ibn Muawiyah al-Fazzari, Abu Muawiyah al-Dharir, waki’ ibn al-Jarrah, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani al-Kufi, Abdul Wahhab ibn Abdul Majid al-Tsaqfi, Ismail ibn Ibrahim ibn "Iliyyah al-Mashri, Yusuf ibn Khalid al-Tamimi al-Bashri, Umar ibn Jubair al-Qadhi, Abu Quthn Amr ibn al-Haitsam ibn Quthn al-Qath'i al-Bashri, Sa’id ibn Maslamah ibn Hisyam ibn Abdul Malik ibn Marwan, dan Lain-lain.

 

Kombinasi yang Kuat

Demikianlah, Syafi’i menuntut ilmu dari banyak guru, para pemilik mazhab dan aliran yang berbeda-beda. Ia belajar fikih mazhab yang paling menonjol pada zamannya. Ilmu yang berlimpah itu meresap dalam diri Syafi'i, menjadi satu kombinasi fikih yang kuat, berisikan berbagai aliran yang menyatu secara proporsional dalam dirinya. Darinya terlahir makna-makna yang bersifat umum yang disusun Syafi’i dan disebarkan di masyarakat dalam sebuah paparan yang menakjubkan dan ucapan yang kokoh.

Semua regam ilmu yang dipelaJari Syafi’i meresap ke dalam dirinya sehingga membentuk setu kombinasi fikih yang berkarakter kuat. Darinya terlahir makna-makna umum yang disusun Syafi’i dan dipersembahkan kepada masyarakat dengan paparan yang baik serta kalimat yang lugas dan jelas.

 

BAB XVI

MURID-MURID SYAFI'I

 

Murid-murid Syafi'i

Mazhab Syafi'i tidak akan tersebar jika murid-muridnya tidak dipersiapkan untuk mengemban ilmu itu, meriwayatkan, dan menyebarkannya ke seantero negeri. Banyak ulama mujtahid, tapi nama dan peran mereka tidak terabadikan seperti  halnya empat imam mazhab. Karena, mereka tidak memiliki murid yang menyebarkan ajaran-ajaran dan mazhabnya, seperti empat imam tersebut.

Murid-murid adalah media yang paling penting dalam mengusung ilmu dan menyebarkannya. Keempat mazhab besar bisa sampai ke tangan kita karena peran para murid mereka. Banyak sekali mazhab yang tidak sampai kepada kita karena imamnya tak memiliki murid yang menyebarkan ajaran-ajarannya.

 

Para Sahabat Syafi’i Berkumpul Di Sekelilingnya

Syafi'i meninggalkan banyak murid yang berkualitas dan terkenal. Mereka yang kita sebut sebagai murid sebenarnya adalah para pemimpin dan pengusung ilmu serta teman setia bagi para imam. Mereka sebenernya adalah para imam dan ulama. Syafi’i memiliki banyak sababat dan murid di Hijaz, Irak, dan di Mesir.

Daud ibn Ali berkata, "Tak pernah orang-orang mulia berkumpul di sekeliling seseorang seperti mereka berkumpul di sekeliling Syafi’i" Itu tak lain karena kemuliaan nasab dan kedudukannya sebab Syafi'i termasuk kerabat dan keluarga Nabi SAW. Selain itu, karena kebenaran agama dan kesucian akidahnya dari hawa nafsu dan bid'ah.

Sebab lainnya adalah karena kedermawanan dan kemuliaan jiwa Syafi’i serta pengetahuannya tentang hadis-hadis sahih dan hadis yang tidak sahih sangat mendalam. Syafi'i dikeliingi para murid karena ia memiliki pengetahuan tentang násikh dan mansukh, menguasai Kitab Allah dan sunnah Rasulullah, mengetahul sirah Nabi SAW, serta para khalifahnya.

Juga karena kemampuan Syafi'i dalam beradu argumentasi dengan para penentangnya dan Karena ia banyak mengarang kitab yang lama maupun yang baru.

Sebab terakhir adalah karena ia selalu disayangi oleh para sahabat dan murid-muridnya. Murid-murid Syafi’i memiliki andil besar dalam meryebarkan mazhabnya ke seantero negeri. Di antara keutamaan yang dimiliki Syafi'i adalah ia memiliki banyak murid, tidak seperti imam lainnya.

 

1.      Murid Syafi'i Di Hijaz

Di antara murid Syafi'i yang paling terkenal di Hijaz ada empat orang:

a.      Muhammad Ibn Idris

Ia biasa dijuluki Abu Bakar. Namanya sama dengan nama gurunya. Ia selalu menemani Syafi'i ke mana pun pergi dan banyak meriwayatkan darinya. Sayangnya, ia tidak pernah menulis dan tidak mengajar karena itu namanya tidak banyak dikenang seperti yang lain.

 

b.      Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Al-Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi' Al-Muththalibi

Julukannya adalah Abu Ishaq. Ia sepupu Imam Syafi'i. Ia tumbuh dan berkembang di rumah yang penuh ilmu dan kemuliaan. Bapaknya termasuk salah seorang perawi hadis, begitu pula kakeknya dari pihak ibu, Muhammad ibn Ali ibn al-Syafi’.

Abu Ishaq banyak belajar dari seorang imam yang mulia bernama Hammad ibn Zaid dan Imam Sufyan ibn Uyainah. Kemudian ia juga menuntut ilmu dari Imam Syafi'i, tapi tidak banyak meriwayatkan darinya di bidang fikih. Hubungannya terputus dengan Syafi'i saat Syafi'i hijrah ke Mesir.

Abu Ishaq adalah seorang muhaddis yang terpercaya. Banyak ahli hadis meriwayatkan darinya dan memujinya. Imam Ahmad ibn Hanbal juga pernah memujinya. Para ahli hadis penulis enam kitab besar hadis (al-Kutub al-Sittah) juga meriwayatkan darinya. Ia cukup memiliki andil besar dalam periwayatan hadis. Ia hidup di Makkah dan meninggal di sana pada 237 Hijriah.

Muhamad ibn Idris, namanya sama dengan nama gurunya. Ia selalu menyertai sang guru ke mana pun pergi dan belajar darinya. Akan tetapi, ia tidak menulis dan tidak mengajar.

 

c.       Musa Ibn Abi Al-Jarud Al-Makkiy (Abu Al-Walid)

Ia adalah seorang mufti kota Makkah yang kualitas keagamaan, amanat, dan kewarakannya diakui semua orang. Ia juga terkenal banyak menghafal catatan dan tulisan Imam Syafi'i.  Ia banyak meriwayatkan hadis dari gurunya. Darinya juga diriwayatkan kitab al-Amali. Para ulama hadis menganggap Abu al-Jarud sebagai salah seorang pembesar ahli fikih dari Makkah yang bermazhab Syafi'i ia sangat menguasai fikih, mencatat hadis, dan mencatat beberapa masalah fikih.

 

d.      Imam Abu Bakar Al-Humaidi

Ia adalah seorang ahli fikih dan ahli hadis yang terpercaya. Dia termasuk orang alim yang memiliki keutamaan. Ia banyak belajar dari Sufyan ibn Uyainah, lalu belajar dari Imam Syafi'i, bahkan menjadi pengikut setianya. Ia sering membela Syafi'i, mendukung mazhabnya, dan mencatat sebagian besar buku Syafi’i. Abu Bakar meninggal pada tahun 219 Hijriah di Makkah. Sebetulnya ia pernah ikut Syafi'i ke Mesir, tapi kemudian kembali ke Makkah setelah Syafi’i meninggal dunia. Para penulis al-Kutub al-Sittah meriwayatkan darinya. Demikian halnya dengan Bukhari: ia meriwayatkan sebanyak 75 hadis darinya.

Mereka adalah orang-orang yang belajar dan mendalami ilmu fikih dari Syafi'i di Makkah. Nama mereka disebut-sebut di antara sekian murid Syafi'i lainnya. Mereka cukup lama bersahabat dengan Syafi'i, tapi mereka tidak terlalu berperan besar dalam mengabadikan ajaran-ajaran Afikih Syafi’i, kendati mereka sangat dikenang dalam periwayatan hadis.

 

2.      Murid Syafi'i Di Irak

Di antara sahabat Syafi'i dan pengikutnya di Irak adalah sebagai berikut:

a.      Imam Ahmad Ibn Hanbal

Ia adalah pemuka ahli hadis pada zamannya yang keilmuannya tidak diragukan oleh para pengikut dan penentangnya yang memiliki pandangan objektif. Ia termasuk murid Syafi'i yang paling menonjol dan paling banyak menemaninya. Dialah yang memerintahkan mencatat semua kitab-kitab Syafi’i. Ia senang menghadiri majelis Imam Syafi'i, membelanya, dan menyeru masyarakat untuk datang ke tempatnya. Imam Ahmad pernah bertutur bahwa ia tak pernah menemukan orang seperti Syafi'i. Ia banyak meriwayatkan dari Syafi'i.

 Syafi'i menuturkan tentang Ahmad ibn Hanbal ini, "Aku keluar dari Baghdad dan tidak kutinggalkan seorang yang lebih ahli fikih, warak, zuhud, dan lebih berilmu dari Ahmad."

Menurut Abu Zar ‘ah, imam Ahmad telah menghafal sejuta hadis. Ibrahim al-Harbi menuturkan, "Aku melihat  Ahmad seakan Allah menghimpun semua ilmu orang-orang terdahulu dan terakhir pada dirinya.

Qutaibah berkata, "jika kulihat seseorang mencintai Ahmad, ketahuilah bahwa ia adalah golongan ahili sunnah dan ahli hadis.”

Imam Ahmad dipenjara oleh al-Mu'tashim karena masalah doktrin "kemakhlukan Al-Quran” selama dua puluh delapan bulan. Ketika al-Mutawakkil menjabat Khalifah, ia sangat menghormati Ahmad. Ahmad meninggal dunia pada 241 Hjriah. Semoga Allah merahmatinya.

 

b.      Ibrahim Ibn Khalid Al-Kalbi (Abu Tsaur)

Ibn Hibban berkata, "Abu Tsaur termasuk salah seorang imam dalam ilmu fikih, kewarakan, dan kebaikan. Imam Ahmad pernah ditanya pendapatnya tentang Abu Tsaur. Ia menjawab, "Aku mengenalnya sejak lima puluh tahun. Bagiku, ilmunya setaraf dengan ilmu Sufyan al-Tsauri.

Abu Tsaur termasuk orang yang paling utama dalam ilmu fikih, tentang halal dan haram. Seseorang datang bertanya kepada Imam Ahmad tentang halal dan haram, tapi sang imam tidak mau menjawabnya. Ia lalu menyuruh orang itu untuk bertanya kepada orang lain.

 "Ia menginginkan jawaban darimu, wahai Abu Abdullah," kata seseorang yang hadir di sana.

Imam Ahmad menjawab, "Tanyalah pada orang lain, tanyalah pada para ahli fikih, tanyalah pada Abu Tsaur!"

Dari sini kita tahu kedudukan Abu Tsaur. Abu Tsaur banyak meriwayatkan dari Sufyan ibn 'Uyainab, Ibn Illiyah, Syafi'i, Abdurrahman ibn Mahdi, Yazid ibn Harun, dan ulama lainnya. Darinya juga, Muslim meriwayatkan hadis-hadis yang termaktub di luar kitab Shahih-nya. Demikian pula Abu Daud, Ibn Majah, dan Abu Qasim al-Baghawi.

Abu Tsaur sangat loyal kepada Imam Syafi'i, walau ia memiliki fikih tersendiri. Ia termasuk salah seorang perawi besar bagi fikih Syafi'i di Irak yang biasa disebut fiqh qadim (fikih lama) Syafi'i. Ia meninggal dunia pada 237 Hijriah.

 

c.       Muhammad Ibn Al-Hasan Ibn Al-Shabah Al-Za'farani (Abu Ali)

Abu Ali adalah imam ketiga yang termasuk murid Syafi’i di Irak. Ia seorang imam yang sangat mulia, seorang ahli fikih dan ahli hadis, fasih, terpercaya, dan konsisten. Ia banyak menuntut ilmu dari ulama besar pada zamannya seperti Ibn Uyainah, Waki, Yazid ibn Harun, dan lain-lain. Tadinya, fikih Abu Ali beraliran fikih Irak (fikih mazhab Abu Hanifah), tapi saat Syafi'i datang ke Irak, ia sering mengunjunginya. Syafi’i membuatnya kagum dan penuh hormat. Ia menemukan pendapat-pendapat yang selama ini ia pegang, ternyata Syafi'i-lah yang memberikan argumentasi-argumentasinya. Oleh karena itu, ia menjadi salah seorang murid Syafi'i.

Para ulama sepakat akan sifat amanahnya dan kejujuran riwayatnya. Al-Mawardi berkata, "ia adalah perawi lama yang paling konsisten. Bukhari meriwayatkan darinya, begitu pula Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah. Ia seorang imam yang menghafal mazhab Syafi’i di Irak, atau yang biasa dikenal dengan fikih lama Syafi'i (mazhab qadim). Orang-orang berkata, "Ada empat orang yang menghafal mazhab qadim. Mereka itu adalah Ahmad ibn Hanbal, Abu Tsaur, Imam al-Karabisi, dan al-Za'farani (Abu Ali).

Ia termasuk orang yang paling fasih dan teliti dalam berbahasa. Tidak ada murid Syafi’i yang lebih fasih berbahasa dari al-Za’farani. Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan darinya. Al-Za'farani berkata, "Syafi'i datang ke daerah kami dan kami pun berkumpul di sekelilingnya. Syafi'i berkata, 'Carilah orang yang dapat membaca untuk kalian: Tetapi tak seorang pun yang berani membaca di hadapannya kecuali aku. Ketika itu aku paling muda, Belum ada sehelai bulu pun di wajahku. Aku sangat bangga karena lisanku dapat berbicara dengan lancar di hadapan Syafi’i, dan Imam Syafi’i mendengarkan bacaan Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Za'farani aku bangga dengan keberanianku saat itu. Ketika itu aku bergumam, Aku bukanlah orang Arab, aku hanya berasal dari kampung bernama al-Za'faraniyah.

 Syafi'i lalu berkata, Kau adalah pemuka desa ini.

Al-Za’farani adalah pengucap satu kalimat terkenal, "Para ahli hadis tertidur hingga datang Syafi'i. Maka, Syaf'i-lah yang menggugah mereka hingga mereka terbangun."

Dia pula yang berkata, "Tak seorang pun yang membawa tempat tinta kecuali Syafi'i akan memberikan imbalan untuknya.

 Ia meningal dunia pada 260 Hlijriah di bulan Ramadhan. Semoga Allah merahmatinya.

 

d.      Abu Abdurrahman Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yahya Al-Asy'ari Al-Bashri

Ia adalah murid yang paling terobsesi dengan Syafi’i dan paling terpengaruh oleh kepribadiannya. Ia juga orang yang paling membela mazhab Syafi'i, khususnya setelah sang imam pergi dari Irak dan tinggal di Mesir. Sikapnya itu membuatnya diberi gelar "al-Syafi’i karena selalu membela mazhab Syafi'i di Baghdad saat orang-orang menyerangnya.

Ia termasuk ulama yang paling menonjol dan ahli ilmu kalam yang paling cerdas. Ia mengetahui ijma dan segala macam perbedaan pendapat (al-ihtilaf). Kedudukannya sangat tinggi di hadapan para penguasa. Ia banyak mengetahui hadis dan atsar, berilmu luas serta memiliki kemampuan meneliti dan berdebat. Ia adalah orang yang pertama menggantikan Syafi'i di Irak dalam membela prinsip-prinsipnya, mazhabnya, dan selalu mendukung pendapat-pendapatnya hingga ia mendapatkan gelar 'al-Syafi'i:. Ia memiliki banyak karya dan ia meninggal dunia di Baghdad. Semoga Allah merahmatinya.

 

e.      Abu Ali Al-Husain Ibn Ali Ibn Yazid Al-Karabisi

Dia termasuk ulama besar yang ditinggalkan Syafi'i di Baghdad dan salah satu dari empat orang yang meriwayatkan fikih Syafi’i di Irak. Ia juga seorang imam yang mulia, alim. dan piawai. Selain itu. Abu Ali juaa diangkat sebagai mufti resmi oleh pemerintah di sana Keahliannya dalam dialog tidak diragukan. Tadinya ia bermazhab fikih Irak. Akan tetapi, ketika Syafi'i datang, ia belajar darinya dan banyak membaca Kitabnya dari al-Za’farani.

Dalam kitab Thabaqat karya Ibn al-Sabki, diriwayatkan dari al-Karabisi bahwa ia berkata, Ketika Syafi'i datang aku menemuinya. Aku berkata kepadanya, Apakah kau memperkenankan aku untuk membaca kitab-kitab di hadapanmu?" Ia menolak ia lalu berkata, 'Ambil kitab al-Za’farani, aku telah memberinya ijazah (rekomendasi) untuk kau bacakan.

Al-Za’farani mulai menulis kitab-kitab besar di bidang ushul fikih dan cabang-cabangnya, ilmu hadis, serta ilmu al-jarh wa ta’dil, hingga orang-orang berkata, "Kitab-kitabnya mencapai 200 jilid.”

Di mata para petinggi dan rakyat jelata, al-Karabisi sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi. Ia sangat dekat dengan imam Ahmad. Ketika terjadi fitnah berkenaan dengan doktrin "kemakhlukan Al-Quran, ia berpendapat moderat antara mazhab Ahli Sunnah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah dan pendapat Mu'tazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ia berkata, Al-Qur'an bukan makhluk, sementara lafaznya adalah makhuk.” Mendengar pendapatnya ini, Imam Ahmad marah padanya. Kemungkinan besar inilah yang menjadi sebab ia kehilangan kedudukan keilmuannya di mata para ulama, terutama Imam Ahmad dan Abu Tsaur.

Nama al-Karabisi dinisbahkan kepada al-Karabis yang artinya "pakaian tebal karena ia memperjual belikan pakaian itu. AI-Karabisi meninggal dunia pada 284 Hlijriah. Semoga Allah merahmatinya.

 

3.      Murid-Murid Syafi'i Di Mesir

Di antara sahabat dan pengikut Syafi’i yang menjadi muridnya di Mesir adalah sebagai berikut:

a.      Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya Al-Buwaithi

Ia adalah murid pertama Syafi'i di Mesir. Namanya dinisbahkan kepada Buwaithi, desa di Mesir. Al-Buwaithi merupakan sahabat Syafi’i yang paling utama dari Mesir. Ia juga seorang imam yang mulia, taat beribadah, zahid, ahli flkih, ahli debat, dan ahli agama. Ia belajar ilmu fikih dari Syafi’i dan selalu menemaninya ke mana saja ia pergi.

Syafi'i banyak mengandalkan al-Buwaithi dalam fatwa. Ia juga sering diminta Syafi'i untuk menggantikannya mengajar di majelisnya. Al-Buwaithi lebih diutamakan ketimbang Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam, padahal Syafi'i sangat mencintai Abdullah ibn Abdul Hakam. Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan kedudukannya yang tinggi di mata Imam Syafi'i

Al-Buwaithi pernah diuji dalam masalah fitnah doktrin "kemakhlukan Al-Quran. Ia salah seorang yang dipaksa untuk meninggalkan agamanya dan di siksa. Ia pernah ditawan cukap lama dan diasingkan dari keluarganya. Al-Buwaithi dicekal karena menolak mengucapkan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ia tetap bersabar di jalan Allah hingga meninggal dalam penjara dengan tetap kokoh menjaga agamanya dan tidak mengikuti apa yang diinginkan penguasa.

Seorang sipir penjara menuturkan, "Saat dipenjara, al-Buwaithi selalu mandi setiap hari Jumat, memakai minyak wangi, mencuci baju, lalu keluar penjara jika ia mendengar adzan. Kemudian seorang sipir memaksanya masuk dan berkata, Kembalilah, semoga Allah merahmatimu! Al-Buwaithi lantas menjawab, Ya Allah, aku telah memenuhi seruan-Mu, tapi mereka melarangku".

Di antara kalimat hikmah yang dicatat oleh Imam al-Buwaithi dalam penjara kemudian dikirim kepada Imam al-Rabi' adalah:

"Telah datang kepadaku saat-saat aku tidak lagi merasakan pedihnya besi yang menimpa tubuhku, hingga tanganku menyentuhnya. Jika kau baca suratku ini, perbaikilah akhlakmu terhadap orang-orang yang menghadiri halaqahmu dan bersikap baiklah kepada orang-orang asing. Aku banyak mendengar Syafi'i melantunkan bait syair ini,

Kuhinakan jiwaku untuk mereka, agar kumuliakan ta dengan mereka

Jiwa takkan dimuliakan selama ia sendiri tidak menghinakan dirinya

 

Imam al-Buwaithi termasuk salah seorang murid Syafi'i yang paling hebat dan pengurus halaqah Syafi'i setelah Syafi’i tiada. Ia menghafal fikih Syafi'i dan mengajarkannya, tapi ia hanya menulis kitab al-Mukhttashar yang ia simpulkan dari ucapan-ucapan Syafi’i. Abu Ashim berkata tentang kitab ini, "Sungguh, kitab ini sangat baik.”

 Imam al-Buwaithi meninggal dunia pada 231 Hijriah di penjara Baghdad. Semoga Allah merahmatinya

 

b.      Al-Rabi’ Ibn Sulaiman Abu Muhammad

Al-Rabi' adalah imam kedua dari Mesir yang menjadi murid Syafi'i. Ia adalah putra Abdul Jabbar  ibn Kamil al-Muradi. Tugasnya sebagai muadzin di masjid agung Fusthath hingga ia meninggal dunia. Ia orang yang mulia dan penulis buku yang terpercaya dan konsisten dalam periwayatannya.

Dalam al-Intiqa, Ibn Abdul Barr berkata, "ia sealu menemani Syafi'i dan banyak mendapat ilmu darinya. Ia juga yang selalu melayani Syafiit. Setelah Syafi'i meninggal dunia, para penuntut ilmu banyak yang datang kepadanya untuk belajar dan mengaji kitab-kitab Syafi'i".

 Yaqut berkata tentangnya, "Al-Rabi' adalah sahabat setia Syafi'i. Ia meninggal dunia pada tahun 270 hijriah dan dia orang terakhir yang meriwayatkan dari Syafi’i.  Al-Rabi orang yang mulia dan penulis buku. Ia meri wayatkan semua kitab Syafi'i dan banyak orang yang mengutip darinya.”

 Di akhir kitab, Manaqib Syafi'i, al-Baihaqi berkata, "Al-Rabi' ibn Sulaiman al-Muradi adalah periwayat Kitab-kitab Syafi'i. Jika kata al-Rabi’ disebutkan dalam periwayatan kitab-kitab, berarti dialah al-Rabi' ibn Sulaiman. Karena, dialah yang biasa meriwayatkannya Sebelum kedatangan Syafi'i ke Mesir, al-Rabi' menuntut ilmu dari para ulama besar, di antaranya Ibn Wahab, sahabat Imam Malik, al-Laits, dan lain-lain. Banyak ulama hadis meriwayatkan darinya, seperti Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Tirmidzi.

 Al-Rabi dikaruniai Allah usia yang panjang. Ia dilahirkan pada tahun 174 Hijriah dan meninggal dunia pada tanggal 20 Syawal tahun 270 Hijriah. Semoga Allah merahmatinya.

 

c.       Al-Rabi Ibn Sulaiman A-Jizl

Ia termasuk murid Syafi'i yang berasal dari daerah Giza. Julukannya adalah Abu Muhammad ilmunya di bidang fikih dan ushul fikih sangat luas, begitu juga dalam cabang-cabang mazhab Maliki sebelum datang Imam Syafi'i. Ia meriwayatkan dari Abdullah ibn Wahab, sahabat Imam Malik, Abdullah ibn Abdul Hakam, Ishaq ibn Wahab, dan lain-lain.

Banyak ulama besar meriwayatkan darinya, seperti para penulis al-Kutub al-Sittah dan sebagainya. Al-Rabi' al-jizl orang yang berakal cerdas dan toleran. Bukti sikap toleransinya adalah ketika ia melewati satu jalan, tiba-tiba seseorang melemparkan debu ke arahnya. Ia turun dari kendaraannya dan menyingkirkan semua debu dari tubuhnya. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian ada yang berkata kepadanya, Apa kau tidak mau menghardiknya?"

Ia menjawab, "Barang siapa berhak mendapatkan api neraka, tapi diganti dengan ditimpa debu, maka ia beruntung" Maknanya al-Rabi' merasa berhak mendapat api neraka, tapi ia tertimpa debu. Karena itu ia beruntung. Ia meninggal pada bulan Dzulhijah tahun 256 Hijriah. Kuburannya berada di Giza. Semoga Allah merahmatinya.

 

d.      Sulaiman Ibn Yahya Ibn Ismail Al-Muzanni

Ia adalah seorang imam besar dan mulia. Ia salah seorang murid Syafi'i dan bergelar Abu Ibrahim dari Mesir. Ia pendukung mazhab Syafi’i yang sangat loyal, ahli fikih, dan ahli debat. Ia memilik pengetahuan yang luas dan kemampuan berdebat dengan baik. Ia orang yang warak dan zuhud. Syafi’i bertutur tentangnya, Jika setan mengajaknya berdebat, niscaya al-Muzanni akan mengalahkannya.”

 Syafi'i juga berkata, "Al-Muzanni adalah sahabat mazhabku.”

 Al-Muzanni bagi Syafi'i seperti Muhammad ibn al-Hasan bagi Abu Hanifah atau seperti Abu-al-Qasim dan Ibn Wahab bagi Imam Malik .

Al-Muzanni menulis banyak buku tentang mazhab Syafi'i, di antaranya adalah al-Jami" al-Kabir, al-Jami" al-Shaghir, al-Mukhtashar, al-Mantsur, al-Masa'il al-Mu'tabarah, al-Watsa’iq, al-Targhib fi al-Ilmi, dan lain-lain. Semuanya ia nukil dari Syafi’i.

Tentangnya, Ibn Hajar berkata, "Al-Muzanni menulis kitab al-Mabsût dan al-Mukhtashar min Ilm al-Syáfi'i. Ia pakar dalam berdebat, taat beribadah, rendah hati, dan kaya jiwa. Di antara bukti ketekunan dan ketakwaannya adalah setiap kali ia menulis satu masalah agama, terlebih dahulu ia melaksankan shalat dua rakaat. Ia sampai pada tingkat kezuhudan yang jarang sekali diraih oleh para ulama Sebagian ulama Khurasan, Irak, dan Syam meriwayatkan hadis dari al-Muzanni. Ia meninggal dunía pada tanggal 24 Ramadhan tahun 264 Hijriah.

 

e.      Yunus ibn Abdul A'la al-Shadafi

Ia termasuk tokoh murid Syafi’i di Mesir. Ia bagaikan ensiklopedia berjalan di bidang agama. Ia sering meriwayatkan dari Sufyan ibn Uyainah dan Abdullah ibn Wahab. Muslim, Nasa’i, ibn Majah, dan lain-lain meriwayatkan hadis darinya.

Yunus adalah pakar sejarah dan berita-berita terdahulu, serta banyak mengenal hadis. Ia mengetahui hadis yang sahih dan yang cacat. Ia ahli membaca Al-Quran, belajar qira’ah dari Warasy dan ulama lainnya. Yunus termasuk orang yang paling pandai pada zamannya. Ia menemani Syafi'i cukup lama dan selalu menghadiri majelisnya. Dari Syafi'i, ia banyak mengambil hadis dan fikih. Imam Syafi’i sangat mempercayai dan membanggakannya. ibn Amr ibn Khalid berkata, "Aku mendengar ayahku berkata, "Syafi'i berkata kepadaku, "Wahai Abu al-Hasan, lihatlah pintu ini (pintu pertama masjid). Aku pun melihat pintu yang dimaksud. Ia lalu berkata, "Tak seorang pun yang masuk pintu itu lebih berakal dari Yunus ibn Abdul Ala."

 Ketika al-Qadhi Bakkar masuk ke Mesir, ia bertanya kepada Muhammad ibn al-Laits, pembesar ulama di sana, "Siapa yang harus kutanya di Mesir? Siapa yang bisa aku percaya?"

Al-Laits lalu menajwab, "Kau harus datang kepada dua orang. Pertama, orang yang berakal, Yunus ibn Abdul Ala. Kedua, hamba yang taat beribadah dari daerah Zahhad." Ia menyebutkan namanya.

Yunus meriwayatkan banyak hikmah dari Imam Syafi’i. Di antara hikmah yang diriwayatkan darinya adalah, seperti penuturannya, "Aku mendengar satu hikmah dari Imam Syafi'i yang tidak pernah terdengar kecuali dari orang seperti dia, yaitu keridaan manusia adalah tujuan yang tak bisa diraih. Karena itu, perhatikan apa yang baik bagi agama dan duniamu. Laksanakanlah hal itu Ia juga meriwayatkan dua bait syair dari Syafi'i,

Tak ada yang bisa menggaruk kulitmu seperti kukumu

Maka, lakukanlah sendiri segala urusanmu

Jika kau ingin menunaikan satu hajat

Maka datangilah orang yang mengakui keutamaanmu

 

Yunus memiliki tingkat keilmuan yang membuat Imam Ibn Jarir al-Thabari belajar darinya. Usia hidupnya cukup panjang, yaitu 96 tahun. Semoga Allah merahmatinya.

 

f.        Harmalah Ibn Yahya Ibn Harmalah At-Tajibi

Ia adalah imam terakhir yang ditinggal Syafi’i di Mesir. Tentangnya dikisahkan, "Ketika Syafi'i hijrah dari Irak ke Mesir, ia menjadi tamu di tempat Harmalah. Harmalah adalah seorang yang sangat mulia dan terhormat. Ia memiliki kedudukan dan wibawa yang tinggi. Ia meriwayatkan banyak kitab dari Syafi’i, seperti kata Ibn Abdul Barr, yang tidak diriwayatkan oleh al-Rabi' al-Muradi. Di antaranya kitab al-Syurüth yang terdiri dari tiga juz, al-Sunan, sepuluh juz, Alwan al-Ibil wa al-Ghanam wa Shifatuha wa Asnanuha, al-Nikah, dan lainnya yang khusus ia riwayatkan sendiri dan tak diriwayatkan oleh al-Rabi.

Ia memiliki kedudukan dan tempat yang mulia di hati Imam Syafi'i. Ia juga lebih diutamakan dibandingkan murid-muridnya yang lain. Selain kitab-kitab yang diriwayatkan, ia juga menulis kitab al-Mabsüth dan kitab ringkasan (al-Mukhtashar) yang bertajuk Mukhtashar Harmalan, Di bidang hadis, ia termasuk perawi yang tsiqah (terpercaya)

 Ia pernah meriwayatkan dari Ibn Wahab, murid Imam Malik, dan hubungannya sangat erat dengannya. Saat Ibn Wahab tak mau menjadi seorang hakim, ia bersembunyi di rumah Harmalah. Dari ibn Wahab, Harmalah cukup lama mendengarkan hadis dan mendapat kesempatan yang tidak didapat orang lain. Dari Harmalah juga, Muslim meriwayatkan beberapa hadis dalam Shanihnya. Begitu pula Ibn Majah dan Nasa’i.

Ia dianugerahi usia sampai 78 tahun. Seluruh usianya penuh dengan ilmu, kebaikan, dan berkah. Ia meninggal dunia di Mesir pada tahun 266 Hijriah. Semoga Alah merahmatinya.

 

g.      Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abdul Hakam

Ia termasuk salah seorang murid Imam Syafi'i yang bergelar Abu Abduilah. Ia dilahirkan tahun 182 Hijriah. Bapaknya adalah Abdullah ibn Abdul Hakam, pemimpin mazhab Maliki setelah Asyhab. Ketika Syafi'i datang ke Mesir, Muhammad ibn Abdullah masih berusia tujuh belas tahun. Ia mulai menemani Syafi’i dan hubungan keduanya menjadi sangat erat. Ia menjadi pengikut Syafi'i yang sangat setia. Syafi'i sangat mencintainya. Di antara mereka terjalin persaudaraan yang tulus, cinta, dan kasih sayang yang murni. Dan Syafi'i sangat memuliakannya.

Al-Muzanni berkata, "Kami datang ke tempat Syafi'i untuk mendengar ilmu darinya. Kami duduk di depan pintu rumahnya. Kemudian Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam datang. ia naik ke tempat Syafi'i dan berada di dalam cukup lama. Ia ikut makan bersama Syafi'i, lalu turun kembali. Setelah itu syafi’i  menemui kami san mulai membaca kitabnya. Seusai membacakan kitabnya, ia memberikan seekor unta kepada Muhammad untuk kendaraannya. Syafi’i terus memerhatikannya dan bergumam, Aku ingin memiliki anak seperti dia. Sekarang ini aku memiliki seribu dinar dan tidak ada lagi orang yang layak kuberikan uang itu.”

Para pembesar ulama mazhab Maliki menentang kepindahan putra pemimpin mereka ke mazhab syafi’i. Mereka berseru kepada bapaknya, Abdullah ibn Abdul Hakam, "Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya Muhanmad telah beralih ke orang ini dan mendatanginya. Orang-orang mengira bahwa ia telah membenci mazhabnya (mazhab Maliki)".

Muhammad menuturkan, "Bapakku pun berusaha bersikap lembut terhadap mereka. Ia berkata, Muhammad masih kecil. Ia masih suka melihat dan mengenali berbagai pendapat manusia. Secara rahasia, bapakku berkata kepadaku, Wahai anakku, datangi terus orang ini. Jika kau keluar dari negeri ini dan berbicara tentang satu masalah, lalu kau katakan Asyhab (murid Imam Malik), pasti orang-orang akan bertanya padamu, Siapakah Asyhab?" Tetapi, jika kau katakan Syafi'i orang-orang langsung mengenalnya karena mereka telah mengetahui kedudukan Syafi’i.”

 Muhamamd ibn Adbul Hakam menuturkan, "Akhirnya aku terus datang kepada Syafi’i dan belajar darinya.”

 Muhammad banyak mendengarkan kitab-kitab Syafi'i. Orang-orang berkata, "Muhammad  telah mendengar kitab: Ahkam al-Qur'an darinya kitab al-Radd yang isinya merupakan jawaban terhadap pendapat Muhammad ibn al-Hasan, dan kitab al-Sunan. la juga meriwayatkan kitab al-Washáya dari Syafi'i.”

Ia meninggal pada bulan Dzulqadah tahun 258 Hijriah. Dalam riwayat lain, tahun 268 Hijriah. Abu Amr al-Sharfi berkata, "Penduduk Mesir tak ada yang menandinginya dalam keilmuan.”

 Setelah Syafi'i wafat, Ia meninggalkan mazhabnya dan kembali ke mazhab Maliki. Peralihannya ini dilatarbelakangi pertentangannya dengan al-Bawaithi tentang orang yang berhak menggantikan Syafi'i seteah wafatnya.

 Mereka semua adalah murid-murid Syafi’i yang paling terkenal. Selain mereka, Syafi'i juga memiliki murid yang tak bisa dihitung jumlahnya. Kiranya kita cukup menyebutkan beberapa ulama yang memiliki peran dan pengaruh cukup besar bagi kelangsungan dan penyebaran mazhab Syafi'i ini. Semoga Allah merahmati semuanya.

 

BAB XVII

KEPERGIAN TELAH TIBA

 

1.      Pujian Yang Baik

Di awal kitab ini telah dipaparkan kesaksian para ulama tentang Syafi'i. Di sini kita ingin menambahkan beberapa kesaksian ulama lainnya tentang keilmuan dan keutamaan Syafi'i. Al-Fudhail ibn Dakkain berkata, "Tak pernah kami lihat dan dengar tentang orang yang lebih sempurna akalnya, lebih baik pemahamannya, dan lebih luas ilmunya dari pada Syafi'i.”

 Abu Tsur menuturkan, "Siapa yang mengaku bahwa ia pernah melihat orang seperti Muhammad ibn Idris dalam hal ilmu, kefasihan, dan konsistensi, berarti ia telah berdusta. Sungguh, Syafi'i tiada bandingannya pada masa hidupnya, Ketika ia telah pergi, tak ada yang mengalahkannya dan tak ada yang menyainginya."

Sufyan ibn Uyainah, guru Syafi'i, berkata, "Ketika dibacakan sebuah hadis tentang kelembutan di hadapannya, Syafi'i langsung pingsan. Ada yang menyangka bahwa ia meninggal dunia. Jika ia meninggal, berarti orang yang paling utama pada zamannya telah pergi."

 Harun ibn Sa'id al-Aili, salah seorang syekh dan guru Imam Muslim, berkata, "Aku tidak pernah melihat orang seperti Syafi’i.”

Abu Manshur al-Azhari menuturkan, "Aku telah mengaji semua kitab yang dikarang oleh para ahli fikih negeri-negeri Islam. Kulihat kitab Syafi'i paling dalam ilmunya, paling fasih, dan paling luas wawasannya.”

 

Imam Para Ulama

Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berakal, warak, lebih fasih, dan lebih mulia pendapatnya dari Syafi'i".

Ia juga bertutur, "Aku tak pernah melihat seorang pun yang lebih sempurna dari Syafi'i.”

Al-Za'farani memberikan kesaksiannya, "Aku tidak pernah melihat orang seperti Syafi'i: tak ada yang lebih mulia, dermawan, bertakwa, dan lebih alim darinya.”

Basyar al-Muraisi berkata, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih pintar daripada Syafi'i".

Ahmad ibn Hanbal berkata, "Tak ada orang yang paling sedikit salahnya saat berbicara tentang ilmu dan lebih banyak mengambil sunnah Rasulullah SAW. dari Syafi’i."

la juga berkata, "Ak tidak menemukan orang yang lebih fasih dan lebih paham tentang ilmu dari pada Syafi’i.”

Ishaq ibn Rahawiyah berkata, "Syafi'i adalah imam para ulama. Tak ada orang yang mengandalkan rakyu (nalar) kecuali Syafi’i lebih sedikit kesalahannya dari orang itu. Syafi'i betul-betul seorang imam."

 

Sempurna Dalam Ujian

Yahya ibn Said al-Syafi’i berkata, "Aku tidak pernah melihat orang yang paling berakal dan paling menguasai fikih dari Syafi’i.”

Jika disebutkan tentang Syafi, al-Humaidi berkata, "Pemuka para ahli fikih, Syafi'i, telah menyampaikan kepada kami…..” Sesekali ia berkata, "Pemuka para ulama pada zamannya, Syafi'i, berkata...”

 Ayyub ibn Suwaid al-Ramli, salah seorang guru Syafi'i yang meninggal dunia sebelas tahun sebelum Syafi’i, menuturkan, "Aku tidak berpikir bahwa aku bisa tetap hidup hingga bisa melihat orang seperti Syafı’i."

Al-Junaidi berkata, "Syafi’i termasuk penuntut ilmu yang berbicara dengan lisan yang benar di bidang agama."

Muhammad ibn al-Hasan, sahabat Abu Hanifah, berkata, "Jika ada orang yang bertentangan dengan kami dan penentangannya terbukti kuat maka orang

itu adalah Syafi’i.” Ia lalu ditanya, "Bagaimana bisa?.” Ia menjawab, "Karena kemampuan bayan dan konsistensinya dalam bertanya, menjawab, dan mendengarkan".

Muammar ibn Syubaib berkata, "Aku mendengar al-Ma’mun berkata, Aku menguji Muhammad ibn Idris al-Syafi'i dalam segala hal. Kutemukan ia sangat sempurna.”

Ini adalah kumpulan kesaksian dan pujian para ulama besar terhadap Imam Syafi'i, dan pengakuan mereka akan keilmuan serta kemuliaannya. Pengakuan ini datang dari para pendukung dan penentangnya. Semoga Allah merahmati dan meridai Imam Syafi’i.

 

2.      Doa Yang Tulus

Syafi’i telah mengisi relung hati para pendukung dan penentang, guru dan murid, orang awam dan ulama, dengan cinta dan penghormatan kepadanya. Semua itu berkat karunia yang diberikan Allah untuknya berupa kemampuan dalam memahami Kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Selain itu, ia diberi sikap konsisten mengamalkan keduanya dalam ucapan dan tindakan. Banyak orang melihat bahwa Syafi'i memiliki jasa besar yang tak bisa dibalas oleh mereka selain dengan doa tulus untuknya.

Ahmad ibn Hanbal selalu mendoakannya dan mengakui keutamaan Syafi’i dengan berkata, "Inilah yang kalian lihat dan dapatkan secara keseluruhan dari Syafi'i. Selama 30 tahun aku selalu berdoa kepada Allah untuk Syafi'i dan memohonkan ampunan untuknya."

Yahya ibn Said al-Qaththan, imam para ahli hadis pada zamannya, berkata, Dalam shalatku selama empat tahun ini, aku selalu berdoa kepada Allah untuk Syafi’i.”

Ia juga berkata, "Aku selalu mendoakan Syafi'i secara khusus

Abdurrahman ibn Mahdi berkata, "Setiap melaksanakan shalat aku selalu berdoa untuk Syafi'i.”

 

3.      Wasiat Syafi'i Menjelang Ajal

Al-Rabi' ibn Sulaiman menuturkan, Aku berada di samping Syafi'i saat di hadapannya dibacakan surat wasiat berikut:

Surat ini ditulis oleh Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas al-Syafi'i pada bulan Syakban tahun 203 Hijriah. Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui isi hati menjadi saksi dan orang-orang yang mendengarnya. Syafi’i bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya; Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah. Syafi'i tetap berpegang teguh pada kalimat ini hingga Allah mencabut nyawanya dan membangkitkannya kembali, insya Allah Syafi'i berwasiat untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang mendengar wasiatnya:

"Hendaknya mereka menghalalkan apa yang di halalkan Allah dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya, serta mengharamkan apa yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya dan sunnah Rasulnya. Hendaknya mereka tidak melampaui hal itu karena dengan melampaui batas-batasnya berarti mereka meninggalkan kewajiban dari Allah. Hendaknya mereka meninggalkan apa yang bertentangan dengan Kitab dan sunnah. Sikap melampaui batas dan melakukan hal yang bertentangan dengan Kitab dan sunnah adalah bid'ah. Hendaknya mereka menjaga kewajiban dari Allah dalam ucapan dan perbuatan, serta menjauhi apa yang diharamkan karena takut kepada-Nya. Hendaknya mereka senantiasa mengingat hari pertemuan dengan Tuhan, Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya. Ia ingin kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh (QS. Ali Imrán (3): 30).

Hendaknya mereka menghinakan dunia sebagai mana Allah telah menempatkannya di tempat yang paling bawah. Karena, Allah menjadikan dunia sebagai tempat menetap sementara. Allah menjadikan akhirat sebagai tempat menetap selamanya serta balasan atas kebaikan dan keburukan yang telah dilakukan di dunia. Hendaknya mereka berteman hanya dengan orang yang menjadi teman Allah dan yang menjadikan persahabatan hanya karena Allah. Hendaknya mereka bergaul dengan orang yang memiliki ilmu agama dan etika didunia. Setiap orang harus mengenal zamannya dan mengharap agar Allah men-jauhkannya dari keburukan hingga tidak berlebihan dalam ucapan dan tindakan. Hendaknya ia mengikhlaskan niatnya kepada Allah dalan ucapan dan perbuatan. Karena, hanya Allah yang menjadi Penolongnya, sementara yang lain tidak bisa mencukupinya. Kuwasiatkan ini jika kematian yang telah ditetapkan Allah atas makhluk-Nya tiba. Karena kematian itulah aku meminta pertolongan Allah dan penjagaan-Nya dari petaka kiamat. Aku meminta surga dan rahmat-Nya".

Syafi'i lantas menyebutkan wasiat yang berhubungan dengan harta, anak-anak, sedekah, dan lain-lain. Di akhir wasiatnya Syafi'i berkata,

"Muhammad ibn Idris menghadap Allah Yang Maha kuasa dan meng-haturkan shalawat  serta salam kepada Muhammad SAW., hamba dan rasul-Nya. Ia juga berharap semoga Allah merahmatinya karena ia orang yang sangat mengharapkan rahmat-Nya, dan terlindung dari neraka karena ia takut azab-Nya. Ia Juga memohon kepada Allah agar memberinya peninggalan yang terbaik untuk kaum mukmin, melindungi mereka dari maksiat, dan menghapuskan keber-gantungan mereka kepada makhluk Allah.

 

4.      Sakit Menjelang Ajal

Sakit yang diderita Syafi’i sebelum ajalnya adalah sakit sembelit (ambeien) yang ia alami saat di Mesir. Syafi'i menduga penyakitnya ini timbul karena ia terlalu sering mengikat kepala saat menghafal. Syafi'i menuturkan, "Aku sering mengikat kepala saat menghafal hingga timbul penyakit akibat peredaran darah yang tidak lancar selama setahun.

Akibat penyakit'yang dideritanya ini, darah selalu keluar dari tubuhnya. Saat ia naik kendaraan, darah keluar dari dua tumitnya. Ia selalu mengenakan kain perban di kakinya. Tak seorang pun mengalami penyakit seperti yang diderita Syafi'i ini. Pendarahan membuatnya lemah dan tak berdaya.

Meski penyakit yang dideritanya ini cukup berat selama empat tahun, Syafi'i tidak berhenti berjuang hingga ia berhasil mencatat ribuan lembar ilmu sambil terus belajar, meneliti, berdebat, serta membaca siang dan malam. Seakan semua tekad dan semangatnya dalam menuntut ilmu ini merupakan obat satu-satunya untuk penyakitnya.

Al-Rabi' ibn Sulaiman berkata, "Syafi’i tinggal di sipi selama empat tahun. la berhasil menulis sebanyak 1.500 lembar catatan. Ia juga men-takhrij 2.000 halaman kitab al-Umm dan kitab al-Sunan, serta yang lainnya. Semuanya ia lakaukan dalam 4 tahun.

 

 Sakit Syafi’i Bertambah Parah

Saat sakitnya bertambah parah, darah yang mengalir dari luka Syafi’i semakin deras hingga ketika ia naik kendaraan, darah itu membasahi celana, sepatu, dan kendaraannya.

Al-Rabi' menuturkan, "Aku bertanggung jawab mengurusi semua harta Syafi'i sampai ia meninggal dunia. Ia memperkenankan aku menggupakan hartanya sebanyak tiga kali. Saat sakit, ia berkata, Wahai anakku, orang-orang tak tahu etika. Ada sekelompok orang yang datang menemuiku, tapi mereka mengira bahwa aku tidak mengizinkan mereka masuk. Mereka tidak tahu bahwa aku sedang sakit. Jika kau berkenan, duduklah di ruangan depan tangga. Jika orang-orang datang, turunlah dan katakan pada mereka bahwa aku sedang sakit.’ Kasur dan bantal Syafi'i pun dilubangi, sementara kain lap diletakkan di bawahnya. Jika orang-orang datang, aku turun menemui mereka. Kukatakan pada mereka bahwa Syafi'i sakit. Mereka pun pulang dengan kecewa. Jika aku kembali naik dan menemui Syafi'i, ia bertanya, "Siapa yang datang hari ini?" Kujawab, Fulan dan fulan. Ia lalu berkata, Semoga Allah membalas kebaikanmu, wahai Rabi Aku tidak pernah melakukan apa-apa untukmu. Demi Allah, jika aku bertahan hidup, aku akan melakukan apa saja untukmu. Semoga Allah merahmatinya”.

Yunus ibn Abdul Ala berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang mengalami penyakit seperti yang dialami Syafi'i. Suatu hari aku menemuinya, lalu ia berkata kepadaku, "Wahai Abu Musa, bacakan untukku ayat-ayat al-Maidah sesudah ayat 120. Ringankan bacaannya dan jangan terlalu berat!" Aku pun membacanya. Dan ketika aku ingin berdiri, ia berkata, Jangan kau tinggalkan aku. Aku sedang menderita.”

Yunus menambahkan, Dengan bacaanku akan ayat-ayat itu, Syafi'i merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Rasulullah dan para sahabatnya."

 

Antara Harapan Dan Rasa Takut

Al-Rabi ibn Sulaiman berkata, "Al-Muzanni menjenguk Syafi’i saat sakit menjelang ajalnya. Ia lalu bertanya kepadanya, Bagaimana keadaanmu, wahai Guruku? Syafi'i menjawab, "Sepertinya aku akan pergi dari dunia ini dan berpisah dengan saudara-saudaraku. Aku akan meminum air dari gelas kematian dan menjumpai Allah dengan membawa amal burukku.”

Al-Rabi melanjutkan, "Kemudian Syafi'i memandang keatas dan mendesa. Ia lalu melantunkan sepotong syair,

Kepada-Mu,Tuhan semua makhluk, ku angkat hasratku

Walau aku seorang pemaksiat, wahai Tuhan Pemilik Karunia

Ketika hatiku keras dan tempatku pergi telah sempit

Aku menjadikan harapanku akan ampunan sebagai tangga

Dosaku semakin bertambah besar, dan ketika ku bandingkan dengan ampunan-Mu ternyata ampunan-Mu lebih besar

 

5.      Nasihat Syafi'i Menjelang Kematian

Kumpulan Nasihat

Diriwayatkan dari al-Muzanni, "Aku masuk menemui Muhammad ibn Idris al-Syafi’i menjelang wafatnya. Aku bertanya kepadanya, Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdullah?' Syafi'i menjawab, Sepertinya aku akan pergi dari dunia ini dan berpisah dengan saudara-saudaraku. Aku akan meminum air dari gelas kematian dan menjumpai Allah dengan membawa amal burukku. Aku tidak tahu, akankah aku masuk surga hingga aku bahagia, ataukah akan ke neraka hingga aku menderita?’

Kataku kepadanya, “Wahai Abu Abdullah, nasihatilah aku!”

Ia berkata, "Bertakwalah kepada Allah dan ingatlah selalu akhirat dalam hatimu. Jadikan kematian selalu di matamu dan jangan kau lupa keadaanmu kelak di hadapan Allah. Jadilah selalu bersama Allah dan jauhi larangan-Nya, tunaikan kewajiban-Nya dan berjalanlah di jalan kebenaran di mana pun kau berada. Jangan kau anggap remeh nikimat Allah kepadamu, walaupun sedikit. Terimalah ia dengan rasa syukur. Jadikan diammu sebagai tafakur, bicaramu sebagai zikir, dan pandanganmu sebagai usaha mengambil pelajaran. Maafkan orang yang menzalimimu, jalin silaturahmi dengan orang yang ingin memutuskannya, bersikap baiklah kepada orang yang bersikap buruk kepadamu, bersabarlah atas musibah, dan mintalah ampunan Allah dari neraka dengan takwa!

Aku lalu berkata, "Tambah lagi, wahai Abu Abdullah!

Ia melanjutkan, Jadikan kejujuran sebagai lisanmu, menjaga amanat sebagai tiangmu, rahmat sebagai buahmu, syukur sebagai pembersihmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang sebagai hiasanmu, Al-Quran sebagai kecerdasanmu, ketaatan sebagai hidupmu, keridaan sebagai amanatmu, pemahaman sebagai mata hatimu, harapan sebagai kesabaranmu, takut sebagai pakaianmu, sedekah sebagai pelindungmu, zakat sebagai bentengmu, rasa malu sebagai pemimpinmu, kesabaran sebagai menterimu, tawakal sebagai tamengmu, dunia sebagai penjaramu, kemiskinan sebagai tempat tidurmu, kebenaran sebagai penuntunmu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Quran sebagai temanmu berbicara, dan Allah sebagai penghiburmu. Barang siapa menjadikan semua ini sebagai sifatnya maka surga akan menjadi tempatnya."

 

Dokter Pun Akan Mati

Al-Muzanni menuturkan, "Aku menjenguk Syafi’i saat ia sakit. Bagaimana keadaanmu? tanyaku kepadanya.?”

Ia menjawab, Aku seperti di antara perintah dan larangan, seperti memakan rezekiku dan menanti ajalku Aku lalu berkata kepadanya, Maukah kau kubawakan seorang dokter? Ia menjawab, Lakukanlah Aku pun membawa seorang dokter Nasrani. Dokter itu mulai memeriksa Syafi’i Saat Syafi’i menyentuh tangan sang dokter, ia malah merasakan bahwa dokter itu sedang menderita satu penyakit. Syafi’i lalu berkata,

Dokter datang memeriksa, dan aku pun memeriksanya

Ternyata dokter itu tengah mengalami satu penyakit

Ia terus mengobatiku padahal ia sakit

Sunggul aneh, matanya tampak sangat redup

 

Setelah beberapa hari, dokter itu meninggal dania. Kepada Syafi’i dikatakan bahwa dokter itu telah meninggal. Ia lalu berkata,

Seorang dokter dengan keahlian dan obatnya

Tidak bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan oleh qadha

Mengapa seorang dokter meningal dengan peryakit

 Yang terkadang ia sembuhkan

Orang yang mengobati dan orang yang diobati akan binasa

Begitu pula orang yang membawa obat, menjual, dan membelinya

 

6.      Akhir Perjalanan

Al-Rabi' ibn Sulaiman berkata, Pada waktu maghrib, malam di mana Syafi'i meninggal dunia, Ibn Yaqub, sepupunya, berkata kepadanya, Mari kita shalat??  Syafi’i menjawab, Kalian duduk saja dahulu. Tunggulah aku keluar’. Kami pun turun lalu naik kembali. Kemadian kami berkata, Kami telah melaksanakan shalat. Semoga Allah menyembuhkanmu ia menjawab, "Ya Ia lalu meminta air, padahal ketika ia musim dingin. Sepupunya berkata, 'Campurkan air itu dengan air hangat.’ Tetapi Syafi’i berkata, Tidak Campurkan dengan perasan tanaman quince.’ Setelah isya, Syafi'i menghembuskan napasnya yang terakhir. Semoga Allah merahmatinya.”

 

Tanggal Wafat Syafi’i

            Al-Rabi' ibn Sulaiman berkata, "Syafi'i meninggal dunia pada malam Jumat, setelah isya, di penghujung bulan Rajab. Kami menguburkannya pada hari Jumat. Setelah itu kami melihat hilal bulan Syakban tahun 204 Hijriah. Syafi'i meninggal dunia dalam usia 54 tahun. Inilah riwayat yang paling terkenal di kalangan perawi tentang usia Syafi'i.

 

Pengiringan Dan Penguburan Jenazah Syafi’i

Ketika jenazah Syafi'i diusung ke pembaringannya yang terakhir, jasadnya dipanggul orang-orang dari kota Fushthath Mesir hingga ke pekuburan Bani Zahrah. Daerah pekuburan itu juga dikenal dengan Tur bah Ibn Abdul Hakam.

Dalam kitab Mu'jam al-Adibba" disebutkan Syafi'i dikuburkan di sebelah barat parit, di pekuburan Quraisy. Di sekelilingnya terdapat kuburan orang-orang dari Bani Zahrah, keturunan Abdurrahman ibn Auf al-Zuhri dan lainnya.

Letak kuburan Syafi'i sudah masyhur di kalangan para sejarawan dari generasi kegenerasi hingga sekarang ini. Kuburan Syafi'i terletak di sebuah pelataran di samping dua kubur lain di bawah satu atap. Kuburan itu terletak di sebelah barat parit, tepatnya berada di antara parit dan tempat pertemuan masyarakat. Dua kuburan di samping kubur Syafi'i adalah kuburan Abdullah ibn Abdul Hakam yang meninggal pada 214 Hijriah dan kuburan putranya, Abdurrahman ibn Abdullah ibn Abdul Hakam yang meninggal pada 257 Hijriah.

 

Duka cita Yang Mendalam

Orang-orang terhentak mendengar kematian Syafi'i. Kesedihan dan dukacita melanda wajah para ulama dan murid-muridnya. Majelis Syafi'i menjadi kosong dari ulama yang biasa belajar, menuntut ilmu, menelaah, dan berdebat dengannya. Ada seorang Arab Badui mengungkapkan rasa kehilangannya dengan berdiri di tengah kerumunan massa, sesaat setelah kematian Syafi'i. Ia berseru, Di mana bulan dan matahari majelis ini?" Orang-orang menjawab, " Ia telah tiada! Sontak ia menangis tersedu-sedu. Ia berkata, "Semoga Allah merahmati dan mengampuninya. Dengan kemampuan bayannya, Syafi'i telah membuka pintu hujjah yang lama tertutup, meluruskan musuh-musuhnya dengan argumentasi yang kuat, membersihkan wajah yang hitam karena aib dan cela. Dengan pendapatnya ia memperluas pintu yang tersumbat.” Orang itu lalu beranjak pergi.

 

Mimpi Orang-Orang Tentang Syafi’i

Banyak orang saleh dan taat ibadah bermimpi tentang Syafi’i. Ini menunjukan kebesaran pribadinya, ketinggian derajatnya, dan keagungan kedudukannya. Selain itu, hal ini menandakan bahwa banyak orang yang merasa kehilangan Syafi'i dan para ulama yang ikhlas dan senantiasa mengamalkan ilmunya. Di bawah ini kami sebutkan beberapa contoh mimpi mereka tentang Syafi'i:

Al-Rabi menuturkan, “Aku bermimpi bahwa Adam as, meninggal dunia, Orang-orang ingin membawa jenazahnya. Pada pagi hari, aku bertanya kepada seorang ulama tentang hal ini. Ia menjawab, Ini menandakan kematian seseorang yang paling berilmu di muka bumi.’ Sesungguhnya Allah telah mengajari Adam semua nama. Semua nama yang diajarkan hanya sedikit hingga Syafi’i meninggal dunia".

Al-Rabi ibn Sulaiman al-Mashtri juga berkata, “Abu al-Laits al-Khaffaf berkata kepadaku, Pada malam Syafi'i meninggal dunia, aku bermimpi seakan orang-orang berseru bahwa Nabi SAW meninggal dunia hari ini. Seakan aku melihat jenazah beliau dimandikan di majelis Abdurrahman al-Zuhri, tepat di masjid kami. Kemudian dalam mimpi itu ada yang berkata kepadaku, Jenazahnya akan dibawa keluar setelah asar .’ Pada pagi hari, ada yang memberitahukan aku bahwa Syafi'i telah meninggal dunia dan kudengar bahwa jenazahnya akan diiring setelah Jumat. Aku lalu bergumam, "Ini  persis seperti yang kulihat dalam mimpi' Kemudian kudengar orang-orang berkata bahwa jenazah Syafi’i akan diusung setelah asar. Kulihat dalam mimpi, seakan di samping Syafi’i ada satu kasur seorang perempuan yang berantakan. Kemudian penguasa Mesir berpesan agar jenazah itu tidak dibawa kecuali setelah asar. Akhirnya jenazah Syafi’i ditahan dahulu bingga asar tiba"

Al-Azizi berkata, "Ketika jenazah Syafi’i dipersiapkan dan ketika aku sampai di tempat yang luas, aku melihat satu kasur seperti kasur perempuan yang berantakan bersanding dengan kasur Syafi’i.”

 

Mimpi Al-Azizi

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman al-Azizi, "Pada malam Syafi'i meninggal dunia, aku bermimpi dibawakan keranda yang di atasnya terdapat tilam, di atasnya lagi ada seorang laki-laki dengan kafannya. Kemudian ia diletakkan di dalam rumah. Aku mendengar seseorang berseru, Malam ini Nabi SAW. telah meninggal dunia. Pada pagi hari, Syafi'i pun dibawa di atas keranda seperti keranda tersebut, di atas tilam seperti tilam itu, dan dengan kafan seperti kafan tersebut.”

 

Mimpi Al-Anthaki

Diriwayatkan dari Utsman ibn Kharzad al-Anthaki, "Aku bermimpi seakan kiamat telah tiba. Allah sepertinya telah menetapkan keputusan-Nya. Seakan semua makhluk dikumpulkan. Dan tiba-tiba seseorang berseru dari dalam Arsy, "Masukkan Abu Abdullah, masukkan Abu Abdullah, masukkan Abu Abdullah, dan masukkan Abu Abdullah ke surga..!" Aku lalu berkata kepada malaikat yang ada di sebelahku, "Siapa mereka yang bernama Abu Abdullah itu?" Ia menjawab, Yang pertama adalah Malik ibn Anas. Yang kedua adalah Sufyan al-Tsauri. Yang ketiga adalah Syafi’i dan yang keempat adalah Ahmad ibn Hanbal’. Semoga Allah meridai mereka semua."

 

Mimpi Abdullah Al-Hasyimi

Abdullah ibn Muhammad ibn Yaqub al-Hasyimi, orang yang sangat jujur, berkata, "Aku bermimpi bertemu dengan Nabi SAW. Beliau berkata kepadaku bahwa Syafi’i al-Muththalibi telah berada di surga."  Atau, Syafi'i telah menjadi ahli surga.

 

Jika mimpi ini menunjukkan satu hal maka tak lain membuktikan kebesaran derajat dan tingginya kedudukan Imam Syafi'i. Bahkan, ini sebentuk berita gembira tentangnya. Semoga Allah merahmatinya karena ia termasuk ulama yang ikhlas dan senantiasa mengamalkan ilmunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

BIOGRAFI IMAM HANBAL

 

A.     Riwayat Hidup Imam Ahmad ibn Hanbal

Ahmad  bin  Muhammad  bin  Hanbal  adalah  Imam  yang  keempat fuqaha’  Islam.  Beliau  adalah  seorang  yang  mempunyai  sifat-sifat yang  luhur  dan  tinggi  yaitu  sebagaimana  dikatakan  oleh orang-orang yang  hidup  semasa  dengannya,  juga  orang  yang  mengenalnya.  Beliau Imam  bagi  umat  Islam  seluruh  dunia,  juga  Mufti  bagi  negeri  Irak dan seorang  yang  alim  tentang  hadist-hadist  Rasulullah  Saw.  Juga  seorang yang  zuhud  dewasa  itu,  penerang  untuk  dunia dan  sebagai  contoh  dan teladan  bagi  orang-orang  ahli  sunnah,  seorang  yang  sabar  dikala menghadapi percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.

Didalam  mazhab  Hanbali,  terdapat  istilah  Hanbali  dan  Hanabilah. Agar  tidak  timbulnya  keraguan   dalam  membedakan  kedua  istilah tersebut  maka  penulis  akan  mengemukakan  pengertian  kedua  istilah tersebut.  Hanbali  adalah  pendapat  (kesimpulan)  yang  dinisbahkan (dihubungkan)  kepada  Imam  Ahmad  ibn  Hanbal. Sedangkan, Hanabilah  adalah  orang  yang  mengikuti  hasil  ijtihad  Imam  Ahmad ibn Hanbal dalam masalah hukum fiqih.

Tokoh  utama  mazhab  Hanbali  adalah  Imam  Ahmad  ibn Hanbal. Nama  lengkapnya  adalah  Ahmad  ibn  Muhammad  ibn  Hanbal ibn  Hilal  ibn  Asad  ibn  Idris  ibn  ‘Abdillah  ’ibn  ibn  Hayyan  ibn  Abdillah ibn  Anas  ibn  ‘Auf  ibn  Qasit  ibn  Mukhazin  ibn  Syaiban  ibn  Zahl  ibn Sa’labah  ibn  ‘Ukabah  ibn  Sa’b  ibn  ‘Ali  ibn  Bakr  ibn  Wa’il  ibn  Qasit ibn  Hanb  ibn  Aqsa  ibn  Du’ma  ibn  Jadilah  ibn  Asad  ibn  Rabi’ah  ibn Nizar  ibn  Ma’ad  ibn  ‘Adnan  ibn  ‘Udban  ibn  al-Hamaisa’  ibn  Haml  ibn an-Nabt ibn Qaizar ibn Isma’il ibn Ibrahim asy-Syaibani al-Marwazi.

Imam  Ahmad  ibn  Hanbal  lahir  di  Baghdad  pada  masa pemerintahan  ‘Abbasiyyah  dipegang  oleh  al-Mahdi,  yaitu  pada  bulan Rabi’  al-Awwal  tahun  164  H  bertepatan  dengan  tahun  780  M. Imam Ahmad  dilahirkan  ditengah-tengah  keluarga  yang  terhormat,  yang memiliki  kebesaran  jiwa,  kekuatan  kemauan,  kesabaran  dan  ketegaran menghadapi  penderitaan.  Ayahnya  meninggal  sebelum  ia  dilahirkan, oleh  sebab  itu,  Imam  Ahmad  ibn  Hanbal  mengalami  keadaan   yang sangat  sederhana  dan  tidak  tamak. Ayahnya  bernama  Muhammad  bin al-Syaibani.  Jadi  sebutan  Hanbal  bukanlah  nama  ayahnya  tetapi  nama kakeknya. dan  Ibunya  bernama  Safiyyah  binti  Abdul  Malik  bin Hindun  al-Syaibani  dari  golongan  terkemuka  kaum  baru  Amir. Nasab dan  keturunan  Nabi  Muhammad  bertemu  dengan  Imam  Ahmad  bin Hanbal  baik  dari  pihak  ayahnya  maupun  dari  pihak  ibunya,  yaitu  pada Nizar  datuk  Nabi  Muhammad  yang  kedelapan  belas. Nama  Ahmad pada  perkembangan  selanjutnya  lebih  dikenal  dengan  nama  Imam Ahmad  bin  Hanbal,  dinisbahkan  kepada  nama datuk  beliau  sendiri karena  nama  “Ahmad”  begitu  banyak,  lalu  dihubungkan  dengan  nama datuknya,  sehingga  sejak  kecil  beliau  lebih  dikenal   deangan  nama Ahmad ibn Hanbal.

 

B.     Pendidikan Imam Ahmad Ibn Hanbal

Sejak  masa  kecilnya  Imam  Ahmad  yang  fakir  dan  yatim  itu  dikenal sebagai  orang  yang  sangat  mencintai  ilmu. Baghdad  dengan  segala kepesatannya  dalam  pembangunan  termasuk  kepesatan  dalam perkembangan  ilmu  pengetahuan  membuat  kecintaan  beliau  terhadap ilmu  bersambut  dengan  baik. Beliau  mulai  belajar  ilmu-ilmu  keislaman seperti  al-Qur’an,  al-Hadist,  bahasa  ‘Arab  dan  sebagainya  kepada ulama-ulama  yang  ada  di  Baghdad  ketika  itu. Kefakiran  Imam  Ahmad membatasi  keinginan  dan  cita-citanya  untuk  menuntut  ilmu  lebih  jauh. Karena  itu  beliau  tidak  segan  mengerjakan  pekerjaan apapun  untuk mendapatkan  uang  selama  pekerjaan  itu  baik  dan  halal. Beliau  pernah membuat  dan  menjual  baju,  menulis,  memungut  gandum  sisa  panen dan pengangkut barang.

Pada  masa  pemerintahan  Harun  ar-Rasyid  yaitu  pada  umur  16 tahun  Imam  Ahmad  mulai  mempelajari  hadist  secara  khusus. Orang yang  pertama  kali  didatangi  untuk  belajar  hadist  adalah  Hasyim  ibn Basyr ibn Khazin al-Wasiti.

Tekadnya  untuk  menuntut  ilmu  dan  menghimpun  hadist mendorongnya  untuk  mengembara  ke  pusat-pusat  ilmu  keIslaman seperti  Basrah,  Hijaz,  Yaman,  Makkah  dan  Kufah.  Bahkan  beliau  telah pergi  ke  Basrah  dan  Hijaz  masing-masing  sebanyak  lima  kali.  Dan pengembaraan  tersebut  beliau  bertemu  dengan  beberapa  ulama  besar seperti  ‘Abd  ar-Razzaq  ibn  Humam,  ‘Ali  ibn  Mujahid,  Jarir  ibn  ‘Abd al-Hamid, Sufyan  ibn  ‘Uyainah,  Abu  Yusuf  Ya’kub  ibn  Ibrahim  alAnshari  (murid  Imam  Abu  Hanifah),  Imam  Syafi’i  dan  lain-lain. Pertemuannya  dengan  Imam  Syafi’i  itulah  beliau  dapat  mempelajari fiqh, ushul fiqh, nasikh dan mansukh serta kesahihan hadist.

Perhatiannya  terhadap  hadist  membuahkan  kajian   yang memuaskan  dan  memberi  warna  lain  pada  pandangan  fiqhnya.  Beliau lebih  banyak   mempergunakan  hadist  sebagai  rujukan  dalam  memberi fatwa-fatwa  fiqhnya. Karya  beliau  yang  paling  terkenal  adalah al-Musnad. Didalamnya  terhimpun  40.000  buah  hadist  yang  merupakan seleksi  dari  70.000  buah  hadist. Ada  yang  berpendapat  bahwa  seluruh hadist  dalam  kitab  tersebut  adalah shahih. Sebagian  lainnya mengatakan  bahwa  didalamnya  terdapat  beberapa  hadist da’if (lemah). Dalam al-Musnad tersebut,  dapat  kita  jumpai  sejumlah  besar fiqh sahabat, seperti fiqh ‘Umar, fiqh ‘Ali dan fiqh Ibnu Mas’ud.

Umur  beliau  dihabiskan  untuk  menuntut  ilmu  terutama  di  dalam bidang  hadist.  Beliau  tidak  berhenti  belajar  walaupun  telah  menjadi Imam dan telah berumur lanjut. Sebagai  ulama  besar  Imam  Ahmad  tidak  luput  dari  berbagai cobaan. Cobaan  terbesar  yang  dihadapinya  adalah  pada  masa pemerintahan  al-Ma’mun,  al-Mu’tasim  dan  al-Wasiq. Pada  masa  itulah aliran  Mu’tazilah  mendapat  sukses  besar  karena  menjadi mazhab  resmi Negara. Para  tokoh  Mu’tazilah  menghembuskan  isu  yang  tidak bertanggung  jawab  yaitu  terjadinya  peristiwa Khalq  al-Qur’an (pemakhlukan terhadap al-Qur’an).

Khalifah  al-Ma’mun  mempergunakan  kekuasaannya  untuk memaksa  para  ulama  ahli  fiqh  dan  ahli hadist  agar  mengakui  bahwa  al-Qur’an  adalah  makhluk. Peristiwa  inilah  yang  kemudian  dikenal  dengan peristiwa mihnah. Banyak  diantara  mereka  yang  membenarkan  paham al-Ma’mun lantaran  ketakutan.  Namun  demikian  Imam  Ahmad  dan beberapa  ulama  lain  tetap  menolak paham  tersebut.  Beliau  berpendapat bahwa  al-Qur’an  bukanlah  makhluk  tetapi  kalam  Allah. Tidak  sedikit ulama  yang  dianiya  lantaran  berseberangan  dengan  penguasa,  tak terkecuali  Imam  Ahmad. Beliau  lebih  memilih  dicambuk  dan  dipenjara dari pada harus mengakui bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

Beberapa  bulan  kemudian  al-Ma’mun  mangkat  namun  sebelumnya ia  sempat  berwasiat  kepada  calon  penggantinya  yaitu  al-Muta’sim  agar melanjutkan  kebijakannya.  Dengan  demikian  Imam  Ahmad  dan beberapa  kawannya  dipenjara  dan  disiksa sampai  pemerintahan  alMu’tasim berakhir.

Sepeninggal  al-Muta’sim  roda  pemerintahan  dipegang  oleh putranya  yaitu  al-Wasiq.  Pada  masa  ini  pula  kebijakan  ayahnya  tetap dipertahankan  sehingga  Imam  Ahmad  dan  beberapa  ulama  lain  yang sependirian  dengan  beliau  tetap  juga  dipenjarakan  dan  disiksa.  Sampai akhirnya al-Wasiq pun mangkat.

Demikianlah  sampai  bertahun-tahun  Imam  Ahmad  meringkuk dalam  penjara  dan  menanggung  sengsara  lantaran  dicambuk  dengan cemeti  sedang  tangannya  diikat. Sejak  al-Ma’mun  menjabat  kepala Negara sampai zaman al-Wasiq.

Setelah al-Wasiq mangkat, jabatan kepala Negara  dipegang  oleh  alMutawakkil.  Pada masa inilah segala bid’ah dalam urusan agama dihapuskan dan  menghidupkan  kembali  sunnah  Nabi  Saw.  Oleh  karena itu  dengan  sendirinya  masalah khalq  al-Qur’an sudah  tidak ada. Dengan  demikian  Imam  Ahmad  dan  beberapa  kawannya dibebaskan  dari  penjara.  Sebaliknya  para  ulama  yang  menjadi  sumber fitnah  tentang  masalah  kemakhlukan   al-Qur’an  ditangkap  serta dipenjara  serta  dijatuhi  hukuman  dera  oleh  al-Mutawakkil.  Para  tokoh Mu’tazilah  mendapat  tekanan  hebat  lantaran  mendapat  penyiksaan seperti  yang  pernah  mereka  lakukan  terhadap  para  ulama  yang menentang pendapatnya.

Demikianlah  cobaan  yang  dialami  oleh  Imam  Ahmad  ibn  Hanbal dalam  mempertahankan  pendirinnya  untuk  tidak  mengakui kemakhlukan  al-Qur’an. Setelah  beliau  dibebaskan  dari  penjara beberapa  tahun  kemudian  beliau  jatuh  sakit.  Sampai  akhirnya  beliau meninggal  dunia  pada  usia  77  tahun  yaitu  pada  hari Jum’at  tanggal  12 Rabi’ al-Awwal 241 H. Beliau dimakamkan di Baghdad.

 

C.      Guru-Guru Dan Murid Imam Ahmad Ibn Hanbal

Guru-gurunya  yang  mengarahkan  pandangan  Imam  Ahmad  ialah Husen  ibn  Bashir  ibn  Abi  Hazim  lahir  pada  tahun  104  H,  wafat  pada tahun  183  H.  Inilah  guru  Imam  Ahmad  yang  pertama  dan  utama  dalam bidang hadist.  Lima  tahun  lamanya  Imam  Ahmad  ditempa  oleh  Husen ini. Beliau  boleh  dikatakan  yang  banyak  mempengaruhi  kehidupan Imam Ahmad.

Untuk  mendalami  cara  istinbath  dan  membina  fiqh  Imam  Ahmad berguru  kepada  Imam  asy-Syafi’i.  Padanya  dipelajari  fiqh  dan ushul. Imam  Ahmad  terpilih  hatinya  kepada  kecakapan  Imam  asySyafi’i  dalam  beristinbath. Imam  Syafi’i  lah  yang  mengarahkannya kepada istinbath itu,  Imam  Syafi’i  adalah  guru  yang  kedua  bagi  Imam Ahmad. Selain  dari  pada  guru  besar  ini,  banyak  pula  ulama-ulama  lain yang  memberikan  pelajaran  kepada  Imam  Ahmad.  Tidak  kurang  dari 100  orang  ulama  besar  yang  memberikan  pelajaran  kepadanya,  baik yang di Baghdad maupun di kota-kota lain.

Adapun diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah: Imam Isma’il bin  Aliyyah,  Hasyim  bin  Basyir,  Hammad  bin  khalil,  Mansyur  bin  Salamah, Mudlaffar  bin  mudrik,  Utsman  bin  Umar,  Masyim  bin  Qashim,  Abu  Said Maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid, Muhammad bin ‘Ady, Yazid bin Harun,  Muhammad  bin  Jaffar,  Ghundur,  Yahya  bin  Said  al-Cathan, Abdurrahman  bin  Mahdi,  Basyar  bin  al-Fadhal,  Muhammad  bin  Bakar,  Abu Daud  ath-Thayalisi,  Ruh  bin  ‘Ubaidah,  Wakil  bin  al-Jarrah,  Mu’awiyah  alAziz, Abdullah bin Muwaimir, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Salim,  Muhammad  bin  Syafi’i,  Ibrahim  bin  Said, Abdurrazaq  bin  Humam, Musa  bin  Thariq,  Walid  bin  Muslim,  Abu  Masar  al-Dimasyqy,  Ibnu  Yaman, Mu’tamar bin Sulaiman, Yahya bin Zaidah dan Abu Yusuf al-Qadi. Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal itu terdiri dari ahli Fiqih, ahli Ushul, ahli Kalam, ahli Tafsir, ahli Hadits, ahli Tarikh dan ahli Lughah.

Imam  Ahmad  bin  Hanbal  sangat  meyakini  bahwa  ilmu pengetahuan  tidak  mudah  untuk  didapatkan,  sehingga  ia  sungguh mengerti  akan  ketinggian  nilai  para orang yang ahli tentang pengetahuan.  Keyakinan yang demikian  menyebabkan  beliau  sangat menghormati guru-gurunya.

Adapun murid-murid Imam Ahmad di antaranya:

1.      Sholeh ibn Ahmad ibn Hanbal

2.      Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal

3.      Ahmad ibn Muhammad ibn Hani Abu Bakar al-Atsran

4.      Abdul Malik ibn Abdul Hamid ibn Mihran al-Maimuni

5.      Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaz Abu Bakar al-Marwazi

6.      Harab ibn Ismail al-Handholi al-Kirami

7.      Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi

 

Orang-orang  yang  terkenal  yang  melanjutkan  pemikiran  fiqih  Imam Ahmad ibn Hanbal yang kurun waktunya agak jauh darinya.

1.      Ibn Qudamah Muwaffiquddin (w. 620 H) menulis kitab al-Mughni

2.      Ibn  Qudamah,  Syamsuddin  al-Maghsi  (w.  682  H)  menulis  kitab alSyarh al-Kabir.

 

Selanjutnya,  tokoh  yang  memperbarui  dan  melengkapi  pemikiran madzhab Hanbali terutama bidang mu’amalah adalah:

1.      Syeikh al-Islam Taqiyyudin ibn Taimiyah (w. 728)

2.      Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 752 H) murid Ibnu Taimiyah.

 

Tadinya  pengikut  madzhab  Hanbali  tidak  begitu  banyak,  setelah dikembangkan  oleh  dua  tokoh  yang  disebut  terakhir  maka  mazhab Hanbali  menjadi  semarak,  terlebih setelah  dikembangkan  lagi  oleh Muhammad  bin  Abdul  Wahhab  (w.  1206  H),  menjadi  madzhab  orang nejed  dan  kini  menjadi  madzhab  resmi  pemerintah  kerajaan  Saudi Arabia.

 

D.     Karya-Karyanya

Imam  Ahmad  lebih  banyak  mengarahkan  hidupnya  untuk  menuntut ilmu  pengetahuan dan  menyebar  luaskan  ilmu  itu.  Meskipun  sejak kecil  beliau  selalu  dalam  keadaan  menderita,  bahkan  dapat  dikatakan tidak  pernah  merasakan  kemewahan  dan  kenikmatan  hidup  (secara materi)  di  dunia,  dalam  urusan  mata  pencaharian  beliau  mempunyai kepribadian  tersendiri. Ia  karena  kezuhudan  dan  kewara’annya,  tidak suka  menerima  pemberian  orang  lain.  Beliau  berpendirian,    lebih  baik bekerja  berat  dan  dipandang  rendah  oleh  kebanyakan  orang  dari  pada memakan  yang  belum  jelas  kehalalannya.”  Oleh  karena  itu,  tidak sedikitpun  atau  terlintas  dihati  sanubarinya  suatu  keinginan  untuk menduduki  suatu  jabatan  atau  pengkat  dalam  lingkungan pemerintahan.

Karena  Imam  Ahmad  tidak  menyukai  jabatan  dan  kedudukan  dalam pemerintahan,  maka  aktifitasnya  lebih  mengarah  kepada  pengembangan  ilmu pengetahuan,  sehingga  beliau  dikenal  dikalangan  ulama  pada  masanya. Selain itu beliau sangat teguh berpegang kepada pendirian yang diyakininya.

Dari  semua  bidang  ilmu  yang  dikuasainya,  ilmu  hadist  dan  fiqh  yang paling menonjol, sehingga beliau mendapat sebutan sebagai seorang muhaddist (ahli  hadist)  dan  juga  seorang faqih (ahli  fiqh). Sebagian  ulama  ada  yang menyangkal bahwa Imam Ahmad hanyalah seorang muhaddist bukan seorang faqih.

Ibnu  Jauzi  berkata:  “Ahmad  ibn  Hanbal  tidak  pernah  kelihatan menulis kitab  dan  dia  juga  melarang  untuk  menulis  perkataan  dan masalah-masalah dari hasil istinbathnya.”

Apapun  alasannya  kita  memang  menerima  pernyataan  bahwa Imam  Ahmad  sangat  menonjol  dalam  bidang  hadist,  tetapi gencarnya terhadap  masalah-masalah  fiqih  juga  tidak  dapat  dinafikan. Hal  ini dapat  dipahami  dan  banyaknya  pengikut  beliau  yang  menulis  fatwa-fatwa  dan  pendapatnya  hingga  tersusun  suatu  akumulasi  pemikiran-pemikiran  fiqh  yang  di  nisbatkan  kepadanya. Seandainya  beliau hanya memusatkan  perhatiannya  pada  hadist,  tentulah  sangat  sulit  bagi  kita mengkaji  pendapat-pendapatnya  dalam  masalah  fiqh. Alasan  yang  dapat dikemukakan  mengapa  beliau  tidak  menulis  fiqh  sebagaimana diungkapkan  oleh  Ibnu  Qayyim  al-Jauziyah,  adalah  karena beliau sangat  benci  terhadap  semua  bentuk  penulisan  selain  hadist.  Beliau khawatir  akan  terjadi  campur  aduk  antara  buku-buku  hadist  dan  buku-buku fiqh.

Adapun karya-karya beliau antara lain:

1)       Al-Musnad

2)       Kitab Tafsir Al-Qur’an

3)       Kitab Al-Nasikh Wa Al-Mansukh

4)       Kitab Al- Muqaddam Wa Al-Muakhkhar Fi Al-Qur’an

5)       Kitab Jawabatu Al-Qur’an

6)       Kitab Al-Tarikh

7)       Kitab Manasiku Al-Kabir

8)       Kitab Manasiku Al-Saghir

9)       Kitab Tha’atu Al-Rasul

10)   Kitab Al-‘Illah

11)   Kitab Al-Shalah.

 

Selain  kitab-kitab   yang  disusun  langsung  oleh  Imam  Ahmad  ibn Hanbal,  ada  juga  gagasan  Imam  Ahmad  ibn  Hanbal  yang  diteruskan dan  dilestarikan  oleh  para  pengikutnya.  Diantara  rujukan  fiqih Hanabillah adalah sebagai berikut:

1)     Mukhtashar  al-Khurqi karya  Abu  al-Qashim  Umar  ibn  al-Husain  alKhurqi (w. 334 H)

2)     Al-Mughni  Syarkh  ‘Ala  Mukhtasar  al-Khurqi karya  Ibnu  Qudamah (w. 620 H).

3)     Majmu’  Fatwa  ibn  Taimiyah karya  Taqiy  al-Din  Ahmad  Ibnu Taimiyah (w. 728 H)

4)     Ghayat  al-Muntaha  fi  al-Jami’  bain  al-Iqna  wa  Muntaha karyaMar’i ibn Yusuf al-Hanbali (w. 1032 H)

5)     Al-Jami’  al-Kabir karya  Ahmad  ibn  Muhammad  ibn  Harun  atau  Abu Bakar al-Khallal.

 

Oleh  Imam  Ahmad  tidak  menulis  kitab  dalam  bidang  fiqh  yang dapat  kita  jadikan  pegangan  pokok  dalam  mazhabnya. Karena  beliau tidak  membukukan  fiqhnya  dalam  suatu  kitab,  tidak  pula  mendiktenya kepada  murid-muridnya  maka  yang  dapat  dijadikan  pegangan  dalam mazhab  Hanbali  adalah  riwayat-riwayat  beliau  yang  telah  diterima  baik oleh  murid-muridnya  secara  langsung  sebagai  penukil  yang  benar  dari Imam  Ahmad. Maka  selama  belum  ada  bukti  yang  kuat  bahwa  riwayat itu  bukan  berasal  dari  Imam  Ahmad,  tetaplah  kita  berpendapat  bahwa riwayat-riwayat itu berasal dari Imam Ahmad.

Semua  pendapat  Imam  Ahmad  yang  telah  diterima  secara  langsung oleh  murid-muridnya, kemudian  dihimpun  oleh  Abu  Bakar  al-Khallal dengan  menjumpai  mereka.  Dialah  yang  dapat  kita  pandang  sebagai pengumpul  fiqh  Hanbali  dari  penukilnya. Dari  padanyalah  dinukilkan koleksi  fiqh  Imam  Ahmad  yang  paling  lengkap  yaitu al-Jami  al-Kabir yang terdiri dari dua puluh jilid yang tebal-tebal.

Ada  dua  tokoh  ulama  yang  telah  berjasa  dalam  mengumpulkan  apa yang  dinukilkan  oleh  al-Khallal,  yaitu  ‘Umar  ibn  al-Husain  al-Khiraqi dan Abu  al-Aziz  ibn  Ja’far  Gulam  al-Khallal. Mereka  mempunyai banyak  karangan  tetapi  tersebar  luas  hanyalah  kitab al-Mukhtasar karya  al-Hiraqi  yang  didalamnya  terdapat  2.300  masalah. Muwaffaq ad Din ibn Qudamah  telah  mensyarahkan kutab tersebut  menjadi  tiga belas  jilid  besar  yang  dinamakan  kitab al-Mughni,  suatu  kitab  fiqih yang patut dijadikan pokok pegangan dalam mazhab Hanbali.

 

E.      Metode Istinbath Imam Ahmad Ibn Hanbal

Imam  Ahmad  ibn  Hanbal  menganggap  Imam  Syafi’i  sebagai  guru besarnya, oleh karena itu di dalam pemikiran ia banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i.  Thaha  Jabir  Fayadh  al-Uwani  mengatakan  bahwa  cara  ijtihad  Imam Ahmad ibn Hanbal sangat dekat dengan cara ijtihad Imam Syafi’i .Ibn Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal dibangun atas 5 dasar:

1)    Nash Dari Al-Qur’an Dan Sunnah (Hadits Yang Shahih)

Al-Qur’an  yaitu  perkataan  Allah  Swt  yang  diturukan  oleh ruhul amin kedalam  hati  Rasulullah  dengan  lafdz  bahasa  Arab,  agar  supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah bahwa dia adalah utusan Allah Swt.

Al-Hadist  yaitu  segala  ucapan,  perbuatan  dan  segala  keadaan  atau perilaku Nabi Saw.

Jika  menemukan  suatu  persoalan  yang  menghendaki  pemecahan hukum,maka  pertama-tama  ia  harus  mencari  jawaban  persoalan tersebut  kepada  nash, maka  wajib  menetapkan  hukum  berdasarkan nash  tersebut. Untuk  memperkuat pandangan  tersebut  Ibnu  Qayyim tersebut  mengemukakan  bukti  dalam  al-Qur’an surat  al-Ahzab: 36  sebagai berikut:

Yang artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan  yang  mukmin,  apabila  Allah  dan  rasul-Nya  Telah menetapkan  suatu  ketetapan,  akan ada  bagi  mereka  pilihan  (yang lain)  tentang  urusan  mereka.  dan  barangsiapa  mendurhakai  Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.”

Al-Qur’an  adalah  sumber  pertama  dalam  menggali  sumber  hokum fiqhnya.  Sedangkan  sunnah  sendiri adalah  penjelas  al-Qur’an  dan  tafsir hukum-hukumnya  maka  tidak  aneh  apabila  ia  menjadikan  al-Qur’an dan sunnah sebagai perintis sumber-sumber bagi pendapat fiqh dia.

Sebabnya  al-Qur’an  dijadikan  dasar  pertama  dan  harus didahulukan dari pada sunnah adalah:

a)     Al-Qur’an  adalah  qath’i,  sedangkan  sunnah  adalah  zhanni.  Kita hanya  meyakini  bahwa  sunnah  nabi  itu  wajib  diikuti.  Tapi  kita  tidak dapat  meyakini  bahwa  tiap-tiap  yang  dikatakan  sunnah  nabi  benar sunnah.

b)     Sunnah,  fungsinya  menjelaskan  al-Qur’an  atau  menambah hukumnya  jika  dia  bersifat  penjelasan,  maka  tentulah  dia  berada dibawah  al-Qur’an.  Jika  mendatangkan  hukum  baru  bias  diterima, jika hukum baru itu tidak ada dalam al-Qur’an.

c)      Hadits sendiri menempatkan diri pada martabat kedua,  seperti  yang didapat disimpulkan dari hadits Muadz.

 

2)    Fatwa Para Sahabat Nabi Saw

Sahabat  adalah  orang  yang  hidup  pada  masa  Rasulullah  Saw  dan mengimani serta mengikuti ajaran Rasulullah Saw.

Adapun  landasan  atau  dasar  hukum  dari  ijma’  atau  fatwa sahabat adalah hadist Rasulullah Saw: yang Artinya: “Dari Annas, dari sekelompok penduduk Homs dari sahabat Mu’az bin Jabal, bahwasanya Rasulullah Saw mengutus Mu’az ke Yaman, beliau  berkata:  “apabila  dihadapkan  kepadamu  suatu  kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya? Mu’az menjawab: “saya akan memutuskannya berdasarkan al-Qur’an, Nabi bertanya lagi: jika  kasus  itu  tidak  anda  temukan  dalam  al-Qur’an:  Mu’az menjawab:  saya  memutuskan  berdasarkan  sunnah  Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya: jika kasusnya tidak terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul? Mu’az menjawab: aku akan berijtihad dengan  seksama.  Kemudian  Rasulullah  menepuk  dada  Mu’az dengan  tangannya  seraya  berkata:  segala  puji  bagi  Allah  yang telah  memberikan  petunjuk  kepada  utusan  Rasulullah  terhadap jalan yang diridhainya.” (H.R.Abu Daud).

Apabila beliau  tidak  mendapat  suatu  nash  yang  jelas,  baik  dari  al-Qur’an  dan  Sunnah,  maka  ia  menggunakan  fatwa-fatwa  dari  pada sahabat  Nabi  yang  tidak  ada  perselisihan  dikalangan  ulama.  Adapun sahabat-sahabat yang terkenal sebagai mufti atau mujtahid adalah:

a)     Zaid ibn Tsabit

b)     Abdullah ibn Abbas

c)      Abdullah ibn Mas’ud

 

Jika fatwa tersebut disetujui semua  sahabta,  maka  tersebut  fatwa sahabat mujtami’in.

 

3)    Fatwa Para Sahabat Yang Masih Dalam Perselisihan

Apabila  terjadi  pertentangan  pendapat  antara  para  sahabat,  ia memilih pendapat  yang  berdalil  al-Qur’an  dan  hadist.  Apabila  pendapat mereka  tidak  bias  dikompromikan,  ia  tetap  mengemukakan  pendapat mereka  masing-masing  tetapi  ia  tidak  mengambil  pendapat  mereka sebagai sumber hukum.

Mayoritas  ulama  mengakui  fatwa  sahabat  sebagai  dasar  dalam menetapkan  hukum.  Demikian  pula  menurutnya,  dibolehkan mengambil  fatwa  yang  bersumber   dari  golongan  salaf,  dan  fatwa-fatwa  para  sahabat.  Fatwa  mereka  lebih  utama  dari  pada  fatwa  ulama kontemporer. Karena  fatwa  para  sahabat  lebih  dekat  pada kebenaran. Masa hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup Rasul.

 

4)    Hadits Mursal Dan Hadits Dha’if,

Hadist  mursal  adalah  hadist  yang  gugur  perawi  dan  sanadnya setelah  tabi’in. Hadist  dha’if  adalah  hadist  mardud,  hadist  yang ditolak  atau  tidak  dapat  dijadikan hujjah  atau  dalil  dalam  menetapkan sesuatu  hukum.  Kata  al-Dha’if,  secara  bahasa  adalah  lawan  dari  al-Qawiy, yang berarti kuat.

Hadist  ini  dipakai  apabila  tidak  ada  keterangan  atau  pendapat  yang menolaknya.  Pengertian  mengenai  hadist dha’if pada  masa  dahulu tidak  sama  dengan  pengertiannya  di  zaman  sekarang.  Pada  masa  Imam Ahmad  hanya  ada  dua  macam  hadist  yaitu  hadis shahih dan dha’if. Dimaksud dha’if disini  bukan dha’if yang  batil  dan  mungkar, tetapi  merupakan  hadis  yang  tidak  berisnad  kuat  yang  tergolong  sahih dan  hasan. Menurut  Ahmad  hadis  tidak  terbagi  atas shahih, hasan dan dha’if tetapi shahih dan dha’if. Pembagian  hadis  atas sahih, hasan, dha’if dipopulerkan  oleh  al-Turmidzi. Hadis-hadist dha’if ada  bertingkat tingkat,  yang  dimaksud dha’if disini  adalah  pada  tingkat  yang  paling atas. Menggunakan hadis semacam ini lebih utama dari pada menggunakan qiyas.

Apabila  tidak  didapatkan  dari  al-Qur’an,  Hadits,  fatwa  sahabat yang  disepakati atau yang masih diperselisihkan, maka barulah beliau menetapkannya  dengan  hadits mursal  dan dha’if yang  tidak  seberapa dhaifnya  (merupakan  hadits  yang  tidak  sampai  ketingkat  shahih  dan termasuk hadits hasan.

 

5)    Qiyas

Dalam  fiqih,  makna  Qiyas  adalah  mempersamakan  masalah  yang belum  ada  nash  dan  dalil  hukumnya  dengan  masalah  lain  yang  sudah ada  hukumnya  dan  tercatat  jelas  dalilnya,  dengan  melihat  persamaan sifat keduanya yang menjadi penentu hukum.

Apabila  beliau  tidak  mendapatkan  dalil  dari  al-Qur’an  dan  hadits, fatwa  sahabat  yang  disepakati  atau  yang  masih  doperselisihkan,  hadist mursal  dan  hadist  dha’if.  Dalam  keadaan  demikian  barulah  ia menggunakan qiyas, yakni apabila terpaksa.

Pada  firman  Allah  dijelaskan  bahwa  Allah  mengqiyaskan  hidup sesudah  mati  kepada  terjaga  (bangun)  setelah  tidur  dan  membuat beberapa  perumpamaan,  serta  menerapkannya  beraneka  ragam.  Semua itu  adalah  qiyas  jali,  dimana  Allah  ingin  mewujudkan  bahwa  hokum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang serupa.

Bila  dibandingkan  dengan  mazhab-mazhab  lain  sebelumnya (seperti  mazhab  Hanafi,  Maliki  dan  Syafi’i).  Mazhab  Hanbali  tidak tersiar  (tidak  semasyhur  mazhab  lainnya  terutama  mazhab  Syafi’i walaupun  demikian  mazhab  Hanbali  merupakan  salah  satu  dari  mazhab yang terbesar dan banyak diikuti umat Islam.



BACA JUGA:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN ILMU HADIST

PENGERTIAN DAN FUNGSI BAHASA DALAM KEHIDUPAN

DAMPAK PENGGUNAAN INTERNET DIKALANGAN PELAJAR SMAN 1 PEMULUTAN SELATAN